Anda di halaman 1dari 5

FUNGSI PERANAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM FILM Sometimes in April dan Hotel Rwanda

Dunia ini anarkis. Demikian pandangan kaum realis. Bagaimana tidak, perang, konflik, pertikaian, dan pertentangan terus saja terjadi. Dalam teori konflik, apa yang diistilahkan sebagai animal insting yang dimiliki manusia banyak kali menjadi satu-satunya pertimbangan yang menguasai dan membuat manusia memperlakukan sesamanya secara kejam dan semena-mena. Kebencian dan murka menjadi musuh manusia sepanjang lebih dari tiga perempat sejarah peradaban dan membuat perdamaian menjadi persetujuan tanpa kesepakatan yang benar-benar tidak disadari dan dimaknai esensinya. Ketika mendengar Rwanda dan konflik yang terjadi di negara ini hingga berujung pada Genosida di tahun 1994 hal pertama yang terbesit dalam benak kita adalah dua buah film yang cukup fenomenal Sometimes in April dan Hotel Rwanda. Kedua film ini cukup menggambarkan situasi yang terjadi di Rwanda di tahun 1994. Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan sebuah cerminan gagalnya negara menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga negaranya. Rwanda menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warga negaranya sendiri, konflik Rwanda juga memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan Afrika dan menyita perhatian dunia internasional terkait dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran hukum humaniter, dan genosida. Konflik yang melibatkan dua etnis yang saling bertikai ini, etnis Hutu dan Tutsi akhirnya menjadi berdimensi internasional ketika berubah menjadi polemik berkepanjangan yang mengganggu stabilitas kawasan Afrika, dan menarik perhatian dunia internasional terkait pelanggaran HAM dan hukum humaniter. Konflik yang memakan korban jutaan nyawa ini merupakan salah satu konflik yang berujung pada pembantaian atau genosida yang terjadi secara besar-besaran.

Dalam kaitannya dengan pelanggaran hukum humaniter, konflik yang terjadi antara Hutu dan Tutsi ini menewaskan banyak korban anak kecil dan wanita serta orang-

orang yang tidak bersalah. Maka, banyak pihak menilai Rwanda sebagai salah satu failed state. Persoalan semakin menjadi besar ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba untuk ikut terlibat dalam proses penyelesaian konflik ini. Namun, sedikit banyak tidak mengurangi persoalan yang ada. Pasukan peacekeeping PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), gagal melakukan tugasnya ketika Presiden Rwanda mengalami kecelakaan pesawat dan negera kemudian dikuasai oleh kelompok pemberontak yang militan. Dalam dimensi internasional, terjadi perkembangan pemahaman yang luar biasa terhadap hukum pidana internasional (international criminal law), yang merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan tentang kejahatan internasional (international crimes). Dengan demikian sebenarnya dapat dikatakan bahwa hukum pidana internasional mencakup dua dimensi pemahaman yaitu "the penal aspects of international law" di satu pihak termasuk hukum yang melindungi korban konflik bersenjata (international humanitarian law) dan di lain pihak merupakan "the international aspects of national criminal law". Dalam konteks kaitannya dengan konflik yang terjadi di Rwanda, jelas bahwa apa yang terjadi melanggar hukum pidana internasional yang di dalamnya terdapat hukum humaniter internasional. Pembantaian yang diprakarsai oleh kaum ekstrimis Hutu menyebabkan banyak korban dari kaum perempuan dan anak serta merekamereka yang tidak bersalah. Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran. Operasi peacekeeping yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), yang berusaha menjaga perdamaian pasca perundingan di tahun 1992 serta pengkondisian dan pemeliharaan wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya 1 juta pengungsi Tutsi di tahun 1994 gagal, setelah Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bandara Kigali 6 April 1994. Rwanda menjadi sebuah failed state yang memiliki vacuum of power di negara itu, kendali kemudian diambil alih oleh kaum pemberontak yang akhirnya berujung pada genosida.

