Anda di halaman 1dari 12

HUKUM HUMANITER STUDY KASUS ANALISIS KEJAHATAN PERANG DAN PELANGGARAN DI RWANDA

Oleh Fran Rady 1112011146

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

A. Latar Belakang Masalah Dunia ini anarkis. Demikian pandangan kaum realis. Bagaimana tidak, perang, konflik, pertikaian, dan pertentangan terus saja terjadi. Dalam teori konflik, apa yang diistilahkan sebagai animal insting yang dimiliki manusia banyak kali menjadi satu-satunya pertimbangan yang menguasai dan membuat manusia memperlakukan sesamanya secara kejam dan semenamena. Kebencian dan murka menjadi musuh manusia sepanjang lebih dari tiga perempat sejarah peradaban dan membuat perdamaian menjadi persetujuan tanpa kesepakatan yang benar -benar tidak disadari dan dimaknai esensinya. Ketika mendengar Rwanda dan konflik yang terjadi di negara ini hingga berujung pada Genosida di tahun 1994 hal pertama yang terbesit dalam benak kita adalah dua buah film yang cukup fenomenal Sometimes in April dan Hotel Rwanda. Kedua film itu cukup menggambarkan situasi yang terjadi di Rwanda di tahun 1994. Akan tetapi, sebenarnya, kenyataan yang terjadi di lapangan lebih tragis dan kompleks dari apa yang kita bayangkan. Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan sebuah cerminan gagalnya negara menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga negaranya. Rwanda menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri, konflik Rwanda juga memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan Afrika dan menyita perhatian dunia internasional terkait dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran hukum humaniter, dan genosida. Konflik yang melibatkan dua etnis yang saling bertikai ini, etnis Hutu dan Tutsi akhirnya menjadi berdimensi internasional ketika berubah menjadi polemik berkepanjangan yang mengganggu stabilitas kawasan Afrika, dan menarik perhatian dunia internasional terkait pelanggaran HAM dan hukum humaniter. Konflik yang memakan korban jutaan nyawa ini merupakan salah satu konflik yang berujung pada pembantaian atau genosida yang terjadi secara besar-besaran. Dalam kaitannya dengan pelanggaran hukum humaniter, konflik yang terjadi antara Hutu dan Tutsi ini menwaskan banyak korban anak kecil dan wanita serta orang-orang yang tidak bersalah. Maka, banyak pihak menilai Rwanda sebagai salah satu failed state. Persoalan semakin menjadi besar ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba untuk ikut terlibat dalam proses penyelesaian konflik ini. Namun, sedikit banyak tidak mengurangi persoalan yang ada. Pasukan peacekeeping PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR),

gagal melakukan tugasnya ketika Presiden Rwanda mengalami kecelakaan pesawat dan negera kemudian dikuasai oleh kelompok pemberontak yang militan. Dalam dimensi internasional, terjadi perkembangan pemahaman yang luar biasa terhadap hukum pidana internasional (international criminal law), yang merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan tentang kejahatan internasional (international crimes). Dengan demikian sebenarnya dapat dikatakan bahwa hukum pidana internasional mencakup dua dimensi pemahaman yaitu "the penal aspects of international law" di satu pihak termasuk hukum yang melindungi korban konflik bersenjata (international humanitarian law) dan di lain pihak merupakan "the international aspects of national criminal law"[1]. Dalam konteks kaitannya dengan konflik yang terjadi di Rwanda, jelas bahwa apa yang terjadi melanggar hukum pidana internasional yang di dalamnya terdapat hukum humaniter internasional. Pembantaian yang diprakarsai oleh kaum ekstrimis Hutu menyebabkan banyak korban dari kaum perempuan dan anak serta mereka-mereka yang tidak bersalah. Tulisan ini dibuat untuk mengkaji penyelesaian konflik Hutu dan Tutsi, khususnya dari aspek hukum humaniter. Sejauh mana konflik ini diselesaikan dengan menggunakan aturanaturan hukum humaniter, dan bagaimana sanksi yang diberikan pada para pelanggar hukum dan pelaku kejahatan kemanusian itu. Rumusan Masalah Pertanyaan utama yang ingin dicari jawabanya dan mewarnai tulisan ini adalah bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran hukum humaniter di Rwanda, dan bagaimana peran perangkat hukum humaniter dalam proses penyelesaian konflik ini?

PELANGGARAN HUKUM HUMANITER DI RWANDA A. Latar Belakang Konflik Hutu dan Tutsi Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran. Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%), Tutsi (11%), dan Twa pygmies (1%). Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung

pada Genosida. Pertama, fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari sakit hati dan reprisals methods suku Hutu yang mengalami marginalisasi dan stigmatisasi dimasa pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Di tahun 1961, partai gerakan emansipasi Hutu Parmehutu menang dalam referendum PBB. Pemerintahan Parmehutu, yang dibentuk sebagai hasil dari pemilihan umum tahun 1961 diberi jaminan otonomi oleh Belgia tanggal 1 Januari 1962. Juni 1962 resolusi Majelis Umum PBB mengakhiri pemerintahan Belgia dan memberikan kemerdekaan penuh atas Rwanda (dan Burundi) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1962. Kedua, setelah terjadi Perang Sipil di Rwanda tahun 1959, kebanyakan suku Tutsi terbang ke negara tetangga sebagai pengungsi, tekanan dan perang gerilya di negara mereka mengakibatkan mereka tidak dapat kembali ke Rwanda. Pengungsi yang tersebar di beberapa negara tetangga di Afrika ini kemudian membuat sebuah gerakan yang berpusat di Uganda dengan nama Rwandan Patriotic Front (RPF). RPF secara vocal menyerukan agar pemerintah Rwanda memperhatikan nasib jutaan pengungsi yang menjadi diaspora pasca perang sipil di tahun 1959. Gerakan pemberontak, terdiri dari etnis Tutsi yang menyalahkan pemerintah atas kegagalan demokrasi dan menyelesaikan permasalahan dari 500.000 pengungsi Tutsi yang hidup sebagai diaspora di penjuru dunia. Perang pertama muncul setelah gencatan senjata Arusha tanggal 12 juli 1992. Tanzania, melakukan upaya perundingan sebagai jalan mengakhiri pertikaian, memimpin kedamaian dan membagi kekuasaan, dan mengakuai adanya militer yang netral dalam organisasi Persatuan Afrika. Gencatan senjata efektif sejak 31 Juli 1992 dan pembicaraan politik dimulai tanggal 10 Agustus tahun 1992. Presiden Rwanda mulai melakukan perundingan Tripartite yang diadakan antara dua menteri luar negeri Rwanda dan Uganda dan perwakilan UNHCR di Kigali. Ketiga, media memainkan peranan yang signifikan dalam genosida di Rwanda, media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) dipercaya memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis dan berubah menjadi sebuah norma. Surat kabar yang dikuasai oleh negara Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutus Commandments yang secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.

Keempat, operasi peacekeeping yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), yang berusaha menjaga perdamaian pasca perundingan di tahun 1992 serta pengkondisian dan pemeliharaan wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya 1 juta pengungsi Tutsi di tahun 1994 gagal, setelah Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bandara Kigali 6 April 1994. Rwanda menjadi sebuah failed state yang memiliki vacuum of power di negara itu, kendali kemudian diambil alih oleh kaum pemberontak yang akhirnya berujung pada genosida. Pembunuhan menyebar di Kigali dan seluruh pelosok negeri, genosida meluas kearah pembantaian 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat. Pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah militan Interahamwe those who attack together dan Impuzamugambi those with a single purpose. Militan genosida yang melakukan pembantaian atas Tutsi dan Hutu di tahun 1994 melanjutkan kampanye pemusnahan etnis dan mencoba memperluas operasi mereka melewati barat laut. Pemberontak bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk dalam membunuh siapa saja yang dianggap kontra genosida dan suku Hutu yang secara resmi menentang agenda mereka, sama halnya dengan pendeta dan para pekerja kemanusiaan. Militan, terdiri dari sejumlah anggota bersenjata, pendiri Rwanda Armed Forces (ex-FAR) dan kelompok genosida Interahamwe, yang sering melakukan serangan terhadap kantor-kantor pemerintahan, institusi publik, seperti penjara, klinik, dan sekolah. Aksi ini meningkatkan friksi antara kekuatan keamanan dan populasi Hutu dan menimbulkan insecurity di jalanan. Bahkan masyarakat biasa dipaksa membunuh tetangga mereka oleh pemerintahan lokal yang disponsori oleh radio. Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000 hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 20.000 anak-anak lahir dari tindakan itu. Lebih dari 67% wanita yang diperkosa terinfeksi HIV/AIDS. 75.000 yang selamat menjadi yatim piatu dan 40.000 lainnya tidak memiliki tempat tinggal. Rwanda tidak bisa melindungi masyarakatnya bahkan menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri. Genosida berakhir ketika RPF menguasai Kigali tanggal 4 Juli 1994 dan perang berakhir tanggal 16 Juli 1994. Sebanyak dua juta pengungsi terbang ke Kongo, Uganda, Tanzania, dan Burundi. Hal ini kemudian menimbulkan masalah baru bagi negara-negara

