Anda di halaman 1dari 28

BAB I KASUS POSISI

A. FAKTA-FAKTA 1) Fakta Tentang Film Sometimes in April Film Sometimes in April yang pada selanjutnya disebut Objek Penelitian dari studi kasus yang penulis lakukan ini merupakan sebuah film yang didalamnya sarat akan muatan Hukum Internasional khususnya pada kajian Hukum Humaniter Internasional. Dan untuk pada bab-bab selanjutnya dalam studi kasus kali ini, penulis akan memfokuskan diri untuk melihat, menemukan, kemudian melakukan analisis terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional di dalam objek penelitian. Objek Penelitian adalah sebuah film yang di dalam nya menampilkan sebuah potret kelam masa lalu yang pernah dan benar-benar terjadi di tanah Rwanda, pada warsa 1994. Dimana waktu itu terjadi pembantaian besar-besaran selama seratus hari kedepan sejak 6 April 1994. Cerita film dibuka pada warsa 2004 dimana disitu ditampilkan Augustin Muganza seorang guru sekolahan yang tampak sedang memperlihatkan dan coba mempertontonkan tentang sebuah sejarah bangsa nya sendiri. Dan saat berusaha menjawab pertanyaan yang muncul dari muridnya, bahwa apa yang ia tahu tentang April, setiap bulan April yang selalu ingat tentang Genosida. Scene di sekolahan ini lah yang kemudian membawa ingatan Augustin flashback ke saat di mana kejadian kelam ini dulu berlangsung. Augustin tadinya merupakan seorang Kapten Tentara Nasional Rwanda. Ia sendiri merupakan orang yang berlatarbelakang Suku Hutu. Dan beristrikan seorang Tutsi yang diperankan oleh Jeanne. Mencoba mengingatkan kembali, kedua suku ini sebenarnya adalah dua suku yang bergejolak. Di film juga diceritakan konsekuensi yang kemudian muncul adalah anak-anak Augustin memiliki darah beraliran Tutsi dan ini yang kemudian menjadi problematika utama ditengah rezim Hutu kemudian. Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun semakin terjepit saja bagaikan seperti pengganggu tanaman penghasil, Suku Tutsi tidak boleh dibiarkan ada dari Rwanda, selalu diburu. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Selain dari Militer yang juga seakan memprovokasi pergerakan Suku Hutu, provokasi juga dilakukan dan diambil lih peran nya oleh sebuah radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin

menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Diambil dari sudut pandang seorang survivor, Augustin Muganza, yang pada paragraf sebelumnya diceritakan bahwa ia adalah seorang guru dan mantan tentara yang menikahi seorang perempuan dari suku lawan dan si Augustin ini adalah bangsa yang dikejar-kejar seperti seorang kecoak di negara nya sendiri. Sebagai film, film ini diceritakan pas dalam hal menampilkan sebuah kegundah-gulanaan seorang survivor yang belum bisa menyembuhkan trauma hebat yang dialaminya. Kehilangan anak dan istri menjadi pukulan yang lebih kuat daripada apapun yang pernah dialami seseorang didalam hidupnya. Sepuluh tahun telah berlalu. Lelaki itu bahkan sudah hidup bersama perempuan lain, juga korban. Hingga sebuah surat membawanya ke sebuah kota, Arusa, kota dimana pengadilan HAM ad hoc dilakukan terhadap para pelaku. Salah satunya, adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya, seorang wartawan radio (Radio Television Libre des Mille Collines/RTLM) diduga telah terlibat dalam pembantaian yang menewaskan banyak orang di tanah Rwanda tersebut. Justru dengan cara yang menurut penulis sangat tidak dibenarkan. Yaitu dengan cara kerja jurnalistik nya. Berupa penghasutan besar besaran agar suku Tutsi dihabisi dari tanah Rwanda. Kebebasan yang menurut penulis telah kebablasan. Menurut penulis membenarkan penggunaan pers sebagai media agitasi pembantaian massal tersebut adalah salah dan sangat tidak dibenarkan. Untuk hal ini bersama dengan hal-hal lainnya yang berkenaaan dengan pelanggaran di film ini akan di bahas di bab selanjutnya. 2) Fakta Tentang Pembantaian di Rwanda Pembantaian di Rwanda, yang di dunia internasional juga dikenal sebagai genosida Rwanda, adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994. Rwanda merupakan negeri di Afrika Tengah yang memiliki populasi terpadat di benua itu, yaitu sekitar 7,4 juta jiwa. Peristiwa besar ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana berencana melakukan penyatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993. Habyarimana yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan Rwanda ini telah menjadi presiden selama satu warsa lamanya (sejak tahun 1993). Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku. Kekhawatiran dan kekecewaan bercampur rasa kesatuan satu suku inilah yang diduga melatarbelakangi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri. Habyarimana akhirnya dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya. Yang kemudian kejadian ini menimbulkan kejadian besar yang terus akan tercatat dan dikenang sebagai sebuah sejarah kelam atas kemanusiaan di Rwanda. B. PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA Militan Suku Hutu (Rwanda) Tentara Militer Rwanda Suku Tutsi (Rwanda)

BAB II PERMASALAHAN DAN TINJAUAN TEORITIK


A. MASALAH HUKUM 1) Sebagai sebuah film yang diangkat dari kisah nyata yang benar-benar terjadi, penulis berusaha melihat berdasarkan aspek Hukum Humaniter Internasional terhadap segala pelanggaran yang dilakukan seperti yang digambarkan di Objek Penelitian. 2) Sebagai sebuah pelanggaran terhadap kemanusiaan, dimanakah para penjahat kemanusiaan ini kemudian bisa diadili, adalah pertanyaan yang akan coba penulis jawab dalam penelitian ini. B. TINJAUAN TEORITIK 1) Tentang Hukum Internasional Hukum Humaniter Internasional, atau lebih lengkap disebut sebagai International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict pada awalnya disebut sebagai hukum perang atau Laws of War, namun karena dirasa tidak terlalu tepat, istilah itu kemudian berganti menjadi Hukum Konflik Bersenjata (Law of Armed-conflict). Namun karena didalamnya terdapat unsure-unsur kemanusiaan (humanity) maka istilah itu berganti dan dikenal sampai sekarang sebagai Hukum Humaniter Internasional.1 Lebih lanjut, hukum humaniter internasional dapat diartikan sebagai perjanjian atau hukum kebiasaan internasional yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan yang muncul sebagai akibat dari konflik bersenjata. Demi alasanalasan kemanusiaan peraturan-peraturan tersebut membatasai hak pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalam hal pemilihan alat dan cara berperang, serta memberikan perlindungan kepada orang dan hak milik yang terkena dampak atau kemungkinan besar akan terkenan dampak konflik2. Hukum Humaniter Internasional ada dan dibuat mengikuti hasrat kemanusiaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia guna melindungi hak-hak manusia itu sendiri agar manusia-manusia yang tidak harus menjadi korban dapat terjamin hak kemanusiaan nya. Bila dilihat dari kacamata sumber hukum yang dapat digunakan, maka Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu:
1

Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia, Seri Bacaan Kursus HAM Khusus Pengacara, ELSAM, 2007, hlm. 4. 2 ICRC, Hukum Humaniter Internasional: Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Anda, Jakarta: Delegasi ICRC, 2004, hlm. 4.

