Anda di halaman 1dari 7

Nama : Hud Ahsanal Khuluq

Npm : 3118021

1. Sikap individu , masyarakat dan Konsentrasi publik dalam menangani wabah pandemi ini
terganggu oleh kegaduhan akibat Sidang Paripurna DPR RI yang telah memuluskan jalan RUU HIP
menjadi usul inisiatif DPR. Kegaduhan di ruang publik tak terelakkan. Berbagai pihak keberatan
dan bahkan marak penolakan yang diviralkan di media sosial. Sejumlah organisasi
kemasyarakatan keberatan dengan RUU itu, di antaranya MUI, NU, dan Muhammadiyah.
Penolakan yang keras datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui maklumat
mereka. Pernyataan MUI ini didukung 34 pemimpin MUI se-Indonesia. MUI berpandangan RUU
ini ialah bagian dari upaya menghidupkan paham komunisme dan mencurigai adanya oknum
konseptor RUU yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Begitu
pun para akademisi keberatan dan meminta RUU ini segera dibatalkan. Prof Rochmat Wahab,
Ketua Dewan Pakar Institut KH Ha syim Muzadi, misalnya, mengingin kan pembatalan RUU karena
RUU HIP itu isinya tidak hanya terkait dengan haluan ideologi Pancasila, tetapi juga menyangkut
materi OTK (organisasi dan tata kerja) BPIP. Bahkan, Prof Rochmat Wahab mengkhawatirkan
Indonesia akan menjadi negara sekuler dan dapat memberikan kemudahan akses masuknya
ideologi terlarang, seperti PKI. Selanjutnya, ia meminta agar tidak ada pemerasan lima sila
Pancasila menjadi Trisila, dan berakhir dengan Ekasila (Gotong Royong). Ini sangatlah
bertentangan dengan rumusan Pancasila yang sah yang tercantum di Pembukaan UUD 1945.
Sebenarnya pemerintah sendiri, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan pemerintah akan mempertahankan
bahwa Pancasila yang kita anut ialah Pancasila yang disahkan 18 Agustus 1945, bukan yang trisila
atau ekasila. Mahfud pun menyatakan, bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang
tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan
paham. Terkait dengan komunisme, Mahfud menegaskan pelarangan komunisme di Indonesia
telah final berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I Tahun 2003, bahwa tidak ada ruang hukum untuk
mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV/MPRS/1966 Tahun 1966. Kita patut lega atas
pernyataan Menko Polhukam tersebut. Pandangan Mahfud sebenarnya sesuai dengan
konsiderans Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang
menyatakan bahwa rumusan Pancasila sejak 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus 1945 ialah satu kesatuan proses
lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Kita tunggu langkah pemerintah untuk konsisten dan
tegas dalam upaya pelarangan penyebaran ajaran komunisme/ marxisme-leninisme. Kesalahan
konsepsi Kalau kita cermati Pasal 1 RUU HIP, dinyatakan: ‘Haluan Ideologi Pancasila adalah
pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan
pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilainilai Pancasila’. Secara definisi, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haluan memiliki arti arah, tujuan, dan pedoman. Jimly
Asshiddiqie (2019) dalam artikelnya menyebutkan bahwa haluan negara merupakan pedoman
arah atau panduan bagi seluruh penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan
masyarakat dalam menjalankan roda pembangunan nasional. Jadi, menurut penulis, haluan
negara itu memuat kepentingan nasional (national interest) sudah termaktub dalam Pembukaan,
yang kemudian diderivasikan ke dalam pasal-pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, terdapat dalam naskah RPJP, RPJM, dan renja serta dokumen perencanaan
pembangunan di daerah. Meskipun pascaamendemen UUD 1945, MPR tidak memiliki
kewenangan menetapkan GBHN, NKRI masih tetap memiliki haluan pembangunan dalam naskah
perencanaan pembangunan seperti RPJP, RPJM, rensta, renja, dan turunannya. Rumusan haluan
ideologi itu rancu sejak awal penamaan RUU HIP ini. Apakah sebuah ideologi butuh haluan atau
pedoman? Bukankah ideologi itu sumber utama dari haluan negara? Kemudian, kalaupun harus
ada haluan ideologi misalnya, apakah selama ini sejak NKRI merdeka tidak memiliki haluan
tersebut? Kalau haluan ideologi memang perlu dirumuskan, berarti haluan bidang lain juga harus
ada, misalnya haluan politik, haluan ekonomi, haluan sosial-budaya, dan haluan pertahanan
keamanan. Bukankah selama ini haluan atau rumusan perencanaan pembangunan nasional selalu
ada apa pun namanya. Jadi, sekali lagi kesalahan berpikir seperti dalam RUU HIP ini harus
diluruskan. Ideologi itu sumber haluan, artinya ideologi memberikan pedoman bagi
penyelenggara negara dan seluruh warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, termasuk dalam merumuskan perencanaan pembangunan nasional di seluruh
bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Begitu pun kalau ditilik dari UU No
12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, sudah jelas hierarki tata
urutan peraturan perundang-undangannya dan Pancasila dinyatakan sebagai sumber segala
