Anda di halaman 1dari 27

RWANDA GENOCIDE

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Matakuliah Hukum
Humaniter

Dibuat oleh:

Andri Rayindra – 2010200097


Casenda – 2010200160
Prayogi Saputra – 2010200148
Gusti Amanda Rivera – 2010200137
Ferdy Rito – 2010200291
Putri Carla Monica – 2010200314
Afira Nurul - 2010200350

Kelas: A
Dosen: Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum.

Fakultas Hukum
Bandung
2014

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rwanda adalah sebuah negara di Afrika Tengah. Negara ini terletak

beberapa derajat di bawah garis khatulistiwa dan berbatasan

dengan Uganda, Tanzania, Burundi, serta Republik Demokratik Kongo. Semua

wilayah Rwanda berada pada elevasi tinggi, dengan didominasi

oleh pegunungan di bagian barat, sabana di bagian timur, dan

berbagai danau tersebar di seluruh negeri. Iklimnya hangat hingga subtropis,

dengan dua musim hujan dan musim kemarau per tahun.

Pembantaian di Rwanda, yang di dunia internasional juga dikenal sebagai

genosida Rwanda, adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu

moderat oleh sekelompok ekstremis Permulaan adalah saat Belgia menjadi

penguasa di Rwanda, di mana dari masalah inilah yang menyebabkan konflik di

Rwanda terjadi, dan benar – benar tak terlupakan. Saat itu, Belgia menstratifikasi

atau membeda–bedakan suku Hutu, Tutsi dan juga sekelompok suku kecil yaitu

Twa. Belgia membuat Tutsi, sebagai suku minoritas dibandingkan Hutu, menjadi

suku yang lebih superior. Mereka diberikan kewenangan untuk berkuasa dan

memerintah. Belgia memilih Tutsi karena dari sudut pandang Belgia, Tutsi terlihat

1
lebih ‘Eropa’ secara fisik untuk mereka. Saat itu Twa tidak diperhitungkan karena

sukunya yang sangat sedikit. Akhirnya semasa Belgia menjajah Rwanda,

Tutsilah yang memegang kekuasaan. Sedangkan Hutu sebagai suku mayoritas

tidak diberi kesempatan untuk memerintah. Hal ini berjalan cukup lama dan

dapat dipastikan bibit kecemburuan sosial mulai tumbuh di hati para Hutu melihat

Tutsi sebagai minoritas dapat meguasai Rwanda.

Akhirnya pada masa dekolonisasi Belgia meninggalkan Rwanda. Saat

Belgia hendak meninggalkan Rwanda, Belgia malah memberikan kekuasaan

kepada Hutu. Tentu saja keputusan ini sangat mengejutkan Tutsi yang telah

begitu lama memiliki kekuasaan di Rwanda. Tentunya Hutu sangat gembira

dengan keputusan Belgia, dan mereka mengambil alih kekuasaan di Rwanda.

Pada 1961, terjadilah Hutu Revolution. Saat pemilu, pemerintahan sudah

didominasi oleh Hutu, hingga akhirnya Hutu terus menguasai pemerintahan

Rwanda.

Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100

hari pada tahun 1994. Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994, ketika

Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat

berada di dalam pesawat terbang. Beberapa sumber menyebutkan Juvenal

Habyarimana tengah berada di dalam sebuah helikopter pemberian pemerintah

Perancis. Saat itu, Habyarimana yang berasal dari etnis Hutu berada dalam satu

heli dengan presiden Burundi, Cyprien Ntarymira. Mereka baru saja menghadiri

pertemuan di Tanzania untuk membahas masalah Burundi. Sebagian sumber

2
menyebutkan pesawat yang digunakan bukanlah helikopter melainkan pesawat

jenis jet kecil Dassault Falcon.

Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes

terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda.

Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian

kekuasaan kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun

sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun

1993. Untuk diketahui, Habyarimana menjadi presiden Rwanda sejak tahun

1993. Sebelumnya ia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.

Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan

tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana

mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi.

Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok

militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.

Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya

memuncak menjadi tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri. Habyarimana

akhirnya dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan

penentangnya ketika mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter)

pemberian Presiden Perancis Francois Mitterand. Peristiwa tragis penembakan

Presiden Habyarimana kontan mengakhiri masa 2 tahun pemerintahannya. Lebih

mengerikan lagi, peristiwa ini memicu pembantaian etnis besar-besaran di

Rwanda. Hanya dalam beberapa jam setelah Habyarimana terbunuh, seluruh

tempat di Rwanda langsung diblokade. Pasukan khusus Pengawal Presiden


3
dengan bantuan instruktur Perancis segera beraksi. Mereka bekerja sama

dengan kelompok militan Rwanda, Interahamwe dan Impuzamugambi.

Dimulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok bersenjata itu mulai

membunuh siapa saja yang mendukung piagam Arusha tanpa memedulikan

status dan sebagainya. Perdana Menteri Rwanda yang berasal dari suku Tutsi

tak lepas dari pembunuhan kelompok bersenjata. Selain dia, masih ada nama-

nama dari kalangan menteri, pastor dan siapa saja yang mendukung maupun

terlibat dalam negosiasi piagam Arusha. Sebagian besar korban digeletakkan

begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. Paling umum saat itu hanyalah

ditimbun dengan tanah sekedarnya. Pegunungan Gisozi disinyalir menjadi

tempat pemakaman massal. Di tempat ini diperkirakan terdapat 250.000 jasad

warga tak berdosa korban konspirasi keji. Dikatakan konspirasi, karena

kemudian berkembang cerita bahwa kudeta ini dilakukan pemimpin

FrontPatriotik Rwanda, RPF (Rwandan Patriotic Front) yaitu Paul Kagame. Usai

pembunuhan massal, Kagame tampil sebagai Presiden mengantikan

Habyarimana.

Dalam seratus hari pembantaian berbagai kalangan mencatat tidak

kurang dari 800.000 jiwa atau paling banyak sekitar satu juta jiwa etnis Tutsi

menjadi korban pembantaian. Lalu setelah Kigali jatuh ke tangan oposisi RPF

pada 4 Juli 1994, sekitar 300 mayat masih saja terlihat di alam terbuka di kota

Nyarubuye berjarak 100 km dari timur Kigali. Korban yang jatuh di etnis lain (Twa

dan Hutu) tidak diketahui, akan tetapi kemungkinan besar ada walaupun tidak

banyak jumlahnya. Pembunuhan besar-besaran di Rwanda sayangnya tidak


4
mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional khususnya Perancis,

Inggris dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab paling dominan adalah karena

negeri ini tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional.

5
BAB II

HUKUM HUMANITER

A. Hukum Humaniter
Hukum humaniter berlaku dan diterapkan hanya dalam situasi perang yang

dalam konteks ini perang diartikan sama dengan sengketa bersenjata di mana ada

dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi saling bertentangan atau

konfrontatif, dan masing-masing pihak telah menggunakan kekuatan angkatan

bersenjatanya. Sekalipun berbeda dalam hal waktu penerapannya, hukum

humaniter dan hak asasi manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan yang sama,

yaitu memberikan perlindungan kemanusiaan kepada mereka yang berada dalam

situasi yang lemah. Dalam konteks hak asasi manusia, misalnya, yang berada

dalam situasi lemah adalah warga negara yang dihadapkan dengan pihak

penguasa, sedangkan dalam konteks hukum humaniter yang berada dalam situasi

lemah adalah penduduk sipil serta combatant yang menjadi korban perang. 1

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum humaniter merupakan kelanjutan

hukum hak asasi manusia yang diterapkan pada waktu perang. Hukum humaniter

internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut

dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter

1
Pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf, hlm. 374, diakses pada tanggal 13 September 2014, pada
pukul 22.36.
6
merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik, 2 yaitu bidang hukum

yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar negara.

B. Sumber Hukum Humaniter


1. Hukum Den Haag
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur cara

dan alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi

Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II

yang diadakan pada tahun 1907. Di samping itu ada beberapa instrumen hukum

humaniter yang dibuat setelah dua konferensi perdamaian tersebut yang juga

termasuk dalam kelompok Hukum Den Haag, misalnya Konvensi-konvensi

tentang Senjata.Konvensional tahun 1980.


a. Konvensi-Konvensi Den Haag 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi

Perdamaian I di Den Haag (18 Mei - 29 Juli 1899).505 Dalam konferensi

perdamaian ini dihasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi. Adapun tiga

konvensi yang dihasilkan adalah:


1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
2) Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3) Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22

Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1) Deklarasi tentang larangan penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-

peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga

dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

2
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
7
2) Deklarasi tentang larangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-

bahan peledak dari balon.