a) Hukum Jenewa, menekankan pada aspek non-kombatan yang disusun guna melindungi personel militer yang tidak lagi ikut berperang dengan alasan tertentu, misalnya luka dan sebagainya serta juga untuk melindungi warga sipil yang tidak terlibat aktif. b) Hukum Den Haag, menekankan pada cara-cara yang dianggap patut dalam peperangan yang menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dan melaksanakan operasi militer, yaitu dengan jalan member batasan-batasan tertentu mengenai sarana yang boleh dan tidak boleh dipakai untuk menundukkan lawan.3 Hubungan antar kedua nya yaitu, Hukum Den Haag inti nya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan cara dan alat perang. Hukum Jenewa mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Dan, Hukum Campuran, menggabungkan keduanya, cara dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang disebut hukum campuran.4 Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang paling utama sebenarnya adalah pada konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang merupakan perlindungan bagi korban perang yang telah diterima secara luas oleh Negara-negara di dunia. Untuk melengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Noninternasional. Dengan demikian instrumen utama hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977.5 Prinsip utama dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah bahwa selama perang nilai-nilai kemanusiaan harus dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau menggunakan kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-defence), melainkan untuk membatasi penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak berperang tersebut untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan tujuan militer. Dengan demikian hukum humaniter ditujukan untuk melindungi beberapa
3 4

ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008, hlm. 4. Supardan Mansyur, "Prinsip-prinsip Kemanusiaan Hukum Humaniter dan HAM Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian", Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1, Oktober 2004, hlm. 2. 5 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999, hlm. 33.

kategori dari orang-orang yang tidak atau tidak lagi turut serta dalam pertempuran serta untuk membatasi alat dan cara berperang.6 2) Tentang Kejahatan Genosida Definisi genosida (genocide) dapat ditemukan pada Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB dalam sidang umum 9 Desember 1948. Dalam Konvensi ini (pada Pasal 2), genosida berarti setiap dari perbuatan-perbuatan berikut,yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama seperti: Membunuh para anggota kelompok; Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok; Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan ataupun sebagian; Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu; Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok yang lain. Dari pengertian yang diberikan oleh Konvensi diatas, dapat ditarik pemahaman bahwasanya kejahatan Genosida sebagaimana kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan lain nya, dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan Hak Asasi Manusia berat, untuk itu dibutuhkan upaya tertentu untuk menindak para pelaku nya.

Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War: An Introduction to International Humanitarian Law, Geneva: ICRC, 2005, hlm. 12-14.

BAB III DASAR PEMIKIRAN


Untuk dapat menjawab hal-hal yang ditulis berdasarkan permasalahan di bab sebelumnya, maka penulis menggunakan instrument Hukum Internasional, dalam hal ini adalah Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari Konvensi I sampai dengan Konvensi IV dan dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan I dan II pada tahun 1977 serta juga ditambahkan dengan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang disetujui dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948. 1) KEJAHATAN PERANG A. KONVENSI JENEWA 1949 Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan Konvensi yang digunakan untuk perlindungan korban perang dan luka juga dikenal dengan sebutan Konvensi-Konvensi Palang Merah, terdiri dari empat konvensi, yaitu7: Konvensi Jenewa I, untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat; Konvensi Jenewa II, untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam di Laut; Konvensi Jenewa III, mengenai Perlakuan Tawanan Perang; Konvensi Jenewa IV, mengenai Perlindungan Warga Sipil di waktu Perang. Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu8: Protokol Tambahan I, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Protokol Tambahan II, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. a) Pasal 3 angka (1) Konvensi Jenewa 1949 menyebutkan, dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut : Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan
7

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung, 2011, hlm. 9. 8 Ibid.

senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga : tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan; penyanderaan; perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

b) Masih dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa angka (2), disebutkan pula, yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada Pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa. c) Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa kejahatan perang karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi menurut konvensi. d) Pasal 86 Ayat (2) Protokol 1977 menetapkan ketentuan, Kenyataan bahwa suatu pelanggaran terhadap Konvensi atau Protokol ini dilakukan oleh seorang bawahan sama sekali tidak membebaskan para atasannya dari tanggung jawab pidana atau disiplin, maka dalam hal ini dapat terjadi, apabila para atasannya mengetahui, atau telah mendapat keterangan yang seharusnya