Pembunuhan menyebar di Kigali dan seluruh pelosok negeri, genosida meluas kearah pembantaian 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat. Pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah militan Interahamwe those who attack together dan Impuzamugambi those with a single purpose. Militan genosida yang melakukan pembantaian atas Tutsi dan Hutu di tahun 1994 melanjutkan kampanye pemusnahan etnis dan mencoba memperluas operasi mereka melewati barat laut. Pemberontak bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk dalam membunuh siapa saja yang dianggap kontra genosida dan suku Hutu yang secara resmi menentang agenda mereka, sama halnya dengan pendeta dan para pekerja kemanusiaan. Militan, terdiri dari sejumlah anggota bersenjata, pendiri Rwanda Armed Forces (ex-FAR) dan kelompok genosida Interahamwe, yang sering melakukan serangan terhadap kantor-kantor pemerintahan, institusi publik, seperti penjara, klinik, dan sekolah. Aksi ini meningkatkan friksi antara kekuatan keamanan dan populasi Hutu dan menimbulkan insecurity di jalanan. Bahkan masyarakat biasa dipaksa membunuh tetangga mereka oleh pemerintahan lokal yang disponsori oleh radio, Rwanda tidak bisa melindungi masyarakatnya bahkan menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri. Negara lain juga turut andil dalam genosida yang melanda Rwanda, Perancis, disinyalir ingin mempertahankan pengaruh di Afrika, mulai menyediakan senjata dan mendukung pemerintah Rwanda, dan tentara meningkat dari 5000 menjadi 40.000 di bulan Oktober 1992. Mereka turut membantu Habyarimana untuk melakukan aksi penahanan terhadap 1000 lawan politik dan pembunuhan atas 350 Tutsi di perbatasan, bahkan melindungi pemberontak yang melakukan aksi genosida. Media internasional tidak melakukan tindakan apa-apa atas propaganda radio dan surat kabar, padahal media internasional Amerika Serikat lah yang memulai kebebasan pers dan media untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi di wilayah ini, akan tetapi tanggung jawab internasional akan masalah ini nampaknya berlawanan dengan prinsip demokrasi di satu sisi dan Hak Asasi Manusia di sisi lain.

Genosida yang terjadi di Rwanda setidaknya menjadi agenda keamanan internasional karena genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental manusia yang tercantum dalam piagam PBB. Genosida ini juga menjadi

kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan fanatisme antar suku berubah menjadi pembantaian manusia yang mengakibatkan eskalasi politik dan keamanan di kawasan juga meningkat bahkan menjadi concern dunia internasional menyusul diadilinya para penjahat kemanusiaan di Rwanda di Pengadilan Kriminal Internasional dan perdebatan panjang akan term mutual-genocide dalam komunitas internasional. Konflik Rwanda sekaligus memberi pelajaran bagi komunitas internasional untuk mengutamakan sendi-sendi kemanusiaan dan mewaspadai mutual genocide dalam era modern. Genosida di Rwanda menjadi sebuah bukti jika moralitas, hukum internasional bahkan komunitas internasional sendiri gagal dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terkait dengan keamanan internal suatu negara yang harusnya menjadi concern dunia internasional karena menyangkut Hak Asasi Manusia. Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari sisi pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan wanita. Dalam proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu ini sekiranya harus diselesaikan secara proporsional antara pemerintah Rwanda sendiri dan kedua pihak yang bertikai. Persoalan bahwa antara Tutsi maupun Hutu berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dalam tubuh pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Tutsi dan Hutu harus membuka diri bagi persoalan ini. Peran dunia Internasional harus ditingkatkan demi terwujudnya Rwanda yang lebih baik. Negara-negara Afrika sebagai tetangga terdekat harus turun tangan. Demikian pun halnya dengan PBB dan Uni Eropa. Akhirnya terciptanya dunia internasional yang lebih baik merupakan cita-cita bersama. Walaupun konflik akan terus terjadi, tapi penyelesaian pasti selalu ada. Pelanggaran hukum humaniter yang terjadi di Rwanda kiranya harus diselesaikan setuntas-tuntasnya supaya tidak meledak untuk kedua kalinya lagi. Kenyataan bahwa dunia internasional acuh-tak acuh terhadap Rwanda merupakan kenyataan yang harus disikapi bersama. Jutaan orang sudah tewas terbunuh selama konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun itu. Walau kaum realis pesimis soal perdamaian dunia, tapi perdamaian memang kebutuhan yang paling penting di dunia ini

OCE AGAM (B) 1108015088

HUKUM INTERNASIONAL
Dr. Mahendra Putra Kurnia, SH.MH,

Anda mungkin juga menyukai