sumber hukum negara. Pancasila harus diposisikan sebagai sumber dari segala sumber hukum
yang berlaku di Indonesia. Masalahnya, sekarang ialah belum sepenuhnya seluruh materi per
aturan perundang-undangan mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Segenap keputusan politik
dalam peraturan perundang-undangan pun belum seutuhnya merefl eksikan nilai-nilai Pancasila.
Padahal, seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Jangankan dengan Pancasila, dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, UU itu
banyak yang bermasalah. Berapa ratus UU yang dicabut atau dibatalkan Mahkamah Konstitusi
karena bertentangan dengan konstitusi. Padahal sejatinya, peraturan perundang-undangan
haruslah mencerminkan kepentingan nasional, tidak diskriminatif, bernuansa keadilan, dan
adanya persamaan hukum. Oleh karena itu, setiap pembentukan dan pengimplementasian
peraturan perundang-undangan di Indonesia harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Persoalan
implementasi Harus dipahami bahwa nilainilai Pancasila saat ini sedang mengalami benturan nilai
peradaban, khususnya dengan ideologi kapitalismeliberalisme yang mengusung kebebasan dan
bahaya laten ideologi komunisme serta ancaman radikalisme. Pancasila sebagai sumber nilai
haluan negara belum sepenuhnya diejawantahkan secara utuh dan sistemis dalam praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan paling fundamental dari Pancasila bukan
persoalan haluan, melainkan persoal an implementasinya. Khususnya, bagaimana melakukan
delivery konseptual dan nilainya ke dalam tataran praksis operasional. Dengan kata lain,
bagaimana nilai ideal Pancasila yang universal diderivasikan ke domain nilai-nilai instrumental
dalam ranah pembentukan peraturan perundang-undangan, dan bagaimana nilai-nilai ideal
Pancasila terinternalisasi ke dalam nilai-nilai praktis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana praktik sikap dan perilaku para
elite dapat menjadi sikap keteladanan dalam kehidupan kebangsaan kita hari ini. Bukan malah
sebaliknya, rakyat disuguhi tontonan praktik yang tak Pancasilais. Saat ini berkembang ide bahwa
bagaimana kalau seluruh RUU sebelum disahkan DPR dan pemerintah menjadi UU dikaji dan
diberi masukan terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini di beberapa negara
dinamakan judicial preview. Meskipun MK belum memiliki kewenangan itu, proses ini sifatnya
bisa dilakukan secara informal dan berupa masukan substantif dari materi RUU, dan tidak
mengarah kepada persoal an teknis di DPR. Upaya ini merupakan terobosan politik hukum untuk
memperkecil peluang judicial review di kemudian hari. Khusus kepada DPR, mohon kaji ulang
secara mendalam RUU HIP ini agar kita tidak mengalami distorsi sejarah dan salah konsep
mengenai ideologi dan haluan. Lalu pelajari kembali filsafat Pancasila secara keilmuan agar lebih
memahami kedudukan dan fungsi Pancasila secara utuh. Perdalam juga pemahaman baik teori
Stufenbau (Hans Kelsen) maupun teori Hans Nawiasky. Lalu, libatkan perguruan tinggi secara lebih
masif dalam setiap pembahasan RUU. Terakhir, jangan pernah lagi terjadi proses pendangkalan
atau pembelokan makna Pancasila oleh kelompok-kelompok yang tidak paham akan Pancasila.
Distorsi pemahaman dan peminggiran Pancasila amat berbahaya, bahkan bisa berpotensi memicu
disintegrasi bangsa.
2. - Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama
(koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Sebenarnya berbicara tentang
konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep kemajemukan atau
keberagaman, dimana jika kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri bahwa pluralisme itu
merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk.
- Radikalisme berasal dari kata dasar radikal dan isme. Radikal itu sendiri berasal dari bahasa
latin radix yang artinya akar. Sedangkan imbuhan isme merupakan kata untuk
mengintegrasikan sifat pada sebuah kata kerja. Dengan demikan secara etimologis,
radikalisme adalah sesuatu yang bersifat mengakar.
Istilah bersifat mengakar lebih mudah dipahami dengan istilah bersifat mendasar, bersifat
fundamental, atau bersifat pada aturan bakunya. Apabila diaplikasikan konteks sosial dan
politik, radikalisme dapat diartikan sebagai sifat patuh secara absolut pada aturan dan
pemikiran golongan atau kelompok masyarakat tertentu.
Radikalisme tidak dapat disebut radikal jika sama sekali tidak memiliki konflik dengan aturan
seluruh kelompok masyarakat. Syarat utama untuk dapat disebut radikal adalah apabila
aturan kelompok masyarakat tertentu sangat berbeda dan sangat berpotensi untuk
menimbulkan konflik dengan sebagian besar kelompok masyarakat. Representasi sebagian
besar kelompok masyarakat secara de jure adalah negara. Oleh karenanya, radikalisme dalam
bentuk apapun merupakan salah satu musuh negara.
- Upaya mengatasi radikal dan pluralism
a. Mengatasi radikal
Meningkatkan Pemahaman Keagamaan