3) Deklarasi tentang larangan penggunaan proyektil-proyektil yang

menyebabkan gas-gas cekik dan beracun.


b. Konvensi-Konvensi Den Haag tahun 1907
Konvensi-Konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian Ke

II yang merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I Tahun 1899 di

Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian

II di Den Haag adalah sebagai berikut :


1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
2) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut

Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;


a) Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan;
b) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang

dilengkapi dengan Regulasi (Peraturan) Den Haag;


c) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang-orang

Netral dalam Perang di darat;


d) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan

Peperangan;
e) Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal

Perang;
f) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
g) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
h) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang

perang di laut;
i) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak

Penangkapan dalam Perang di Laut;


j) Konvensi XII tentang Pembentukan suatu Mahkamah Internasional

tentang Penyitaan contraband perang (barang selundupan untuk

kepentingan perang);

8
k) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang

di Laut.
2. Hukum Jenewa
Hukum Jenewa yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri

atas beberapa perjanjian pokok yaitu empat Konvensi-konvensi Jenewa 1949,

yang masing-masing adalah:


a. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan

Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat (Geneva

Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in

Armed Forces in the Field);


b. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan

Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for

the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked

Members of Armed Forces at Sea);


c. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang

(Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War);


d. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di

Waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian

Persons in Time of War).

Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 dilengkapi

dengan 2 Protokol Tambahan yakni :

1. Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur

tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Internasional (Protocol

Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the

Protections of Victims of International Armed Conflict), selanjutnya disebut

Protokol I; dan
9
2. Protokol Tambahan Pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yang

Mengatur tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non-

Internasional (Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August

1949, And Relating to the Protections of Victims of Non-International Armed

Conflict) selanjutnya disebut Protokol II.3

C. Intervensi Organisasi Internasional (PBB)


PBB harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan

mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan

internasional, serta keadilan tidak terancam, hal tersebut diatur didalam Pasal 2(3)

piagam PBB. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional, yaitu :
1. Perjanjian antara dua pihak yang bersengketa
2. Keputusan badan peradilan

Cara penyelesaian sengketa dengan damai ditentukan di dalam Pasal 33(1) Piagam

PBB, yaitu :

1. Negosiasi
2. Enkuire
3. Mediasi
4. Konsiliasi.

Hal tersebut dipakai jika para pihak dapat membuat perjanjian penyelesaian

sengketa. Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai dengan

asas keadilan dan hukum iternasional, maka diperlukan badan yang berdiri sendiri

dan badan ini kedudukannya sebagai alat perlengkapan utama PBB. Badan ini

boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala

3
Pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf, hlm. 379-383, diakses pada tanggal 13 September 2014, pada
pukul 22.40.
10
pengaruh, maka dibentuk Mahkamah internasional (ICJ) oleh PBB. Mahkamah

internasional tidak hanya sebagai pelengkap alat perlengkapan utama PBB tetapi

juga sebagai badan peradilan yang dibentuk berdasarkan piagam PBB. Dewan

keamanan dan majelis umum PBB juga mempunyai kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa tetapi kedudukannya hanya sebagai organ / alat

perlengkapan utama yang bertindak sebagai quasi judicial. Jika kewenangan dewan

keamanan dalam penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal 37, 38 dan 39 piagam

sebagai keputusan dewan keamanan yang menurut Pasal 25 Piagam PBB mengikat

para pihak, disini perlu diingat bahwa dewan keamanan bukan tribunal, bukan

judicial organ, karena keanggotaan dewan keamanan tidak bebas.

Berdasarkan pasal 29 piagam PBB, dewan keamanan dapat membentuk badan

subside apabila dipandang perlu untuk melaksanakan tugasnya. Berdasarkan tugas

dewan keamanan di antaranya adalah menyelesaikan sengketa dan keputusannya

mengikat, dewan keamanan berdasarkan pasal 29 piagam PBB dapat membentuk

peradilan khusus. Didalam kasus Rwanda PBB membentuk ICTR berdasarkan

resolusi Dewan keamanan No. 995 tanggal November 1994.

D. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Dalam hal ini mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang akan dibahas

adalah mengenai genosida. Kejahatan ini merupakan salah satu dari empat

pelanggaran berat dalam konteks Hak Asasi Manusia. Kejahatan ini berada dalam

yurisdiksi International Criminal Court (ICC) bersama pelanggaran HAM berat

lainnya, seperti kejahatan perang, agresi, dan kemanusiaan. Ada pula istilah

11
genosida budaya yang diartikan sebagai pembunuhan peradaban suatu bangsa

dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, atau

mengubah dan menghancurkan simbol-simbol peradabannya. Genosida pertama

kali digunakan oleh seorang ahli hukum dari Polandia yang bernama Raphael

Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya yang berjudul “Axis Rule in Occupied

Europe”. Istilah ini diambil dari gabungan bahasa Yunani γένος genos yang artinya

“ras, suku, atau bangsa” dan bahasa Latin “caedere” yang berarti pembunuhan.

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM, genosida ialah:

“Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau


memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan
agama dengan cara membunuh anggota kelompok yang dapat mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat, serta menciptakan suatu kondisi
kehidupan kelompok yang secara fisik dinilai musnah secara fisik atau secara
keseluruhan, mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut, dan memindahkan
secara paksa anak-anak yang ada dalam kelompok tertentu kepada kelompok lain.”

Genosida meliputi :
1. Pemusnahan kelompok etnis.
2. Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa.
3. Ada unsur “niat” yang direncanakan.
4. Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa.
5. Cara: memecah belah institusi politik, social, budaya, bahasa, perasaan

kebangsaan, dll.
6. Pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat,

bahkan kehidupan individu suatu kelompok.

Selain genosida, pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia adalah kejahatan

kemanusiaan. Perbedaan antara genosida dengan kejahatan kemanusiaan.

Kejahatan kemanusiaan hanya dapat dilakukan secara bersama-sama dengan

12
adanya konflik bersenjata internasional. 4 Kejahatan terhadap kemanusiaan bisa

dilakukan pada masa perang maupun pada masa damai berupa kekerasan

terhadap manusia. Pembeda genosida dari kejahatan lainnya adalah tujuan

khususnya (dolust specialist). Jadi, perbuatan tersebut, baik pembunuhan maupun

empat perbuatan lain dalam Pasal 6 harus dilakukan dengan tujuan khusus untuk

menghancurkan sebagian maupun seluruh kelompok dari etnis, agama, atau ras

tertentu.

E. Konflik Internal
Menurut Wese Becker, konflik merupakan proses sosial dimana individu maupun

kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan menentang pihak lain yang

disertai dengan ancaman atau kekerasan. Konflik internal yang terjadi dalam

bebrapak dekade merupakan konflik horizontal antar ras, etnis, dan agama di

dalam suatu wilayah atau negara dimana saat perang dingin merupakan konflik

eksternal yang berkaitan dengan hubungan antar negara, namun pasca perang

dingin lebih ke konflik internal dalam bentuk gerakan separatis dan kerusuhan

massal yang menelan banyak korban jiwa. Menurut Michel E. Brown berkaitan

dengan konflik internal, antara lain pertama, konflik internal telah merebak ke

banyak negara dan menimbulkan aksi-aksi kekerasan.Kedua, konflik internal telah

menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat

konflik, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran.Ketiga,

konflik internal penting karena sering melibatkan negara-negara tetangga sehingga

bisa menimbulkan konflik perbatasan. Pengungsi yang menyeberang ke negara

4
Genocide, http://www.scribd.com/doc/54292407/Genocide, diakses pada tanggal 14 September 2014,
pada pukul 12.11.
13
tetangga atau pemberontakan yang mencari perlindungan ke negara tetangga

dapat menimbulkan permasalahan baru yang dapat memicu konflik bersenjata

antar negara yang bertetangga.Keempat, konflik internal penting karena sering

mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang

terancam kepentingannya dan organisasi internasional.

BAB III

ANALISIS KASUS RWANDA BERDASARKAN HUKUM HUMANITER

A. Kronologis Kejadian Rwanda 1994

14
 Pembantaian massal di Rwanda, di kenal juga di dunia internasional
sebagai Rwanda genocide karena pembantaian tersebut mengakibatkan
matinya 800.000 jiwa dari suku Tutsi, Twa dan Huth.
 Rwanda sendiri merupakan sebuah Negara dengan 7,4 jiwa penduduk,
salah satu Negara dengan penduduk terpadat di afrika tengah
 Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 april 1994, Saat presiden Rwanda
saat itu menjadi korban penembakan.
 Penembakan presiden Rwanda yang bernama Juvenal Habyarimana ini
di lakukan oleh sekelompok ekstrim kiri yang berada di Rwanda pada
saat itu, Penembakan di lakukan di dalam sebuah helicopter
 Pada saat itu presiden Rwanda yang berasal dari suku Hutu, sedang
bersama dengan presiden Burundi, Cyprien ntarymira. Para presiden
tersebut baru saja selesai menghadiri pertemuan di Tanzania.
 Beberapa sumber mengatakan bahwa, penembakan tersebut dilakukan
sebagai protes terhadap rencana presiden Rwanda yang berencana akan
melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan
terhadap etnis – etnis itu.
 Di ketahui bahwa rencana tersebut sudah di susun cukup lama, seperti
yang tertera dalam Piagam Arusha ( Arusha Accord ) dan pada tahun
sebelumnya 1993 Juvenal Habyarimana saat itu menjabat Menteri
Pertahanan.
 Kekhawatiran atas rencana tersebutlah yang akhirnya mengakibatkan
tindak pidana pembunuhan terhadap presidennya sendiri
 Peristiwa penembakan Juvenal Habyarimana kontan mengakhiri masa 2
tahun jabatannya sebagai presiden Rwanda, masalah yang lebih
besarnya lagi peristiwa tersebut memicu pembantaian etnis besar –
besaran di Rwanda.
 Setelah 2 jam penembakan terhadap Juvenal Habyamirana, seluruh
tempat di Rwanda langsung di Blokade oleh pasukan khusus pengawal
presiden dan bantuan dari perancis, mereka bekerja sama dengan
kelompok militant Rwanda yaitu Interahamwe dan Impuzamugambi.
 Di mulai dari ibu kota Rwanda, ketiga kelompok itu mulai membunuh
siapa saja yang mendukung piagam arusha tanpa peduli statusnya.

15
 Sebagian besar korban pembunuhan massal tersebut di geletakan begitu
saja dan tidak di makamkan secara layak.
 Beberapa sumber mengatakan dalam 100 hari pembantaian di Rwanda
tersebut tidak kurang dari 800 ribu jiwa atau paling banyak sekitar satu
juta jiwa etnis tutsi menjadi korban pembantaian.
 Namun sayangnya, pembunuhan massal di Rwanda tidak mendapat
perhatian dari mata dunia internasional
 Alasan tersebut karena semata – mata Negara Rwanda tersebut tidak
memiliki nilai kepentingan di mata dunia internasional

B. Analisis Kasus Rwanda Berdasarkan Hukum Humaniter


Genosida di Rwanda (Rwanda Genocide) adalah sebuah pembantaian lebih

dari 1.000.000 (satu juta) jiwa Suku Tutsi dan Suku Hutu moderat oleh sekelompok

ekstrimis Hutu yang terjadi dalam periode 100 hari pada bulan April tahun 1994.

Pada saat jaman penjajahan oleh Belgia, terjadilah suatu diversifikasi suku yang

dilakukan oleh Belgia, yaitu kepada suku Hutu. Para penjajah Belgia lebih memilih

orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang

dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih”

yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya, sedangkan untuk “kerah biru” yang

posisi pekerjaannya lebih rendah dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu

yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. 5 Secara tidak

langsung Belgia mengadu domba kedua suku ini. Hal inilah yang menjadi awal dari

timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan social yang akut

dan mengakar. Dimana dari keadaan tersebut, setelah beberapa tahun kemudian

5
http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm diakses pada tanggal 13
September 2014, pada pukul 23.44.
16
tepatnya di tahun 1994, terjadilah pembantaian besar-besaran yang dikenal dengan

Rwanda Genocide.
Dalam kasus Genosida di Rwanda, hal tersebut masuk dalam kategori kejahatan

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari konteks konflik yang

terjadi, poin pertama adalah kejahatan ini berawal dari adanya konflik antar suku

dalam suatu negara, bukan antar negara. Selain itu, konflik yang terjadi di Rwanda

bukanlah kategori kejahatan perang yang masuk dalam ranah militer, tapi perang

saudara antar masyarakat sipil.


Kaitannya dengan hukum humaniter internasional adalah sebagai pelindung bagi

korban perang dari sengketa bersenjata non-internasional yang terjadi di Rwanda,

serta pembatasan penggunaan senjata dalam konflik tersebut. Hal ini dapat dilihat

dari adanya campur tangan pihak Perancis dalam membantu pasokan senjata bagi

suku Hutu dalam pembantaian tersebut. Hak-hak asasi bagi korban perang di suatu

negara yang diatur dalam konvensi genewa juga merupakan hak-hak dasar milik

setiap individu. Dalam kasus ini, hukum humaniter berperan dalam menangani

bagaimana para korban perang tersebut harus diperlakukan, karena dalam hukum

humaniter juga diatur sedikit mengenai konflik sengketa bersenjata non-

internasional. Sedangkan dalam jenisnya, kasus ini masuk dalam kategori

kejahatan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini secara tidak langsung

menyiratkan bahwa dalam peraturan sanksi atau perlindungan mengenai kejahatan

pelanggaran hak asasi manusia masih memiliki kekurangan.


Genosida yang terjadi di Rwanda (1994) merupakan sebuah cermin kegagalan

suatu negara dalam menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga

negaranya. Rwanda menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi

warganegaranya sendiri, konflik Rwanda juga memiliki dampak sistemik terhadap

17
stabilitas kawasan Afrika dan menyita perhatian dunia internasional terkait dengan

isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan genosida.


Maka genosida yang terjadi di Rwanda seharusnya menjadi agenda keamanan

internasional karena genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap

nilai-nilai fundamental hak asasi manusia yang tercantum dalam piagam PBB.

Genosida ini juga menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20

setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan

fanatisme antar suku berubah menjadi pembantaian manusia yang mengakibatkan

eskalasi politik dan keamanan di kawasan juga meningkat bahkan menjadi

perhatian dunia internasional menyusul diadilinya para penjahat kemanusiaan di

Rwanda di Pengadilan Kriminal Internasional dan perdebatan panjang akan istilah

mutual-genocide dalam komunitas internasional.


PBB sebagai badan perdamaian dunia memegang andil yang cukup besar dalam

konflik yang terjadi di Rwanda. Konflik yang disinyalir sebagai genosida ini telah

menjadi kejahatan Internasional, dan seharusnya menjadi kewajiban bagi PBB

untuk mencari solusi pemecahannya. PBB harus menjalankan fungsinya sebagai

media konsiliasi untuk mengendalikan konflik yang timbul, dengan sasaran pihak

pemicu konflik yaitu militan Interhamwe dan Impuzamugambi sebagai kaum

pemberontak. PBB sebagai media konsiliasi harus dapat bertindak secara efektif

dalam pelaksanaan diskusi dengan pihak yang berkonflik, mampu mengambil

keputusan yang dapat memenuhi kepentingan pihak-pihak yang berkonflik, tanpa

melibatkan badan-badan lain, dan bersifat demokratis dalam setiap pengambilan

keputusan.
Di samping itu, konflik yang ditimbulkan oleh propaganda melalui surat kabar dan

radio yang berisi pidato dan dialog tentang kebencian terhadap suku Tutsi ini juga

18
menuntut peran media internasional atas pengendalian konflik Rwanda. Media

internasional seharusnya melakukan suatu tindakan yang dapat membatasi nilai-

nilai demokrasi untuk menjamin eksistensi hak asasi manusia.


Konflik Rwanda sekaligus memberi pelajaran bagi komunitas internasional untuk

mengutamakan sendi-sendi kemanusiaan dan mewaspadai mutual genocide dalam

era modern. Genosida di Rwanda menjadi sebuah bukti jika moralitas, hukum

internasional bahkan komunitas internasional sendiri gagal dalam melakukan

upaya-upaya pencegahan terkait dengan keamanan internal suatu negara yang

harusnya menjadi concern dunia internasional karena menyangkut Hak Asasi

Manusia
Selain itu, ICTR adalah komisi pengadilan internasional yang dibentuk melalui

resolusi 955 pada 8 November 1994 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan

PBB[1] sebagai tindak lanjut peristiwa genosida besar-besaran yang terjadi di

Rwanda sebagai akibat dari diskriminasi rasial. Rwanda adalah negara multikultur

yang penduduknya terdiri dari bermacam-macam suku, dua suku yang dengan

persentase terbesar adalah Hutu (85%) dan Tutsi (14%).Peristiwa pembantaian

besar-besaran yang terjadi selama bulan Juli hingga Desember 1994 ini terjadi atas

dasar perbedaan suku, bermula dari terbunuhnya Presiden Rwanda, Habyarimana,

seorang keturunan Hutu. Hal ini menimbulkan kemarahan dari pihak Hutu dan

mereka melakukan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk memperkuat

eksistensi mereka hingga pada akhirnya militer keturunan Hutu menguasai Rwanda

dan melakukan kejahatan genosida terhadap Tutsi dengan tujuan

memusnahkannya.
Seperti halnya dengan ICTY, mahkamah ini dibentuk berdasarkan DK PBB melalui

resolusi no. 955, 8 November 1994, dibawah wewenang Bab VII Piagam. Yurisdiksi

19
ICTR ini hanya meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi oada tahun 1994 saja

dimana kelompok mayoritas etnik Hutu melakukan pembantaian terhadap kelompok

etnis minoritas Tutsi yang menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang, sehingga

dapat dikatakan bahwa yurisdiksi mahkamah ini adalah internal armed conflict.

Sedangkan yurisdiksi materilnya meliputi Genosida, pelanggaran konvensi Geneva,

dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. ICTR dalam melakukan kegiatannya secara

pararel dengan sistem peradilan Rwanda yang menuntut mereka yang melakukan

perbuatan genosida dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya mendapatkan

dukungan dan kerja sama yang baik dari negara-negara Afrika lainnya.

Pembentukan ICTR dan keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya ini memiliki

arti yang penting bagi benua Afrika yang sering dilanda perang saudara dan kudeta.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
20
Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal,menyusul

perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di

tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi

hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.


Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri
dari 3 kelompok etnis: Hutu (85%), Tutsi (14%), dan Twa pygmies (1%). Setidaknya ada

beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian terhadap suku Hutu

terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung pada genosida.


Pertama, fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari “sakit hati dan reprisals

methods” suku Hutu yang mengalami marginalisasi dan stigmatisasi dimasa

pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Di tahun 1961, Partai

Gerakan Emansipasi Hutu (PARMEHUTU) menang dalam referendum PBB.

Pemerintahan Parmehutu, yang dibentuk sebagai hasil dari pemilihan umum tahun

1961 diberi jaminan otonomi oleh Belgia tanggal 1 Januari 1962. Juni 1962 resolusi

Majelis Umum PBB mengakhiri pemerintahan Belgia dan memberikan kemerdekaan

penuh atas Rwanda (dan Burundi) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1962.
Kedua, setelah terjadi Perang Sipil di Rwanda tahun 1959, kebanyakan suku Tutsi

terbang ke negara tetangga sebagai pengungsi, tekanan dan perang gerilya di negara

mereka mengakibatkan mereka tidak dapat kembali ke Rwanda. Pengungsi yang

tersebar di beberapa negara tetangga di Afrika ini kemudian membuat sebuah gerakan

yang berpusat di Uganda dengan nama Rwandan Patriotic Front (RPF).


RPF secara lantang menyerukan agar pemerintah Rwanda memperhatikan nasib

jutaan pengungsi yang menjadi diaspora pasca perang sipil di tahun 1959. Gerakan

pemberontak, terdiri dari etnis Tutsi yang menyalahkan pemerintah atas kegagalan

demokrasi dan menyelesaikan permasalahan dari 500.000 pengungsi Tutsi yang hidup

sebagai diaspora di penjuru dunia.

21
Perang pertama muncul setelah gencatan senjata Arusha tanggal 12 juli
1992. Tanzania, melakukan upaya perundingan sebagai jalan mengakhiri pertikaian,

memimpin kedamaian dan membagi kekuasaan, dan mengakuai adanya militer yang

netral dalam organisasi Persatuan Afrika. Gencatan senjata efektif sejak 31 Juli 1992

dan pembicaraan politik dimulai tanggal 10 Agustus tahun 1992. Presiden Rwanda

mulai melakukan perundingan (Tripartie Talks) yang diadakan antara dua menteri luar
negeri Rwanda dan Uganda dan perwakilan UNHCR di Kigali.
Ketiga, media memainkan peranan yang signifikan dalam genosida di Rwanda,

media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan Radio Television Libre des

Mille Collines (RTLM) dipercaya memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi

kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis

dan berubah menjadi sebuah norma. Surat kabar yang dikuasai oleh negara, yaitu

Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu

memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di

tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutu’s Commandments yang
secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.
Keempat, operasi peacekeeping yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB,

United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), yang berusaha menjaga

perdamaian pasca perundingan di tahun 1992 serta pengkondisian dan pemeliharaan

wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya 1 juta pengungsi Tutsi di tahun 1994

tidak terlaksana, setelah Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana meninggal dalam

kecelakaan pesawat di Bandara Kigali 6 April 1994. Rwanda menjadi sebuah failed

state yang memiliki vacuum of power di negara itu, kendali kemudian diambil alih oleh

kaum pemberontak yang akhirnya berujung pada genosida.


Pembunuhan menyebar di Kigali dan seluruh pelosok negeri, genosida meluas

kearah pembantaian 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat. Pihak yang bertanggung

22
jawab dalam hal ini adalah militan Interahamwe “those who attack together” dan

Impuzamugambi “those with a single purpose”. Militan genosida yang melakukan

pembantaian atas Tutsi dan Hutu di tahun 1994 melanjutkan kampanye pemusnahan

etnis dan mencoba memperluas operasi mereka melewati barat laut.


Pemberontak bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia,

termasuk dalam membunuh siapa saja yang dianggap kontra genosida dan suku Hutu

yang secara resmi menentang agenda mereka, sama halnya dengan pendeta dan para

pekerja kemanusiaan. Militan, terdiri dari sejumlah anggota bersenjata, pendiri Rwanda

Armed Forces (ex-FAR) dan kelompok genosida Interahamwe, yang sering melakukan

serangan terhadap kantor-kantor Aksi ini pemerintahan, institusi publik, seperti penjara,

klinik, dan sekolah.meningkatkan friksi antara kekuatan keamanan dan populasi Hutu

dan menimbulkan insecurity di jalanan. Bahkan masyarakat biasa dipaksa membunuh


tetangga mereka oleh pemerintahan lokal yang disponsori oleh radio.
Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000

hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan

anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan

500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 20.000 anak-anak lahir dari

tindakan itu. Lebih dari 67% wanita yang diperkosa terinfeksi HIV/AIDS. 75.000 yang

selamat menjadi yatim piatu dan 40.000 lainnya tidak memiliki tempat tinggal. Rwanda

tidak bisa melindungi masyarakatnya bahkan menjadi ancaman bagi warga negaranya

sendiri. Genosida berakhir ketika RPF menguasai Kigali tanggal 4 Juli 1994 dan
perang berakhir tanggal 16 Juli 1994. Sebanyak dua juta pengungsi terbang ke
Kongo, Uganda, Tanzania, dan Burundi. Hal ini kemudian menimbulkan masalah
baru bagi negara-negara perbatasan sehingga muncul krisis dan Perang Kongo I
dan II.
Konflik perbatasan dan masalah pengungsi kemudian menjadi permasalahan baru

bagi Rwanda Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan tingkatan genosida pertama

23
dalam kategori “mutual genocide” karena baik suku Tutsi dan suku Hutu saling

membunuh satu sama lain karena perbedaan etnis dan partai serta konflik kepentingan

bebrapa pihak di negara itu. Korban yang sesungguhnya dalam kasus genosida di

Rwanda merupakan suku Tutsi, hampir 800.000 penduduk Rwanda yang terbunuh

adalah suku Tutsi, mayat suku Tutsi dibuang ke sungai dan pembunuh mengatakan jika

mereka akan dikirim kembali ke Ethiopia, tempat asal mereka. Negara lain juga turut

andil dalam genosida yang melanda Rwanda, Perancis,disinyalir ingin

mempertahankan pengaruh di Afrika, mulai menyediakan senjata dan mendukung

pemerintah Rwanda, dan tentara meningkat dari 5000 menjadi 40.000 di bulan Oktober

1992. Mereka turut membantu Habyarimana untuk melakukan aksi penahanan

terhadap 1000 lawan politik dan pembunuhan atas 350 Tutsi di perbatasan, bahkan

melindungi pemberontak yang melakukan aksi genosida. Media internasional tidak

melakukan tindakan apa-apa atas propaganda radio dan surat kabar, padahal media

internasional seperti Amerika Serikat-lah yang memulai kebebasan pers dan media

untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi di wilayah ini, akan tetapi tanggung jawab

internasional akan masalah ini nampaknya berlawanan dengan prinsip demokrasi di

satu sisi dan hak asasi manusia di sisi lain.


Genosida yang terjadi di Rwanda setidaknya menjadi agenda keamanan

internasional karena genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-

nilai fundamental manusia yang tercantum dalam Piagam PBB. Genosida ini juga

menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust

yang terjadi di Jerman.


Konflik internal yang awalnya merupakan fanatisme antar suku berubah menjadi

pembantaian manusia yang mengakibatkan eskalasi politik dan keamanan di kawasan

24
juga meningkat bahkan menjadi concern dunia internasional. Konflik Rwanda sekaligus

memberi pelajaran bagi komunitas internasional untuk mengutamakan sendi-sendi

kemanusiaan dan mewaspadai mutual genocide dalam era modern.


Genosida di Rwanda menjadi sebuah bukti jika moralitas, hukuminternasional

bahkan komunitas internasional sendiri gagal dalam melakukan upaya-upaya

pencegahan terkait dengan keamanan internal suatu negara yang harusnya menjadi

concern dunia internasional karena menyangkut hak asasi manusia. Pertikaian antar

suku di Rwanda pada awal tahun 1990 merupakan salah satu peristiwa paling berdarah

dalam sejarah Afrika. Pertikaian tersebut merupakan akumulasi dari hubungan tak

harmonis bagi warga suku Hutu sebagai mayoritas dengan suku Tutsi sebagai

minoritas, khususnya, sejak negera tersebut terlepas dari masa penjajahan Belgia.
Perang saudara di Rwanda, adalah akibat api dalam sekam yang diciptakan ex-

penjajah Belgia yang memanfaatkan hubungan tak harmonis antara suku Hutu dan

suku Tutsi, yang mengarah pada pembersihan etnis (genocide). Pertikaian kedua suku

ini sudah ada sejak lama, dan 'pertikaian' itu sepertinya 'dibina' mirip dengan cara-cara

Belanda dengan politik devide et impera. Pada masa penjajahan, Pemerintah Belgia

'berpihak' pada suku minoritas Tutsi, tetapi pada saat kemerdekaan justru kekuasaan

diberikan pada suku Hutu. Hal itu akan menjadi sesuatu yang potensial bagi suku Hutu

untuk 'balas dendam' pada suku Tutsi yang selama masa kolonialisme mendapat

banyak 'kemudahan dan keuntungan' yang tidak didapat oleh suku Hutu. Api dalam

sekam itu telah membesar dan menjadi perang saudara yang sangat mengerikan

Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan sebuah cerminan gagalnya negara

menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga negaranya. Rwanda

menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warga negaranya sendiri,

25
konflik Rwanda juga memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan Afrika dan

menyita perhatian dunia internasional terkait dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan

genosida.

26

Anda mungkin juga menyukai