Anda di halaman 1dari 7

Berbekas di kepala saya, dalam beberapa hari terakhir telah ramai

diperbincangkan orang, yakni RUU HIP yang lebur dengan riuhnya


kembali isu kebangkitan PKI (isu kebangkitan PKI sebenarnya digarap
lagi mulai bulan Mei). Sebagian ormas melakukan demonstrasi besar
untuk menuntut dihentikannya pembahasan mengenai RUU tersebut oleh
parlemen. Bahkan, ormas-ormas tersebut mengkaitkan esensi dari RUU
HIP tersebut sebagai suatu upaya untuk memberikan keluasan terhadap
PKI agar bangkit kembali. Sumpah serapah mereka tumpahkan dalam
arena demonstrasi hingga menuduh presiden dan PDIP sebagai kawan
seperjuangan bagi kaum komunis, sehingga mereka pun turut menuntut
agar presiden diberhentikan saja dari jabatannya. Apalagi jika melihat
berbagai kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi yang kurang
tepat, dijadikan senjata tambahan oleh mereka untuk melemparkan kritikan
paling cadas di muka kekuasaan sang presiden.
Memahami Trisila
Bagian paling krusial yang mereka permasalahkan dari RUU HIP adalah
keberadaan Trisila dan Ekasila yang mereka duga akan mereduksi
Pancasila. Sebagaimana kita ketahui, Trisila dan Ekasila sejatinya
merupakan perasan konseptual dari Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Mengenai Trisila dan Ekasila ini tidak bisa dilepaskan
dari pergulatan pemikiran Bung Karno selaku penggali Pancasila. Trisila
dapat dikatakan sebagai tiga sila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-
demokrasi, dan ketuhanan. Ketiga rumusan tersebut merupakan bentuk
paduan yang solid dari kelima sila dalam Pancasila. Sosio-nasionalisme
dalam karya intelektual Bung Karno adalah nasionalisme yang ber-
perikemanusiaan, beorientasi tegas untuk menyelamatkan rakyat dari
bahaya nasionalisme-ras yang akan membuyarkan persatuan bangsa
Indonesia, apalagi chauvinisme yang tidak didasari akal sehat dan cita-cita
persaudaraan seluruh bangsa di dunia.
Esensi lain yang bisa kita nyatakan dari sosio-nasionalisme dalam
pemikiran Bung Karno tidak lain adalah solidaritas global yang dijunjung
tinggi dalam kehidupan antar bangsa dan antar negara, inilah suatu
nasionalisme dan internasionalisme sekaligus, bersari padu untuk
memberikan pondasi tekad merdeka setiap bangsa di dunia dari belenggu
kolonialisme dan imperialisme. Singkatnya, sosio-nasionalisme adalah
ramuan konseptual yang diracik dari sila ke-2 dan sila ke-3 dalam
Pancasila. Adapun, Sosio-demokrasi merupakan ramuan konseptual yang
diracik dari sila ke-4 dan sila ke-5 dalam Pancasila. Sejatinya, sosio-
demokrasi merupakan demokrasi massa-rakyat seperti yang diimpikan
oleh Bung Karno. Demokrasi massa-rakyat yang dimaksud adalah
demokrasi yang berdiri di atas dua kaki sekaligus. Bukan hanya mewujud
sebagai demokrasi politik, tapi juga mewujud sebagai demokrasi ekonomi
seperti yang diidam-idamkan oleh kelas pekerja.
ADVERTISEMENT

Tak ketinggalan dari keduanya, sila ketuhanan memang tidak bisa


dilepaskan begitu saja sebagai pondasi berbangsa Indonesia. Dalam
kenyataan sejarahnya, pada umumnya, kebanyakan kelompok masyarakat
di nusantara (yang kemudian bersatu sebagai sebuah bangsa Indonesia)
memang telah berkembang sebagai suatu kelompok yang kuat dalam
religiusitasnya. Jauh sebelum kehadiran agama Islam, bahkan sebelum
kehadiran Hindu-Budha, masyarakat-masyarakat yang mendiami
nusantara telah mengembangkan suatu agama tersendiri sebagai identitas
spiritual mereka. Mereka dahulu hidup dengan nafas kebudayaan yang
harum, terbukti dengan peradaban yang telah mereka bangun. Pun, mereka
telah hidup dengan jiwa spiritual dan berketuhanan. Hal inilah yang
menjadikan sila ketuhanan dalam Pancasila juga penting untuk
diperhatikan. Trisila juga menempatkan sila ketuhanan tersebut sebagai
pondasi pokok, tapi tidak mungkin diperas lagi secara konseptual jika
tanpa menyelaraskan kebermaknaan material dan spiritualnya dalam
kehidupan kebudayaan bangsa Indonesia sehari-hari.
Sebenarnya, memahami makna dari Trisila tidaklah serumit yang dikira.
Kita hanya perlu merujuk kembali pada sejarah, dan menguak dengan
cermat berbagai khazanah pemikiran pendiri bangsa dalam memaknai dan
memberikan penegasan esensi dari Pancasila. Sebagai contoh, Bung Karno
pernah mengutarakan Trisila itu tadi jauh sebelum Pancasila sebagai dasar
negara disahkan secara formal pada 18 Agustus 1945. Konsepsi Bung
Karno mengenai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sebenarnya tidak
ada bedanya dari segi substansi dengan apa yang dikonsepsikan oleh Bung
Hatta selaku wakil presiden pertama kita. Tidak ada yang salah dari Trisila
sebagai perasan konseptual atas Pancasila sebagaimana telah hadir sebagai
khazanah pemikiran para pendiri bangsa. Tapi, memang tepat apabila
RUU HIP yang memuat Trisila dalam fungsi konseptual dari Pancasila
dihentikan pembahasannya, apalagi pengesahannya.
Kita harus mengingat bahwa hal ini (RUU HIP) tak serta-merta kita
benarkan tanpa adanya konsensus berbagai pihak sebagai bagian dari
bangsa Indonesia. Lagipula, saya kira tidak perlu mengatur haluan ideologi
negara dalam suatu undang-undang. Pancasila sebagai asas tertinggi
negara sudah begitu universal untuk menjadi panduan tertinggi dari
berbagai produk hukum yang akan dibuat dalam undang-undang hingga
aturan-aturan di bawahnya. Pun demikian, Bung Karno tidak pernah
mendesak agar perasan konseptual dari Pancasila yang diajukannya itu
agar disahkan secara formal di dalam konstitusi. Sebab, apa? Pancasila
sendiri sebagai dasar negara dan falsafah hidup berbangsa juga sudah jelas
sebagai payung utama dari segala produk hukum yang hendak
dirumuskan. Apabila ada pihak-pihak yang menafsirkan Pancasila ke arah
yang berlawanan dengan esensi sila-silanya sebagaimana dijabarkan oleh
pendiri bangsa kita, besar kemungkinannya mereka melakukan kesalahan.
Kesalahan dalam memahami esensi Pancasila akan berimbas pada
kesalahan praksisnya dalam tindak-tanduk sehari-sehari, entah itu dalam
lingkup sosial organisasi terkecil hingga lingkup negara sebagai organisasi
kekuasaan.