Radikalisme disebabkan oleh minimnya pemahaman agama. Belajar agama secara dangkal
dapat memicu mereka melakukan kekerasan, bahkan atas nama agama. Tindakan terorisme
balakangan ini dilakukan dengan cara bunuh diri, misalnya bom bunuh diri, sebab Islam
justru melarang tindakan bunuh diri, sehingga tindakan terorisme dalam bentuk apapun
sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Tindakan terorisme mengatasnamakan Islam
sering mengaitkan perbuatannya dengan jihad, padahal mereka sebenarnya tidak tahu
makna jihad sesungguhnya. Untuk itu kita harus belajar agama pada yang ahlinya yang tahu
betul apa arti jihad sesungguhnya.
Membentuk komunitas-komunitas damai di lingkungan sekitar

Pemuda bisa menjadi pionir dalam pembentukan komunitas cinta damai di lingkungannya.
Komunitas-komunitas tersebut lah yang melakukan sosialisasi ke masyarakat maupun ke
sekolah-sekolah akan bahaya paham radikalisme. Selain itu komunitas-komunitas ini juga
ikut aktif dalam pengawasan sehingga jika dalam lingkungannya terdapat hal-hal yang
mencurigakan terkait penyebaran virus radikalisme segera melaporkannya ke pihak yang
memiliki wewenang seperti tokoh masyarkat dan tokoh agama.

Menyebarkan Virus Damai di Dunia Maya

Hasil penelitian terbaru mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan
anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. Mereka ini menggunakan internet hanya
untuk mencari informasi, untuk terhubung dengan teman (lama dan baru) dan untuk
hiburan. Hal inilah yang menjadi celah bagi para penyebar paham radikalisme untuk
menyebarkan pahamnya di dunia maya. Oleh karena itu, dibutuhkan aksi dari pemuda
sebagai pengguna internet terbanyak di Indonesia untuk menangkal informasi-informasi
yang menyesatkan dengan mengunggah konten damai di social media seperti tulisan, komik,
dan meme. Sehingga konten-konten damai yang bertebaran di dunia maya dapat
mengalahkan konten-konten radikal yang disebarkan oleh kelompok-kelompok radikal,.

Menjaga Persatuan dan Kesatuan

Generasi Muda adalah generasi penerus Bangsa yang mempunyai kemampuan,


kepinteran, Keberanian dan mempunyai tekad yang kuat untuk melindungi Bangsa Indonesia
yang mereka cintai. Generasi muda adalah Warga Negara yang menjadi unsur penting
dalam suatu Negara. Menunjukkan sikap bela Negara para Generasi Muda saat ini dapat
dilakukan dengan menampilkan perilaku-perilaku positif yang sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa yang bertujuan
untuk melawan segala macam paham kebencian dan kekerasan yang ingin merusak keutuhan
NKRI.
b. Mengatasi pluralism
 Tidak mendiskriminasi umat lain untuk memeluk Islam
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benardaripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghutdan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui. (al-Baqarah [2]: 256).
Dalam tafsir al-Maghari disebutkan sabab muzul ayat ini, diriwayatkan dari Ibnu Jariri
dari jalan Ikrimah dari Ibnu Abbas: “seorang lakilaki Anshar, bernama Hushain,
mempunyai dua anak laki-laki beragama nasrani, sedangkan dia sendiri adalah
muslim. Lalu dia bertanya kepada Rasulullah: “bolehkan saya memaksa kedua anak
saya masuk Islam? karena keduanya hanya mau beragama Nasrani”. Lalu turunlah
ayat ini. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hushain memaksa kedua anak laki-
lakinya untuk memeluk agama Islam. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah.
Kemudian ia berkata: “wahai rasulullah, apakah kedua anakku ini akan masuk neraka
dan aku menyaksikan?”. Lalu turunlah ayat ini. Dan kemudian kedua anak itu
diberikan kebebasan.24 Dalam riwayat di atas tergambar jelas bawa secara tegas al-
Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada paksaan beragama. Sekalipun orang tua
terhadap anaknya. Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an memberikan kebebasan bagi
setiap jiwa dalam berkeyakinan. Karna keyakinan adalah hal yang bersifal pribadi dan
eksklusif, tidak ada kekuatan manapun dapat memaksakan keyakinan seseorang
melainkan hanya kekuasaan Tuhan.
 Menanamkan sikap toleransi dan koeksistensi keanekaragaman sebagai sebuah
keniscayaan.
Dalam al-Qur’an, sebenarnya banyak sekali ayat-ayat yang mengisyaratkan
tentangpluralitas. Termasuk pluralitas dalam beragama yang mrupakan sebuah
ketetapan Tuhan. Salah satu ayat yang berbicara tentang hal tersebut adalah :
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Yunus [10]: 99)
Imam al-Thabari menjelaskan ‫ولو ءاش‬jikalaulah Tuhanmu menghendaki wahai
Muhammad, niscaya Allah akan menjadikan semua orang yang ada di muka bumi ini
beriman kepadamu dan membenarkan kenabianmu, tetapi Allah sungguh tidaklah
karna, ‫ ولكن ال يشاء ذلك‬itu menghendaki itu merupakan ketetapan tuhan-Mu sebelum
pengutusan engkau sebagai rasul. Dan mereka hanya akan beriman kepada apa yang
kamu sampaikan dan membenarkan kenabianmu, jika kami memberi petunjuk dan
nur kami kepada mereka.
Dengan demikian, jelaslah bahwa keanaekaragaman beragama adalah sebuah
keniscayaan dan ketetapan Tuhan (sunnatullah). Kesadaran akan keankaragaman
sebagai sebuah keniscayaan adalah hal yang sangat perlu ditanamkan oleh setiap
pribadi, agar tidak menimbulkan sikap anti-pluralisme agama yang berujung pada
kekerasan, konflik berkepanjangan yang menelan korban jiwa. Karena Islam sangat
menjunjung tinggi perdamaian, kerharmonisan, dan megharamkan membunuh jiwa-
jiwa dengan cara yang tidak dibenarkan. Membunuh satu jiwa yang tak bersalah
dengan cara yang tidak dibenarkan itu sama halnya dengan membunuh semua
manusia.
 Mencari titik temu
Sebelum Islam lahir, di tanah Arab sudah mencul berbagai agama, seperti Yahudi,
Nasrani, Majusi dan Shabi’ah. al-Qur’an memiliki pandangan tersendiri dalam
menyikapi pluraltas umat beragama tersebut. terhadap ahlu kitab (meliputi Yahudi,
Nasrani), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimah sawa’).
Sebagaimana firman Allah:
Katakanlah: «Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah». jika mereka berpaling
Maka Katakanlah kepada mereka: «Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)». (Ali ‘Imrān [3]: 64) Menurut Ibnu Jarīr al-Ṭabarī,