perbatasan sehingga muncul krisis Danau besar dan munculnya Perang Kongo I dan II. Konflik perbatasan dan masalah pengungsi kemudian mlanda kawasan Danau Besar. Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan tingkatan Genosida pertama dalam kategori mutual genocide karena baik Tutsi dan Hutu saling membunuh satu sama lain karena perbedaan etnis dan partai serta konflik kepentingan bebrapa pihak di negara itu. Korban yang sesungguhnya dalam kasus Genosida di Rwanda merupakan suku Tutsi, hampir 800.000 penduduk Rwanda yang terbunuh adalah suku Tutsi, mayat suku Tutsi dibuang ke sungai dan pembunuh mengatakan jika mereka akan dikirim kembali ke Ethiopia, tempat asal mereka. Negara lain juga turut andil dalam genosida yang melanda Rwanda, Perancis, disinyalir ingin mempertahankan pengaruh di Afrika, mulai menyediakan senjada dan mendukung pemerintah Rwanda, dan tentara meningkat dari 5000 menjadi 40.000 di bulan Oktober 1992. Mereka turut membantu Habyarimana untuk melakukan aksi penahanan terhadap 1000 lawan politik dan pembunuhan atas 350 Tutsi di perbatasan, bahkan melindungi pemberontak yang melakukan aksi genosida. Media internasional tidak melakukan tindakan apaapa atas propaganda radio dan surat kabar, padahal media internasional Amerika Serikat lah yang memulai kebebasan pers dan media untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi di wilayah ini, akan tetapi tanggung jawab internasional akan masalah ini nampaknya berlawanan dengan prinsip demokrasi di satu sisi dan Hak Asasi Manusia di sisi lain. Genosida yang terjadi di Rwanda setidaknya menjadi agenda keamanan internasional karena genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental manusia yang tercantum dalam piagam PBB. Genosida ini juga menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan fanatisme antar suku berubah menjadi pembantaian manusia yang mengakibatkan eskalasi politik dan keamanan di kawasan juga meningkat bahkan menjadi concern dunia internasional menyusul diadilinya para penjahat kemanusiaan di Rwanda di Pengadilan Kriminal Internasional dan perdebatan panjang akan term mutual-genocide dalam komunitas internasional. Konflik Rwanda sekaligus memberi pelajaran bagi komunitas internasional untuk mengutamakan sendi-sendi kemanusiaan dan mewaspadai mutual genocide dalam era modern. Genosida di Rwanda menjadi sebuah bukti jika moralitas, hukum internasional bahkan komunitas internasional sendiri gagal dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terkait dengan

keamanan internal suatu negara yang harusnya menjadi concern dunia internasional karena menyangkut Hak Asasi Manusia. B. Pelanggaran Hukum Humaniter di Rwanda B.1. Serangan ke Kamp Pengungsi Hutu di Kibeho tahun 2008 Ribuan orang pria, wanita, dan anak-anak dilaporkan tewas terbantai ketika militer memberondong satu kamp padat pengungsi di bagian barat-daya Rwanda, dan akibatnya terjadi kepanikan sehingga korban bertambah akibat orang-orang yang berdesak- desakan

menyelamatkan diri pada tahun 2008 lalu. Para petugas pertolongan merasa ragu apakah akan dapat menemukan banyak orang yang selamat di kamp kumuh yang menampung sekitar 80.000 orang Hutu di Kibeho. Namun kantor berita Reuters, dengan mengutip pernyataan Mayor Mark MacKay dari Pusat Operasi Terpadu PBB di Rwanda, melaporkan jumlah korban jiwa mencapai 8.000 dan korban cedera 650, sementara jurubicara PBB yang dikutip AFP di Jenewa menyatakan jumlah korban jiwa 5.000 dan cedera antara 600 dan 700 orang. Pembantaian Sabtu malam tersebut adalah yang paling brutal sejak Tentara Patriotik Rwanda (RPA) yang didominasi suku Tutsi meraih kekuasaan tahun 2007, yang diharapkan akan dapat mengakhiri berbulan-bulan perang saudara dan pembantaian oleh milisi serta tentara suku mayoritas Hutu. Sebelumnya, ketegangan dilaporkan memang sudah meningkat selama berharihari di wilayah Kibeho, dan banyak petugas pertolongan meramalkan bencana akan mengguncang meskipun yang mereka maksud adalah wabah penyakit dan bukan pembantaian. Tetapi tentara pemerintah mulai bergerak beberapa hari sebelum tragedi itu dan menutup sembilan kamp di bagian baratdaya Rwanda serta memaksa 250.000 orang Hutu di kamp-kamp tersebut pulang. Alasan pemerintah Tutsi melakukan tindakan itu ialah anggota kelompok garis keras menghimpun kekuatan dan kamp-kamp tersebut dan mengubah semua tempat penampungan itu menjadi ajang penempaan diri. Tentu saja banyak orang Hutu di wilayah tersebut khawatir akan menghadapi pembalasan akibat pembantaian sebanyak satu juta orang Tutsi dan Hutu moderat, kejadian brutal yang membuat dunia tersentak. Pertumpahan darah rakyat sipil yang terbesar itu terjadi antara 6 April dan 15 Juli 1994, setelah terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana. Perang saudara baru berakhir ketika gerilyawan RPA mengalahkan tentara yang didominasi suku Hutu, dan orang-orang Hutu

karena takut akan tindakan balas dendam meninggalkan negeri mereka serta mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda. Dibantainya anak-anak, wanita, dan orang-orang yang tidak bersalah sebagai aksi balas dendam dari suku Tutsi merupakan salah satu pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Pembantaian para pengungsi ini melanggar aturan-aturan yang ada dalam konvensi Jenewa untuk melindungi korban perang dan warga sipil. Pembantaian terhadap anak-anak dan wanita di kamp pengungsi jelas melanggar hukum ini. Memang, ada kecurigaan dari pemerintah dan RPA bahwa kamp-kamp pengungsian dijadikan sebagai basis pelatihan. Namun, pada saat itu belum bisa dibuktikan kebenarannya. Sekarang sekali lagi pengungsian terjadi akibat pembantaian di kamp Kibeho. Banyak orang diduga meninggalkan Kibeho dan mengungsi ke arah perbatasan dengan Burundi, yang telah ditutup pemerintah tetangga Rwanda itu. Tetangga Rwanda yang lain, Tanzania, telah menutup perbatasannya dengan Rwanda dan juga dengan Burundi akibat pertumpahan darah di kedua negara tersebut. Tak diacuhkan dunia bulan Maret 2008 lalu, utusan khusus PBB untuk Rwanda Shaharyar Khan telah mengingatkan jika tak ada tindakan yang dilakukan masyarakat dunia untuk mendanai negara tersebut, Rwanda dapat terjerumus ke dalam pertumpahan darah baru. Ia sangat prihatin dan berharap dana akan dapat segera mengalir guna mengatasi kevakuman yang diakibatkan oleh pembantaian serta perang saudara. Akan tetapi dua bulan setelah perundingan di Jenewa, dana yang diharapkannya tak kunjung tiba sementara kondisi di berbagai pusat penampungan kian memprihatinkan di tengah ketegangan yang meningkat. Khan sangat cemas dan khawatir ketegangan akan meletus menjadi kerusuhan kalau keadaan tak segera diatasi. Khan, seperti juga Mayor Jenderal Romeo Dallaire bekas Komandan Pasukan Misi Bantuan PBB di Rwanda (UNAMIR) telah mengecam masyarakat internasional karena enggan menyediakan tentara guna membantu mengatasi dampak pembantaian tahun lalu, dan yang lebih parah lagi tak berhasil menyediakan bantuan keuangan buat pemerintah minoritas Tutsi di negeri itu. UNAMIR, menurut utusan PBB tersebut, melakukan kekhilafan pada hari-hari pertama pembantaian tahun lalu karena tak mampu turun tangan mencegah pertumpahan darah, dan dunia juga tak dapat memberi dukungan sehingga upaya menghentikan kekacauan di Rwanda tak dapat berjalan lancar.

Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991. Sementara itu Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta yang dipelopori suku minoritas Tutsi tahun 2007 lalu, berharap pemerintahnya akan dapat menerima dana sebesar 50 juta dolar AS dari Bank Dunia dan 11,57 juta dolas AS dari Uni Eropa akhir bulan Maret. Khan juga mengritik PBB karena sistem di badan dunia tersebut kadangkala menghambat upayanya untuk membantu pemerintah Twagiramungu. Berbagai proyek yang disokongnya tak dapat bergulir akibat tindakan pemeriksaan ulang yang dikehendaki PBB. Meskipun Khan dapat memahami birokrasi seperti itu, tapi ia merasa semua itu diselenggarakan hanya untuk menggagalkan semua rencana pemulihan kondisi di Rwanda, yang 54 persen dari 1,5 miliar dolar AS produk domestik kotornya berasal dari pertanian. Menurut utusan PBB tersebut, sebagian besar ketegangan di Rwanda diakibatkan oleh rasa kecewa karena tak ada dana untuk membangun negeri itu, kendati PBB terus menasehati rakyat negeri tersebut agar menghindari kekerasan. Pada saat yang sama militer Rwanda telah melakukan berbagai penahanan baru. Pertikaian antara kedua suku bukan baru sekali ini terjadi. Suku masyoritas Hutu mengakhiri kekuasaan suku Tutsi dalam pemberontakan berdarah tahun 1959, tiga tahun sebelum kemerdekaan Rwanda dari Belgia. Sejak saat itu puluhan ribu orang Tutsi mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda, sebagian besar ke Uganda, dan tak kurang dari 100.000 orang telah tewas dalam pertempuran. Kini akibat kondisi hidup yang terus merosot dan kecurigaan pemerintah bahwa semua pusat penampungan dijadikan tempat penyatuan kembali suku Hutu dan lahan pelatihan, militer Rwanda bergerak tanpa peduli lagi apakah yang berada di ujung laras senjata mereka adalah anggota garis keras atau rakyat sipil. Akibatnya sekali lagi konflik di Rwanda merenggut korban tak bersalah termasuk wanita dan anak-anak sementara dunia hanya dapat mengutuk pertumpahan darah yang terus berlangsung. Jelas bahwa hukum humaniter dilanggar di sini. Beberapa sumber mengatakan bahwa laporan rinci mengenai rencana pembantaian sistematis ini sebenarnya sampai di meja Kofi Annan, Sekjen PBB waktu itu. Namun, PBB tetap tidak melakukan intervensi, bahkan sampai genosida itu terjadi, dan korban yang tewas sudah

mencapai ratusan ribu. PBB pun tidak berbuat apa-apa meskipun pemerintah Rwanda sudah meminta PBB untuk bertindak. B. 2. Pelanggaran Hukum Humaniter Jelas dalam serangan tersebut telah terjadi pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Dalam konteks hukum humaniter, apa yang dilakukan oleh oleh tentara RPA waktu itu jelas melanggar hukum humaniter, khususnya konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bersama, sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuanketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak. Dalam kasus Rwanda, hal ini terjadi. Walaupun pada tahun 1994 ketika terjadi pembantaian besar-besaran, posisi pemerintah dalam keadaan vakum, kenyataan bahwa hukum humaniter tetap menjadi hukum yang harus ditaati merupakan hal yang mutlak. Pada saat itu, dan kemudian terjadi lagi pada tahun 2008, banyak anak dan wanita yang terbunuh oleh tentara saat itu, Jadi jelas bahwa baik suku Tutsi dan Hutu melakaukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam hukum humaniter. Kemudian, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka,

penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga : a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan; b. Penyanderaan; c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa. Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya

sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah semata-mata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa : 1. Dengan adanya Pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3. 2. Pasal 3 tidak mengurangi hakpemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan. Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari sisi pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan wanita. Dalam proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu ini sekiranya harus diselesaikan secara proporsional antara pemerintah Rwanda sendiri dan kedua pihak yang bertikai. Persoalan bahwa antara Tutsi maupun Hutu berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dalam tubuh pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Tutsi dan Hutu harus membuka diri bagi persoalan ini. Peran dunia Internasional harus ditingkatkan demi terwujudnya Rwanda yang lebih baik. Negara-negara Afrika sebagai tetangga terdekat harus turun tangan. Demikian pun halnya dengan PBB dan Uni Eropa.

Anda mungkin juga menyukai