Anda di halaman 1dari 7

Resensi Film Hotel Rwanda

Hotel Rwanda

Film Hotel Rwanda merupakan sebuah film yang ceritanya diangkat berdasarkan kisah nyata yang
terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1994. Pada saat itu terjadi konflik yang
melibatkan dua kelompok yang bertentangan di Kigali, Rwanda, Afrika, yaitu etnis Hutu dan Tutsi,
mengakibatkan hampir satu juta korban tewas. Penelitian ini mencoba melihat praktek terjadinya
Komunikasi antar budaya yang ada di Film Hotel Rwanda berdasarkan analisis teori “Perihal
Membangun Jembatan” oleh Wilbur Schram, sebagaimana yang dikutip dari buku Komunikasi
Antarbudaya yang ditulis oleh Dr. Deddy Mulyana, M.A, dan Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Film
tersebut merupakan salah satu refleksi dari realitas yang merepresentasikan adanya tindakan
komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi yang
dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda, bahkan dalam satu bangsa sekalipun.
Hotel Rwanda adalah sebuah film drama  berlatar belakang sejarah mengenai Paul
Rusesabagina yang menjadi sosok heroic dalam film ini selama peristiwa pembantaian etnis di
Rwanda. Dalam film, diperlihatkan ketegangan antara suku Hutu dan Tutsi membawa kepada perang
sipil dimana suku Tutsi dibantai karena status tinggi mereka yang berawal dari kesetiaan pada
kolonial bangsa Eropa.

Paul Rusesabagina (diperankan oleh Don Cheadle), seorang manajer hotel Sabena Hôtel des
Mille Collines, adalah seorang Hutu namun istrinya, Tatiana (diperankan oleh Sophie Okonedo),
adalah seorang Tutsi.

 Pada malam pembantaian, tetangga dan keluarga Paul sangat berharap padanya supaya
dapat selamat. Kepemimpinan, kecerdikan dan penyuapan, membuat Paul dapat menyelamatkan
keluarga dan tetangganya dari mafia Hutu bersenjata yang bertujuan menghabisi semua suku Tutsi.
Setelah tawar menawar dengan seorang petugas militer Rwanda untuk keselamatan keluarga dan
teman, Paul membawa mereka ke hotelnya. Makin banyak pengungsi membanjiri hotelnya
dikarenakan kamp pengungsian PBB sangat berbahaya dan terlalu penuh pada saat itu. Hotel pun
menjadi penuh sesak, Paul mesti berusaha menghalihkan tentara Hutu, peduli terhadap pengungsi,
dan menjaga popularitas hotel sebagai hotel high-class.

Penjaga perdamaian PBB, yang dipimpin oleh Kolonel Oliver (diperankan oleh Nick Nolte),
tak dapat bertindak apapun melawan Interhamwe, disebabkan mereka dilarang untuk ikut campur
dalam masalah pembantaian ini. ketidak-berpihakan PBB terus berlanjut disamping juga kelelahan
Oliver dalam menjaga pengungsi Tutsi dan kemarahannya yang mempertanyakan kekuatan barat
yang tidak peduli terhada Rwanda.

Sewaktu Interhamwe mengepung hotel, Paul dan keluarganya mulai mengalami stress berat.
Pasukan PBB berusaha mengevakuasi kelompok pengungsi, termasuk keluarga Paul. Namun malah
berbalik kembali ke hotel, setelah di hadang oleh massa perusuh Hutu dan Interhamwe. Dalam
usaha terakhir untuk menyelamatkan pengungsi, Paul berbicara kepada Jenderal Rwanda dan
berusaha memerasnya dengan ancaman menjadikan sang jenderal penjahat perang. Bizimungu
terpaksa setuju dan kembali ke hotel yang dalam keadaan diserang oleh perusuh dan Interhamwe.

