Anda di halaman 1dari 13

BAB I KASUS POSISI A.

Fakta Film Sometimes in april merupakan sebuah film yang isinya mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh sekelompok militer garis keras suku Hutu terhadap suku Tutsi. Kejadian ini berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsi yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini, mulai muncul bentuk primordialisme yang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi. Berawal pada tahun 2004, ketika itu Augustin Muganza, seorang yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah berusaha untuk memperlihatkan catatan kelam negara Rwanda kepada murid-muridnyanya. Hal inilah yang menjadi sebuah bentuk ingatan flashback dari Augustin atas pengalaman pahit dan kelam yang dialaminya ketika di masa rezim Hutu. Augustin tadinya merupakan seorang Kapten Tentara Nasional Rwanda. Ia sendiri merupakan orang yang berlatarbelakang Suku Hutu. Memiliki seorang istri berdarah Tutsi. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah anak-anak Augustin memiliki darah beraliran Tutsi dan ini yang kemudian menjadi problematika utama ditengah rezim Hutu kemudian. Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Pada awalnya sweeping dilakukan untuk menselektif mana yang Hutu atau Tutsi, tetapi gerakan kemudian menjadi massive dan tidak terkendali dipengaruhi oleh provokasi, power, dan emosi terkadang masyarakat sipil dan tentara Hutu brutal tanpa membedakan mana yang Hutu atau bukan.

B. Pihak-Pihak Yang Bersengketa Dalam kasus ini, kejadian ini terjadi di negara Rwanda, sebuah negara di Afrika Tengah yang memiliki jumlah penduduk ssekitar 7,4 juta jiwa, dan merupakan negara terpadat penduduknya di Afrika Tengah, telah terjadi konfik yang mengakibatkan terjadinya Genosida antara suku Hutu dan suku Tutsi, yang mana hal ini terjadi diakibatkan adanya pemikiran dari suku Hutu, bahwa posisi mereka dilemahkan akibat adanya hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi.

BAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK A. Masalah Hukum Dalam penulisan Study Kasus ini, masalah hukum yang muncul adalah sebagai berikut Pelanggaran hukum humaniter apa saja yang terjadi dalam objek yang sedang dikaji, dan bagaimana pengaturannya dalam hukum humaniter? Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum humaniter internasional? B. Tinjauan Teoritik Dalam penyelesaian masalah hukum humaniter yang terjadi pada kasus ini, terlebih dahulu mengetahui asas-asas yang dipakai dalam hukum humaniter. Dalam Hukum Humaniter, dikenal tiga asas utama, yaitu1 : 1. Asas kepentingan militer (military necessity) yaitu pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. 2. Asas Perikemanusiaan (humanity) yaitu pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 3. Asas Kesatriaan (Chivalry) yaitu di dalam perang kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ridak terhormat, berbagai macam tipu muslihat, dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Dalam Hukum Humaniter Internasional juga dikenal beberapa prinsip, yaitu2 : 1. Kemanusiaan, prinsip ini didasarkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata; 2. Kepentingan (Necessity); 3. Proporsional (Proportionality); 4. Pembedaan (Distinction); Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi warga sipil. Kewajiban kombatan untuk membedakan dirinya dari orang sipil juga berkaitan dengan identifikasi kombatan sebagai orang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran. Oleh karena itu, setiap kombatan yang melakukan serangan terhadap kombatan musuh atau objek militer musuh tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
1

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung : Universitas Lampung, hlm. 11. 2 Ambarwati et.al., Hukum Humaniter Internasional (Dalam Studi Hubungan Internasional), Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 41.

5. Prohibition of Causing Unnecessary Suffering (Prinip Hukum Humaniter Internasional tentang Larangan Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya); 6. Pemisahan Antara Ius Ad Bellum dengan Ius In Bello. 7. Ketentuan minimal Hukum Humaniter Internasional; 8. Tanggungjawab dalam pelaksanaan penegakan Hukum Humaniter Internasional. Teori Konflik Konflik yang terjadi di Rwanda dapat dikategorikan kedalam konflik etnis. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbedaan definisi antara ras dan etnis, sebagai berikut. 1.Ras adalah kelompok manusia yang dicirikan oleh kondisi biologis tertentu seperti kemiripan fisik, warna kulit, dan struktur genetis. 2. Sedangkan etnis adalah kelomok orang yang dibedakan oleh kebudayaannya. Etnis merujuk pada ciri kultural, seperti cara pikir, sistem nilai, ritual, dan bahasa. Terdapat beberapa pendapat dari para ahli mengenai faktor yang dapat menyebabkan konflik. Menurut Donald L. Horowitz adalah : Ethnic conflict is the result of an extraordinary presence of traditional antipathies so strong that they can survive even the powerful solvent of modernization3 Menurut Edward Azar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya konflik internal : 1. Konflik dipicu karena hubungan yang tidak harmonis antara kelompok identitas seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan negara maupun dengan kelompok yang berbeda itu sendiri. 2.Konflik dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi proses pemiskinan secara sistematis. 3. Karakter pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan aspirasi akar rumput. 4.International linkages yaitu suatu sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara dengan sistem ekonomi global, dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memihak kekuatan modal asing daripada kepada penduduk lokal.4 Teori yang tepat untuk digunakan dalam konflik yang terjadi di Rwanda adalah teori kebutuhan manusia dan teori transformasi konflik. 1. Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam dan disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik secara fisik, mental, ekonomi dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan identitas, pengakuan,
3 4

Horowitz, Donald L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press. Azar, Edward. 1990. The Management of Protracted Social Conflict: Theory and Cases. Aldershot: Dartmouth.

partisipasi, dan otonomi seringkali menjadi inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah : a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan secara adil untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. 2. Teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalahmasalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial budaya, politik dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah : a. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan , termasuk kesenjangan ekonomi. b. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak-pihak yang mengalami konflik. c. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.5 Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan akibat operasi militer6. Penduduk sipil (civilians) ialah mereka yang tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran, mereka harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.7 Perlindungan penduduk sipil dalam PTKJ 197, pertama-tama dari judul protokol tersebut, tampak merupakan tambahan perlindungan yang ditetapkan KJ tahun1949. Sebagai tambahan konvensi itu, perlindungan protokol tersebut juga merupakan pertambahan perlindungan penduduk sipil dimasa perang.8 Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat harus dapat membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objekobjek sipil, Penduduk dan orang-orang sipil tidak boleh dijadikan objek serangan, dilarang melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebabkan teror terhadap penduduk sipil. Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang mungkin untuk menyelamatkan penduduk sipil, atau setidak-tidaknya menekan kerugian atau

5 6

Ibid., Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Inbternasional, Bandar Lampung : Universitas Lampung, hlm. 73. 7 GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, hlm.102. 8 F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum Internasional, Yogyakarta: Andi Offset, hlm.98.

kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan bertempur melawan musuh9. Berdasarkan pasal 13 Konvensi Jenewa I dan II, orang-orang yang harus dilindungi baik dalam medan pertempuran darat maupun laut, dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu : 1. Anggota angkatan perang dari pihak dalam sengketa dan anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang itu; 2. Anggota milisi dan barisan sukarela yang diorganisir dari suatu pihak yang bersengketa baik di dalam maupun di luar wilayah meskipun wilayah itu diduduki; 3. Anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada kekuasaan yang tidak diakui negara penahan. 4. Bukan anggota angkatan perang tetapi disahkan untuk menyertai anggota angkatan perang; 5. Anggota awak kapal niaga atau pesawat sipil yang dilindungi hukum internasional; 6. Levee en Masse.10

10

Ahmad Baharuddin Naim, Op.Cit.,hlm. 74. Ria Wierma Putri, Op.Cit., hlm. 24.

BAB III TUNTUTAN PELANGGARAN HUKUM HUMANITER Berdasarkan fakta yang telah diuraikan di atas, dan penyesuaiannya dengan asasasas atau kaidah-kaidah dalam hukum humaniter, pelanggaran-pelanggaran yang dapat dituntutkan dalam kasus yang terjadi di Rwanda adalah : 1. Adanya pelanggaran HAM yang terjadi yaitu pelanggaran HAM berat berupa Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi antara suku Hutu dan Suku Hutu dan suku Hutsi. Yang mana pelanggaran HAM berat Genosida ini telah melanggar ketentuan pasal 6 Statuta. 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan juga terjadi dalam konflik antar etnis/suku di Rwanda yang bertentangan dengan pasal 7 Statuta.

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai permasalahn yang terjadi dalam kasus ini sebagaimana telah dirumuskan dalam Masalah hukum pada Bab 2 terdahulu, yaitu mengenai : 1. Pelanggaran hukum humaniter apa saja yang terjadi dalam objek yang sedang dikaji, dan bagaimana pengaturannya dalam hukum humaniter? 2. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum humaniter internasional? 1. Pelanggaran hukum humaniter apa saja yang terjadi dalam objek yang sedang dikaji dan pengaturannya dalam hukum humaniter?

Pelanggara hukum humaniter yang terjadi adalah berupa kejahatan perang. Kejahatan perang adalah tindakan yang dilakukan karena mengganggu ketertiban masyarakat dan merugikan kepentingan orang. Oleh karena itu, larangan dan ancaman hukumannya dicantumkan dalam perundang-undangan hukum pidana suatu negara. International Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are :the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law.11 Kejahatan perang khususnya dilakukan oleh orang-orang yang sedang melaksanakan tugas perang12 Pelanggaran berat Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari kejahatan perang dalam artian luas ( arti ini mencakup kejahatan perang dalam arti sempit, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida)13.Genosida adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk meghancurkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras dan kelompok seperti : 1. Membunuh anggota kelompok; 2. Menimbulkan penderitaan fisik/mental yang berat terhadap anggota kelompok;
11

Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia , Badan Pelatihan Hukum-Pusham UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 6 12 Heru Cahyono,Kejahatan perang yang diatur dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, vol 1 No. 1, 2005, hlm 122-123 13 H. Jaka Triyana.,Peradilan Internasional Atas Pelanggaran Berat Hukum Humaniter Internasional, Makalah, Basic Course on International Humanitarian Law , kerjasama antara Fakultas Hukum UGM dengan ICRC delegasi Indonesia, 19-24 Desember 2005.

3. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik keseluruhan atau sebagian; 4. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam suatu kelompok; 5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. 14 Dalam konflik ini juga terjadi Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Tindak pidana terhadap kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil seperti : 1. 2. 3. 4. 5. Pembunuhan; Pembasmian; Pembudakan; Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; Pencabutan dan pengurangan kemerdekaan secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional; 6. Penyiksaan; 7. Pemerkosaan, perbudakan seksual; 8. Penindasan terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender; 9. Penghilangan orang secara paksa; 10. Tindak pidana rasial (apartheid); 11. Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa dengan sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik.15 Untuk pelanggaran ini, telah melanggar ketentuan yang ada dalam Bab IX pasal 49-54 Konvensi Jenewa 1949, seharusnya Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat yang dimaksudkan di atas, dan berkewajiban untuk mencari orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan dan harus mengadili dengan tidak memandang kebangsaannya.16

14

Rudy M. Rizky.,Peradilan HAM di Indonesia dan kaitannya dengan penegakan HHI, Makalah, Basic Course on International Humanitarian Law, kerjasama antara Fakultas HukumUGM dengan ICRC Delegasi Indonesia, 19-24 Desember 2005. 15 Rudy M. Rizky, Makalah 16 Konvensi Jenewa 1949, Bab IX, Pasal 49

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum humaniter internasional? Untuk menyelesaikan masalah ini, maka PBB selaku lembaga Internasional yang berusaha untuk menengahi atau memberi solusi dalam setiap masalah yang terjadi, maka dalam hal ini juga, PB turut capur tangan dengan membentuk ICTR ( International Criminal Tribunal for Rwanda ) ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada bulan November 1994 dan berlokasi di Arusha, Tanzania. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas terjadinya 'genosida' dan kejahatankejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang-orang Rwanda di Negara-negara tetangga selama tahun 1994, khususnya yang dilakukan oleh ekstremis suku Hutu terhadap antara 500.000 sampai satu juta suku Tutsi dan orang-orang moderat dari suku Hutu selama kurang lebih 3 bulan. Jurisdiksi ICTR meliputi kejahatan-kejahatan 'genocide, violations of Common Article 3 of the Geneva Conventions and Additional Protocol II of 1977, and crimes against humanity', Seperti ICTY, ICTR juga mempunyai 'concurrent jurisdiction' dan sekaligus 'primacy jurisdiction' terhadap pengadilan nasional baik di Rwanda maupun di Negara lain. Peradilan 'in absentia' juga dilarang. Prinsip , Individual responsibility, juga berlaku. Sebagaimana ICTY, ICTR juga memberlakukan asas 'net bis in idem', kecuali apabila karakter perbuatan yang diadili oleh pengadilan nasional tidak berkaitan dengan karakter Statuta Tribunal atau bilamana tidak ada jaminan terhadap sikap tidak memihak (impartiality), kebebasan (independence) atau peradilan yang effektif dalam pengadilan nasional. Melalui Statuta ICTR lnilah tegas-tegas dirumuskan bahwa 'crimes against humanity' tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes).17 Sejauh ini, ICTR telah meyelesaikan 55 kasus, termasuk di dalamnya 9 kasus naik banding dan 8 dibebaskan. 20 kasus masih dalam proses, 2 kasus dialihkan kepada yurisdiksi nasional, 2 terdakwa meninggal sebelum keputusan pengadilan keluar, dan 1 yang sedang menanti pengadilan.18

17 18

Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, Makalah. Schabas, William A. 2006. The UN International Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. New York: Cambridge University Press.

BAB V KESIMPULAN Setelah membahas mengenai kejahatan perang yang terjadi di Rwanda, serta peran dari PBB, yaitu Dewan Keamanan PBB, maka dapat disimpulkan bahwa peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa ini sangatlah penting. Pertama, hukum internasional tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara damai, namun juga memberi kebebasan seluas-luasnya kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada, baik yang terdapat dalam piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional dimana negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya. Kedua, seperti yang telah disebutkan, bahwa hukum internasional memberi keleluasaan kepada para pihak dalam memilih cara penyelesaian sengketanya. Dari sini terlihat bahwa hukum internasional tidak bersifat mutlak. Artinya peran dan penerapan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa bukan merupakan suatu hal yang utama. Disini terlihat suatu tesis bahwa untuk menyelesaikan suatu sengketa, penerapan hukum internasional hanya bersifat relatif.19 Dengan hadirnya lembaga internasional, diharapkan dalam penyelesaian sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dan harus bersifat netral guna terwujudnya perdamaian di antara bangsa-bangsa di dunia.

19

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional,Jakarta: SinarGrafika.,hlm.24.

DAFTAR PUSTAKA

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011 Ambarwati et.al., Hukum Humaniter Internasional (Dalam Studi Hubungan Internasional), Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2012 Horowitz, Donald L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press. Azar, Edward. 1990. The Management of Protracted Social Conflict: Theory and Cases. Aldershot: Dartmouth.

Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Inbternasional, Bandar Lampung : Universitas Lampung GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum Internasional, Yogyakarta: Andi Offset Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Pelatihan Hukum-Pusham UII, Yogyakarta, 2005 Heru Cahyono,Kejahatan perang yang diatur dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, vol 1 No. 1, 2005, hlm 122-123 H. Jaka Triyana.,Peradilan Internasional Atas Pelanggaran Berat Hukum Humaniter Internasional, Makalah, Basic Course on International Humanitarian Law, kerjasama antara Fakultas Hukum UGM dengan ICRC delegasi Indonesia, 19-24 Desember 2005 Rudy M. Rizky.,Peradilan HAM di Indonesia dan kaitannya dengan penegakan HHI, Makalah, Basic Course on International Humanitarian Law, kerjasama antara Fakultas HukumUGM dengan ICRC Delegasi Indonesia, 19-24 Desember 2005.

Konvensi Jenewa 1949, Bab IX, Pasal 49 Rudy M. Rizky, Makalah Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional, Makalah. Schabas, William A. 2006. The UN International Criminal Tribunals: The Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. New York: Cambridge University Press.

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional,Jakarta: SinarGrafika.

Anda mungkin juga menyukai