Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Nama : Kiagoos Haqqy Annafi Ghany Aziz


NPM : 2010 200 107
Kelas : B
Dosen : Dr. Catharina Ria Budiningsih, S.H., MCL., SP1
Dr. Djamal Thalib, S.H., M.hum

Artikel ke-1

Sengketa Sock Adaptor M. Rimba Aritonang dengan PT.


Perusahaan Gas Negara Tbk (Persero)

Berdasarkan aspek Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat


HKI) pada artikel ke-1, yang terjadi pada kasus tersebut merupakan sengketa
HKI pada bidang Paten, karena Pada kasus tersebut yang menjadi objek
sengketa adalah sock adaptor yang dapat dikategorikan sebagai paten sesuai
dengan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten yang memberikan pengertian mengenai paten yaitu:

“Hak ekslusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil invensinya di
bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk
melaksanakannya.”

Sock adaptor dapat dikategorikan sebagai invensi dari paten karena


sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten yang memberikan pengertian invensi yaitu:
“Ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah
yang spesifik di bidang teknologi dapat berupaproduk atau proses, atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.”

Pada kasus tersebut, tahun 1990 sock adaptor yang menjadi sengketa
dibuat oleh Rimba dan Sugihartono yang bekerja pada PT. perusahaan Gas
Negara Tbk (persero) (selanjutnya disingkat PGN) atas perintah dari direksi
perusahaan tersebut, pada saat itu Rimba memiliki posisi sebagai Kepala
Pelaksana Teknis Proyek Pemjadig, dan Sugirhartono bertugas untuk
membuat desain dan gambar sock adaptor. Apabila dikaitkan dengan aspek
HKI, pada Pasal 12 Angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten yang mengatakan bahwa:

“Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu invensi yang dihasilkan
dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekrjaan
tersebut, kecuali diperjanjikan lain.”

PGN berkedudukan sebagai majikan dari inventor yang dalam kasus


ini adalah Rimba dan Sugihartono. Artinya berdasarkan peraturan yang ada,
dalam kasus tersebut pihak PGN yang sebenarnya berhak atas hak ekslusif
dari invensi yang diciptakan oleh Rimba dan Sugihartono.

Pada Tahun 2006 dimana Rimba telah keluar dari PGN, dia
mendaftarkan sock adaptor yang diakui sebagai ciptaannya kepada Ditjen
HKI yang telah disahkan melalui tahap-tahap sampai dengan pengumuman
pendaftaran. Permasalahan yang ada yaitu pada tahun 1990 pihak PGN pada
kasus tersebut tidak mendaftarkan objek invensi yaitu sock adaptor kepada
Ditjen HKI. Maka apabila kembali pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Tahun 2001 mengenai pengertian Paten yang menjelaskan bahwa hak
ekslusif Paten atas suatu invensi diberikan oleh negara atas dasar
permintaan inventor atau pendaftar yang berhak, tentu yang berhak atas hak
ekslusif Paten yaitu Rimba yang mendaftarkan objek sock adaptor tersebut
kepada Ditjen HKI. Namun apabila pada tahun 1990 pihak PGN
mendaftarkan sock adaptor tersebut kepada Ditjen HKI dan pada tahun 2006
Rimba juga mendaftarkan objek yang sama kepada Ditjen HKI, tentu Rimba
tidak berhak atas hak ekslusif Paten sock adaptor tersebut, karena
berdasarkan Pasal 8 Angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten yang mengatakan bahwa:

“Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung
sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.”

Hal tersebut juga dapat dikaitkan dengan Pasal 20 sampai dengan


Pasal 25 yang mengatur mengenai Paten diberikan atas dasar permohonan
yang diajukan kepada Ditjen HKI. Oleh sebab itu Paten hanya berhak dimiliki
apabila objek tersebut diajukan kepada Ditjen HKI sampai dengantahap
pengesahan dan pemberian hak Paten.

Berdasarkan penjelasan kuasa hukum Rimba, Poltak yang


mengatakan bahwa sock adaptor yang didaftarkan oleh Rimba kepada Ditjen
HKI memiliki unsur pembeda dan baru dari sock adaptor yang diciptakan
pada tahun 1990 pada saat Rimba bekerja pada PGN. Oleh sebab itu apabila
berdasarkan fakta pernyataan Poltak itu dapat dibuktikan dan ternyata benar
beda dan baru, maka berdasarkan Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2001 tentang Paten yang mengatakan bahwa:

“Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut
tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.”

Apabila memang sock adaptor yang didaftarkan oleh Rimba memang


berbeda dan baru, dan apabila pada tahun 1990 pihak PGN juga
mendaftarkan objek yang sama kepada Ditjen HKI, menurut pendapat saya
maka pihak Rimba yang berhak atas hak ekslusif atas Paten sock adaptor
tersebut.

Akan tetapi apabila berdasarkan fakta dan dapat dibuktikan bahwa


sock adaptor yang dibuat pada tahun 1990 dengan sock adaptor yang
didaftarkan pada tahun 2006 ternyata memiliki kesamaan dan tidak memiliki
sifat pembeda, maka berdasarkan Pasal 13 Angka 1 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2001 tentang Paten yang mengatakan bahwa:

“Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain dalam undang-undang ini,


pihak yang melaksanakan suatu invensi pada saat invensi yang sama
dimohonkan Paten tetap berhak melaksanakan invensi tersebut sebagai
pemakai terdahulu sekalipun terhadap invensi yang sama tersebut kemudian
diberi Paten.”

Pihak PGN berhak atas kedudukan sebagai pemakai terdahulu dari


Paten sock adaptor tersebut.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis berdasarkan aspek-


aspek hukum HKI yang telah saya jelaskan yaitu apabila objek yang menjadi
sengketa yaitu sock adaptor yang didaftarkan oleh Rimba pada tahun 2006
pada kasus tersebut ternyata memiliki unsur pembeda dan baru dari apa yang
telah dibuat dan diciptakan atas dasar perintah dari PGN berdasarkan
hubungan kerja antara Rimba dengan PGN, maka Rimba tetap berhak atas
Hak Paten sock adaptor yang telah diberikan oleh Ditjen HKI, namun apabila
ternyata pada kenyataan berdasarkan fakta sock adaptor yang didaftarkan
oleh Rimba ternyata sama dengan apa yang telah dibuat dan diciptakan pada
tahun 1990 di PGN maka pihak PGN berhak atas kedudukan pemakai
terdahulu.

Saran saya terhadap kasus tersebut yaitu ditujukan kepada Ditjen HKI
untuk pengumuman Hak Paten yang hanya diumumkan pada papan
pengumuman di kantor Ditjen HKI, seharusnya pengumuman pengesahan
Hak Paten harus lebih dapat disosialisasikan kepada masyarakat contohnya
melalui surat kabar atau media lainnya, agar kedepannya kasus-kasus seperti
yang terjadi antara Rimba dan PGN dapat dihindari karena ketidaktahuan dari
PGN atas pengumuman tersebut.
Selanjutnya, pada kasus tersebut juga dapat dihubungkan dengan
aspek-aspek HKI pada bidang Desain Industri, karena pada kasus tersebut
objek yang menjadi sengketa yaitu sock adaptor berdasarkan Pasal 1 Angka
1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang
mengatakan bahwa:

“Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau


komposisi garis atau warna atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat
diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai
untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan
tangan.”

Maka sock adaptor yang menjadi sengketa berdasarkan unsur-unsur


yang ada dalam pengertian tersebut dapat dikategorikan sebagai Desain
Industri karena termasuk berbentuk tiga dimensi dan dapat dipakai untuk
mengasilkan suatu komoditas industri walaupun sock adaptor tidak memiliki
nilai estetis.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang lain yang diatur dalam Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengenai siapa yang
berhak atas Hak Paten dan mengenai permohonan kepada Ditjen HKI masih
sama dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten.

Perbedaan hanya terletak dari mengenai siapa yang mendesain


produk tersebut. Dalam kasus antara Rimba dengan PGN, menurut PGN
disebutkan bahwa orang yang membuat desain dan gambar dari sock adaptor
tersebut adalah Sugihartono yang bekerja bersama Rimba pada tahun 1990.
Maka apabila pada saat itu pihak PGN telah mendaftarkan objek tersebut
kepada Ditjen HKI maka Sugihatono sebagai pendesain juga berhak atas hak
ekslusif dari sock adaptor tersebut.
Artikel Ke-2

Kriminalisasi Pak Kunoto Alias Kuncoro 9 Petani Pemulia


Benih Jagung di Kediri

Setelah saya membaca dan menganalisis mengenai apa yang terjadi


pada kasus di artikel ke-2 ini, berkaitan dengan HKI pada bidang
Perlindungan Varietas Tanaman (selanjutnya disingkat PVT), karena
berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000
tentang Perlindungan Varietas Tanaman, yang merupakan pengertian dari
Varietas Tanaman adalah:

“Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok


tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman,
pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik
genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau
spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan
dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.”

Pada kasus tersebut yang menjadi objek dari sengketa tersebut adalah
benih jagung curah, yang apabila merujuk pada unsur-unsur dari pasal diatas,
benih jagung curah termasuk ke dalam varietas tanaman karena benih jagung
curah berbentuk dan termasuk ke dalam biji-bijian.

Berdasarkan hal tersebut dan dari penjelasan mengenai kasus


tersebut, benih jagung yang dimiliki untuk dijual oleh Pak Kunoto/Kuncoro
yang didapatkan dari petani di Desa Grogol merupakan varietas baru dan
berbeda dengan benih jagung yang dimiliki oleh PT. BISI, karena benih
jagung yang dimiliki oleh petani Desa Grogol karena para petani Desa Grogol
mendapatkan benih jagung dari hasil pemuliaan dan penyilangan di lahan
milik mereka sendiri, walaupun sebagian benih jagung didapatkan dari limbah
PT. BISI yang dibuang. Hal tersebut juga dapat dihubungkan dengan Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT apabila petani
Desa Grogol mendaftarkan hasil pemuliaan varietas tanamannya ke kantor
PVT. Pasal tersebut mengatakan bahwa:

“Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah


perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh
Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan
Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia
tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.”

Selanjutnya, pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun


2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman mengatakan:

“Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan


negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas
Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau
memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk
menggunakannya selama waktu tertentu.”

Berdasarkan pasal tersebut, pemulia yang dalam kasus ini adalah


petani Desa Grogol, memiliki hak atas varietas hasil pemuliaannya, walaupun
petani tersebut tidak mendaftarkan PVT kepada kantor PVT, karena dalam
pasal tersebut disebutkan kata dan/atau yang dapat diartikan bahwa Hak PVT
dapat diberikan kepada pemulia (tidak mendaftar kepada kantor PVT) atau
pemegang Hak PVT yang mendaftarkan varietas tanamannya kepada kantor
PVT.

Namun, apabila merujuk pada Pasal 60 dan 61 Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang dikenakan
kepada Pak Kunoto/Kuncoro untuk dasar penangkapan oleh pihak Kepolisian,
Pasal 60 Angka 1 Huruf A dan Huruf B Undang-Undang tersebut mengatakan
bahwa:

“(a) mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak berdasarkan izin


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).”
“(b) mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).”

Pasal tersebut dapat dikenakan kepada Pak Kunoto/Kuncoro karena


pada kenyataannya Pak Kunoto/kuncoro memang mendapatkan benih jagung
curah dari petani Desa Grogol yang sebagian benih tersebut didapatkan dari
limbah PT. BISI dengan tanpa izin dari PT. BISI sendiri. Kemudian Pak
Kunoto/Kuncoro setelah mendapatkan benih jagung curah dari petani Desa
Grogol, dia pun menjual kembali benih tersebut kepada orang lain yang
membutuhkan.

Selanjutnya, pada kasus tersebut juga terdapat permasalahan HKI di


bidang Merek, karena berdesarkan kronologis kasus tersebut dikatakan
bahwa telah terjadi pemalsuan kemasan milik PT. BISI oleh Pak Suwoto.
Terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengenai pengertian merek
berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek yang mengatakan:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-
angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa

Pasal lain yang terkait yaitu Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor


15 Tahun 2001 tentang Merek yang mengatakan:

“Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang


diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.”

Pasal-Pasal tersebut dapat dikaitkan dengan kasus tersebut karena


merek yang dimiliki oleh PT. BISI termasuk didalamnya hologram yang
terdapat merek PT. BISI yang menggunakan merek tersebut untuk berdagang
sebagai produsen benih-benih tanaman sehingga PT. BISI berhak atas hak
ekslusif dari merek tersebut, karena sebagai Perusahaan besar tentu PT. BISI
telah mendaftarkan merek tersebut kepada Ditjen HKI.

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Pak Suwoto dan kawan-
kawan dengan memalsukan kemasan hologram PT. BISI tentu melanggar
Pasal 90 dan 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
mengatakan:

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang


sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang


sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pak Suwoto dan kawan-kawan telah jelas-jelas memalsukan merek


PT. BISI untuk keuntungan sendiri.

Berdasarkan uraian dan analisis saya mengenai kasus Pak


Kunoto/Kuncoro dan PT. BISI, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa apa
yang dilakukan oleh petani Desa Grogol sah berdasarkan hukum karena
mereka melakukan pemuliaan tanaman sendiri dengan keahliannya sendiri,
hal tersebut juga sudah sesuai dengan Pasal 1 Angka satu sampai dengan
Angka 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT. Sedangkan
untuk mengenai apa yang dilakukan oleh Pak Kunoto/Kuncoro memang dapat
dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992
tentang Budidaya Tanaman. Selanjutnya yang terakhir untuk kasus
pemalsuan merek oleh Pak Suwoto dan kawan-kawan, memang telah
memenuhi unsur-unsur pelanggaran pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek.
Perundang-Undangan:

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang


Perlindungan Varietas Tanaman
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain
Industri
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 Tentang Paten
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya
Tanaman

Anda mungkin juga menyukai