Tentara Bizimungu akhirnya dapat mengakhiri kekacauan dan Paul panik mulai mencari istri
dan keluarganya, berpikir kalau mereka sudah bunuh diri seperti yang diperintahkan Paul apabila
orang-orang Hutu dapat menyerang hotel. Setelah ketakutan setengah mati, Paul menemukan
mereka bersembunyi di kamar mandi. Keluarga dan para pengungsi akhirnya dapat keluar dari hotel
dengan kawalan konvoi pasukan PBB. Mereka menempuh perjalanan melewati pengungsi Hutu dan
milisi Interhamwe menuju ke belakang garis depan pihak pemberontak Tutsi. Di akhir cerita, Paul
menemukan kedua keponakannya yg masih kecil, yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui,
dan mengajak mereka dengan keluarganya keluar dari Rwanda.

Dari hasil pengamatan ini dapat diketahui bahwa teori yang dikemukakan oleh Wilbur
Schramm, yaitu ‘perihal membangun jembatan’ penting untuk dilaksanakan pada kondisi seperti ini.
Meskipun tanggung jawab pemerintah tidak terlihat dalam film ini, padahal seharusnya teori ini
membahas tentang tanggung jawab yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya, yaitu personal
dan governmental (berkaitan dengan pemerintah) yang tidak terpisah dan juga tidak sejajar. Dalam
peristiwa ini dapat diketahui bahwa terjadinya Komunikasi Antar Budaya ketika pertukaran pesan
yang tidak kondusif, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, permasalahan, juga konflik, yang
dikarenakan adanya perbedaan yaitu diantara suku Hutu dan suku Tutsi dalam hal pekerjaan,
ditegaskan lagi dengan adanya kartu identitas yang menyatakan etnis mereka apakah Hutu atau
Tutsi.

Dengan adanya pembedaan tersebut, terjadi kesenjangan dalam hal pembagian kekuasaan
dan kedudukan dalam kemasyarakatan. Komunikasi antarbudaya akan terjadi dengan disertai paham
etnosentrisme, stereotip negatif yang telah ada sebagai bagian dari sejarah perkembangan
kehidupan sosial masyarakat Rwanda, sehingga akan menimbulkan permasalahan atau konflik yang
menghambat komunikasi yang diinginkan. Konflik ini sebenarnya bisa saja diredam, apabila merujuk
pada apa yang dikemukakan dalam teori ‘perihal membangun jembatan’ pada poin jembatan pada
sisi individual. Terdapat empat syarat. Syarat pertama, menghormati anggota budaya lain sebagai
manusia. Komunikasi antara Hutu dan Tutsi akan berhasil apabila komunikasi antara mereka
haruslah komunikasi pribadi pada pribadi, tanpa membawa bendera kelompok masing-masing. Hal
ini terlihat dari hubungan baik yang terjalin antara Paul – yang merupakan seorang Hutu—dengan
istrinya maupun tetangga sekitarnya yang merupakan kelompok Tutsi. Mereka dapat hidup
berdampingan tanpa adanya konflik yang melibatkan masalah etnis.

Syarat kedua, kita harus menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita
kehendaki. Dengan adanya perasaan saling menghormati, maka kekerasan dapat diredam.

Syarat ketiga, adalah menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda
dari cara kita bertindak. Apabila kelompok Hutu dan Tutsi sama-sama menghormati hak masing-
masing, maka konflik pun bisa dihindari.

Syarat keempat, komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup
bersama orang dari budaya yang lain. Sejatinya, kelompok Hutu dan Tutsi harus mempunyai rasa
toleransi yang tinggi, mengingat mereka berada di Negara yang sama, dan juga berasal dari ras yang
sama.

