Anda di halaman 1dari 10

PENYELESAIAN KONFLIK GENOSIDA ANTARA ETNIS HUTU DAN ETNIS TUTSI

DI RWANDA TAHUN 1994


Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Simulasi Resolusi Konflik
Dosen Pengampu: Dra. Harmiyati, M.SI.

Disusun Oleh :

Siti Maysarah Sitorus 151210005

Annisa Hani Nurshanti 151210011

Dini Tamara 151210012

Evelyn Stefiliana Liang 151210014

Nina Fatkhurrohmah 151210016

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA

2023
PENYELESAIAN KONFLIK GENOSIDA ANTARA ETNIS HUTU DAN ETNIS TUTSI
DI RWANDA TAHUN

A. Latar Belakang
Rwanda adalah salah satu negara kecil di Benua Afrika yang dikenal sebagai negara
dengan penduduk terpadat di wilayah Afrika. Rwanda dikenal sebagai negara dengan
pemandangan yang sangat menakjubkan karena keindahan alamnya dan mendapatkan julukan
sebagai “negara Singapuranya Afrika” karena kemajuan dan perkembangan domestik negara
Rwanda di masa kini. Namun, di masa lalu Rwanda sebenarnya penuh dengan peristiwa kelam
karena konflik saudara dan antar etnis yaitu Tutsi dan Hutu. Konflik antar etnis juga terjadi pada
etnis Tutsi dan Hutu yang ada di Burundi, negara yang berbatasan dengan Rwanda. Persamaan
nasib ini makin menimbulkan keinginan masing-masing etnis untuk unggul dan mendominasi
suatu wilayah. Hal ini kemudian menjadi pemicu mengapa genosida di Rwanda dan konflik etnis
dapat berlanjut bahkan hingga kini walau tidak seagresif pada konflik genosida di masa lalu.
Genosida yang terjadi di Rwanda didasari oleh dinamika masyarakatnya yang terdiri dari
3 etnis yaitu Hutu, Tutsi, dan Twa. Sekitar 85% etnis Hutu mendominasi Rwanda kemudian 14%
etnis Tutsi dan 1% lainnya adalah etnis-etnis kecil seperti Twa. Karena beragamnya etnis di
masyarakat dan perbedaan yang terjadi di masyarakat Rwanda seringkali menimbulkan gesekan
antar etnis. Karena hal ini, timbul suatu inisiatif dari Juvenal Habyarimana sebagai Presiden
Rwanda sekaligus bagian dari etnis Hutu ingin menyelesaikan permasalahan etnis ini dengan
membagi adil kekuasaan kepada etnis selain Hutu. Namun, sayangnya solusi dari Juvenal
Habyarimana tidak bisa diterima oleh kelompok militan etnis Hutu sebagai etnis yang
mendominasi. Etnis Hutu merasa bahwa pemerintahan lebih baik dikuasai oleh satu etnis tertentu
saja.
Niat baik Juvenal Habyarimana untuk menyelesaikan konflik etnis ini pun membuatnya
mati ditembak oleh rudal saat sedang dalam perjalanan menuju Rwanda di pesawat bersama
Presiden Burundi Cyprian Ntayamira pada tahun 1994. Hingga saat ini, pelaku dari tragedi ini
masih abu-abu. Namun, tragedi ini juga menjadi alibi dan awal mula bagi etnis Hutu untuk
melakukan pembersihan etnis Tutsi. Di pertengahan Juli 1994, terdapat sekitar 800 ribu korban
jiwa etnis Tutsi tewas selama 100 hari pertama genosida berlangsung. Kondisi yang semakin
parah dan korban jiwa yang semakin banyak membuat FPR atau Front Patriotik Rwanda yang

1
dipimpin oleh Paul Kagame berusaha menghentikan genosida ini. Usaha Paul Kagame dan FPR
berhasil dalam menghentikan genosida dan akhirnya Paul Kagame diangkat menjadi Presiden
Rwanda di tahun 2000 dan menjabat hingga saat ini. FPR yang awalnya menjadi organisasi
militer pun berubah menjadi partai politik milik Paul Kagame.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penyelesaian konflik genosida antara etnis Tutsi dan Hutu di
Rwanda dan peran para aktor resolusi konflik ini?

