Anda di halaman 1dari 8

Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum) adalah sistem pemisahan ras

yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990. Hukum apartheid dicanangkan pertama kali di Afrika Selatan, yang pada tahun 1930-an dikuasai oleh dua bangsa kulit putih, koloni Inggris di Cape Town dan Namibia dan para Afrikaner Boer (Petani Afrikaner) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Arika Selatan bagian timur atau disebut Transvaal (sekarang kota Pretoria dan Johannesburg). Setelah Perang Boer selesai, penemuan emas terjadi di beberapa daerah di Afrika Selatan, para penambang ini tiba-tiba menjadi sangat kaya, dan kemudian sepakat untuk mengakhiri perang di antara mereka, dan membentuk Persatuan Afrika Selatan. Perdana Menteri Hendrik Verwoerd pada tahun 1950-an mulai mencanangkan sistem pemisahan di antara bangsa berkulit hitam, dan bangsa berkulit putih, yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1913 yaitu "Land Act" dimana para bangsa kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun di luar batas "Homeland" mereka, yang sangat kotor dan tidak terawat. Dari banyak sekali Homeland (bahasa Afrikaans: Tuisland) yang dibentuk/ dipisahkan dari Afrika Selatan yang "putih". Empat menyatakan kemerdekaannya; yaitu negara yang dikelompokkan menjadi TBVC (Transkei, Bophutatswana, Venda, dan Ciskei) dari suku bahasanya. Frederik Willem de Klerk adalah orang yang mengakhiri masa suram ini dengan pidatopidatonya yang reformatif. Negara Republik Afrika Selatan setelahnya ini akan berdiri dengan pimpinan demokratis Nelson Mandela yang mempunyai nama alias "Rolitlatla" (Pengambil Ranting/pencari gara-gara) Apartheid adalah sebuah sistem pemisahan berdasarkan ras, agama dan kepercayaan, diskriminasi etnis dan pemisahan kelas sosial, dimana kelompok mayoritas mendominasi kelompok minoritas. Karakteristik yang muncul adalah pemisahan secara fisik serta wilayah setiap ras, kemudian diskriminasi terhadap distribusi servis dan jasa publik. Apartheid memaksakan sebuah praktek yang mirip dengan perbudakan dalam berbagai bagian kehidupan berdasarkan karakteristik berbeda, seperti ras. Apartheid adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan merupakan kejahatan Internasional. Republika online dalam opininya yang berjudul Tirani Istilah Nasionalisme, mengangkat isu Islam dan nasionalis. Semenjak peristiwa bentrokan antara massa Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas) 1 Juni lalu, meluncur pendapat-pendapat yang luar biasa memprihatinkan. Opini itu menggiring untuk membenturkan Islam dengan nasionalisme! Ada apa sebenarnya antara Islam dan nasionalisme?

Opini beraroma mengadu-domba itu bergulir hanya beberapa jam setelah peristiwa Monas dan makin kentara sehari berikutnya. Sampai Senin (16/6) lalu pun opini seperti itu masih terasa menyengat. Sejumlah tokoh bangsa ini masih berusaha meluruskannya demi menjaga integrasi bangsa agar tidak diarahkan menuju pertentangan kuno bernuansa ideologi dan aliran. Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, misalnya, menyeru menghindari pengotak-kotakan ideologi Islam-nasionalis yang memberi kesan orang Islam tidak nasionalis dan sebaliknya kalangan nasionalis tidak Islami. Ia mengatakan, ''Siapa pun yang ingin adu domba antara kelompok nasional dan Islam, sesungguhnya mereka melawan sejarah dan mengingkari sejarah Indonesia.'' Bentrokan di Monas pada 1 Juni yang merupakan Hari Lahir Pancasila adalah sebuah fakta. Tapi, apakah cara membacanya merupakan sebuah serangan kepada Pancasila, kebhinekaan, dan nasionalisme? Tunggu dulu. Dalam ilmu fisika, pandangan seperti ini adalah paralaks, seperti melihat kayu di dalam air yang menjadi bengkok (atau mungkin sengaja ingin dibengkokkan?). Persoalan tersebut jelas tidak bisa dijadikan konstatasi dan digeneralisasi ke dalam lingkup yang begitu dahsyat sebab peristiwanya memang memperlihatkan sebuah koinsidensi. Fakta-fakta di lapangan memperlihatkan tidak adanya kaitan simbolik bentrokan itu dengan Hari Lahir Pancasila. Lebih tepat menyatakannya karena faktor yang bersifat teknis. Kepala Polres Jakarta Pusat, misalnya, justru menyayangkan massa AKKBB yang berdemonstrasi di Monas. Dalam pemberitahuannya mereka menyatakan hanya akan berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. Hari itu banyak pihak yang memesan Monas untuk menyampaikan aspirasinya. Ada gerak jalan santai, ada demonstrasi antikenaikan harga BBM, dan lain-lain. Tak perlu menggunakan logika canggih dan atraktif untuk melihat masalah itu. Bila dua massa yang berlainan aspirasi itu bertemu, tentu akan menciptakan efek psikologis yang menegangkan. Massa FPI dan AKKBB berbeda aspirasi dalam soal Ahmadiyah. Ditambah adanya provokasi berupa teriakan laskar setan dan intimidasi mengeluarkan pistol untuk menggertak massa FPI, bentrokan akhirnya sulit dihindarkan. Bahwa FPI melakukan tindak kekerasan, hal itu memang patut disesalkan. Kekerasan tak mungkin ditoleransi di negara demokrasi yang menghendaki konflik diselesaikan dengan cara-cara damai. Tapi, ada aksi, ada reaksi. Entah siapa yang memulai, kepolisian tentu perlu menyelidiki dan merekonstruksinya dan menegakkan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Lalu, bagaimana dengan pembacaan peristiwa itu yang kemudian digiring sebagai perbenturan Islam dan nasionalis dengan aksentuasi seolah kalangan Islam tidak nasionalis? Pembacaan seperti itu luar biasa memprihatinkan, kegenitan, over-exploitative, tidak jujur, dan mencurigakan. Tepat seperti dikatakan Hidayat Nur Wahid, ''Mengingkari sejarah Indonesia.'' Ahistoris! Opini yang mengesankan kalangan Islam tidak nasionalis jelas akan menyinggung perasaan sebagian besar anak bangsa. Sejak berabad lampau, umat Islam yang paling sengit melawan penjajah dan tak terhitung banyaknya fatwa yang menyatakan membela Tanah Air adalah wajib hukumnya. Ormas dan lembaga Islam yang dulu memobilisasi laskar untuk melawan penjajah bahkan masih berdiri tegak sampai saat ini, seperti NU dan Muhammadiyah.

Umat Islam (baca santri) sejak dulu bersikap nonkooperatif kepada penjajah. Mereka bukan kolaborator. Mereka bahkan menolak anak-anaknya masuk sekolah Belanda. Tak seperti sebagian kalangan netral agama yang menikmati pendidikan di zaman politik etis -- yang merupakan derivasi nasihat Snouck Hurgronye -- dan terbelandakan atau bergabung dengan republik pada saat jalan sudah terang. Tentu tak cukup mengguyurkan semua pernyataan senada di tulisan ini. Tapi, baiklah kita tengok kebenaran tesis Islam sebagai nasionalisme Indonesia itu secara empiris lewat hasil Pemilu 1955. Saat itu dari 15 provinsi, 12 di antaranya dimenangkan oleh partai Islam: Masjumi (sembilan provinsi), NU (dua provinsi), dan PSII (satu provinsi). PNI hanya menang di dua provinsi: Jawa Tengah dan NTB. Satu daerah lainnya, yaitu NTT, dimenangkan Partai Katolik. Tak berlebihan bila partai-partai Islam disebut partai yang paling Indonesia. Ini bukti faktual! Karena itu, penggiringan opini untuk membenturkan Islam dengan nasionalis wacana tidak bermutu, rabun sejarah, dan Islamofobia. Dikotomi itu -- juga trikotomi Geertz tentang abangan, santri, priyayi-- semakin tidak relevan. Sejak 1980-an ketika Islamofobia mulai mundur dari pentas, muncul generasi baru: neosantri. Mereka yang dulu disebut sebagai Islam KTP, Islam nominal, telah bertekun mempelajari warisannya yang berharga: Islam. Tentu saja itu tidak lantas menjadikan mereka tidak nasionalis. PDIP pun kini sudah punya Baitul Muslimin. Tak ada yang salah kan? Jadi, tak perlu menjadi Pancasilais munafik seperti orang-orang PKI tempo dulu. Mereka lantang menuding umat Islam anti-Pancasila. Padahal, Pancasila ditinjau dari sudut mana pun lebih kompatibel (serasi/cocok) dengan Islam dibanding dengan Marxisme-Leninisme -- bahkan juga dari semua agama di Indonesia. Jadi, tak perlu lagi menjadi (maaf) nasionalis munafik! Islam dalam ajarannya juga menegaskan bahwa tanah air atau wathan adalah bagian dari Iman. Dalam Islam juga diwajibkan pembelaan atas tanah air dan menekankan antipendudukan. Jika memperhatikan ajaran Islam itu sendiri, kita akan melihat keindahanan agama itu. Seperti ditegaskan oleh Imam Ali as, ketahuilah kebenaran itu sendiri, maka kamu akan mengetahui siapa yang benar atau penyandang kebenaran yang sesungguhnya. Janganlah lihat Islam dari oknum, karena oknum itu tidaklah obyektif. Seandainya ditanyakan kepadaku, kenapa Negara Kesatuan Republik Indonesia ada, masih ada, dan akan terus ada selama-lamanya? Maka akan kukatakan dengan penuh kebanggaan dan percaya diri, bahwa itu semua karena kita memiliki PANCASILA. Yes, of course, because we have Pancasila. Tanpa Pancasila, tidak NKRI. Tanpa Pancasila, kita tidak bakalan mempunyai negara. Pancasila adalah ruh dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai ruh, dia akan mengatur segala sesuatu mekanisme-nya melalui perangkat sistem yg ada, untuk suatu tujuan berbangsa dan bernegara. Sebelumnya dunia gelap gulita, yg kemudian akhirnya Tuhan menciptakan Issac Newton sebagai ilmuwan yg membuat benderangnya dunia. Sebelumnya Indonesia tertindas, terhina, terjajah, sampai akhirnya Tuhan menciptakan Soekarno sebagai Pemimpin yang dapat membawa menuju kemerdekaan. Sebuah era baru yg di dalamnya anak bangsa dapat hidup bermartabat dan beradab di tanah yg memang diwariskan Tuhan untuk anak bangsa ini.

Terpikirlah oleh Founding father kita saat itu, dasar/fondasi seperti apa yg mampu dan kuat membangun rumah megah dg wilayah luas dan kaya, untuk bisa tegak selama-lamanya. Apakah Al-Quran-Hadist, ataukah Injil, ataukah Weda/Tripitaka ataukah Darmo Gandul, serat centani, Zend Avesta.Ataukah berdasarkan ras (apartheid), artinya hanya penduduk kulit sawo matang saja yg berhak atau mendapat previllage hidup di Indonesia. Ataukah Golongan Jawa saja yg relatif maju, modern, penduduknya banyak, dsb. Tidak mungkin suatu bangunan akan tegak dan selamanya berdiri di bawah terpaan pasang surutnya cuaca zaman yg silih berganti,tanpa fondasi yg kokoh dan kuat. Dari renungan, ide, pemikiran, gagasan, dan cita-cita, para pemimpin kita/founding father, merumuskan dasar negara yg bagi penulis adalah the best on the world, yaitu PANCASILA, asli buatan Indonesia, dan tiada duanya di dunia manapun. Isinya tidak panjang dan sangat mudah dihapal oleh anaku yg masih play group, tetapi maknanya dapat menampung seluruh identitas dan pandangan hidup bangsa. Falsafahnya... sangat fantastis dan mukjizat bagi Indonesia, yg di dalamnya mengatur Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Musyawarah/kedaulatan rakyat, dan keadilan. Tidak ada satupun isinya bertentangan dengan kitab suci. Saya sbg orang islam, sampai sekarang belum menemukan pertentangannya sedikitpun dengan quran-hadis. Aku pikir dengan agama lain juga demikian, karena isinya begitu membumi dan membawa kabaikan serta kemaslahatan. Bagiku, aneh rasanya orang mempertentangkan, meragukan, atau bahkan berkeinginan mau mengganti dengan yg lain. Bahkan lebih tidak habis pikir lagi, mengatakan Pancasila sbg agama, juga sebagai biang kerusakan dan kesemarawutan aqidah dengan paham toleransinya dan segala macemnya. Sebagai generasi penerus negeri ini, sedih rasanya kita masih memiliki Saudara yg mempunyai pola pikir seperti itu. Dan itu akan menjadi tugas kita semua memberikan pencerahan supaya Saudara kita bisa menjadi tambah dan lebih cerdas. Masalah Rasialisme telah muncul hampir sama tuanya dengan peradaban manusia dan tidaklah bertambah baik seiring kemajuan jaman. Kitab Suci telah mencatat peristiwa rasialis yang terjadi di Tanah Mesir ribuan tahun yang lalu ketika bangsa Yahudi diperbudak oleh bangsa Mesir, dimana Musa lantas memimpin bangsa Yahudi keluar dari tanah Mesir menuju Israel. Ketika orang mengira bahwa masalah rasialisme telah berkurang di jaman modern seperti sekarang ini, maka mata dunia dibuka oleh banyaknya korban jiwa yang jatuh, sehingga baru disadari bahwa masalah rasialisme belumlah selesai, pun sampai hari ini ketika kita telah menjalani sebuah milenium baru. Dibawah ini hanya sekelumit peristiwa rasialis yang tercatat dalam sejarah. Masa Romawi dan Yunani Untuk mengetahui asal mula rasialisme, kita harus melihat jauh kebelakang. Pandangan merendahkan bangsa lain mulai tumbuh ketika sistem penghisapan ekonomi melalui perbudakan dimulai. Perbudakan berawal saat, pemerintah dan beberapa pihak mencari tenaga kerja yang murah. Berbagai cara ditempuh seperti menaklukan bangsa lain lalu

menjadikan mereka sebagai budak atau membeli dari para pedagang budak. Bangsa yang kalah perang dianggap sebagai bangsa yang inferior (lebih rendah) dan sang pemenang dapat melakukan apa saja terhadap mereka, termasuk mengirim mereka ke arena Gladiator sebagai hiburan. Konsep Rasialisme telah terlihat dalam cerita dari masa romawi dan Yunani, walaupun mereka belum mengenal konsep rasial dengan menggunakan perbedaan warna kulit, kebudayaan atau agama. Perbudakan ras Afrika abad XVI Konsep rasialisme yang ada sekarang, mulai muncul pada abad keXVI ketika perdagangan budak mulai berkembang. Budak-budak didatangkan dari Afrika menuju Eropa atau Amerika. Walaupun hal ini bertentangan dengan konsep kristianitas yang ada dimasyarakat Eropa dan Amerika, namun hal ini tetap terus berlangsung. Para pedagang budak menyebarkan paham bahwa masyarakat kulit hitam (ras Afrika) adalah ras yang terkuat namun inferior, sehingga cocok untuk mengerjakan pekerjaan kasar dan harus tunduk pada perintah. Pandangan inferioritas ini sama dengan yang terjadi pada masa Romawi dan Yunani. Diperkirakan 11,8 juta rakyat Afrika diperdagangkan selama masa Perdagangan Budak Atlantik, di mana sekitar 10 sampai 20% nya tewas dalam perjalanan menyeberangi samudra Atlantik. Pada abad 19, tercatat bahwa 90% budak belian adalah anak- anak. Beberapa negeri telah menjadi kaya raya karena perdagangan budak ini. Perbudakan Afrika adalah saudara kembar kolonialisme di benua itu. Tahun 1884 di Berlin, beberapa negara yaitu Inggris Raya, Perancis, Spanyol, Jerman, Belgia, Belanda dan Portugal bertemu untuk membagi- bagi wilayah Afrika di antara mereka. Masyarakat adat Afrika yang selama ini menjadi satu kesatuan menjadi terbelah mengikuti garis kepemilikan yang digambar di atas peta oleh bangsa Eropa, menjadi negara-negara yang berbeda. Inilah sebabnya mengapa banyak suku etnik Afrika misalnya suku Somalia dapat ditemukan tersebar di lima atau enam negara yang berbeda. Hal ini pula yang menjadi benih konflik antar suku di Afrika, seperti antara suku Tutsi dan Hutu yang kebetulan disatukan oleh garis batas negara Rwanda. Pembantaian ras Armenia Pembantaian yang terjadi terhadap ras Armenia dimulai tahun 1915 sampai dengan 1918, pada saat perang dunia I sedang berlangsung. Pembantaian ini direncanakan dan dilakukan oleh pemerintahan Turki terhadap seluruh populasi Armenia yang ada di negara itu. Ras Armenia menjadi korban deportasi, pengusiran, penyiksaan, pembantaian dan kelaparan. Sejumlah besar populasi Armenia diusir menuju ke Siria dan padang pasir dimana mereka menjadi korban kelaparan dan kehausan. Keputusan pembantaian ini muncul dari partai Ittihad ve Terakki Jemiyeti atau populer disebut sebagai partai Pemuda Turki yang memerintahkan pihak militer untuk melaksanakannya. Selain itu, pemerintah Turki juga membentuk pasukan khusus, Teshkilati Mahsusa yang tugas utamanya melakukan pembantaian massal. Pembasmian ras ini didukung pula oleh propaganda- propaganda ideologis melalui media tentang ide pembentukan kekaisaran Turki baru yang disebut PanTuranism, yang terbentang dari Anatolia hingga Asia Tengah dan rencananya hanya akan

dihuni oleh orang Turki asli saja. Propaganda ideologis inilah yang menjadi pembenaran pembunuhan besar- besaran tersebut. Setelah PD I mulai berakhir, pembantain sempat mereda, namun mulai terjadi kembali tahun 1920 sampai dengan 1923, kini dilakukan oleh partai Nasionalis Turki yang merupakan oposisi dari Pemuda Turki, namun memiliki pandangan kemurnian ras yang sama. Total diperkirakan satu setengah juta orang Armenia terbunuh selama periode 1915- 1923 tersebut. Pada akhir PD I, pelaku- pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini dituntut atas pebuatan mereka. Sebagian besar lari meninggalkan Turki untuk menghindari pengadilan, namun mereka diadili secara inabsentia dan dinyatakan bersalah. Nazi dan anti Yahudi Bahaya rasialisme baru disadari oleh dunia saat terjadi pembantaian secara sistematis yang dilakukan oleh Nazi terhadap etnis yahudi-eropa. Momen perang dunia II yang meminta korban bangsa Yahudi yang sangat besar. Pembantaian secara besar-besaran oleh Hitler dan Nazi dilakukan dengan cara membangun kamp-kamp konsentrasi. Kamp Konsentrasi tersebut menjadi tempat pembantaian para bangsa Yahudi. Kebencian Nazi terhadap keturunan Yahudi muncul karena keturunan Yahudi dianggap sebagai penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, dan sementara ekonomi Jerman mengalami kesulitan, para keturunan Yahudi tetap sukses memegang peranan ekonomi yang besar di Jerman. Namun alasan ini patut dipertanyakan kembali jika melihat kenyataan bahwa bukan hanya 6 juta orang Yahudi yang mati di tangan Nazi, melainkan juga 5 juta etnik non Aria lainnya seperti Gipsi, kaum Homo seksual, keturunan Asia dan lainnya. Dalam propagandanya Nazi memang kental mengusung isu rasialisme dengan memberi fokus pada keunggulan ras mereka, yaitu ras Aria. Bila dilihat lebih kebelakang lagi, pada abad ke-XIV, masa inkuisisi di Eropa juga terjadi pembantaian dan pengusiran terhadap bangsa Yahudi. Tomas de Torguemeda (1420-1498), kepala pengadilan inkuisisi Spanyol telah membantai kurang lebih 2.000 orang dengan siksaan dan mengusir sekitar 200.000 orang bangsa yahudi. Perbedaan antara Hitler dan Tomas de Torguemeda adalah Hitler melakukan pengejaran yang dilanjutkan dengan pembantaian secara sistematis dan meluas. Diskriminasi terhadap bangsa Indian di benua Amerika Kedatangan bangsa kulit putih ke benua Amerika ternyata menimbulkan sebuah masalah terhadap bangsa asli benua Amerika, Bangsa Indian. Perebutan tanah oleh para pendatang menimbulkan peperangan kecil dengan bangsa indian di berbagai pelosok benua Amerika. Pada tahun 1830 lahir Indian Removal Act, peraturan yang memungkinkan pengusiran terhadap bangsa indian demi kepentingan para pendatang yang didominasi oleh kulit putih. Akibatnya, lebih dari 70.000 orang indian di usir dari tanahnya sehingga mengakibatkan ribuan orang meninggal.

Pada pertengahan abad ke-XIX, peperangan antara bangsa indian dengan tentara kavaleri terus terjadi. Kaum pendatang terus berusaha mempersempit lahan yang dimiliki oleh indian. Hal ini dikarenakan banyaknya penemuan tambang-tambang emas di wilayah barat, terutama California. Keberpihakan pemerintah kepada kaum kulit putih tergambar dari dikeluarkannya Dawes Act pada tahun 1887. Peraturan tersebut mempersempit lahan yang dimiliki oleh bangsa indian dengan cara menjatah tanah per kepala keluarga. Perjuangan untuk memperbaiki kehidupan bangsa indian memang sangat panjang. Bangsa indian akhirnya mendaptkan status kewarga negaraan Amerika pada tahun 1934 dengan disahkannya Reorganization Act. Peraturan ini juga menghentikan semua bentuk pengusiran terhadap bangsa indian. Walau demikian, bangsa indian tetap diberi tempat yang diberi nama reservation area yang berfungsi seperti ghetto (penampungan) bagi kaum indian Diskriminasi terhadap bangsa Aborigin dan bangsa lainnya di Australia. Sebagai negara jajahan, Australia mempunyai sejarah yang diwarisi oleh rasisme yang sangat kental. Baik terhadap bangsa Aborigin atau kepada imigran (kaum pendatang) ke Australia. Populasi mayoritas di Australia berlatar belakang Anglo-celtic (Inggris atau Irlandia). Mayoritas yang menjadi korbannya adalah masyarakat Aborigin, Asia, Arab dan Yahudi. Hal ini juga termasuk orang yang karena agama dan kepercayaannya, seperti; perempuan muslim yang mengenakan jilbab dan pria yahudi yang mengenakan yarmulka (topi Yahudi). Kebijakan White Australia Policy, yang dicabut pada tahun 1972 memberikan sedikit harapan terhadap para Aborigin dan imigran lainnya. Namun demikian, kebijakan untuk pembauran atau asimilasi tidak berhasil dan tidak adil. Pemerintah Australia menyadari hal tersebut sehingga pada tahun 1989 dikeluarkan kebijakan Multikulturalisme. Apartheid di Afrika Selatan Banyak yang menilai bahwa apartheid adalah reinkarnasi politik diskriminasi rasial Nazi. Politik Apartheid mulai diterapkan di Afrika Selatan pada tahun 1948 ketika sebuah partai ultra nasionalis memenangkan pemilu. Sejak saat itu pula muncul undang- undang yang tidak berpihak kepada kaum kulit hitam. Hal ini berpuncak saat, Partai Nasional berkuasa dan kemudian meresmikan undang-undang yang sangat kental dengan diskriminasi rasial. Population Regestration Act (1949) merupakan awal berdirinya struktur apartheid. Penduduk Afrika Selatan diharuskan mendaftarkan diri berdasarkan rasnya. Kemudian berlanjut dengan munculnya Bantu Self Govement Act (1959), dibangun ghetto bagi kaum kulit hitam. Sistem ini ditujukan agar kaum kulit hitam kehilangan hak poltiknya dalam politik Afrika selatan. Kaum kulit hitam hanya boleh mempelajari tentnag kebudayaan masing-masing, harus memiliki surat jalan jika ingin keluar dari wilayahnya, dan dilarang melakukan perkawinan antar ras.

Sistem Apartheid yang dirasa sangat mengekang menimbulkan semangat perlawanan dari kaum kulit hitam. African National Congres (ANC), South Africa Communist Party (SACP), dan Pan Africa Congress membentuk aliansi untuk melawan sistem Apartheid. Aksi di parlemen, aksi boikot hingga pembentukan Umkhonto We Sizwe (Lembing Bangsa) sebagai sayap bersenjata mereka adalah sebagian kecil dari aksi yang mereka lakukan. Setelah mengorbankan banyak jiwa, akhirnya perjuangan mereka berhasil pada penghujung dekade 1980-an. Afrika Selatan lantas menjadi model dari suatu proses rekonsiliasi antara kekuatan lama dan kekuatan baru yang mencoba untuk menerapkan suatu proses kebenaran dan rekonsiliasi yang bukan didasari atas dendam kesumat. Masih sekian banyak kasus rasial di belahan dunia yang terjadi seperti pembantaian yang terjadi di Kosovo dan juga di Rwanda yang telah membuka mata dunia bahwa bahaya rasialisme belum selesai. Di Rwanda kurang lebih 800.000 suku Tutsi menjadi korban pembantaian terencana oleh tokoh- tokoh militan suku Hutu, bahkan sebagian suku Hutu sendiri yang beraliran moderat, dalam arti tidak memusuhi suku Tutsi, juga menjadi korban pembantaian tersebut. Jatuhnya ribuan bahkan ratusan ribu korban jiwa dari berbagai peristiwa tersebut merupakan pelajaran dunia. Sebagai tambahan, berbagai kasus ras juga terjadi di Indonesia, misalnya antara warga suku Dayak dan Madura, patut mendapat perhatian kita.

Anda mungkin juga menyukai