Namun tidak selalu juga perbedaan dalam berkomunikasi antar budaya akan menimbulkan
konflik, tetapi komunikasi antarbudaya pun diusahakan untuk meredakan konflik dengan adanya
perasaan empati, saling percaya, dan membutuhkan satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dengan
terciptanya jembatan komunikasi antarbudaya diantara orang-orang Rwanda dengan orang-orang
kulit putih atau bangsa Barat yang direpresentasikan oleh tentara PBB, wartawan asing serta turis
dari mancanegara

 Sinopsis

Film Hotel Rwanda menceritakan tentang pembantaian kelompok etnis


Tutsi oleh etnis Hutu yang ada di Rwanda pada tahun 1994.
Di tengah-tengah kerusuhan antara dua etnis tersebut, ada sosok manajer
hotel bernama Paul Rusesabagina yang berani menyelamatkan lebih dari
1200 pengungsi dari pembantaian
Apa yang dilakukan Paul saat itu adalah hal langka.
Kemudian digelarlah mediasi dengan PBB yang berakhir gagal, kemudian
etnis Hutu memanfaatkan momen itu untuk membunuh Presiden
Habyarimana yang telah menandatangani perjanjian damai.
Presiden tewas, etnis Hutu kemudian memberontak dan merencanakan
tindakan genosida pada etnis Tutsi.
Kondisi Rwanda semakin mencekam, semua orang yang memiliki kartu
identitas Tutsi akan dianiaya, disiksa, hingga mati.
Dalam kondisi seperti ini, Paul diminta untuk menenangkan para penghuni
hotel.
Bahkan hati nuraninya tergerak untuk menyelamatkan ribuan nyawa etnis
Tutsi, terlebih lagi istrinya juga etnis tersebut.
 Pemeran

Xolani Mali sebagai Polisi


Don Cheadle sebagai Paul Rusesabagina
Desmond Dube sebagai Dube
Hakeem Kae-Kazim sebagai George Rutaganda
Tony Kgoroge sebagai Gregoire
Rosie Motene sebagai Resepsionis
Neil McCarthy sebagai Jean Jacques
Mabutho 'Kid' Sithole sebagai Kepala Chef
Nick Nolte sebagai Kolonel River
Fana Nolte sebagai Jenderal Bizimungu
Jeremiah Ndlovu sebagai Penjaga Tua
Sophie Okonedo sebagai Tatiana Rusesabagina
Lebo Mashile sebagai Odette
Antonio David Lyons sebagai Thomas Mirama
Leleyi Khumalo sebagai Fedens
Kgomotso Seitsholo sebagai Anais
Lerato Mokgotho sebagai Carine
Mosa Kaiser sebagai Elys Risesabagina
Mathabo Pieterson sebagai Roger Rusesabagina
David O'Hara sebagai David
Joaquin Phoenix sebagai Jack Daglish
Lennox Mathabathe sebagai Peter
Mothsusi Magano sebagai Benedict
Noxolo Maqashalala sebagai Chloe
Thulani Nyembe sebagai Jean Baptiste
Simo Mogwaza sebagai Kapten Hutu
Mirriam Ngomani sebagai Kekasih Gregoire
Cara Seymour sebagai Pat Archer
Harriet Lenabe sebagai Pramusaji
Roberto Citran sebagai Pendeta
Mduduzi Mabaso sebagai Letnan Hutu
Sonni Chidiebere sebagai Militiaman
Thomas Kariuki sebagai Xavier
Sibusiso Mhlangu seagai Militiaman
Ashleigh Tobias sebagai Tenaga Medis

Hotel Rwanda (sinopsis dan analisis diferensiasi sosial)


Sinopsis Film

 
Film Hotel Rwanda mengisahkan tentang konflik yang terjadi antara suku Tutsi dan Hutu pada tahun 1994. Di
Kigali, Rwanda pada masa itu, suku Hutu merasa berkuasa dan berniat untuk membunuh semua orang Tutsi.
Hal itu dikarenakan suku Hutu merasa suku Tutsi pernah bekerjasama dengan Belgia dan membuat mereka
menderita. Maka mereka merasa harus untuk membuat pembalasan dendam terhadap suku Tutsi.

Diceritakan ada seorang Hutu yang bernama Paul Rusesabagina yang merupakan manajer di Hôtel des Mille
Collines. Ia mempunyai seorang istri yang bernama Tatiana yang berasal dari suku Tutsi. Ia juga mempunyai 2
anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Suatu malam, ia pulang ke rumah untuk bertemu dengan istrinya, anak-
anaknya, serta iparnya yang sedang berkunjung. Setelah makan malam, anaknya yang laki-laki berlari ke ruang
tamu dan memberitahu mereka semua bahwa ada banyak tentara di jalan. Paul, istrinya, dan iparnya pun
mengintip dari pintu dan melihat para tetangganya diseret, sambil dipukuli dengan kejam oleh tentara Hutu.
Keesokan malamnya ia pulang ke rumahnya saat keadaan semakin parah. Terjadi pembakaran rumah dan
pembunuhan. Sesampainya di rumah, istri dan tetangganya sudah berkumpul dan memberitahu apa yang sedang
terjadi kepada paul dengan panik. Mereka berkata bahwa presiden telah dibunuh oleh suku Tutsi, menyebabkan
kerusuhan semakin parah. Anak laki-laki nya pun hilang. Paul dan istrinya mengendap-endap untuk mencari
anaknya. Ternyata, anaknya ditemukan sedang duduk di balik pepohonan sambil menangis dan badannya
berlumuran darah.

Keesokan paginya, tentara Hutu datang ke rumahnya dan memintanya untuk mengambil uang di hotelnya dan
memberikan kepadanya. Paul juga memaksa untuk mengajak serta keluarganya dan pengungsi yang ia akui
sebagai keluarganya. Sesampainya, Paul masuk ke dalam hotel dan mengambil uang serta perhiasan yang ia
simpan di dalam safety box. Setelah ia keluar dari hotel, ia melihat istrinya dan pengungsi yang tadi ia bawa
sedang diancam oleh tentara Hutu. Lalu ia bernegosiasi dan memberikan uang 1000 dollar pada tentara Hutu itu
agar mereka dapat bebas dari ancaman. Paul pun segera membawa mereka ke hotelnya.

Pengungsi terus bertambah di hotel itu. David, seorang reporter, dan Jack, seorang cameramen merekam
kejadian kerusuhan itu menginap di hotel Mille Collines. Ada juga Colonel Oliver, seorang pemimpin penjaga
perdamaian PBB, yang membawa pengungsi ke hotel itu. Akan tetapi, colonel Oliver tidak dapat bertindak
karena penjaga perdamaian PBB dilarang untuk ikut campur dalam masalah itu. Ditambah lagi anak-anak yang
diungsikan oleh Pat, seorang petugas palang merah. Hotel itu pun semakin penuh. Hanya di hotel itu pengungsi
dapat ditampung, karena camp pengungsian PBB dianggap sangat berbahaya saat itu.

Segera setelah Pat mengungsikan beberapa anak, ia segera pergi untuk menjemput anak-anak yang lain. Paul
pun menitip pesan kepada Pat untuk menjemput serta ipar dan keluarganya yang tinggal di dekat panti asuhan.
Malam harinya, Pat datang ke hotel dan sambil menangis melaporkan kepada Paul dan Tatiana bahwa saat ia
datang ke panti asuhan, suku Hutu sedang membunuh anak-anak Tutsi.

Esok harinya, semua warga yang berkulit putih dievakuasi untuk meninggalkan Rwanda, termasuk David dan
Jack. Mereka hanya membawa orang-orang dari bangsanya dan tidak memperdulikan orang yang tinggal di
Rwanda. Hotel itu pun semata-mata hanya menjadi tempat pengungsian suku Tutsi dan Hutu. Lama-kelamaan,
persediaan makanan dan keperluan mereka habis. Paul dan salah satu pegawai hotel, Gregoire, pergi ke suatu
tempat orang Hutu untuk membeli keperluan tersebut. Pemimpin di tempat itu mengatakan bahwa Hutu pasti
bisa membunuh semua orang Tutsi. Di tempat itu, Paul juga melihat wanita-wanita Tutsi yang diperlakukan
seenaknya untuk prostitusi. Dalam perjalanan pulang, Gregoire mengikuti petunjuk jalan yang diberikan oleh
pemimpin yang tadi. Mereka pun menyadari bahwa mereka sudah keluar dari jalur. Paul jatuh di sana dan
menyadari bahwa sekelilingnya adalah orang-orang Tutsi yang telah mati dibunuh. Pemimpin di tempat orang
Hutu tadi ingin menegaskan kepada Paul bahwa ia tidak ada bedanya dengan orang Tutsi karena ia telah
membantu orang Tutsi. Ia ingin mengingatkan kepada Paul bahwa Paul bisa saja dibunuh seperti mereka.