C. Kerangka Pemikiran
Konflik antara suku Hutu dan suku Tutsi terjadi karena kesenjangan sosial dan
ketimpangan sosial yang dialami oleh salah satu suku, sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial yang menghasilkan bentrok antar satu sama lain. Melihat fenomena tersebut, konflik ini
menggunakan teori hubungan masyarakat dan teori kebutuhan manusia.
1. Teori Hubungan Masyarakat
Teori Hubungan masyarakat merupakan teori yang menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Penerapan teori hubungan masyarakat pada
kasus konflik antara suku Hutu dan suku Tutsi di Rwanda dapat dilihat dari interaksi antar
individu, kelompok, dan faktor sosial memainkan peran dalam perkembangan konflik. Teori
hubungan masyarakat percaya bahwa untuk menyelesaikan sebuah konflik dibutuhkan
peningkatan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami
konflik dan pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman
dalam masyarakat. Peninggalan masa kolonial Belgia yang pada masa itu sangat melekat di
Rwanda kemudian menghasilkan ketimpangan sosial yang membuat suku Tutsi memiliki status
sosial yang lebih tinggi sehingga membuat suku Hutu mengalami kecemburuan sosial dan
menuntut identitas sosialnya. Sebagai seorang individu maupun kelompok memiliki berbagai
identitas sosialnya, termasuk identitas etnis. Di Rwanda, identitas etnis menjadi sangat kuat dan
memainkan peran besar dalam membentuk sikap dan perilaku individu. Suku Hutu dan Tutsi
memiliki identitas etnis yang kuat, dan konflik muncul ketika identitas ini diutamakan di atas
identitas nasional atau manusia.

2
Stereotip dan prasangka dalam teori hubungan masyarakat menjadi isu penting yang turut
diperhatikan karena dapat memicu konflik. Dalam kasus Hutu dan Tutsi, adanya pandangan
negatif dan isu rasial yang ditinggalkan Belgia menimbulkan stereotip bahwa suku Tutsi
memiliki keunggulan di segala bidang, baik dalam pemerintahan dan secara fisik yang dinilai
lebih unggul daripada suku Hutu yang pada masa itu sangat dikesampingkan. Framing dan
konfrontasi yang terus dilancarkan oleh elite dan Suku Hutu di Rwanda yang menyebarkan berita
atau tuduhan rencana pemberontakan pengambilalihan kekuasaan oleh Suku Tutsi berhasil
menggiring opini yang kemudian menghasilkan propaganda. Penyelesaian konflik kemudian
disusun dengan adanya resolusi konflik berupa rekonsiliasi dan perdamaian dengan beber
membangun perdamaian setelah konflik. Pembentukan Rwanda Patriotic Front (RPF)
menghasilkan kembalinya korban-korban dari Suku Tutsi yang semula mengungsi di banyak
negara tetangga untuk kembali ke Rwanda. Para provokator dalam konflik ini, Hassan Ngeze dan
Jean-Bosco Barayagwiza bertanggungjawab dan dinyatakan bersalah tahun 2003 oleh
International Criminal Tribunal for Rwanda atas merencanakan dan memimpin genosida,
pelaksanaan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Keduanya diancam penjara seumur
hidup. Penyelesaian konflik ini terus berlanjut dengan munculnya komunikasi dan kesepakatan
bahwa kedua suku berhak untuk memimpin dan terlibat di pemerintahan sehingga menghasilkan
penetapan presiden dan wakil presiden Rwanda masing-masing berasal dari Suku Hutu dan Suku
Tutsi.

2. Teori Kebutuhan Manusia


Teori kebutuhan manusia merupakan teori yang berasumsi bahwa sebuah konflik berakar
dari kebutuhan dasar manusia seperti fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
Teori kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow dapat digunakan dalam resolusi konflik
dengan memahami dan mengatasi akar penyebab konflik yang mungkin terkait dengan
ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang sangat terkait dengan masalah
keamanan, krisis identitas, tidak adanya pengakuan, minim partisipasi serta masalah otonom
memicu Suku Hutu untuk melakukan perlawanan terhadap sistem kolonial yang cenderung
memihak Suku Tutsi. Konflik seringkali memiliki akar dalam masalah-masalah seperti
ketidaksetaraan akses terhadap makanan, air, dan tempat tinggal yang layak. Tidak terpenuhinya
aspek fisiologis oleh Suku Hutu karena adanya kesenjangan sosial menghasilkan kerawanan

3
pada keamanan dan emosional yang kemudian tidak menjamin keamanan individu dan kelompok
serta penghapusan ancaman terhadap mereka. Di Rwanda sendiri, konflik antara Suku Hutu dan
Suku Tutsi menghancurkan jaringan sosial dan dapat mengisolasi individu dari keluarga dan
teman-teman. Selain itu, propaganda dan pengkotakan etnis yang terjadi memecah belah
hubungan sosial yang ada. Propaganda yang terjadi dengan merendahkan dan diskriminatif
terhadap Suku Hutu, menghasilkan adanya rasa penghinaan harga diri yang memicu perasaan
ketidakadilan yang mendalam. Pemetaan asal-usul konflik yang telah dilakukan kemudian dapat
menghasilkan resolusi konflik yang dibutuhkan oleh suku Hutu dan Suku Tutsi menurut teori
kebutuhan manusia. Tidak adanya pemenuhan kebutuhan dan diskriminasi oleh pemerintah
Rwanda oleh Suku Hutu menghasilkan gejolak sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial
pada Suku Tutsi yang dilepaskan menjadi isu genosida antar suku. Adanya peran pihak-pihak
yang terlibat seperti PBB dan Rwanda Patriotic Front menghasilkan perdamaian yang
menyelesaikan konflik antar suku ini. Pemenuhan kebutuhan serta tuntutan Suku Hutu yang
menuntut kesetaraan dengan Suku Tutsi berhasil dilakukan sehingga mengakhiri konflik.
Penerapannya dapat terlihat dari presiden dan dan wakil presiden yang berasal dari kedua suku
tersebut dan juga Belgia yang mulai melibatkan Suku Hutu dalam pemerintahan.

D. Pembahasan
Genosida Rwanda dimulai dengan meninggalnya Presiden Juvénal Habyarimana, dimana
Presiden pada saat itu berasal dari Hutu, setelah jatuhnya pesawatnya di bandara ibu kota Kigali
pada 6 April 1994. Presiden Rwanda saat ini, Paul Kagame, dituduh telah melakukan aksi
genosida bersama beberapa teman dekatnya dengan melakukan serangan roket, karena saat itu
dia adalah pemimpin kelompok pemberontak Tutsi.

Pra konflik
Presiden Habyarimana pada saat itu berada dalam misi politik yang besar dalam
pemerintahannya saat itu dari tahun 1990-an, yaitu memelopori pembentukan pemerintahan
dengan partisipasi tiga kelompok etnis asli di Rwanda dan membagi kekuasaan yang terbagi
antar kelompok etnis sesuai dengan Piagam Perjanjian Arusha yang pernah ia tandatangani di
tahun 1993. Sebagai seorang Hutu, ia menggagas upaya unifikasi dengan mengangkat Agathe
Uwilingiyimana dari suku Tutsi. Penunjukan ini berujung dengan menimbulkan protes dan

4
penolakan dari kelompok aktivis serta masyarakat yang tidak menginginkan persatuan atau ingin
mempertahankan pemerintahan tunggal atau satu suku saja.

Konfrontasi
Provokasi pernah dilakukan secara publik melalui radio yang dilakukan oleh suku Hutu
karena mereka tidak menginginkan keberadaan suku Tutsi. Hal ini dibarengi dengan provokasi
Rugunda dan semakin diperparah dengan tuduhan pemberontakan yang dilakukan oleh
kelompok pemberontak atau suku Tutsi yang akan mengambil alih kekuasaan sehingga
menimbulkan ketegangan di antara keduanya dimana dalam permasalahan ini memihak kepada
Interahamwe (tentara yang berbasis di Hutu) dimana mereka masih berusaha mempertahankan
kendali berkat bantuan dari Perancis dan kehadiran pasukan penjaga perdamaian PBB melalui
operasi peacekeeping United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) untuk menjaga
perdamaian setelah tahun 1992 dengan melakukan negosiasi dan pemeliharaan perdamaian.
Pada 1994, terjadi krisis di Rwanda dengan latar belakang kebencian dan konflik yang
telah lama membara semakin meningkat dan menyebabkan Interahamwe melakukan
pembantaian (genosida) terhadap kelompok etnis Tutsi tanpa segala keraguan yang tersisa.
Meskipun intervensi kemanusiaan dilakukan, hal ini tidak dapat mencegah pembantaian antar
kelompok etnis, dengan jumlah korban jiwa yang lebih tinggi, berkisar antara 800.000 hingga
satu juta orang di pihak etnis Tutsi.

Akibat/resolusi
Konflik internal telah menimbulkan penderitaan bagi masyarakat yang menjadi korban
konflik yang tidak berdaya, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan deportasi.
Konflik jelas akan membawa masyarakat pada keadaan yang menyedihkan karena terjadi
ketidakadilan, apalagi jika konflik tersebut merupakan konflik etnis dimana sebagian dari etnis
memegang kepemimpinan dan nyawa sedangkan sebagian lainnya berada dalam bahaya dan
dapat memusnahkan kelompok etnis lain, khususnya Tutsi. Pengungsi yang melintasi perbatasan
ke negara tetangga atau pemberontak yang mencari perlindungan di negara tetangga dapat
menimbulkan permasalahan baru yang dapat memicu konflik bersenjata antar negara tetangga.
Hal ini terjadi di Rwanda ketika suku Tutsi yang mengalami diskriminasi dan mereka melarikan
diri secara massal ke Uganda. Namun Uganda saat itu berada di bawah pemerintahan diktator

5
Idi Amin dan Milton Obote, yang justru membuat mereka berada dalam tekanan, sehingga
penderitaan dan kesulitan yang terjadi di Uganda membuat mereka ingin kembali ke Rwanda.
Yang kemudian menjadi pemicu dibentuknya Rwandan Patriotic Front (RPF). RPF adalah
kelompok politik dan militer yang memiliki tujuan untuk memulangkan warga Rwanda yang
mengungsi dan membentuk pemerintahan nasional dengan kelompok etnis Hutu. Dalam kasus
konflik etnis di Rwanda, situasi terakhir terjadi setelah adanya intervensi PBB sebagai upaya
perdamaian, yang pada awalnya dianggap gagal karena tidak dapat mencegah terjadinya
genosida.
Dapat dikatakan bahwa faktor utama terjadinya kecemburuan mungkin menjadi salah
satu penyebab terjadinya konflik antar etnis di Rwanda, khususnya antara suku Hutu dan Tutsi.
Kedua suku ini juga pernah bentrok pada masa Revolusi Rwanda tahun 1959. Saat itu, Rwanda
sedang menerapkan sistem pemerintahan monarki yang dipimpin oleh suku Tutsi dan masih
berstatus koloni Belgia. Setelah revolusi, Belgia memasukkan banyak orang Hutu ke dalam
pemerintahan untuk mengurangi konflik. Pemilu diadakan pada tahun 1960 dan dimenangkan
oleh partai Hutu yang saat itu menguasai hampir setiap tingkat birokrasi. Sekitar 336.000
penduduk etnis Tutsi terpaksa mengungsi ke negara tetangga setelah kemenangan Hutu.
Puncaknya adalah genosida pada 7 April 1994.

Pihak yang Terlibat dalam Konflik Etnis Hutu dan Etnis Tutsi di Rwanda
1. Suku Hutu
2. Suku Tutsi
3. Interahamwe, Partai penguasa Rwanda
4. Organisasi Internasional, PBB
5. International Criminal Tribunal for Rwanda
6. Theoneste Bagosora
7. Front Patriotik Rwanda (RPF)
8. Juvenal Habyarimana, mantan Presiden Rwanda

Peran Pihak-Pihak yang terlibat dalam Konflik Etnis Hutu dan Etnis Tutsi di Rwanda
Genosida Etnis Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 adalah salah satu tragedi kemanusiaan
yang paling mengerikan dalam sejarah modern. Genosida ini mengakibatkan kematian sekitar

6
800.000 hingga 1 juta orang Tutsi dalam waktu yang sangat singkat. Banyak pihak yang terlibat
dalam genosida ini, baik yang secara aktif terlibat dalam pelaksanaannya maupun yang memiliki
peran pasif dalam membiarkannya terjadi. Berikut ini adalah beberapa pihak yang terlibat dalam
isu genosida Etnis Tutsi di Rwanda:
1. Warga Sipil Tutsi dan Hutu yang Menolak Terlibat: Meskipun banyak warga sipil Hutu
yang terlibat dalam genosida, ada juga Hutu yang menolak terlibat dan bahkan berusaha
melindungi tetangga Tutsi mereka. Demikian pula, banyak Tutsi berjuang untuk bertahan
hidup dan melindungi sesama mereka selama krisis.
2. Interahamwe (etnis Hutu), partai penguasa di Rwanda : Interahamwe adalah kelompok
paramiliter yang didukung oleh pemerintah dan dipimpin oleh kaum ekstremis Hutu.
Mereka adalah pelaku utama dalam pembantaian dan pembunuhan massal terhadap Tutsi.
Interahamwe juga mendesak orang-orang Hutu lainnya untuk bergabung dalam genosida.
3. Komunitas Internasional: Komunitas internasional, termasuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), dianggap gagal dalam mencegah genosida ini. Meskipun ada
tanda-tanda awal genosida yang akan terjadi, pasukan perdamaian PBB tidak mengambil
tindakan yang cukup tegas untuk mencegahnya. Hal ini menyebabkan kritik terhadap
respons internasional terhadap krisis tersebut.
4. Negara Tetangga: Beberapa negara tetangga Rwanda, seperti Uganda dan Republik
Demokratik Kongo, juga memiliki peran dalam konflik tersebut. Mereka mendukung
kelompok pemberontak Tutsi yang menginvasi Rwanda dalam upaya untuk
menggulingkan pemerintah Hutu, yang pada gilirannya memperburuk situasi.
5. Etnis Tutsi (Rwanda Patriotic Front/RPF): Etnis Tutsi di Uganda yang berhasil melarikan
diri dan terlepas dari pembantaian kemudian beraliansi dengan Uganda. Mereka sempat
melakukan perlawanan pada masa rezim Habyarimana, dan juga yang berhasil
membebaskan Kigali dari tangan ekstrimis Hutu.
6. Uganda: memberi dukungan serta tempat untuk mengungsi bagi etnis Tutsi yang kabur ke
Uganda, serta terkena dampak pembantaian (tidak berani mengambil ikan di Danau
Victoria selama beberapa tahun setelah genosida).1

1
Helen M. Hintjens, “Explaining the 1994 genocide in Rwanda”, The Journal of Modern African Studies No.
37(2), (1999), 241–286. Diakses pada 25 September 2023.

7
Kesimpulan

Konflik yang terjadi antara Suku Hutu dan Suku Tutsi mengakibatkan banyak sekali
korban hingga 800.000 jiwa, baik laki-laki, perempuan hingga anak-anak menjadi korban dalam
insiden ini. Hal ini kemudian membuktikan bahwa, ketidakstabilan kondisi politik, kesenjangan
sosial hingga perbedaan identitas dapat menjadi salah satu pemicu konflik dalam suatu negara.
Peninggalan sistem penjajahan kemudian juga menjadi salah satu penyebab konflik antar Suku
Hutu-Tutsi dapat terjadi. Sehingga sejak awal, tatanan politik di Rwanda telah terbagi-bagi dan
pada akhirnya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi yang kemudian pecah menjadi konflik
antar etnis karena adanya kesenjangan sosial yang memicu kecemburuan sosial. Konflik antara
Suku Hutu dan Suku Tutsi yang tidak mereda dalam waktu yang lama kemudian memicu
pembantaian besar-besaran yang kemudian disebut genosida.

Konflik kemudian semakin memanas ketika pesawat Presiden Habyarimana ditembak


jatuh saat akan mendarat di Kigali dan menewaskan Presiden Habyarimana. Peristiwa ini
kemudian memicu pembantaian besar-besaran atau genosida di Rwanda yang dilakukan oleh
suku Hutu terhadap suku Tutsi. Melihat konflik yang terus menerus terjadi, maka PBB pun ikut
turun tangan untuk menyelesaikan konflik saudara ini dengan mengerahkan pasukannya ke
Rwanda untuk melakukan penertiban yang akhirnya gagal sehingga membuat PBB menarik
kembali pasukan-pasukannya. Konflik akhirnya mereda setelah dibentuknya gacaca sebagai
bentuk rekonsiliasi tradisional. Gacaca adalah sistem tradisional yang membiarkan masyarakat
untuk saling bermaafan dan melupakan kesalahan terkait dengan peristiwa pilu yang terjadi di
antara hidup bertetangga. Namun proses hukum tetap dijalankan dengan menghukum
oknum-oknum pemicu genosida.

8
DAFTAR PUSTAKA

Journal
Tutkey, S. P. (2021). Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Penanganan Kasus Kejahatan
Genosida Menurut Hukum Internasional. Lex Administratum, 9(6).
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/34395

Meutia, D. (2018). Analisa Kegagalan Misi Perdamaian PBB di Democratic Republic of Congo.
JILS (Journal of International and Local Studies), 2(1), 59-73.
https://journal.unibos.ac.id/jils/article/view/707

Hintjens, H. M. (1999). Explaining the 1994 genocide in Rwanda. The Journal of Modern
African Studies, 37(2), 241–286. doi:10.1017/s0022278x99003018

Websites

Rizki, R. (2015). Analisis konflik rwanda. Academia.edu.


https://www.academia.edu/12036989/Analisis_konflik_Rwanda

Kalsum, U. (2015). Pengaruh Genosida Terhadap Perkembangan demokrasi di Rwanda. UMM


Institutional Repository. https://eprints.umm.ac.id/25769/

Kompasiana.com. (2022). Analisis konflik genosida etnis Hutu di rwanda. KOMPASIANA.


https://www.kompasiana.com/nabillabilqis3260/63370919fdf1c5272c12cc72/analisis-ko
nflik-genosida-etnis-hutu-di-rwanda

Lemarchand, R. (2023). History of Rwanda. Ensiklopedia Britannica.


https://www.britannica.com/topic/history-of-Rwanda

Mahabarata, Y. (2021). Presiden rwanda dan Burundi Mati Dengan Satu Tembakan Dalam
Sejarah Hari Ini, 6 April 1994. Retrieved from
https://voi.id/memori/42721/presiden-rwanda-dan-burundi-mati-dengan-satu-tembakan-
dalam-sejarah-hari-ini-6-april-1994

Anda mungkin juga menyukai