Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA


PUSAT NOMOR: 26/PDT.SUS-HKI/PATEN/2020/PN.JKT.PST
(APOTEX INC. VS PT. NOVEL PHARMACEUTICAL LABORATORIES)

TUGAS MATA KULIAH HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL (PEMINATAN)


Dosen Pengampu:
Dr. Henny Marlina, S.H., M.H.
Ranggalawe Suryasaladin, S.H., M.H., LL.M.

NAMA : GALIH WAHYU WICAKSONO


NPM : 2206010304
KELAS : HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


PEMINATAN HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL
JAKARTA
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................i
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. Perlindungan Hak Paten dan Pelanggaran Paten.......................................................................5
B. Analisis Putusan Perkara Nomor 26/Pdt.Sus-HKI/Paten/2020/PN Jkt.Pst...............................8
1. Duduk Perkara..........................................................................................................................8
2. Tentang Pertimbangan Hakim dan Putusan.........................................................................10
3. Analisis Putusan.......................................................................................................................12
BAB III.....................................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................................15
Kesimpulan..........................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................16

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Kekayan Intelektual dapat diartikan sebagai suatu ha katas kepemilikan atas karya
atau ciptaan yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelijensi atau intelektual
manusia dalam bidang pengetahuan dan/atau teknologi, hak kebendaan, dan ha katas suatu benda
yang bersumber dari hasil kerja akal pikiran manusia. 1 Karya kekayaan intelektual mencakup
bidang ilmu pengetahuan, seni, teknologi, sastra, bahkan tradisi lokal. Kekayaan intelektual ini
tidak datang secara langsung, namun tentunya membutuhkan investasi waktu, tenaga dan uang.
Banyak pengorbanan ini membuat kekayaan intelektual layak mendapat perlindungan hukum
dan memastikan bahwa itu menciptakan nilai. Sebuah nilai yang menguntungkan banyak orang.
Selain nilai, ada juga manfaat ekonomi yang meningkatkan nilai karya intelektual. 2 HKI
merupakan hak hukum yang bersifat khusus (eksklusif) yang dimiliki oleh para pencipta sebagai
hasil aktivitas intelektual dan kreativitas yang bersifat khas dan baru.3 Pada dasarnya, yang
termasuk kedalam lingkup HKI adalah segala karya dalam bidang ilmu pengetahuan serta
teknologi yang dihasilkan melalui akal pikiran seseorang. Hal ini yang menjadi pembeda antara
HKI dengan hak milik lainnya yang diperoleh dari alam. 4 HKI memiliki beberapa klasifikasi
yaitu Hak Cipta, Hak Patenm Hak Merek dan Indikasi Geografis, Hak Desain Industri, Hak
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Perlindungan Varietas Tanaman, dan Rahasia Dagang.
Hak Paten sendiri dalam HKI merupakan bagian dari hak milik industry. Adapun hak
milik industri sendiri dalam sistem hukum Indonesia terdiri dari hak merek, hak desain industry,
hak desain tata letak sirkuit terpadu,dan perlindungan varietas tanaman. Paten senidir berasal dari
Bahasa inggris Patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri dan juga
berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang
memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Berdasrkan definisi
tersebut, dapat kita pahami bahwa konsep paten mendorong inventor untuk membuka
pengetahuan untuk memajukan masyarakat dan sebagai imbalannnya, inventor berhak atas hak

1
OK. H. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 9.
2
Abdul Atsar, 2018, Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektua, Yogyakarta, CV. Budi Utama, Hal. 3
3
Venantia S. Hadiarianti, 2015, Memahami Hukum Atas Karya Intelektual Edisi Revisi, Jakarta, Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, hal. 1.
4
Tim Lindsey, 2006, Kekayaan Intelektual, Hak Kekayaan Intelektual, Bandung, PT. Alumni, hal 161.

1
eksklusif dalam jangka waktu tertentu yang umumnya selama 16-20 tahun.5 Dalam pengertian
hukum sendiri, paten adalah suatu hak khusus atau hak eksklusif yang diberikan berdasarkan
undang-undang dari pemerintah kepada orang atau suatu badan hukum yang mendapatkan suatu
penemuan pada bidang teknologi. Maka atas hal tersebut, penemu dalam jangka waktu tertentu
dapat melaksanakan penemuannya dan/atau melarang orang lain menggunakan, membuat,
sampai dengan menjual barang penemuan tersebut. Paten merupakan bagian dari HKI yang
sangat terkait dengan kepentingan ekonomi, terutama dalam perdagangan internasional, sehingga
diperlukan perlindungan hukum yang cakupannya internasional.
Indonesia sendiri mengatur Paten dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Hak Paten (“UU Paten”). Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Paten yang secara lengkap
menjelaskan:

“Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan
sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.”

Berdasarkan uraian pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa paten merupan hak
eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil penemuannya dan inventor dapat
melaksanakn invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk
melaksanakannya. Dalam ketentuan internasional Hak Paten diatur juga dalam Pasal 27 ayat (1)
TRIP’s Agreement yang secara lengkap berbunyi:

“Patents shall be available for any inventions, wheter products or processes, in all fields of
technology, provided that they are new, invole an inventive step and are capable of industrial
application.”

Dalam UU Paten juga diatur terkait dengan sengketa paten, hal ini ditegaskan melalui
Pasal 143 yang secara lengkap berbunyi:

5
Ibid.

2
“1. Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
2. Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diterima jika produk atau proses tersebut dibuat dengan menggunakan Invensi
yang telah diberi Paten”

Berdasarkan urain Pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa apabila terdapat pihak lain
yang secara tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),
maka pemegang hak atau pemegang lisensi dapat mengajukan gugatan pelanggaran paten kepada
Pengadilan Niaga. Paten sangat berkaitan dengan pemberian hak dari kantor paten yang dalam
hal ini adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia (“DJKI”) kepada pemegang paten untuk melaksanakan hak-hak
eksklusifnya berdasarkan dari invensinya tersebut, baik dalam bentuk suatu produk atau
mempergunakan suatu proses tertentu. Setiap invensi tersebut akan selalu mendapatkan
pelindungan setelah inventor mendaftarkan penemuan atau invensinya ke pihak DJKI. Jika
terdapat pihak yang secara tanpa hak membuat, menggunakan, dan melakukan perbuatan yang
bersifat komersial maka pemegang hak paten dapat menuntut atas pelanggaran hak paten
terhadap pihak tersebut. Hak paten memberikan pelindungan bagi para inventornya bahwa
invensi mereka tidak dapat digunakan, didistribusika,n dijual, dihasilkan secara komersial,
diimpor, dieksploitasi tanpa persetujuan dari pemegang hak paten.
Salah satu kasus dugaan pelanggaran hak paten adalah kasus antara Apotex Inc. melawan
PT. Novel Pharmaceutical Laboratories. Kasus ini diawali dengan adanya dugaan pelanggaran
paten yang dilakukan oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories yakni dalam penggunaan
Deferpiron dalam produk obat Oferlod miliknya. Kemudian Apotex Inc. mengajukan gugatan ke
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
pada tulisan ini akan membahasa tentang “Analisis Putusan Pengadilan Niaga Pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 26/Pdt.Sus-HKI/Paten/2022/PN. Jkt Pst”.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tentang Pelanggaran Hak Paten pada Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2016 tentang Paten?
2. Apakah pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutus
perkara antara Apotex Inc. melawan PT. Novel Pharmaceutical Laboratories?

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hak Paten dan Pelanggaran Paten
Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak keperdataan yang melekat pada diri pencipppta
atau inventor.6 Sistem Perlindungan bidang kekayaan intelektual di Indonesia memiliki 2 (dua)
macam sistem perlidnungan. Sistem yang pertama adalah sistem first to use (sistem deklaratif),
yaitu sistem yang mengutamakan penemuan atau yang menggunakan terlebih dahuku suatu
temuan, maka akan mendapat kan perlidnungan. Sistem perlindungan yang pertama ini sudah
tidak lagi diberlakukan lagi dalam sistem perlindungan paten di Indonesia. Kemudian, sistem
perlindungan yang kedua adalah sistem first to file (sistem konstitutif), yang artinya siapa yang
mendaftarkan paten terlebih dahulu pada satu invensi yang sama maka yang pertama yang
mendaftar adalah yang berhak mendapatkan perlindungan paten, hal ini sebagaimana di atur
dalam Pasal 37 ayat (1) UU Paten yang secara lengkap berbunyi:

“Jika terhadap suatu invensi yang sama diajukan lebih dari satu Permohonan oleh Pemohon
yang berbeda dan pada tanggal yang berbeda, Pemohonan yang diberi tanggal penerimaan
lebih dahulu yang dipertimbangkan untuk diberi Paten.”

Berdasarkan hal tersebut dalam paten berlaku prinsip first to file, hak paten hanya akan
diberikan kepada orang yang pertama kali mengajukan permohonan paten dan yang sudah
mendapatkan Tanggal Penerimaan (filing date). waktu pengajuan permohonan menjadi faktor
yang sangat menentukan Syarat substantif paten dari sisi kebaruan (novelty) karena jika sudah
pernah diketahui oleh public sebelum tanggal diterimanya permohonan itu artinya invensi
tersebut bukanlah invensi baru. Dalam kasus penjualan hak paten, pelaksanaan hak eksklusif
yang dilaksanakan oleh pemegang paten, bukan Inventor. Pemohon yang berhak memperoleh
paten adalah Inventor atau Pemohon yang menerima lebih lanjut hak Inventor tersebut.
Perlindungan paten bertujuan untuk memotivasi para inventor dalam hal meningkatkan
hasil karya, baik secara kuantitas maupun secara kualitas untuk mendorong kemajuan
perekonomian serta kesejahteraan negara.7 Hak Paten merupakan hak yang diberikan oleh negara
kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi yang memiliki peranan dalam
6
Winner Sitorus dkk, 2022, Intellectual Property Rights Protection on Dance and Song as a Traditional Cultural
Expression in South Sulawesi Under National and Internaional Law, IPR Review, Vol. 03, No. 01, Hal. 187.

5
pembangunan negara. Terkait tentang Hak Paten, hal tersebut telah dijelaskan melalui Pasal 1
ayat (1) UU Paten yang secara lengkap berbunyi:

“Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan
sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.”

Berdasarkan uraian pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa sifat hak paten merupakan
hak eksklusif, hal ini diakarenakan yang dapat melaksanakan tersebut hanya seorang inventor
atau pemegang hak paten tersebut, atau pihak lain yang telah diberi persetujuan atau lisensi oleh
pemegang hak paten.8 Terkait dengan hak-hak eksklusif yang dimaksud sendiri telah diatur
dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) yang secara lengkap berbunyi:

“1. Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikanya dan
untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
a. Dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan,
menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk
yang diberi Paten;
b. Dalam hal paten proses; menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk
membuat barang atau tinakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
2. Larangan menggunakan proses produksi yang diberi Paten sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari
penggunaan proses yang diberi pelindungan Paten.”9

Berdasarkan uraian Pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat hak eksklusif
yang dimiliki oleh pemegang paten yakni meliputi Paten Produk dan Paten Produksi. Adapun
hak-hak tersebut meliputi membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan,
menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan. Apabila terdapat pihak lain yang

7
Syafrida, 2019, Pentingnya Perlindungan Hukum Paten Warga Negara Asing di Wilayah Indonesia Guna
Meningkatkan Investasi Asing, Adil: Jurnal Hukum, Vol. 10, No. 1, hal. 98.
8
Ibid, hal. 99.
9
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

6
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud di atas, maka hal
tersebut merupakan suatu pelanggaran paten. Selain itu ditegaskan kembali dalam Pasal 160
tentang perbuatan yang dilarang dimana pasal tersebut secara lengkap berbunyi:

“Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang:


a. Dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan,
menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk
yang diberi Paten; dan/atau
b. Dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk
membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”

Apabila terdapat pihak yang secara sengaja dan tanpa hak melakukan pernbuatan-
perbuatan sebagaimana yang tercantum dalam pasal tersebut maka pihak tersebut telah
melakukan tindakan pelanggaran paten. Terkait dengan hal tersebut, Pemegang paten memiliki
upaya hukum yang dapat dilakukan yakni dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pihak
pelanggar hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 143 yang secara lengkap berbunyi:

“1. Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
2. Gugatan ganti rugi yang diajukan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat diterima jika produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan
Invensi yang telah diberi Paten.”

