Anda di halaman 1dari 14

Historical and

Anthropological
Jurisprudence

Kelompok Pembanding

Geano Giovan Naldi (2206010323)


Galih Wahyu Wicaksono (2206010304)
Historical Jurisprudence

Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) adalah ahli hukum Jerman


yang juga dianggap sebagai salah satu Bapak hukum Jerman. Savigny
adalah tokoh mazhab sejarah (historical school jurisprudence) yang
dikembangkannya pada paruh pertama abad ke-19. Savigny juga
dianggap sebagai pelopor kajian mengenai relasi antara
perkembangan hukum dan sosial.

Savigny memberikan kontribusi penting dalam perkembangan ilmu


hukum dan terhadap ilmu sosial. Dari sekian banyak kontribusinya
antara lain teorinya mengenai kontinuitas antara instusi hukum saat
ini dengan instusi hukum masa lalu, meletakkan fondasi bagi kajian
sosiologi hukum, dan menegaskan mengenai urgensi metode historis
dalam kajian hukum.
Historical Jurisprudence

Savigny kemudian melahirkan pengertian tentang hukum yang terkenal


sampai saat ini yaitu, “Das Recht wird nicht gemacht est ist und wird mit dem
volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang dalam
jiwa bangsa).

Mazhab sejarah memandang hukum senanasa dinamis, karena hukum adalah


produk dari spirit dan jiwa suatu bangsa yang senanasa berubah dan
dinamis. Bagi Mazhab sejarah, hukum terbentuk lewat mekanisme yang
bersifat boom up (dari bawah ke atas), bukan top down (atas ke bawah).
Hukum adalah bagian dari sejarah. Hukum adalah nilai yang berakar dari
jiwa suatu bangsa.

Atas dasar itulah Savigny melontarkan konsep volksgeist (jiwa bangsa) ketika
menggali hukum suatu bangsa. volksgeist adalah manifestasi spirit suatu
masyarakat dan sekaligus yang menjadi nyawa masyarakat tersebut.
Anthropological Juriprudence

Awal kelahiran Antropologi Hukum biasanya dikaitkan dengan


pandangan Sir Henry Maine. Ia dipandang sebagai peletak dasar
studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori
evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan
hukum.

Maine berpandangan bahwa hukum berkembang seiring dan


sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang
sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan ke masyarakat
yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan
masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya
berkembang ke bentuk kontrak.
Anthropological Juriprudence

Antropologi Hukum merupakan perkembangan tema kajian dari Ilmu


Hukum. Antropologi Hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu
hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi
hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis yang
memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum
dalam masyarakat secara luas.

Antropologi Hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-


balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris
dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam
kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat
pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga
keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat.
Ciri Utama Penelitian
Hukum

1. Menjelaskan (Klarifikasi) bagaimana hukum berlaku dalam


keadaan tertentu.
2. Merupakan Kegiatan Penyelesaian Masalah.
3. Deskripsi tentang Pengertian-Pengertian pokok dalam hukum.
4. Karya Tulis Hukum sebagai disiplin Preskriptif, bersifat normatif.
5. Harus ditunjukkan wujud hukum yang sedang dikaji pada
beraneka bentuk eksistensi hukum, beserta perspektif studi
interdisiplin untuk wujud hukum yang berbeda-beda.
Dalam penulisan hukum harus ditunjukkan dengan jelas deskripsi tentang
Pengertian-Pengertian Pokok Dalam Hukum:
1. Subyek hukum
2. Peranan dalam hukum
3. Peristiwa hukum
4. hubungan hukum
5. obyek hukum, dan
masyarakat hukum

(Agus Brotosusilo, et.al., Penulisan Hukum: Buku


Pegangan Dosen, Jakarta: Asia Foundation – Konsorsium
Ilmu Hukum – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Edisi ke-2, 1994, h.6)
Dalam hal ini, judul
”Solusi Terhadap
Pengakuan Budaya oleh
UNESCO Yang Tidak
Termasuk Pemberian
Hak Cipta Pada
Intangible Cultural
Heritage Berdasarkan
Perspektif Antropologi
Hukum” telah
mencerminkan
permasalahan yang
dikaji dan telah
merumuskan
permasalahan yang
dikaji.
penulis sudah menuliskan penulisan
sesuai displin yang preksirptif, serta
memiliki sifat penulisan normative.

Disiplin preskriptif adalah sistem


ajaran yang menentukan apakah yang
seyogyanya/seharusnya dilakukan
dalam menghadapi gejala—gejala dan
kemnyataan-kenyataan tertentu.
Hal ini dibuktikan dalam sub bagian
pembahasan artikel ilimiah ini. penulis
berhasil menjelaskan secara normatif dan
menjelaskan apa yang seharusnya atau
seyogyanya yang dilakukan.
Selanjutnya, dalam artikel ilmiah
ini, penulis juga telah memberikan
solusi dari permasalahan yang telah
dikaji oleh penulis. Maka, artikel
yang dibuat oleh penulis sudah
memenuhi ciri utam dari suatu
penelitian hukum.
Metode Penelitian Hukum
Dalam Karya Tulis ILMIAH Disiplin Hukum sesudah merumuskan
PERMASALAHAN HUKUM harus dikaji TEORI-TEORI YANG RELEVAN
(melalui studi literatur), kemudian diantaranya dipilih/diramu LANDASAN
TEORITIS sebagai dasar mencari SOLUSI PERMASALAHAN. LANDASAN
TEORITIS ini akan menentukan/membawa sendiri METODOLOGINYA.

METODOLOGI menyatu, sudah terdapat DI DALAM LANDASAN TEORI.


Metodologi harus integral, komprehensif dan koheren dengan Landasan
Teori-nya.

Karya tulis ilmiah harus menjelaskan METHODOLOGI, bukan hanya


metode, serta menjelaskan argumentasi ilmiah mengapa memilih metode
tersebut.

(Agus Brotosusilo, et.al., Penulisan Hukum: Buku Pegangan


Dosen, Jakarta: Asia Foundation – Konsorsium Ilmu Hukum –
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi ke-2, 1994, h.6)
Dalam hal ini, Metode
Penelitian yang
digunakan/dipilih
belum mencerminka
Teori atau Perspektif
Hukum yang dikaji.

Apabila
mengkaji/meneliti
mengenai Hukum
sebagai produk yang
lahir dalam
perkembangan
masyarakat di
Indonesia dapat
menggunakan metode
Historical.
SEKIAN DAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai