170210110049 - A
Rwanda adalah sebuah negara yang berada di Afrika bagian tengah dengan
penduduk pribumi terdiri dari tiga suku, yakni suku Twa (sebanyak 1%) sebagai
suku tertua, suku Hutu (etnis mayoritas sebanyak 88%), dan suku Tutsi (11%,
etnis minoritas) sebagai orang suku yang tinggal di dusun-dusun yang menduduki
wilayah Rwanda sejak abad ke-15. Pembunuhan massal (genosida) yang terjadi di
Rwanda pada 1994 merupakan konflik yang terjadi dari akumulasi kebencian
antar etnis, yakni antara etnis Hutu dan Tutsi. Pembagian strata yang dilakukan
oleh kolonial Belgia yang menempatkan etnis Tutsi untuk menempati strata
tertinggi yang secara fisik dihubung-hubungkan memiliki kedekatan hubungan
dengan bangsa Eropa. Suku Tutsi memiliki warna lebih cerah dan hidung
mancung. Sebagai bangsa pendatang (minoritas), Belgia berusaha mendekatkan
diri dengan etnis minoritas juga (suku Tutsi). Pemerintah Belgia mulai melakukan
diskriminasi dengan lebih memberikan perhatian pada suku Tutsi dan memberi
porsi pemerintahan kepada suku Tutsi. Konflik pun dimulai setelah Rwanda
memperoleh kemerdekaannya, Belgia justru memberikan kontrol kekuasaan dan
pemerintahan pada etnis Hutu. Hal tersebut merupakan kesempatan pada etnis
Hutu untuk melakukan balas dendam dan diskriminasi yang selama ini telah
didapatkannya selain karena perbedaan pandangan dan kepentingan.
Hukum Humaniter
Risky Febrian
170210110049 - A
Hukum Humaniter
Risky Febrian
170210110049 - A
Pertumpahan darah rakyat sipil yang terbesar itu terjadi antara 6 April dan
15 Juli 1994, setelah terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana. Perang saudara
baru berakhir ketika gerilyawan RPA mengalahkan tentara yang didominasi suku
Hutu, dan orang-orang Hutu –karena takut akan tindakan balas dendam–
meninggalkan negeri mereka serta mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda.
Hukum Humaniter
Risky Febrian
170210110049 - A
intern dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas
status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan
memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari
sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan
merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu
berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Dalam kasus Rwanda, hal ini terjadi. Walaupun pada tahun 1994 ketika
terjadi pembantaian besar-besaran, posisi pemerintah dalam keadaan vakum,
kenyataan bahwa hukum humaniter tetap menjadi hukum yang harus ditaati
merupakan hal yang mutlak. Pada saat itu, dan kemudian terjadi lagi pada tahun
2008, banyak anak dan wanita yang terbunuh oleh tentara saat itu, Jadi jelas
bahwa baik suku Tutsi dan Hutu melakaukan berbagai pelanggaran terhadap
aturan-aturan dalam hukum humaniter.
Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok
utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga
Hukum Humaniter
Risky Febrian
170210110049 - A
Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari
sisi pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan
wanita. Dalam proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu
ini sekiranya harus diselesaikan secara proporsional antara pemerintah Rwanda
sendiri dan kedua pihak yang bertikai. Persoalan bahwa antara Tutsi maupun Hutu
berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dalam tubuh pemerintah menjadi
tantangan tersendiri. Tutsi dan Hutu harus membuka diri bagi persoalan ini.
Hukum Humaniter