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka & Marxisme Founding Fathers
Lalu, dimanakah posisi Pancasila jika ia difungsikan sebagai ideologi
dalam kehidupan bernegara saat ini? Perlu digarisbawahi di sini, Pancasila
sebagai dasar negara kita sebenarnya juga dapat difungsikan sebagai
ideologi. Tapi, penting untuk ditegaskan bahwa Pancasila merupakan
ideologi terbuka. Terbuka dalam pemahaman saya, yakni ia (baca:
Pancasila) menerima adanya pergulatan atau dialektika berbagai macam
ideologi dunia di wilayah Republik Indonesia ini selama ideologi tersebut
memberikan sumbangsih praksis yang nampak jelas sebagai bentuk
realisasi Pancasila yang semakin baik dari waktu ke waktu. Pancasila
bertindak sebagai wadah dan gelas ukur untuk menilai kadar kandungan
daripada ideologi-ideologi dunia yang masuk, kemudian dapat
ditentukanlah sejauh mana kontribusi praksis ideologi tersebut dalam
proses berkelanjutan dari tindakan merealisir nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.
Ideologi-ideologi besar dunia pernah mewarnai perjalanan bangsa kita
dalam sejarah yang harum sekaligus anyir bau darah. Meninjau kembali
sejarah kita sebagai bangsa adalah kunci untuk memahami sejauh mana
intervensi ideologi-ideologi besar dunia dalam alam pikiran politik para
pendiri bangsa, dan sejauh mana hal itu menjadi referensi dominan bagi
konstruksi pandangan politik mereka dalam pergerakan nasional hingga
pasca proklamasi kemerdekaan. Ambil saja contoh; presiden dan wakil
presiden pertama selaku bagian di antara sekian pejuang utama sejak masa
pergerakan nasional Indonesia, Bung Karno & Bung Hatta. Keduanya
adalah seorang marxis, mereka mengakuinya sendiri. Artinya, mereka
meyakini analisis tajam dan panduan pemikiran yang diberikan oleh Karl
Marx untuk merespon dan menyikapi sistem kapitalisme (dan alat-alat
ideologisnya) dalam suatu bentuk perlawanan/perjuangan yang taat dan
konsisten dijalankan oleh kelas pekerja.
Bung Hatta merupakan seorang marxis, tapi tidak menyukai praktik politik
yang dijalankan oleh Uni Soviet -dalam mengejawantahkan marxisme plus
interpretasi Lenin terhadapnya- di bawah kepemimpinan Stalin yang
bermasalah. Hal utama yang menjadikan Bung Hatta sinis terhadap
kepemimpinan Stalin atas Uni Soviet adalah diremehkannya penyelesaian
politik secara demokratis. Stalin mengarahkan Uni Soviet ke dalam bentuk
kediktatoran negara yang diperintah oleh partai komunis yang sangat
birokratis dan menumpas kebebasan berpendapat maupun berpolitik bagi
kelompok-kelompok oposisi progresif. Beberapa intelektual muslim yang
juga seroang sosialis-religius seperti Mohammad Natsir (pemimpin
Masyumi) juga seringkali merasa khawatir bilamana Uni Soviet akan
mengekang kebebasan beragama warga negaranya. Mengenai hal itu,
terdapat banyak perdebatan yang cukup menarik.
Suatu fakta yang akan sulit dibantah nampaknya potensial untuk menepis
tudingan miring terhadap kelompok marxis-leninis. Ya, sebagaimana kita
ketahui, Aidit selaku pimpinan PKI pernah menyatakan bahwa jumlah
anggota partainya yang beragama Islam jika ditotal akan melebihi jumlah
anggota partai Islam yang kecil-kecil. PKI pun dalam konstitusinya
(AD/ART) mengakui kebebasan beragama bagi anggotanya. Memang
betul, apabila merujuk pada pergerakannya dalam sejarah, kelompok
marxis relatif lebih mudah beraliansi dengan kelompok nasionalis daripada
kelompok islamis. Seorang nasionalis, bahkan di saat yang sama juga
merupakan seorang marxis, sebagaimana Bung Karno, Bung Hatta,
Syahrir, Tan Malaka, dan masih banyak pemimpin lainnya. Religiusitas
Bung Hatta bahkan tak perlu kita pertanyakan lagi.
Pada kondisi sosial-politik yang dihadapi para pendiri bangsa kita, mau
tidak mau gagasan marxis meresap dalam alam pikiran mereka. Sebab,
pisau filsafat (marxisme) itulah yang nantinya berguna bagi mereka untuk
membedah kondisi dan perkembangan masyarakat mereka yang dihantui
oleh kolonialisme serta imperialisme sebagai bentuk kepanjangan tangan
kapitalisme Eropa Barat yang baru saja menginjak masa remaja. Marxisme
juga menginspirasi mereka untuk membulatkan tekad berjuang, melawan,
& memberontak kepada sistem yang menindas dengan mempersatukan
segenap manusia tertindas tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku,
etnis, maupun bahasa, dll. Marxisme yang meresap sebagai referensi
ideologis mereka sejatinya memang berangkat dari suatu penelaahan
panjang atas kondisi material menyedihkan yang dialami oleh masyarakat
di bawah penindasan kolonialisme dan imperialisme.
Sebuah Seni Memandang Komunisme
Komunisme, kata yang sudah sering terdengar oleh kita dan seringkali
diabaikan oleh sebagian dari kita mengenai kebenaran makna atau
pengertian dari istilah tersebut. Begini, sebagai manusia tentu kita
menyadari bahwa kita memiliki kebutuhan sosial yang kompleks. Salah
satunya adalah kebutuhan melakukan dialog, komunikasi yang intens dan
bermakna antara beberapa pihak untuk mencapai kesepahaman dan
pengertian yang baik satu sama lain. Sudahkah ini berlaku di antara kita
untuk mencapai kesepahaman dan pengertian yang baik mengenai sejarah
kita sebagai bangsa yang pernah akrab dengan komunisme? Jawabannya
tentu belum, jikalau sudah tentu tidak mungkin kita melihat kembali suatu
aksi demonstrasi yang menggebu dalam meneriakkan, “PKI = Atheis”,
atau “PKI = Liberal”.
Mempelajari sesuatu memanglah harus sabar, demikian juga dalam
memahami ideologi yang disebut komunisme itu. Sabar adalah kunci
dalam belajar, dengan bersabar kita akan lebih mudah untuk mendialogkan
sesuatu yang kita baca, bahkan sesuatu yang pada mulanya kita
pertentangkan dengan pihak lain. Termasuk dalam memahami komunisme,
kita perlu membedakan terlebih dahulu istilah-istilah yang kedengarannya
sama seperti; komunis, masyarakat komunis, komunisme. Mungkin agar
mudah, kita dedahkan dahulu apa itu komunisme. Komunisme adalah
marxisme yang ditafsirkan lebih lanjut oleh Lenin sehingga cocok dengan
praktik politik yang dipilihnya bersama kelompok Bolshevik dalam
mewujudkan revolusi sosialis di Rusia yang masih semi-feodal pada
dekade-dekade awal abad ke-20. Revolusi sosialis adalah revolusi sistemik
yang dimulai dengan revolusi politik untuk kemudian merambah dalam
aspek lainnya, sebagai upaya menyingkirkan pranata politik dan ekonomi
kapitalisme dengan menggantinya dengan pranata politik dan ekonomi
yang dipimpin oleh kelas pekerja. Praktik politik yang dipilih Lenin dalam
barisan Bolsheviknya adalah perlawanan politik bersenjata pada mulanya,
untuk meruntuhkan kekuasaan Tsar di Rusia yang sangat brutal terhadap
kelompok progresif-revolusioner (sosialis & komunis). Pendekatan Lenin
dan kelompok komunisnya berbeda dengan kelompok sosialis reformis di
Jerman yang berupaya terintegrasi dalam sistem parlementer borjuis di
Jerman, untuk mengubah pelan-pelan dari dalam sistem yang ada menuju
penerapan sosialisme yang dimaklumi akan lama.
Kaum komunis adalah kubu yang mencibir pendekatan kaum sosialis
reformis, kaum komunis lebih memilih mengumpulkan kekuatan massa
secara terorganisir dan ketat di bawah kepemimpinan mereka untuk
merebut kekuasaan politik dari luar jalur parlementer, perjuangan
bersenjata. Kaum komunis ini sebelumnya disebut sebagai sosialis-
revolusioner, hingga kemudian mereka memisahkan diri dari barisan yang
padu bersama kaum sosialis reformis, untuk kemudian mendirikan partai
sendiri. Partai itulah yang kemudian mereka sebut sebagai partai komunis.
Adapun, masyarakat komunis sebenarnya merupakan terma/istilah yang
dapat kita sepadankan sebagai masyarakat adil & makmur, masyarakat
tanpa kelas, sebuah tahap akhir dari perkembangan sistem kemasyarakatan
yang telah diidam-idamkan oleh kaum tertindas.
Jika merujuk pendefinisian terma-terma tersebut seperti disebut dalam
paragraf-paragraf di atas, kita mungkin akan bertanya-tanya mengenai
posisi PKI dalam kerangka ideologis yang melahirkannya. Nyatanya PKI
(khususnya sejak 1951 di bawah kepemimpinan Aidit, Njoto, & Lukman)
tidak pernah berencana melaksanakan revolusi sebagaimana yang
dicontohkan oleh kaum komunis di Rusia pada 1918. Konteksnya sudah
berbeda bila membandingakn kondisi di Rusia kala itu, dengan kondisi
Indonesia. Bahkan, secara meyakinkan, PKI mantap untuk berpartisipasi
dalam Pemilu 1955 dan berhasil keluar sebagai salah satu partai yang
paling didukung oleh rakyat Indonesia. Pemilu 1955 bisa dinilai sebagai
pemilu yang terselenggara paling demokratis dalam sejarah politik
Indonesia, di tengah keberagaman asas dan ideologi yang dianut masing-
masing partai peserta kala itu. Suatu prestasi tersendiri yang diraih bangsa
kita pada masa demokrasi liberal/parlementer.
Komunisme adalah gagasan mendunia pada abad ke-20 yang bercita-cita
mulia: menumbangkan penindasan atas kelas pekerja (kaum tertindas) oleh
sistem kapitalisme. Komunisme sebagai turunan dari gagasan Marx adalah
hasil interpretasi Lenin yang berangkat dari kondisi sosial-politik maupun
sosial-ekonomu yang dihadapinya pada abad ke-20. Apabila komunisme
dalam wujud dogmatisnya yang lahir pada abad ke-20 itu diterapkan di
masa sekarang oleh kelompok kiri, tentu tiada guna, kuno, bahkan
ketinggalan jaman! Kondisi baru mengkondisikan kita untuk mengalami
hal baru dan merefleksikannya secara kritis dari waktu ke waktu, hingga
terbentuklah teori-teori baru, analisis-analisis terbaru untuk menyikapi
secara tangguh perubahan-perubahan dalam tubuh kapitalisme dewasa ini.
Tidak perlu menyibukkan diri untuk takut terhadap “hantu” yang bukan
hantu, “momok” yang bukan momok. Takutlah jika pemegang otoritas
negara semakin bertindak represif tapi permisif terhadap segala tipu daya
kaum kapitalis yang rakusnya bukan main. Rakus merampas tanah-tanah
kaum tani, rakus melahap lahan-lahan konservasi, rakus melahap nilai
lebih yang dihasilkan oleh pekerja, rakus menggasak usaha-usaha kecil
rakyat, rakus menguasai media, rakus membeli keadilan yang dijual oleh
para penegak hokum, dan rakus untuk menguasai parlemen melalui lobi-
lobi politiknya dengan partai yang bisa dibeli. Rakus-rakus yang lain,
hayati saja sendiri. Tulisan ini akan terlalu panjang nanti. “Sekian, terima
kasih.”

Anda mungkin juga menyukai