Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Matakuliah Hukum
Humaniter
Dibuat oleh:
Kelas: A
Dosen: Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum
Bandung
2014
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
genosida Rwanda, adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu
Rwanda terjadi, dan benar – benar tak terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi
atau membeda–bedakan suku Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu
Twa. Belgia membuat Tutsi, sebagai suku minoritas dibandingkan Hutu, menjadi
suku yang lebih superior. Mereka diberikan kewenangan untuk berkuasa dan
memerintah. Belgia memilih Tutsi karena dari sudut pandang Belgia, Tutsi terlihat
1
lebih ‘Eropa’ secara fisik untuk mereka. Saat itu Twa tidak diperhitungkan karena
tidak diberi kesempatan untuk memerintah. Hal ini berjalan cukup lama dan
dapat dipastikan bibit kecemburuan sosial mulai tumbuh di hati para Hutu melihat
kepada Hutu. Tentu saja keputusan ini sangat mengejutkan Tutsi yang telah
Rwanda.
Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100
hari pada tahun 1994. Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika
Perancis. Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu
heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri
2
menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat
sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun
tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana
Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok
Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai
status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi
tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-
nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun
begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Paling umum saat itu hanyalah
FrontPatriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu Paul Kagame. Usai
Habyarimana.
kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi
menjadi korban pembantaian. Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF
pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota
Nyarubuye berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa
dan Hutu) tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak
Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena
5
BAB II
HUKUM HUMANITER
A. Hukum Humaniter
Hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya dalam situasi perang yang
dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa bersenjata di mana ada
dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau
humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sama,
situasi yang lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya, yang berada
dalam situasi lemah adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak
penguasa, sedangkan dalam konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi
lemah adalah penduduk sipil serta combatant yang menjadi korban perang. 1
hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang. Hukum humaniter
internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut
1
Pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf, hlm. 374, diakses pada tanggal 13 September 2014, pada
pukul 22.36.
6
merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik, 2 yaitu bidang hukum
dan alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi
yang diadakan pada tahun 1907. Di samping itu ada beberapa instrumen hukum
humaniter yang dibuat setelah dua konferensi perdamaian tersebut yang juga
perdamaian ini dihasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi. Adapun tiga
2
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
7
2) Deklarasi tentang larangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-
Peperangan;
e) Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal
Perang;
f) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
g) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
h) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang
perang di laut;
i) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
kepentingan perang);
8
k) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang
di Laut.
2. Hukum Jenewa
Hukum Jenewa yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri
Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in
Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for
Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 dilengkapi
Protokol I; dan
9
2. Protokol Tambahan Pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yang
internasional, serta keadilan tidak terancam, hal tersebut diatur didalam Pasal 2(3)
piagam PBB. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional, yaitu :
1. Perjanjian antara dua pihak yang bersengketa
2. Keputusan badan peradilan
Cara penyelesaian sengketa dengan damai ditentukan di dalam Pasal 33(1) Piagam
PBB, yaitu :
1. Negosiasi
2. Enkuire
3. Mediasi
4. Konsiliasi.
Hal tersebut dipakai jika para pihak dapat membuat perjanjian penyelesaian
sengketa. Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai dengan
asas keadilan dan hukum iternasional, maka diperlukan badan yang berdiri sendiri
dan badan ini kedudukannya sebagai alat perlengkapan utama PBB. Badan ini
boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala
3
Pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf, hlm. 379-383, diakses pada tanggal 13 September 2014, pada
pukul 22.40.
10
pengaruh, maka dibentuk Mahkamah internasional (ICJ) oleh PBB. Mahkamah
internasional tidak hanya sebagai pelengkap alat perlengkapan utama PBB tetapi
juga sebagai badan peradilan yang dibentuk berdasarkan piagam PBB. Dewan
perlengkapan utama yang bertindak sebagai quasi judicial. Jika kewenangan dewan
sebagai keputusan dewan keamanan yang menurut Pasal 25 Piagam PBB mengikat
para pihak, disini perlu diingat bahwa dewan keamanan bukan tribunal, bukan
Dalam hal ini mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang akan dibahas
adalah mengenai genosida. Kejahatan ini merupakan salah satu dari empat
pelanggaran berat dalam konteks Hak Asasi Manusia. Kejahatan ini berada dalam
lainnya, seperti kejahatan perang, agresi, dan kemanusiaan. Ada pula istilah
11
genosida budaya yang diartikan sebagai pembunuhan peradaban suatu bangsa
dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, atau
kali digunakan oleh seorang ahli hukum dari Polandia yang bernama Raphael
Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya yang berjudul “Axis Rule in Occupied
Europe”. Istilah ini diambil dari gabungan bahasa Yunani γένος genos yang artinya
“ras, suku, atau bangsa” dan bahasa Latin “caedere” yang berarti pembunuhan.
Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Genosida meliputi :
1. Pemusnahan kelompok etnis.
2. Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa.
3. Ada unsur “niat” yang direncanakan.
4. Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa.
5. Cara: memecah belah institusi politik, social, budaya, bahasa, perasaan
kebangsaan, dll.
6. Pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat,
12
adanya konflik bersenjata internasional. 4 Kejahatan terhadap kemanusiaan bisa
dilakukan pada masa perang maupun pada masa damai berupa kekerasan
empat perbuatan lain dalam Pasal 6 harus dilakukan dengan tujuan khusus untuk
menghancurkan sebagian maupun seluruh kelompok dari etnis, agama, atau ras
tertentu.
E. Konflik Internal
Menurut Wese Becker, konflik merupakan proses sosial dimana individu maupun
disertai dengan ancaman atau kekerasan. Konflik internal yang terjadi dalam
bebrapak dekade merupakan konflik horizontal antar ras, etnis, dan agama di
dalam suatu wilayah atau negara dimana saat perang dingin merupakan konflik
eksternal yang berkaitan dengan hubungan antar negara, namun pasca perang
dingin lebih ke konflik internal dalam bentuk gerakan separatis dan kerusuhan
massal yang menelan banyak korban jiwa. Menurut Michel E. Brown berkaitan
dengan konflik internal, antara lain pertama, konflik internal telah merebak ke
4
Genocide, http://www.scribd.com/doc/54292407/Genocide, diakses pada tanggal 14 September 2014,
pada pukul 12.11.
13
tetangga atau pemberontakan yang mencari perlindungan ke negara tetangga
BAB III
14
Pembantaian massal di Rwanda, di kenal juga di dunia internasional
sebagai Rwanda genocide karena pembantaian tersebut mengakibatkan
matinya 800.000 jiwa dari suku Tutsi, Twa dan Huth.
Rwanda sendiri merupakan sebuah Negara dengan 7,4 jiwa penduduk,
salah satu Negara dengan penduduk terpadat di afrika tengah
Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 april 1994, Saat presiden Rwanda
saat itu menjadi korban penembakan.
Penembakan presiden Rwanda yang bernama Juvenal Habyarimana ini
di lakukan oleh sekelompok ekstrim kiri yang berada di Rwanda pada
saat itu, Penembakan di lakukan di dalam sebuah helicopter
Pada saat itu presiden Rwanda yang berasal dari suku Hutu, sedang
bersama dengan presiden Burundi, Cyprien ntarymira. Para presiden
tersebut baru saja selesai menghadiri pertemuan di Tanzania.
Beberapa sumber mengatakan bahwa, penembakan tersebut dilakukan
sebagai protes terhadap rencana presiden Rwanda yang berencana akan
melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan
terhadap etnis – etnis itu.
Di ketahui bahwa rencana tersebut sudah di susun cukup lama, seperti
yang tertera dalam Piagam Arusha ( Arusha Accord ) dan pada tahun
sebelumnya 1993 Juvenal Habyarimana saat itu menjabat Menteri
Pertahanan.
Kekhawatiran atas rencana tersebutlah yang akhirnya mengakibatkan
tindak pidana pembunuhan terhadap presidennya sendiri
Peristiwa penembakan Juvenal Habyarimana kontan mengakhiri masa 2
tahun jabatannya sebagai presiden Rwanda, masalah yang lebih
besarnya lagi peristiwa tersebut memicu pembantaian etnis besar –
besaran di Rwanda.
Setelah 2 jam penembakan terhadap Juvenal Habyamirana, seluruh
tempat di Rwanda langsung di Blokade oleh pasukan khusus pengawal
presiden dan bantuan dari perancis, mereka bekerja sama dengan
kelompok militant Rwanda yaitu Interahamwe dan Impuzamugambi.
Di mulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok itu mulai membunuh
siapa saja yang mendukung piagam arusha tanpa peduli statusnya.
15
Sebagian besar korban pembunuhan massal tersebut di geletakan begitu
saja dan tidak di makamkan secara layak.
Beberapa sumber mengatakan dalam 100 hari pembantaian di Rwanda
tersebut tidak kurang dari 800 ribu jiwa atau paling banyak sekitar satu
juta jiwa etnis tutsi menjadi korban pembantaian.
Namun sayangnya, pembunuhan massal di Rwanda tidak mendapat
perhatian dari mata dunia internasional
Alasan tersebut karena semata – mata Negara Rwanda tersebut tidak
memiliki nilai kepentingan di mata dunia internasional
dari 1.000.000 (satu juta) jiwa Suku Tutsi dan Suku Hutu moderat oleh sekelompok
ekstrimis Hutu yang terjadi dalam periode 100 hari pada bulan April tahun 1994.
Pada saat jaman penjajahan oleh Belgia, terjadilah suatu diversifikasi suku yang
dilakukan oleh Belgia, yaitu kepada suku Hutu. Para penjajah Belgia lebih memilih
dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih”
yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya, sedangkan untuk “kerah biru” yang
posisi pekerjaannya lebih rendah dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu
langsung Belgia mengadu domba kedua suku ini. Hal inilah yang menjadi awal dari
dan mengakar. Dimana dari keadaan tersebut, setelah beberapa tahun kemudian
5
http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm diakses pada tanggal 13
September 2014, pada pukul 23.44.
16
tepatnya di tahun 1994, terjadilah pembantaian besar-besaran yang dikenal dengan
Rwanda Genocide.
Dalam kasus Genosida di Rwanda, hal tersebut masuk dalam kategori kejahatan
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari konteks konflik yang
terjadi, poin pertama adalah kejahatan ini berawal dari adanya konflik antar suku
dalam suatu negara, bukan antar negara. Selain itu, konflik yang terjadi di Rwanda
bukanlah kategori kejahatan perang yang masuk dalam ranah militer, tapi perang
serta pembatasan penggunaan senjata dalam konflik tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari adanya campur tangan pihak Perancis dalam membantu pasokan senjata bagi
suku Hutu dalam pembantaian tersebut. Hak-hak asasi bagi korban perang di suatu
negara yang diatur dalam konvensi genewa juga merupakan hak-hak dasar milik
setiap individu. Dalam kasus ini, hukum humaniter berperan dalam menangani
bagaimana para korban perang tersebut harus diperlakukan, karena dalam hukum
kejahatan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini secara tidak langsung
suatu negara dalam menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga
negaranya. Rwanda menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi
17
stabilitas kawasan Afrika dan menyita perhatian dunia internasional terkait dengan
nilai-nilai fundamental hak asasi manusia yang tercantum dalam piagam PBB.
Genosida ini juga menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20
setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan
konflik yang terjadi di Rwanda. Konflik yang disinyalir sebagai genosida ini telah
media konsiliasi untuk mengendalikan konflik yang timbul, dengan sasaran pihak
pemberontak. PBB sebagai media konsiliasi harus dapat bertindak secara efektif
keputusan.
Di samping itu, konflik yang ditimbulkan oleh propaganda melalui surat kabar dan
radio yang berisi pidato dan dialog tentang kebencian terhadap suku Tutsi ini juga
18
menuntut peran media internasional atas pengendalian konflik Rwanda. Media
era modern. Genosida di Rwanda menjadi sebuah bukti jika moralitas, hukum
Manusia
Selain itu, ICTR adalah komisi pengadilan internasional yang dibentuk melalui
resolusi 955 pada 8 November 1994 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan
Rwanda sebagai akibat dari diskriminasi rasial. Rwanda adalah negara multikultur
yang penduduknya terdiri dari bermacam-macam suku, dua suku yang dengan
besar-besaran yang terjadi selama bulan Juli hingga Desember 1994 ini terjadi atas
seorang keturunan Hutu. Hal ini menimbulkan kemarahan dari pihak Hutu dan
eksistensi mereka hingga pada akhirnya militer keturunan Hutu menguasai Rwanda
memusnahkannya.
Seperti halnya dengan ICTY, mahkamah ini dibentuk berdasarkan DK PBB melalui
resolusi no. 955, 8 November 1994, dibawah wewenang Bab VII Piagam. Yurisdiksi
19
ICTR ini hanya meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi oada tahun 1994 saja
etnis minoritas Tutsi yang menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang, sehingga
dapat dikatakan bahwa yurisdiksi mahkamah ini adalah internal armed conflict.
pararel dengan sistem peradilan Rwanda yang menuntut mereka yang melakukan
dukungan dan kerja sama yang baik dari negara-negara Afrika lainnya.
arti yang penting bagi benua Afrika yang sering dilanda perang saudara dan kudeta.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
20
Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal,menyusul
perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di
tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi
pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Di tahun 1961, Partai
Pemerintahan Parmehutu, yang dibentuk sebagai hasil dari pemilihan umum tahun
1961 diberi jaminan otonomi oleh Belgia tanggal 1 Januari 1962. Juni 1962 resolusi
penuh atas Rwanda (dan Burundi) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1962.
Kedua, setelah terjadi Perang Sipil di Rwanda tahun 1959, kebanyakan suku Tutsi
terbang ke negara tetangga sebagai pengungsi, tekanan dan perang gerilya di negara
tersebar di beberapa negara tetangga di Afrika ini kemudian membuat sebuah gerakan
jutaan pengungsi yang menjadi diaspora pasca perang sipil di tahun 1959. Gerakan
pemberontak, terdiri dari etnis Tutsi yang menyalahkan pemerintah atas kegagalan
demokrasi dan menyelesaikan permasalahan dari 500.000 pengungsi Tutsi yang hidup
21
Perang pertama muncul setelah gencatan senjata Arusha tanggal 12 juli
1992. Tanzania, melakukan upaya perundingan sebagai jalan mengakhiri pertikaian,
memimpin kedamaian dan membagi kekuasaan, dan mengakuai adanya militer yang
netral dalam organisasi Persatuan Afrika. Gencatan senjata efektif sejak 31 Juli 1992
dan pembicaraan politik dimulai tanggal 10 Agustus tahun 1992. Presiden Rwanda
mulai melakukan perundingan (Tripartie Talks) yang diadakan antara dua menteri luar
negeri Rwanda dan Uganda dan perwakilan UNHCR di Kigali.
Ketiga, media memainkan peranan yang signifikan dalam genosida di Rwanda,
media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan Radio Television Libre des
Mille Collines (RTLM) dipercaya memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi
kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis
dan berubah menjadi sebuah norma. Surat kabar yang dikuasai oleh negara, yaitu
Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu
memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di
tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutu’s Commandments yang
secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.
Keempat, operasi peacekeeping yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB,
United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), yang berusaha menjaga
wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya 1 juta pengungsi Tutsi di tahun 1994
kecelakaan pesawat di Bandara Kigali 6 April 1994. Rwanda menjadi sebuah failed
state yang memiliki vacuum of power di negara itu, kendali kemudian diambil alih oleh
kearah pembantaian 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat. Pihak yang bertanggung
22
jawab dalam hal ini adalah militan Interahamwe “those who attack together” dan
pembantaian atas Tutsi dan Hutu di tahun 1994 melanjutkan kampanye pemusnahan
termasuk dalam membunuh siapa saja yang dianggap kontra genosida dan suku Hutu
yang secara resmi menentang agenda mereka, sama halnya dengan pendeta dan para
pekerja kemanusiaan. Militan, terdiri dari sejumlah anggota bersenjata, pendiri Rwanda
Armed Forces (ex-FAR) dan kelompok genosida Interahamwe, yang sering melakukan
serangan terhadap kantor-kantor Aksi ini pemerintahan, institusi publik, seperti penjara,
klinik, dan sekolah.meningkatkan friksi antara kekuatan keamanan dan populasi Hutu
hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan
anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan
500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 20.000 anak-anak lahir dari
tindakan itu. Lebih dari 67% wanita yang diperkosa terinfeksi HIV/AIDS. 75.000 yang
selamat menjadi yatim piatu dan 40.000 lainnya tidak memiliki tempat tinggal. Rwanda
tidak bisa melindungi masyarakatnya bahkan menjadi ancaman bagi warga negaranya
sendiri. Genosida berakhir ketika RPF menguasai Kigali tanggal 4 Juli 1994 dan
perang berakhir tanggal 16 Juli 1994. Sebanyak dua juta pengungsi terbang ke
Kongo, Uganda, Tanzania, dan Burundi. Hal ini kemudian menimbulkan masalah
baru bagi negara-negara perbatasan sehingga muncul krisis dan Perang Kongo I
dan II.
Konflik perbatasan dan masalah pengungsi kemudian menjadi permasalahan baru
bagi Rwanda Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan tingkatan genosida pertama
23
dalam kategori “mutual genocide” karena baik suku Tutsi dan suku Hutu saling
membunuh satu sama lain karena perbedaan etnis dan partai serta konflik kepentingan
bebrapa pihak di negara itu. Korban yang sesungguhnya dalam kasus genosida di
Rwanda merupakan suku Tutsi, hampir 800.000 penduduk Rwanda yang terbunuh
adalah suku Tutsi, mayat suku Tutsi dibuang ke sungai dan pembunuh mengatakan jika
mereka akan dikirim kembali ke Ethiopia, tempat asal mereka. Negara lain juga turut
pemerintah Rwanda, dan tentara meningkat dari 5000 menjadi 40.000 di bulan Oktober
terhadap 1000 lawan politik dan pembunuhan atas 350 Tutsi di perbatasan, bahkan
melakukan tindakan apa-apa atas propaganda radio dan surat kabar, padahal media
internasional seperti Amerika Serikat-lah yang memulai kebebasan pers dan media
untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi di wilayah ini, akan tetapi tanggung jawab
nilai fundamental manusia yang tercantum dalam Piagam PBB. Genosida ini juga
24
juga meningkat bahkan menjadi concern dunia internasional. Konflik Rwanda sekaligus
pencegahan terkait dengan keamanan internal suatu negara yang harusnya menjadi
concern dunia internasional karena menyangkut hak asasi manusia. Pertikaian antar
suku di Rwanda pada awal tahun 1990 merupakan salah satu peristiwa paling berdarah
dalam sejarah Afrika. Pertikaian tersebut merupakan akumulasi dari hubungan tak
harmonis bagi warga suku Hutu sebagai mayoritas dengan suku Tutsi sebagai
minoritas, khususnya, sejak negera tersebut terlepas dari masa penjajahan Belgia.
Perang saudara di Rwanda, adalah akibat api dalam sekam yang diciptakan ex-
penjajah Belgia yang memanfaatkan hubungan tak harmonis antara suku Hutu dan
suku Tutsi, yang mengarah pada pembersihan etnis (genocide). Pertikaian kedua suku
ini sudah ada sejak lama, dan 'pertikaian' itu sepertinya 'dibina' mirip dengan cara-cara
Belanda dengan politik devide et impera. Pada masa penjajahan, Pemerintah Belgia
'berpihak' pada suku minoritas Tutsi, tetapi pada saat kemerdekaan justru kekuasaan
diberikan pada suku Hutu. Hal itu akan menjadi sesuatu yang potensial bagi suku Hutu
untuk 'balas dendam' pada suku Tutsi yang selama masa kolonialisme mendapat
banyak 'kemudahan dan keuntungan' yang tidak didapat oleh suku Hutu. Api dalam
sekam itu telah membesar dan menjadi perang saudara yang sangat mengerikan
menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warga negaranya sendiri,
25
konflik Rwanda juga memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan Afrika dan
menyita perhatian dunia internasional terkait dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan
genosida.
26