Suatu pagi letnan Hutu memerintahkan Paul untuk membawa semua pengungsi keluar dari hotel dalam waktu
30 menit. Paul menggunakan waktu itu untuk menelepon presiden Sabena untuk meminta tolong. Akan tetapi,
pada akhirnya letnan Hutu dan personelnya pergi meninggalkan hotel tanpa membunuh siapapun.

Sehari sebelum rencana Paul untuk mengevakuasi para pengungsi keluar dari Rwanda, Paul kembali meminta
tolong kepada Pat untuk menyelamatkan keponakan ia dan Tatiana. Pat tidak bisa berjanji karena kemungkinan
besar mereka telah dibunuh. Keesokan harinya, Pat tidak datang hingga pukul 7 pagi. Oleh karena itu, Paul
memutuskan untuk mengevakuasi istri dan anaknya, tetapi ia tetap tinggal untuk menyelamatkan pengungsi
lainnya. Istri dan anak-anaknya pun menangis. Malangnya, tentara Hutu diberitahukan bahwa yang ada di truk
UN bukanlah personel UN, melainkan suku Tutsi. Mereka pun dikepung oleh tentara Hutu, sehingga mereka
tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus kembali ke hotel.

Di hotel, Oliver tidak bisa lagi mempertahankan penjaga keamanan hotel. Ia meminta bantuan kepada
Bizimungo, kepala dari tentara Rwanda. Ia mau membantu Paul karena Paul memberinya perhiasan yang sangat
banyak. Ia juga berencana untuk membunuh Paul nantinya, maka ia pun memanfaatkan kesempatan ini. Saat
Paul mendapat bantuan dari Bizimungo laskar hutu telah mengepung hotel dan siap membunuh pengungsi yang
ada didalamnya. Paul pun panik dan berusaha mencari istrinya. Ia takut jika istrinya telah bunuh diri. Akhirnya,
ia menemukan istri dan anak-anaknya bersembunyi di bathub.

Beberapa minggu kemudian, Oliver membawa berita baik bahwa para pengungsi sudah bisa meninggalkan
Rwanda. Dalam perjalanan, mereka sempat diserang oleh pasukan Hutu, namun mereka tetap bisa kabur karena
suku Tutsi juga mencoba menyerang mereka. Mereka pun sampai di tempat pengungsian yang aman. Disana
Paul dan Tatiana mencoba mencari keponakan mereka, tetapi tidak ada yang melihatnya. Mereka pun pasrah
dan masuk ke bus untuk pergi meninggalkan Rwanda. Di sisi lain, Pat menemukan keponakan Paul dan Tati. Pat
pun mengejar bus itu dan berhasil menghentikannya. Paul, Tati, dan anak-anaknya turun dari bus dan
menemukan keponakan yang mereka cari sedang bernyanyi bersama anak anaknya. Cerita ini pun berakhir
bahagia dan mereka pun berjalan menuju bus bersama-sama untuk meninggalkan Rwanda.

Analisis Film
Menurut Soerjono Soekanto, struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi sosial dan antara peranan
sosial. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa status dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam sistem
sosial. Dengan definisi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa syarat adanya struktur sosial adalah harus ada
hubungan yang selaras antara anggota masyarakat dalam memiliki status tertentu dan memainkan peranan
sosial. Dalam film Hotel Rwanda, kita melihat bahwa tidak ada toleransi yang mereka punya, serta tidak ada
hubungan timbal balik yang diharapkan. Maka dari itu, timbul kekacauan di dalam struktur sosial yang ada. Jika
sudah berkelanjutan, pasti sulit untuk mencapai kembali struktur sosial yang ideal.
Yang kedua, dalam kehidupan masyarakat, selalu ada ciri  yang membedakan antara anggota masyarakat yang
satu dengan yang lainnya. Hal ini membentuk diferensiasi sosial. Dalam diferensiasi sosial, seharusnya tidak ada
golongan yang lebih tinggi dari golongan lainnya dan perbedaan yang ada dikelompokan secara horizontal.
Namun dalam kenyataannya, masyarakat selalu mempunyai pola pikir bahwa ada golongan yang lebih tinggi,
lebih rendah, lebih baik, dan lebih buruk daripada yang lainnya.

Dalam film Hotel Rwanda, kecemburuan sosial menjadi awal bagi mereka untuk membenci dan membeda-
bedakan satu sama lain. Padahal hanya satu orang yang membunuh presiden di Rwanda, tetapi hal itu menjadi
perang berkepanjangan yang menewaskan jiwa-jiwa yang tidak bersalah. Mereka juga menganggap bahwa
pernikahan campur antara suku Tutsi dan Hutu seharusnya tidak ada. Paul yang pada saat itu ingin
menyelamatkan suku Tutsi malah dicemooh dan berusaha dibunuh. Suku Hutu merasa bahwa apa yang
dilakukan oleh paul sangat aneh. Paul seolah-olah ingin membantu suku Tutsi. Padahal, ia mempunyai niat baik
karena baginya tidak selayaknya orang-orang yang tidak bersalah dibunuh seenaknya.

Dalam masyarakat, ada 6 bentuk diferensiasi sosial yaitu, diferensiasi ras, diferensiasi suku bangsa, diferensiasi
klan, diferensiasi agama, diferensiasi jenis kelamin, dan diferensiasi profesi. Dalam film ini hal yang ditekankan
adalah diferensiasi suku bangsa (etnis). Dalam film ini mereka tidak peduli apakah seseorang mempunyai
kelakuan yang baik atau tidak. Dalam pembantaian tersebut, mereka membunuh semua suku Tutsi, bahkan
kebanyakan dari mereka tidak bersalah. Anak-anak pun dibunuh dengan alasan ingin menghentikan generasi
berikutnya dari suku Tutsi.

Kita patut mengacungi jempol terhadap tokoh utama di film ini yaitu Paul Rosesabagina. Ia tidak membeda-
bedakan suku dan tidak peduli siapapun yang ia akan selamatkan. Selama itu memang harus ia lakukan, ia dapat
menerima resiko yang dihadapinya. Ia rela meskipun ia bisa saja dibunuh kapan saja oleh sukunya sendiri.
Pekerjaannya sebagai manajer hotel tidak membuatnya sombong. Ia juga menggunakan potensi yang ia punya
untuk membantu orang lain.

Dalam hidup kita, akan sangat baik jika kita dapat mencontoh Paul Rosesabagina. Kita seringkali membeda-
bedakan setiap orang yang berinteraksi dengan kita. Kita sering memperlakukan orang lain berbeda-beda, sesuai
dengan “kelas” yang kita anggap merupakan kelompok kelas yang pantas untuk mereka. Mungkin masih sulit
bagi kita untuk sampai mengorbankan nyawa seperti Paul. Tetapi tidak ada salahnya jika kita pelan-pelan
mengubah pola pikir kita dalam menghadapi situasi sehari-hari saat kita berhadapan dengan setiap orang di
sekitar kita. Saya percaya bahwa semakin kita bisa menganggap setiap anggota masyarakat memiliki tingkat
yang setara, maka akan semakin tentram hubungan sosial kita dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai