Dilansir History, akar langsung dari genosida 1994 berawal dari awal 1990-an, ketika
Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang Hutu mulai menggunakan retorika anti-
Tutsi untuk mengkonsolidasi kekuasaannya di antara orang-orang Hutu. Awal Oktober
1990 pun sudah ada pembantaian terhadap Tutsi. Meskipun kedua kelompok etnis itu
sangat mirip dalam berbagi bahasa dan budaya yang sama selama berabad-abad, undang-
undang mengharuskan pendaftaran berdasarkan etnis. Pemerintah dan tentara Rwanda
mulai mengumpulkan Interahamwe (yang berarti mereka yang menyerang bersama) dan
bersiap untuk melenyapkan Tutsi dengan mempersenjatai Hutu dengan senjata dan
parang. Pada Januari 1994, pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda memperingatkan
bahwa pembantaian besar akan segera terjadi. Pada hari sebelum pembataian dimulai,
Presiden Habyarimana tewas saat pesawatnya ditembak jatuh. Hal itu menambah api
kepada ektremis Hutu kepada Tutsi, sebab mereka meengira pesawat ditembak oleh
organisasi militer Tutsi atau Front Patriotik Rwanda (RPF).
Para ekstremis Hutu di militer yang dipimpin oleh Kolonel Theoneste Bagosora, segera
beraksi membunuh orang Tutsi dan Hutu moderat dalam beberapa jam setelah kecelakaan
itu. Pada hari berikutinya pasukan penjaga perdamaian Belgia tewas sehingga PBB menarik
pasukan dari Rwanda. Setelah itu, stasiun radio di Rwanda menyiarkan propoganda
kebencian untuk membunuh semua Tutsi di negara itu. Tentara dan polisi nasional
mengarahkan pembantaian dan mengancam warga sipil Hutu. Ribuan Tutsi disiksa sampai
mati dengan parang oleh tetangga mereka sendiri dan bahkan beberapa suami membunuh
istri mereka yang Tutsi karena para milisi mengancam membunuh jika mereka menolak.
Terlepas dari kejahatan yang mengerikan, komunitas internasional termasuk Amerika
Serikat ragu untuk mengambil tindakan apa pun. Mereka secara keliru menganggap
genosida sebagai kekacauan di tengah perang suku. Presiden Bill Clinton kemudian
menyebut kegagalan Amerika untuk melakukan apa pun untuk menghentikan genosida
sebagai penyesalan terbesar dari pemerintahannya.
Hal itu diserahkan kepada RPF, dipimpin oleh Paul Kagame untuk memulai kampanye
militer yang akhirnya berhasil untuk mengendalikan Rwanda. Pada musim panas, RPF telah
mengalahkan pasukan Hutu dan mengusir mereka keluar dari negara itu dan masuk ke
beberapa negara tetangga. Namun, pada saat itu, diperkirakan 75 persen Tutsi yang
tinggal di Rwanda telah dibunuh.
2. Dibandingkan dengan negeri jiran Malaysia dan Thailand, jumlah pengungsi dan pencari
suaka yang terdata (karena tidak semua terdata) di Indonesia tidaklah banyak. Per 31
Januari 2022 ada 96.401 pengungsi di Thailand (UNHCR Thailand, 2021), di mana
sebagian besarnya berasal dari Myanmar (etnis minoritas Karen dan Karenni). Di
Malaysia, per akhir Desember 2021 terdapat 180.440 pengungsi dan pencari suaka.
Kelompok terbesar, 155.400 orang berasal dari Myanmar, mayoritasnya etnis Rohingya
(UNHCR, 2022). Di Indonesia sendiri, jumlah pengungsi dan pencari suaka yang tercatat
adalah berkisar 13.700 jiwa (Reliefweb.int, 2022) di mana 7600 di antaranya berasal dari
Afghanistan (etnis minoritas Hazara), selebihnya berasal dari Somalia, Irak, Myanmar,
Sudah, Sri Lanka, Yaman, Palestina, Iran, Pakistan, Eritrea dan Ethiopia.
Ada beberapa cara pengungsi dan pencari suaka masuk ke wilayah Indonesia. Ada yang
berangkat dengan pesawat dengan paspor dan visa kunjungan (turis) namun terus tinggal
di Indonesia tanpa ingin kembali ke negara asal. Mereka berharap mendapatkan
penempatan (resettlement) di negara ketiga sebagai pengungsi. Ada yang menjadi korban
perdagangan orang (human trafficking) dan penyelundupan manusia (people smuggling).
Ada juga yang masuk ke Indonesia dengan jalur laut lewat pintu masuk tidak resmi.
Kelompok ini ada yang datang dari Malaysia kemudian berlabuh di pantai timur
Sumatera. Ada pula yang menjadi manusia perahu (Boat People) biasanya dari
Bangladesh atau Myanmar, kemudian melayari Laut Andaman dan Selat Malaka hingga
akhirnya terdampar di Pantai Utara atau Pantai Timur Pulau Sumatera (Aceh atau
Sumatera Utara).
Gelombang awal pengungsi yang tercatat dalam sejarah Indonesia adalah pengungsi
Vietnam-Cambodia yang mengalir sejak tahun 1970-an dan kemudian ditampung khusus
di Pulau Galang, kini bagian dari Kepulauan Riau. Setelah itu sejak awal 2000-an, terjadi
gelombang masuk pengungsi ke Indonesia dari Asia Selatan, Asia Tengah, dan Afrika
seperti dari Afghanistan, Iran, Irak, Sudan, Somalia, Sri Lanka, Bangladesh dan Myanmar
(Rohingya). Satu insiden menarik adalah pada Agustus 2001 yang disebut sebagai Tampa
Affair. Di mana ketika itu rombongan boat people yang berangkat dari pantai selatan
Jawa Barat menuju Pulau Christmas Australia sejumlah 433 orang (mayoritas etnis Hazara
dari Afghanistan) terkatung-katung di laut kemudian mereka diselamatkan oleh Kapal MV
Tampa berbendera Norwegia. Kapal ini kemudian meminta izin mendaratkan para
pencari suaka tersebut ke Pulau Christmas. Namun kemudian ditolak mendarat di pulau
tersebut oleh otoritas Australia. Peristiwa ini menimbulkan ketegangan politik antara
Australia, Norwegia dan juga Indonesia. Pada akhirnya alih-alih dibolehkan berlabuh ke
Australia, para pencari suaka tersebut kemudian dikirimkan ke Nauru untuk diproses
melalui pendekatan yang disebut sebagai ‘pacific solution.’
Kendati dari sisi jumlah tidak bisa dibilang banyak, namun keberadaan pengungsi dan
pencari suaka di Indonesia tetap membingungkan. Karena minimnya acuan hukum yang
kuat dan komprehensif untuk dapat dijadikan pedoman dalam mengelola mengatur dan
melindungi keberadaan pengungsi di Indonesia. Indonesia juga belum meratifikasi (state
party) 1951 Convention Relating to the Status of Refugees berikut Protokol 1967-nya.
Bahkan, di Asia Tenggara, baru Cambodia, Philippines dan Timor Leste yang sudah
meratifikasi Konvensi tersebut beserta Protokol-nya.
Sampai saat ini, instrumen hukum yang tersedia dan mengatur secara terbatas tentang
pengungsi/pencari suaka adalah Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan
Pengungsi Luar Negeri dan beberapa peraturan penunjang yang dikeluarkan Direktorat
Jenderal Keimigrasian.
A. Mengacu pada kondisi diatas, menurut saudara apa langkah yang dapat dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatasi dan memperlakukan para pencari
suaka/migran yang masuk ke wilayah Indonesia mengingat belum adanya perangkat
aturan yang jelas namun disisi lain asas kemanusiaan harus tetap ditegakkan?
Tersangka diidentifikasi bernama Payton Gendron dari Conklin yang akhirnya berhasil
ditangkap, sekitar 320 kilometer tenggara Buffalo di negara bagian New York, AS.
Tersangka yang baru berusia 18 tahun itu diinterogasi pada Sabtu malam oleh FBI, kata
salah satu pejabat di lapangan.
Pelaku merupakan seorang pria berkulit putih berusia 18 tahun. Total ada 13 orang
yang dia tembak, 10 di antaranya tewas. Pihak berwenang mengatakan, pelaku beraksi
seorang diri dengan membawa senapan serbu. Aksinya itu dia siarkan di situs game
Twitch secara langsung. Sebelas dari 13 orang yang terkena tembakan adalah orang
kulit hitam. Payton Gendron merilis manifesto 180 halaman yang merinci pandangan
rasis dan anti-Semitnya, yang sebagian ia kaitkan dengan forum online 4chan yang
kontroversial. Dokumen tersebut juga menyebutkan apa yang tampak sebagai server
obrolan Discord pribadi, di mana ia diduga merinci rencana penembakan massal di
supermarket New York.
A. Apa yang saudara ketahui mengenai pandangan rasialisme dan anti semit?
B. Selain kasus diatas, sebutkan 3 contoh kasus lainnya yang menampilkan kejahatan
rasialis.
C. Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat bahwa kedudukan dan status
kewarganegaraan seseorang tidak sepenuhnya menjamin hak atas rasa aman
seseorang, minoritas tetap dipandang sebagai minoritas. Menurut pandangan
saudara apa yang perlu dilakukan oleh pribadi, komunitas dan pemerintah di
Indonesia untuk menjamin hak atas rasa aman sesorang dapat terjamin (dilindungi
latar belakang SARA-nya, tidak dipersekusi, tidak dibully, dll).