ayat ini adalah pentitah Allah kepada nabi muhammad untuk mencari titk temu
antara umat Islam, kristen dan yahudi yaitu kalimah sawā’ (mentauhidkan Allah).
Ini menunjukkan bahwa al-Qur’an mengajarkan kepada umatnya untuk berdialaog
aktif dengan umat lain dan mencari titik temu jika terjadi perselisihan. Lebih lanjut,
pada akhir tersebut, ayat Allah menutup firmannya dengan “jikalau mereka berpaling
(enggan mentauhidkan Allah), maka katakanlah kami adalah orang muslim”. Ini
berarti jika memang tidak mendapatkan titik temu, maka jalan keluar bukanlah
konflik. Tetapi adalah sikap kebesaran dalam menerima perbedaan dan saling
menghargai keputusan kelompok lain.
3. Ketika berbicara tentang jihad maka tidak lepas dari dua term lain yang terkadang dikaitkan
dengannya, al-qitâl dan al-harb. Sekilas, tiga kata ini memiliki kesamaan makna, namun jika
ditelurusi lebih lanjut, akan terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Secara
etimologi, jihad berasal dari kata kerja jâhada-yujâhidu, masdarnya jihâdan wa mujâhadatan.
Dalam Lisan al-‘Arab, Ibnu Mandzur menjelaskan bahwa jihad berasal dari kata al-juhd artinya al-
tâqah (kekuatan), al-wus’u (usaha) dan al-masyaqqah (kesulitan). Pendapat Ibnu Mandzur ini
senada dengan Muhammad Murtadha al-Husni al-Zabidi dalam Tâju al-‘Arus, 7 namun sedikit
berbeda dengan Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Abdi al-Qadir alRazi dalam Mukhtar al-Shahâh
yang menyebutkan jihad berasal dari kata al-juhd artinya al-tâqah, atau al-jahd artinya
almasyaqqah.
Dengan demikian, asal kata jihad adalah al-jahdu dengan mem-fathah-kan huruf jîm atau al-juhdu
dengan mendhammah-kan huruf jîm, yang artinya al-tâqah (kekuatan), al-wus’u (usaha) dan al-
masyaqqah (kesulitan). Selanjutnya, kata al-juhdu bermetamorfosa menjadi jihad. Jihad dalam
kamus Mukhtar al-Shahah adalah badzlu al-wus’i (mengerahkan kemampuan).9 Sementara dalam
kamus Tâju al- ‘Arus terdapat dua pengertian tentang jihad: (1) al-qitâlu ma’a al- ‘aduwwi, kal
mujâhadah (memerangi musuh seperti bermujahadah)10 dan (2) muhârabatu al-a’dâ’, wa huwa
al-mubâlaghah wa istifrâghu mâ fî al-wus’i wa al-tâqati min qawlin aw fi’lin. Wa almurâd bi al-
niyyah ikhlash al-‘amal lillâhi ta’ala (memerangi musuh dengan penuh kesungguhan dan
kekuatan, baik berupa perkataan atau perbuatan, dengan niat ikhlas karena Allah SWT). Adapun
dalam Lisânu al-‘Arab tertulis, jihad adalah qâtala wa jâhada fî sabîlillah (berperang dan berjuang
di jalan Allah).11 Dari pemaparan tentang ta’rîf jihad di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
secara etimologi jihad adalah perjuangan dengan mengerahkan segenap kemampuan, baik
perjuangan dalam bentuk melawan musuh di medan pertempuran, atau perjuangan tanpa terjun
ke medan pertempuran. Sehingga muslim yang berjuang dengan menuntut ilmu kemudian
berdakwah di jalan Allah SWT, sudah termasuk mujâhid (pelaku jihad).
 Jihad bil hal menegakkan amar ma’ruf bil ma’ruf dan nahi munkar bil ma’ruf juga
jangan nahi munkar bil munkar jadinya melawan kemunkaran dengan kemunkaran
itu tidak pantas
 Jihad bil af’al contohnya kita melaksanakan sesuatu yang sudah seharusnya kita
kerjain seperti belajar memerangi kebodohan
 Jihad bil lisa kita memberi tau atau memperingati orang yang agak salah cara mereka
melakukan sesuatu seperti yang diatas di jihad bil hal
 Jihad bil qolbi itu adalah yang paling rendah imannya ketika seperti ini karna kita
sudah tidak bisa berbuat apa-ap.
4. Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung
jawab kepada Allah dalam arti bahwa da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan
dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab kepada
masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah memberikan kontribusi positif
bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung
arti bahwa pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara
dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku
dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan
simpati dari masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai