Untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Masalah Minoritas dan Integrasi Nasional
Dosen Pengampu : Azzomarayosra Wicaksono , S.IP., M.H.I
Oleh :
Rizky Ramdhani Pradisa
E1111201025
SEJARAH PERMASALAHAN
Puncak Konflik Rwanda terjadi pada tahun 1994. Namun, dari sejarahnya konflik ini
bermulai dari kolonialisasi Eropa. Rwanda-Burundi ialah koloni Kekaisaran Jerman, dan
setelah Perang Dunia I, Belgia mengambil kekuasaan Rwanda-Burundi. Di masa kolonial
Jerman dan Belgia, kedua negara ini mengaku akan supresmasi etnis Tutsi. Pada tahun 1935,
pemerintah Belgia melakukan spesifikasi suku dengan membuat kartu identitas sesuai suku
masing-masing. Suku Hutu, Tutsi, Twa dan warga naturalisasi memiliki kartu spesifikasi suku
yang berbeda. Hal inilah yang menjadi awal perpecahan antar suku di Rwanda.
Belgia terus memerintah memerintah Rwanda-Burundi sebagai perwakilan PBB untuk
mengawasi kemerdekaan negara ini. Pada tahun 1950, Belgia berusaha merubah pemerintahan
di Rwanda-Burundi menjadi pemerintahan demokratis. Namun, perubahan ini ditentang suku
Tutsi dengan alasan kebijakan yang dilakukan Belgia tadi akan merugikan strata sosial Suku
Tutsi dan mengancam keamanan mereka. Karena suku Tutsi ingin mempertahankan kekuasaan
mereka yang sejak dulu telah memerintah Rwanda-Burundi, timbullah gerakan emansipasi
oleh Suku Hutu hingga terjadi peselisihan sengit diantara dua suku ini. Karena tidak kunjung
damai, akhirnya perselishihan tadi menjelma menjadi konflik yang lebih besar.
Pada tahun 1959, aktivis suku Huku mulai melakukan pemburuan terhadap Suku Tutsi
dan melakukan penghancuran pemukiman Tutsi. Peristiwa ini disebut sebagai Revolusi
Rwanda. Akibatnya, sekitar 100.00 rakyat mengungsi ke negara tetangga. Revolusi ini
menyebabkan kekuasaan di dominasi oleh Suku Hutu. Atas desakan PBB, Belgia membagi
wilayah Rwanda-Burundi menjadi dua negara yakni Rwanda dan Burundi. Pada 1962,
diadakan referendum dan pemilihan umum yang menghasilkan keputusan penghapusan system
monarki. Rwanda berpisah dengan Urundi dan merdeka pada tanggal 1 Juli 1962.
Walaupun telah merdeka, kekerasan akibat konflik masih terus marak dilakukan. Suku
Tutsi melakukan pembalasan dendam dengan menyerang negara Rwanda dari wilayah
pengungsian mereka. Suku Hutu tak tinggal diam, mereka melakukan serangan balik dan
menindas Suku Tutsi yang masih tinggal di Rwanda. Sempat mereda, namun konflik kekerasan
di Rwanda kembali terjadi pada tahun 1990an. Kelompok pemberontak Tutsi yang Bernama
Front Patriotik Rwanda menyerbu Rwanda Utara dari Uganda. Tahun 1992, pemerintahan
Rwanda melemah akibat konflik yang terus terjadi dan Suku Hutu menguasai pemerintahan.
Terjadi demo besar-besaran yang memaksa rezim bekerja sama dengan oposisi yaitu
Rwanda dan Burundi yang akhirnya menandatangani perjanjian damai Arusha Accords pada
tahun 1993. Namun, pada April 1994, pesawat yang ditumpangi oleh Presiden Rwanda Juvenal
Habyarimana dan Presiden Urundi Cyprien Ntaryamira ditembak oleh pihak yang tak dikenal
hingga menewaskan dua presiden tersebut. Peristiwa tertembaknya dua presiden dari Rwanda
dan Burundi menjadi pemicu terjadi nya genosida di Rwanda. Dua presiden yang tewas tadi
merupakan orang dari Suku Hutu dan dikarenakan hal ini pula membuat ekstrimis Hutu emosi
karena mereka menduga dalang dari kematian dua Presiden tadi merupakan perbuatan FPR.
Para ekstrimis militer Hutu segera membantai orang-orang Tutsi dan Hutu Moderat
setelah prasangka mereka atas kematian presiden tadi. Sekitar satu juta orang dibantai oleh
pihak milisi militer dalam waktu 100 hari. Pembersihan etnis Tutsi yang dilakukan oleh
ekstrimis Hutu terjadi pada tanggal 7 April 1994. Stasiun radio dan penerbitan koran-koran
dimanfaatkan oleh ekstrimis Hutu unutk menyebarkan propaganda kebencian kepada etnis
Tutsi. Hampir 70% rakyat di Rwanda yang terbunuh merupakan orang-orang dari etnis Tutsi
dan sekitar 30% sisanya merupakan etnis Twa.
FPR tak tinggal diam, mereka melakukan penyerangan terhadap pihak Hutu yang
membuat FPR mengusai Rwanda secara perlahan. Dengan dibantu oleh tentara Uganda dan
dirorganisir dengan baik FPR berhasil menguasai seluruh Rwanda pada 1994 dan
melengserkan pemerintahan Hutu Rwanda serta mengakhiri genosida. Ketika FPR dipimpin
oleh Paul Kagame, sekitar 2 juta rakyat Hutu memilih mengungsi ke negara tetangga karena
takut dibantai oleh orang-orang Tutsi. Paul Kagame sendiri merupakan orang dari etnis Tutsi
dan ia dipilih menjadi Presiden di Rwanda menggantikan Pateur Bizimungu. Paul Kagame
menjadi Presiden dari 2003 hingga saat ini.
TANGGAPAN NEGARA MENGENAI KONFLIK
Sebagai pemimpin negara Rwanda, Paul Kagame menyadari bahwa ekef yang
ditimbulkan oleh peristiwa konflik yang telah terjadi bagi ekonomi, politik, dan masa depan
Rwanda. Ia percaya bahwa jika perselisihan antar konflik dan situasi ekonomi tidak ditangani
dengan serius maka hal ini akan terulang lagi pada masa mendatang nanti. Karena itu dibawah
kepemimpinannya, diberlakukan masa rekonsiliasi yang dimulai pada 1998. Dihapuskannya
kartu identitas etnis, dibuatnya kebijakan baru untuk menghilangkan perbedaan antar suku agar
terciptanya kesetaraan dan kehidupan harmonis. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
Rwanda membuahkan hasil. Pada tahun 2000-an Rwanda mulai bangkit di bidang ekonomi,
pariwisata, dan indeks pembangunan manusia Rwanda meningkat dengan pesat. Sektor
pariwisata menjadi sektor yang paling berpengaruh dalam peningkatan ekonomi Rwanda. Paul
Kagame membentuk Pemerintah Pesatuan Nasional yang bertugas mencegah konflik akibat
kesenjangan etnis. Dalam hal pembangunan negara, pemerintah Rwanda mengagumi
pemerintahan Singapura, mereka berusaha mengikuti jejak Siangapura dalam keberhasilan
pembangunan negara hingga mendatangi ahli-ahli Singapura, Tingkok, dan negara lain guna
membantu kemajuan Rwanda. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan ekonomi
di Rwanda yaitu, liberalisasi ekonomi, kemudahan izin usaha, pemeberantasan korupsi, dan
transformasi sektor pertanisan menjadi sektor ekonmi modern. Untuk menarik investasi asing,
Rwanda melakukan investasi infrastruktur, mengontrol mata uang tetap stabil, investasi sektor
pendidikan, dan menstabilasi perkembangan politik. Berbagai kemajuan yang terjadi di
Rwanda pastinya membutuhkan biaya yang banyak yang membuat pembatasan kebebasan
berpendapat rakyat seperti yang diberlakukan juga di Singapura.