Berdasarkan uraian pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa terkait dengan adanya
perbuatan pelanggaran paten dapat diajukan gugatan ganti rugi. Perlu kita kritisi mengapa bnetuk
gugatan tersebut merupakan gugatan ganti rugi, hal ini dikarenakan hak-hak eksklusif yang
dimiliki pemegang paten merupakan hak komersil yang mana apabila hak tersebut dilakukan
oleh pihak secara sengaja dan tanpa hak dapat menimbulkan kerugian. Selain itu perbuatan tanpa
hak tersebut merupakan bagian dari suatu perbuatan melawan hukum. 10 Selain itu, ruh dasar dari
10
Fauziah Zahrin Hikmah, 2020, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Paten Sederhana Papan dan Kotak
Iklan Sepeda Motor yang Digunakan Tanpa Seizin Pemegang Hak.

7
gugatan ganti rugi dalam UU Paten adalah ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatakan,
bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut.11
B. Analisis Putusan Perkara Nomor 26/Pdt.Sus-HKI/Paten/2020/PN Jkt.Pst
1. Duduk Perkara
Bahwa pada tanggal 15 Mei 2020, Aptex Inc (“Penggugat”). mengajukan gugatan
ke Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Tergugat PT. Novell
Pharmaceutical Laboratories (“Tergugat”). Adapun dasar gugatan tersebut adalah bahwa
Tergugat diduga telah melakukan pelanggaran paten yang berdasarkan pasal 143 UU dan
Pasal 19 UU Paten. Bahwa Penggugat mendalilkan penggugat merupakan pemegang paten
dari invensi “Penggunaan Deferipron” yang telah memperoleh hak paten terdaftar dengan
nomor IDP000020067 yang terdaftar sejak pada tanggal 28 Juni 2001 dan akan habis masa
pelindungannya pada tanggal 28 Juni 2021. Bahwa adanya paten tersebut juga melindungi
obat milik Penggugat yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesua (“BPOM”) dengan nama produk Ferriprox dan nomor registrasi
DKI1119200117A1 yang mengandung komposisi Deferiprone. Kemudian Penggugat juga
mengajukan permohonan registrasi kepada BPOM untuk indikasi yang sama dengan
Ferriprox milik Penggugat dengan nama produk Oferlod dan dengan nomor registrasi:
DKL1733539417A1. Bahwa dalam produk milik Tergugat mencantumkan indikasi yang
tertera pada leafletnya yaitu “Oferlod diindikasikan untuk pengobatan kelebihan besi pada
pasien thalassemia mayor ketika terapi deferoxamine tidak cukup.”. bahwa klaim tersebut
termasuk ke dalam perawatan yang dipakai pada klaim-klaim paten milik penggugat yang
mana pada pokoknya penggunaan sejumlah efektif secara terapeutik dari deferiprone atau
garam yang dapat diterima secara fisiologi untuk pembuatan obat pada pengobatan kelebihan
besi dalam jantung dari pasien tergantung transfuse darah yang mengalami kondisi kelebihan
besi pada jantung yang cukup untuk mengurangi selanjutnya kelebihan besi dalam jantung
secara normal bersama-sama dengan penyakit.
Bahwa Tergugat telah memproduksi dan mendistribusikan produk tersebut yang
mana telah melanggar klaim-klaim paten milik Penggugat sejak bulan Juli 2019 sampai

11
P.N.H. Simanjuntak, 2009, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, Hal. 353.

8
dengan tahun 2020. Penggugat menganggap tindakan yang dilakukan Tergugat merupakan
suatu pelanggaran terhadap hak ekslusif dari Penggugat sebagai pemilik paten, hal ini
dibuktikan oleh Penggugat bahwa Tergugat tidak pernah meminta izin atau memohon
persetujuan dari Penggugat. Atas hal perbuatan tersebut, maka Penggugat menderita kerugian
material sebesar Rp 32.766.000.000, - (tiga puluh dua milyar tujuh ratus enam puluh enam
juta rupiah). Bahwa dalam petitum, Penggugat meminta untuk:
 menerima dan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya,
 menyatakan Penggugat adalah Pemegang Paten yang sah,
 menyatakan perbuatan Tergugat merupakan Pelanggaran Paten yang menimbulkan
kerugian bagi Penggugat,
 memerintahkan Tergugat untuk menghentikan seluruh perbuatan dan kegiatan Tergugat
yang telah membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyerahkan, atau
menyediakan untuk dijual atau diserahkan produk Oferlod milik Tergugat yang
melanggar Paten Penggugat,
 Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk menghentikan produksi dan distribusi
dan menyerahkan seluruh produk Oferlod milik Tergugat yang melanggar Paten
Penggugat
 Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk membayar Ganti Rugi Material
sebesar Rp. 32,766,000,000,- (tiga puluh dua milyar tujuh ratus enam puluh enam
juta rupiah) atas kerugian penjualan di Indonesia yang diderita Penggugat akibat
pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat
 Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp 100.000.000, - (seratus juta rupiah) per hari kepada Penggugat apabila tidak
melaksanakan putusan dalam perkara a quo dari tanggal putusan;
 Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.

Bahwa kemudian Tergugat dalam jawabannya yang pada pokoknya menyampaikan


bahwa hak paten yang didaftarkan oleh Penggugat telah bertentangan dengan Pasal 9 UU
Paten yang secara lengkap berbunyi:

“Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi:

a. ….;
9
b. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan
terhadap dan/atau hewan;
c. ….;”

Bahwa berdasarkan uraian pasal tersebut, Klaim Paten milik Penggugat telah
bertentangan dengan ketentuan pasal tersebut. Hal ini dikarenakan invensi yang diberikan
perlindungan milik Penggugat adalah Metode Pengobatan penyakit jantung dengan
menggunakan zat Deferiprone. Jika mengacu pada ketentuan pasal di atas, maka Invensi
milik Penggugat sepatutnya tidak berhak untuk mendapat perlindungan. Selain itu, Tergugat
juga mendalilkan bahwa invensi yang diklaim penggugat adalah fungsi dan kegunaan
senyawa yang terkandung dalam za Deferiprone yang berfungsi untuk mengurangi kadar
dan/atau menstabilkan kandungan zat besi dalam tubuh, kemudian berdasarkan bagian
penjelasan umum dan pasal 9 UU Paten, invensi metode pengobatan dengan menggunakan
zak aktif yang sama atu serupa, dan termasuk sebagai “invensi berupa penggunaan kedua dan
selanjutnya” serta paten zat Deferiprone tersebut juga telah habis masa pelindungannya
sehingga telah menjadi domain public. Selanjutnya, Tergugat mendalilkan bahwa invensi
milik Penggugat adalah mengenai invensi Metode Pengobatan penyakit jantung, sehingga
menurut Tergugat, Penggugat tidak memiliki dasar dalam mengajukan gugatan. Hal ini
dikarenakan obat milik Tergugat adalah obat untuk menetralkan dan/atau mengurai dan/atau
menstabilkan kelebihan zat besi pada penyakit Thalasemia. Selain itu, obat Oferlod yang
dibuat atau diproduksi dan juga diperdagangkan oleh Tergugat merupakan obat yang dibuat
berdasarkan senyawa yang terkandung pada zat Deferiprone yang telah menjadi domain
publik.

2. Tentang Pertimbangan Hakim dan Putusan


Bahwa dalam memutus perkara tersebut, majelis hakim pemeriksa perkara tersebut
memiliki pertimbangan-pertimbangan sebagai beirkut:
a. Mengenai eksepsi yang diajukan oleh Tergugat terkait dengan perminataan ganti rugi
dan uang paksa, majelis hakim menolak eksepsi Tergugat tersebut. Hal ini
dikarenakan majelis memiliki pertimbangan bahwa Penggugat memiliki hak untuk
meminta ganti rugi sebesar yang dimohon kan oleh Penggugat dan alasan-alasan serta
pasal-pasal yang digunakan menurut pemahaman majelis hakimsudah masuk pokok

10
perkara. Maka atas pertimbangan tersebut majelis hakim menolak eksepsi yang
diajukan oleh Tergugat.
b. Bahwa hakim menerima legal standing atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat,
hal ini dikarenakan Penggugat dapat membuktikan bahwa Penggugat merupakan
Pemegang Hak Paten yang sebagaimana dibuktikan melalui bukti Sertifikat Paten
yang berjudul “Penggunaan Deferipron” dengan Nomor ID000020067 atas nama
Penggugat. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU Paten.
c. Terkait dengan adanya indikasi obat pada leaflet produk Oferlod produksi Tergugat
bukanlah suatu penggunaan Invensi Paten Nomor IDP000020067, yang mana obat
tersebut dibuat atau diproduksi dan juga diperdagangkan oleh Tergugat merupakan
obay yang dibuat berdasarkan senyawa yang terkandung pada zat Deferiprone yang
telah menjadi domain publik. Atas hal tersebut majelis hakim mempertimbangkan
perlu dibuktikan apakah produk Tergugat benar memiliki invensi sehingga berbeda
dengan Paten No. IDP000020067. Berdasarkan keterangan dari saksi Penggugat yang
mana pada pokoknya apabila ingin menggunakan paten harus memiliki izin terlebih
dahulu dari pemegang atau pemilik paten, apabila tidak memiliki izin maka dapat
dikenakan hukuman oleh negara dan terdapat syarat diterimanya sebuah klaim invensi
yaitu: syarat kebaruan, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam
bidang industri. Majelis hakim kemudian memeprtimbangkan dari bukti yang
diajukan oleh Tergugat bahwa zat Deferiprone telah menjadi domain umum karena
telah habis masa patennya. Sedangkan paten milik penggugat merupakan invensi
“Metode Pengobatan penyakit jantung yang menggunakan Deferiprone”.
d. Bahwa majelis hakim menimbang dikarenakan zat Deferiprone telah menjasi domain
umum serta fakta yang terungkap dalam persidangan maka dapat disimpulkan bahwa
invensi Penggugat dan Tergugat menjadi pembeda dari kedua produk Penggugat dan
Tergugat serta Penggugat tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran yang telah
dilakukan oleh Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 UU Paten.

Maka, atas pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim menjatuhi putusan


sebagai berikut:
“MENGADILI

11
DALAM EKSEPSI
- Menolak eksepsi yang diajukan oleh Tergugat
DALAM POKOK PERKARA
1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya
2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.395.000, - (satu
juta tiga ratus sembilan puluh lima ribu rupiah).”

3. Analisis Putusan
Melihat dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam perkara ini yang
menjadi permasalahannya adalah penggunaan Deferiprone yang diklaim merupakan Paten
milik Apotex Inc. Kemudian Apetox Inc. menduga adanya pelanggaran paten yang telah
dilakukan oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories yang mana diduga telah
menggunakan, memproduksi serta menjual produk obat yang mengandung Deferiprone.
Melihat dari Gugatan yang diajukan oleh Apotex Inc kepada PT. Novel
Pharmaceutical Laboratories, bahwa Penggugat memiliki dasar untuk mengajukan gugatan
kepada PT. Novel Pharmaceutical Laboratories yang dibuktikan melalui Sertifikat Paten
dengan Nomor IDP000020067 dengan judul invensi “Penggunaan Deferipron” dengan nama
pemegang paten Apotex Inc. hal ini sebagaimana telah sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU
Paten. Selain itu, penilaian majelis hakim terkait dengan penolakan eksepsi yang diajukan
oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories telah tepat, yang mana majelis hakim menilai
gugatan Apotex Inc sesuai dengan Pasal 143 UU Paten serta adanya kerugian yang
disebabkan oleh penurunan penjualan obat Ferriprox. Selain itu dasar Apotex Inc meminta
uang paksa agar PT. Novel Pharmaceutical Laboratories taat pada putusan perkara.
Selanjutnya, menelisik dari pertimbangan hakim pada pokok perkara yang mana
majelis hakim menilai bahwa terdapat perbedaan antara produk milik Apotex Inc yakni zat
Deferiprone yang digunakan masa pelindungan patennya telah berakhir, hal ini sebagaimana
yang didalilkan oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories dalam jawaban gugatannya
serta dalam dokumen bukti dengan kode T-4 A dan T-4 B. Selain itu, PT. Novel
Pharmaceutical Laboratories juga mendalilkan bahwa indikasi produk obat miliknya
ditujukan untuk penanganan Thalasemia, yang mana berbeda dengan klaim milik Apotex Inc.
yang digunakan untuk pengobatan penyakit jantung atau cardio. Atas hal tersebut Majelis

12
Hakim juga mempertimbangkan Pasal 22 ayat (1) UU Paten. Dalam membuktikan suatu
perbedaan terhadap produk tersebut, Majelis Hakim menggunakan Pasal 1 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 9, Pasal 26, dan Pasal 20 UU Paten. Secara Garis besar pertimbangan majelis
hakim dalam memutus perkara menitik beratkan pada indikasi khasiat dari produk obat milik
Apotex Inc dengan PT. Novel Pharmaceutical Laboratories.
Meskipun dalam persidangan, saksi dari Pihak Apotex Inc yakni Sdri. Prof. dr.
Pustika Amalia W., Sp.A (K) menyatakan bahwa kematian utama pasien talasemia itu adalah
kelebihan besi pada otot jantung yang mana hal tersebut telah diteliti dan dituangkan dalam
sebuah jurnal yang ditulis oleh Professor Antonio Piga, bahwa pasien talasemia yang
menggunakan Deferiprone tidak mengalami kematian sama sekali karena gagal jantung. Dari
keterangan saksi Pustika Amalia, dapat dipahami bahwa khasiat dari produk obat yang
diproduksi oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories adalah untuk mengatasi kelebihan
zat besi pada jantung, yang mana khasiatnya sama dengan produk milik Apotex Inc.
Kemudian saksi Ahli dari pihak Apotex Inc yakni Sdr. Prof. DR. Henry Soelistyo, S.H.,
LL.M., menyatakan bahwa terdapat Swiss Claim, yaitu klaim yang esensinya
mendeskripsikan tentang penggunaan baru atau penggunaan kedua dari bahan kesediaan
farmasi yang telah ada sebelumnya. Namun meskipun terdapat doktrin sebagaimana
dijelaskan sebagai oleh Sdr. Ahli Prof. DR. Henry Soelistyo, S.H., LL.M., namun doktrin
tersebut tidak berlaku di Indonesia, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Paten yang
secara lengkap berbunyi:

“Invensi tidak mencakup:


a. ….
b. …
c. …
d. …
e. ….
f. Temuan (discovery) berupa:
1. Penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau dikenal; dan/atau

13
2. Bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan
khasiat bermana dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah
diketahui dari senyawa.”

Maka berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sepatutnya penggunaan baru
yang diajukan oleh pihak Apotex Inc. tidak dapat diberikan pelindungan paten. Hal ini
dikarenakan produk Apotex Inc merupakan suatu penggunaan baru zat Deferiprone yang
mana zat Deferiprone masa pelindungan patennya telah habis. Hal ini juga sebagaiman
ditegaskan oleh saksi ahli yang dihadirkan oleh PT. Novel Pharmaceutical Laboratories yakni
Sdr. Dr. Eng. Muhamad Sahlan, S.Si., M.Eng., yang menyampaikan bahwa jika indikasi
produknya sama maka zat aktifnya juga sama yang dalam hal ini zat aktif dari produk obat
tersebut adalah zat Deferiprone dimana zat tersebut masa pelindungan patennya telah habis
dan sudah menjadi domain publik. Penggunaan paten yang sudah habis masa pelindungannya
bukanlah suatu pelanggaran, terlebih negara juga mendorong industri farmasi untuk
memproduksi keperluan obat-obatan. Dengan demikian, maka pertimbangan hakim telah
sesuai dengan ketentuan yang diatur pada undang-undang dan ditemukannya fakta bahwa zat
Deferiprone yang terdapat pada produk obat milik Apotex Inc. dan PT. Novel Pharmaceutical
Laboratories masa pelindungan patennya telah habis dan telah menjadi domain public, serta
terdapat perbedaan indikasi antara obat yang diproduksi oleh Apotex Inc. dengan PT. Novel
Pharmaceutical Laboratories.
Meskipun demikian, PT. Novel Pharamceutical Laboratories dapat mengajukan
gugatan balik (Rekonvensi) kepada Apotex Inc. dengan didasari bahwa zat Deferiprone yang
digunkanan telah habis masa pelindugan patennya serta telah menjadi domain publik dan
Paten Penggunaan Deferiprone milik Apotex Inc. bukanlah sebuah invensi apabila dilihat
berdasarkan ketentuan pasal 4 UU Paten yang mana hal tersebut merupakan penggunaan baru
untuk produk yang sudah ada atau penggunaan kedua.

14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengaturan Paten di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten. Dimana pengaturan menegaskan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu.
Seorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada
pihak lain untuk melaksanakannya. Dikarenakan sifatnya yang eksklusif maka tiap pihak lain
yang ingin melakukan yang terdapat dalam hak-hak paten tersebut, haru mendapatkan
persetujuan dari pemegang atau pemilik hak paten. Apabila tidak memiliki persetujuan tersebut,
maka hal tersebut merupakan suatu perbuatan pelanggaran paten sebagaimana diatur dalam Pasal
160 UU Paten. Adapun upaya hukum dari adanya perbuatan pelanggaran paten tersebut, pemiliki
atau pemegang hak paten dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga, sesuai
dengan ketentuan Pasal 143 UU Paten.
Hasil analisis Putusan Nomor: 26/Pdt.Sus-HKI/Paten/2020/PN.Jkt.Pst antara Apoetx Inc.
melawan PT. Novel Pharmaceutical Laboratories yang memutus untuk menolak gugatan Apotex
Inc. Hal ini didasari oleh pertimbangan hakim bahwa, majelis hakim menemukan fakta hukum
yang ditemukan dalam persidangan bahwa zat Deferiprone yang digunakan telah habis masa
pelindungan patennya dan Invensi milik Apotex Inc. yang diberi paten merupakan penggunaan
kedua dari sebuah produk yang sudah ada.

15
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN TULISAN ILMIAH
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung,
PT. Citra Aditya.
Abdul Atsar, 2018, Mengenal Lebih Dekat Hukum Hak Kekayaan Intelektua, Yogyakarta, CV.
Budi Utama.
Fauziah Zahrin Hikmah, 2020, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Paten Sederhana
Papan dan Kotak Iklan Sepeda Motor yang Digunakan Tanpa Seizin Pemegang Hak.
OK. H. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada.
P.N.H. Simanjuntak, 2009, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan.
Syafrida, 2019, Pentingnya Perlindungan Hukum Paten Warga Negara Asing di Wilayah
Indonesia Guna Meningkatkan Investasi Asing, Adil: Jurnal Hukum, Vol. 10, No. 1.
Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Dkk. 2011, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu
Pengantar, Bandung, PT. Alumni.
Venantia S. Hadiarianti, 2015, Memahami Hukum Atas Karya Intelektual Edisi Revisi, Jakarta,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Winner Sitorus dkk, 2022, Intellectual Property Rights Protection on Dance and Song as an
Traditional Cultural Expression in South Sulawesi Under National and Internaional Law,
IPR Review, Vol. 03, No. 01, Hal. 187.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten

16

Anda mungkin juga menyukai