e)

f)

g)

h)

i)

memungkinkan mereka dalam keadaan pada saat itu untuk menyimpulkan bahwa bawahannya itu tengah melakukan atau akan melakukan pelanggaran dan apabila mereka itu tidak mengambil segala tindakan yang dapat dilakukan dalam batas kekuasaan mereka untuk mencegah atau menindak pelanggaran itu. Pasal 35 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan masalah orang sipil yang berada di wilayah musuh harus diperbolehkan untuk pergi. Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan. Pasal 49 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa setiap kasus yang termasuk kejahatan internasional (pelanggaran berat) maka pelaku harus mempertanggunjawabkannya secara individu. Orang yang pertama kali diminta pertanggungjawabannya ketika terjadi pelanggaran adalah orang yang secara langsung melakukan pelanggaran tersebut. Pasal 50 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan : pembunuhan disengaja; penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan; percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan yang berat; penghancuran yang luas; dan tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena. (diperjelas) oleh Pasal 51 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977, menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang. Pasal 52 Protokol Tambahan II 1977, menyebutkan bahwa apabila ada keraguan untuk menentukan apakah itu sasaran militer atau bukan maka sasaran itu harus dianggap bukan sasaran militer.
9

j) Pasal 57 ayat 2(b) Protokol Tambahan II 1977, menyebutkan bahwa suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda apabila menjadi jelas bahwa sasarannya adalah bukan sasaran militer atau dibawah perlindungan khusus, atau apabila serangan itu akan mengakibatkan kerugian yang tidak perli berupa tewasnya penduduk sipil atau rusaknya obyek-obyek sipil. 2) KEJAHATAN GENOSIDA B. KONVENSI TENTANG GENOSIDA Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang disahkan sehari sebelum DUHAM ini didasarkan atas deklarasi yang dibuat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusi 96 angka (I) tertanggal 11 Desember 1946 bahwa genosida adalah merupakan kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa dan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dikutuk oleh dunia yang beradab dikarenakan pada semua periode sejarah, genosida telah mengakibatkan kerugiankerugian yangbesar pada kemanusiaan, dan memiliki tujuan agar dapat membebaskan umat manusia dari bencana yang memuakkan tersebut, maka diperlukan kerja sama internasional untuk menghilangkan nya. a) Pasal 2 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida mengartikan genosida adalah setiap dari perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama seperti:

Membunuh para anggota kelompok; Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok; Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan ataupun sebagian; Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu; Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok yang lain. b) Selanjutnya pada Pasal 4 Konvensi Genosida, bahwa perbuatanperbuatan berikut ini dapat dihukum, yaitu: Genosida; Persekongkolan untuk melakukan genosida; Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida;
10

Mencoba melakukan genosida; Keterlibatan dalam genosida. c) Pasal 6 pada Konvensi tentang Genosida ini juga menentukan bahwa orang-orang yang dituduh melakukan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam pasal 3, harus diadili oleh suatu tribunal yang berwenang dari Negara Peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu dilakukan, atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang mungkin mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan para Negara Peserta yang akan menerima yurisdiksinya.

11

BAB IV ANALISIS
A. PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO Ketentuan yang dapat dijadikan dasar hukum pertanggung jawaban komando adalah Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I 1977. Ketentuanketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban komando tersebut mengandung setidaknya tiga elemen yang harus dipenuhi untuk menentukan seorang atasan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Muladi menyebutkan ketiga elemen tersebut antara lain9: a) Ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb. b) Atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahan. c) Komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang berwenang. Francoise Hampson mengemukakan tiga alasan (rationale) yang mendasari pemikiran tentang prinsip pertanggungjawaban komando bagi para komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainya, yaitu10: a) Komandan atau atasan yang mempunyai kekuasaan, di satu sisi dapat memberi perintah pada pihak lain, namun di sisi lain ia pun senantiasa bertanggung jawab terhadap perintah yang ia berikan maupun atas tindakan mereka yang berada dibawah kekuasaannya. b) Komandan atau atasan bertanggung jawab atas rusaknya reputasi dari pasukan maupun negaranya, karena kegagalan mengendalikan atau mengontrol anak buahnya yang melakukan pelanggaran HAM berat. c) Negara bertanggung jawab atas perilaku kekuatan bersenjatanya yang melakukan pelanggaran HAM berat di dalam maupun di luar wilayahnya yang mengancam perdamaian dan keamanan. Dan adapun hal-hal yang harus dibuktikan antara lain: a) Prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh. b) Atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan

Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Komandan , Semarang: Makalah Kuliah Umum FH Undip, 2003, hlm.7. 10 Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta, Komnas HAM, 2001.

12

perang dan kemanusiaan pada saat tindak kejahatan tersebut berlangsung. c) Atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut. d) Atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice). e) Atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut. Meskipun terdapat variasi dalam praktik internasional dan nasional, dikenal tiga unsur utama yang memang telah diakui dan menjadi dasar dari pertanggungjawaban komand, yaitu unsur hubungan antara atasan dan bawahan, unsur kesengajaan (mens rea) dan unsur tindakan yang diharuskan (actus reus).11 Dari objek penelitian yang dijadikan dasar untuk melakukan analisis, setidak nya penulis menemukan beberapa kejahatan atau penyimpangan dalam Hukum Humaniter Internasional khusus nya yang berkenaan dengan pertanggungjawaban komando: a) Seorang militan dari suku Hutu yang melakukan penembakan terhadap pelarian yang mencoba untuk menghindari konflik. Disitu sangat terlihat bahwasanya si anak buah yang melakukan pembunuhan telah melakukan penyimpangan menurut kaidah hukum Internasional, dan jika ingin melihat berdasarkan Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I 1977maka yang dapat dimintai pertanggungjawaban nya adalah komandan nya. Menurut pasal ini seorang komandan harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran atau tindakan kejahatan dalam konflik bersenjata justru karena ia tidak melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.

11

Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005.

13

14

b) Pertanggungjawaban komando selanjutnya dapat kita temukan pada scene dimana pembantaian di sekolahan dilakukan. Disitu salah seorang anggota militer melakukan pemukulan, penyiksaan, dan bahkan penembakan yang menyebabkan jatuhnya banyak korban hingga meninggal.

15

16

Pertanggungjawaban komando di dalam Hukum Humaniter Internasional, selain melibatkan atasan, maka yang dapat dimintai pertanggungjawabannya dan menjadi rantai komando adalah juga anak buah/bawahan langsung yang melakukan pembunuhan/pelanggaran. Maka, dapat dikatakan bahwasanya para komandan dan juga bawahan yang melakukan pelanggaran tadi dapat dituntut di muka pengadilan Internasional, karena memang apa yang mereka lakukan telah banyak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan yang diatur di dalam Hukum Humaniter melalui instrumen hukum nya.

B. KEJAHATAN GENOSIDA DALAM BENTUK HASUTAN Komunikasi Media Massa sangat memegang peranan penting dalam hal pembentukan opini di masyarakat. Dan media massa seperti hal nya dalam Objek Penelitian ini yang digunakan adalah media radio. Media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) dipercaya memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis dan berubah menjadi sebuah norma. Hal ini lah yang diduga menjadi sebuah hal yang berbau provokasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf (c) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida sebagai mana tindakan lain nya yang
17

diatur dalam konvensi ini dapat digolongkan juga sebagai sebuah tindakan kejahatan Genosida dan dapat dihukum. Bagaimana cara menghukum nya adalah dikembalikan kepada tribunal yang ada dan memiliki yurisdiksi di tempat peristiwa tersebut terjadi.

18

C. PELANGGARAN TERHADAP KEMANUSIAAN Warga sipil dan atau pada hakikat nya seluruh manusia memiliki hak untuk hidup secara bebas dan untuk tidak mendapat siksaan. Seperti telah penulis sebut di bab sebelum nya, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orangorang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga :

19

tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan; penyanderaan; perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

20

21

22

Dari film dan apa yang penulis dapatkan, ternyata banyak sekali muatan dalam film ini yang didalam nya bertentangan dengan asas-asas yang ada dalam Hukum Humaniter Internasional, salah satunya yaitu Asas Perikemanusiaan serta terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 antara lain tindakan yang berupa:

23

a) Pembunuhan yang disengaja; b) Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia, termasuk percobaan-percobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan penderitaan hebat; c) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan dengan semena-mena; d) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa Perang; e) Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa III; f) Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan paksa; g) Menjatuhkan hukum kurungan; dan h) Melakukan penyanderaan. Kaitan HAM dan sebuah negara yang mengakui hukum adalah sangat erat, sekalipun sifatnya kedua hal tersebut bertolak belakang. HAM adalah hak kodrati sehingga tidak membutuhkan pengesahan, namun seiring perkembangan pengaturan HAM pun dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia.12 Upaya perampasan terhadap nyawa termasuk pula tindak kekerasan lainnya yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan bentuk pelanggaran HAM berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.13 Hukum Internasional telah meletakan suatu dasar bahwa suatu negara memikul tanggung jawab utama dalam penegakkan hukum atas pelanggaran HAM berat, yang mana tanggung jawab negara tersebut tidak dapat dikurangi dengan alasanalasan politik, ekonomi maupun budaya.14 Belum ada pengertian secara teoritik15 tentang apa itu pelanggaran HAM berat, namun menurut F.S. Suwarno16 terjadinya pelanggaran HAM berat, antara lain disebabkan karena adanya sentralisme kekuasaan, adanya absolutisme kekuasaan, dan adanya dominasi militerisme. Suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar ( act of commision), ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat

12

M. Ikbal Idrus, "Aktualisasi Penegakkan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Penegakkan Hukum dan Stabilitas Nasional", Jurnal HAM, vol. 2 no. 2, September 2005, hlm. 37. 13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 76-77. 14 F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998, hlm. 76-79. 15 Ifdhal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan Dari Crimes Against Humanity: Sebuah Penjelasan Pustaka, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 Nopember 2004, hlm. 43. 16 F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005, No. 2, hlm. 203.

24

yang meluas dan rasa takut luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.17 Biarpun belum ada pengertian secara pasti, pelanggaran berat yang dilakukan dalam hal hukum humaniter internasional, dapat saja kita katakan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya begitu yang menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara.18 Adapun jenis pelanggaran berat menurut Protocol I, 1977: a) Menjadikan penduduk sipil atau orang sipil sebagai sasaran; b) Serangan membabi buta yang menimbulkan kerugian yang besar pada sipil atau obyek-obyek sipil; c) Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan atau demiliterised zone sebagai sasaran serangan; d) Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai sasaran serangan; e) Menyalahgunakan lambang-lambang perlindungan seperti lambang Palang Merah Internasional dan lambang-lambang lainnya yang diakui oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan protokolnya. Juga: a) Pemindahan penduduk sipil yang di wilayahnya sendiri ke wilayah yang diduduki atau dari wilayah yang diduduki ke dalam atau ke luar wilayahnya; b) Penundaan pemulangan para tawanan perang atau tawanan sipil yang tidak dapat dibenarkan; c) Praktek apartheid dan diskriminatif; d) Menyerang monumen-monumen sejarah yang jelas-jelas diakui dan bangunanbangunan pusat kesenian dan keagamaan; e) Menghilangkan hak-hak atas peradilan yang jujur dan teratur bagi orangorang yang dilindungi berdasarkan konvensi atau pasal 85 ayat 2 Protokol ini. Dalam sejarah perkembangan HI, pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang para pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando merupakan bagian dari kejahatan internasional.19 Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat terjadi pada konflik bersenjata baik yang bersifat internasional maupun non internasional.20 Sejumlah model pertanggungjawaban
17

Rusman, Rina, "Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter", Jakarta, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2, 2004. 18 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Jurnal HAM volume 2, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2004. 19 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2000, hlm. 42. 20 Pietro Vierri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992, hlm. 35.

25

pelanggaran HAM yang terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik.21 Dalam hal ini, tidak hanya instrumen hukum internasional yang dapat digunakan dalam hal pertanggungjawaban, sesungguhnya negara juga berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia warga yang berada dibawah kekuasaannya, jadi ada kemungkinan hukum nasional sebuah negara juga dapat dipakai.22 BAB V KESIMPULAN Film Sometimes in April adalah sebuah film yang penulis kira mampu membukakan mata siapapun yang menonton nya karena disana-sini ditampilkan dengan sangat nyata akan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di dunia internasional, yang juga seakan menampar kita bahwasanya apa yang dicitacitakan oleh dunia internasional kadang sangat jauh dari perwujudan nya mengingat sampai sekarang pun pelanggaran berat terhadap kemanusiaan masih sering kita dengar. Berdasarkan objek penelitian ini juga penulis setidaknya merangkum beberapa hal penting yang dapat diambil: 1) Pelanggaran berat yang terjadi di Rwanda adalah salah satu bukti lemahnya penegakkan kemanusiaan yang digiatkan oleh PBB. 2) Kejahatan Genosida yang terjadi namun seakan diabaikan oleh negaranegara pemegang jabatan di PBB adalah salah satu bukti bahwa PBB rajin bekerja jika memang ada kepentingan di negara bergejolak. 3) Kejahatan Genosida yang terjadi di Rwanda ini selanjutnya akan memunculkan tribunal ad hoc bernama ICTR yang fungsi nya menjadi pengadil bagi penjahat-penjahat perang ini.

21

Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain", Vol. VIII No. 1, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, 2012, hlm. 60. 22 Tami Rusli, Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Era Globalisasi, Jurnal Keadilan Progresif, vol. 2 no. 2, 2011, hlm. 116.

26

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Jurnal HAM volume 2, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2004. Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War: An Introduction to International Humanitarian Law, Geneva: ICRC, 2005, hlm. 12-14. F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998. F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005, No. 2, hlm. 203. ICRC, Hukum Humaniter Internasional: Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Anda, Jakarta: Delegasi ICRC, 2004, hlm. 4. ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008. Ifdhal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan Dari Crimes Against Humanity: Sebuah Penjelasan Pustaka, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 Nopember 2004, hlm. 43. M. Ikbal Idrus, "Aktualisasi Penegakkan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Penegakkan Hukum dan Stabilitas Nasional", Jurnal HAM, vol. 2 no. 2, September 2005, hlm. 37. Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Komandan, Semarang: Makalah Kuliah Umum FH Undip, 2003. Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005. Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta: Komnas HAM, 2001. Ria Wierma Putri, Hukum HumaniterInternasional, Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung, 2011.

27

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2000. Rusman, Rina, "Konsep Pelanggaran Berat HAM Dilihat Dari Sisi Hukum Humaniter", Jakarta, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2, 2004. Starke. J.G., Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.6, Agustus, 2007. Supardan Mansyur, "Prinsip-prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan HAM Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian", Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1, Oktober 2004, hlm. 2. Tami Rusli, Pembangunan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Era Globalisasi, vol. 2 no. 2, hlm. 116, Jurnal Keadilan Progresif (2011). Vierri Pietro, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992. Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter Dan Hak Asasi Manusia, Seri Bacaan Kursus HAM Khusus Pengacara, ELSAM, 2007. Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain", Vol. VIII No. 1, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, 2012, hlm. 60.

28

Anda mungkin juga menyukai