Anda di halaman 1dari 4

Nama : Masayu Nawira Haifa

Kelas : 2 KD

NIM : 061930401335

MK : Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : M. Yusuf, S.Pd.,M.Pd

Tugas Bahasa Indonesia Menganalisis Bagian-Bagian Essai

Judul essai : Trisila, Ekasila, Quo Vadis Pancasila?

Paragraf Pembuka (Pernyataan umum)


Ada yang coba mengutak-atik Pancasila menjadi Trisila dan akhirnya Ekasila: Gotong-
royong! Quo vadis (mau dibawa ke mana) Pancasila?

Pertanyaan ini perlu dilontarkan kepada wakil-wakil rakyat di Senayan, dan juga kepada
pemerintah yang sedang bersiap untuk membahas Rancangan Undang-Undang Haluan
Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Paragraf Pembuka (Pernyataan tesis)

Pada 12 Mei 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan RUU HIP ini
sebagai usul inisiatif mereka. RUU ini segera dibahas bersama pemerintah untuk kemudian
disahkan menjadi undang-undang.

Namun, suara-suara penolakan ramai digaungkan atas RUU yang dikhawatirkan akan
membangkitkan komunisme ini.

Paragraf tubuh pertama pendukung tesis

Apa saja indikasi kebangkitan komunisme tersebut?

Pertama, Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai


Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia Bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme, tidak dijadikan
konsideran atau rujukan dalam penyusunan RUU HIP ini.

Kedua, ada dugaan “pemerasan” sila-sila dalam Pancasila menjadi Trisila (tiga sila) bahkan
akhirnya Ekasila (satu sila), yakni gotong-royong yang sering dikonotasikan dengan paham
dan ideologi sosialisme dan komunisme.

Ketiga, RUU HIP akan menimbulkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan kita.
Bagaimana bisa Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
keberadaannya termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 diatur di
dalam UU? Ini dapat mendegradasi eksistensi Pancasila.
Paragraf tubuh kedua pendukung tesis

Lalu, apa itu Trisila? Ialah Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan


Ketuhanan yang Berkebudayaan. Adapun Ekasila adalah Gotong-royong.

Dugaan “pemerasan” Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila ini berpotensi melanggar
Pancasila. Sebab, Pancasila merupakan “state fundamental norm” atau norma dasar negara.

Bila kita bicara Pancasila, maka sila pertama dan utama dari Pancasila adalah “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Dengan adanya sila pertama inilah Indonesia benar-benar menjadi berbeda
dengan negara-negara lain di dunia. Di negeri kita ini segala sesuatu yang menyangkut nilai-
nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan serta demokrasi dan keadilan sosial, semua harus
dijiwai oleh sila pertama Pancasila.

Pancasila melindungi hak asasi manusia (HAM), termasuk hak memeluk agama. Sila
pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” mewujud bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang beragama, di mana agama juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia
sebagai makhluk Tuhan.

Memeluk agama dan menganut kepercayaan adalah wujud pengakuan adanya Tuhan,
sebagaimana termaktub di dalam sila pertama Pancasila, dan hal itu diakui sebagai
kemerdekaan tiap-tiap penduduk, pengakuan mana kemudian tertuang di dalam Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945.

Paragraf tubuh ketiga pendukung tesis

Dalam RUU HIP, ada indikasi prinsip-prinsip tersebut hendak dikesampingkan atau bahkan
dihilangkan, sehingga begitu RUU ini kelak disahkan menjadi UU maka negeri ini akan
berubah dari negara yang menghormati dan menjunjung tinggi agama menjadi negara sekuler
yang tidak lagi membawa-bawa agama dan Tuhan ke dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Maka, suara-suara penolakan pun digaungkan. Penolakan itu datang dari antara lain para
purnawirawan TNI/Polri, dan teranyar dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
Maklumat Pimpinan Pusat MUI No Kep-1240/DM-MUI/VI/2020 tertanggal 12 Juni 2020.

Para purnawirawan yang antara lain diwakili Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI dan
mantan Panglima ABRI, serta Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)
Saiful Sulun menilai RUU HIP akan menimbulkan “over lapping” atau tumpang- tindih serta
kekacauan dalam sistem ketatanegaraan maupun pemerintahan di Indonesia.

Memang, bila ideologi Pancasila sebagai landasan pembentukan UUD kemudian diatur di
dalam undang-undang maka itu adalah sebuah kekeliruan.

Adapun penolakan MUI disuarakan karena RUU HIP telah mendistorsi substansi dan makna
nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 dan
batang tubuhnya.
Menurut MUI, Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya telah memadai sebagai tafsir dan
penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru
akan mendegradasi eksistensi Pancasila.

MUI berpandangan RUU HIP akan “memeras” Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi
Ekasila yakni gotong royong, yang nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan
penyimpangan makna dari Pancasila. Hal itu secara terselubung ingin melumpuhkan
keberadaan sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang telah
dikukuhkan para founding fathers kita dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

RUU HIP juga menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan UUD 1945 dan batang
tubuhnya sebagai dasar negara sehingga bermakna pula sebagai pembubaran Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan pada lima sila dalam Pancasila
tersebut.

Para purnawirawan TNI/Polri adalah representasi generasi pejuang yang masih memegang
erat nasionalisme. MUI adalah representasi dari para ulama yang religius dan banyak
pengikutnya di masyarakat. Para ulama dulu juga berada di garda terdepan dalam perjuangan
mengusir penjajah. Kini, bila kaum nasionalis dan religius sudah bersuara sama menolak
RUU HIP, lalu apakah eksekutif dan legislatif akan tetap nekad?

Sejatinya hendak dibawa ke mana Pancasila dan NKRI ini, dengan RUU HIP yang berpotensi
melanggar Pancasila dan Tap MPRS No XXV/1966 itu?

Bila DPR RI dan pemerintah tetap keukeuh, jangan salahkan bila ada yang berpandangan ada
yang hendak mengaburkan fakta sejarah, terutama pengkhianatan terhadap Pancasilan dan
UUD 1945.

Cermati pula “ultimatum” MUI bahwa jika maklumatnya diabaikan oleh pemerintah maka
segenap Pimpinan MUI Pusat dan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia mengimbau umat
Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi
garda terdepan dalam menolak paham komunisme, demi terjaga dan terkawalnya NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Paragraf Kesimpulan

Jika hal tersebut tak diindahkan, maka potensi konflik vertikal dan konflik horisontal sudah
membayang di depan mata. Bila sudah demikian, siapa yang akan rugi? Tentu kita semua,
segenap bangsa Indonesia.

Alhasil, hentikan pembahasan RUU HIP bahkan didrop dari Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2020-2024 bila tidak mencantumkan Tap MPRS No XXV/1966 dalam
konsiderannya. Jangan habiskan energi bangsa ini untuk hal-hal yang kontraproduktif,
apalagi energi bangsa ini sudah terkuras untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Penulis esainya :
Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai