Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH HAK ASASI MANUSIA KASUS PELANGGARAN HAM

DI TIMOR-TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak berakhirnya perang dingin, ditandai runtuhnya salah satu Negara dikuasa
yaitu Uni Soviet, maka isu global beralih dari komunisme dan pertentangan antara blok barat
dan blok timur, ke masalah baru yaitu masalah Hak Asasi Manusia, masalah lingkungan, dan
masalah liberalism perdagangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional, tidak terlepas dari gelombang isu Hak Asasi Manusia yang
melanda hamper semua Negara di dunia ini.
Sebenarnya masalah Hak Asasi Manusia bukanlah masalah baru bagi masyarakat
dunia, karena isu Hak Asasi Manusia sudah mulai dilontarkan semenjak lahirnya Magna
Charta di Inggris pada tahun 1215, sampai lahirnya piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “Universal Declaration Of Human Right” pada tanggal 10
Desember 1948.
Patut pula dikemukakan disini bahwa jauh sebelum lahir Magna Charta di Inggris
tahun 1215, sebenarnya di dunia Islam telah terlebih dahulu ada suatu piagam tentang Hak
Asasi Manusia yang dikenal dengan “Piagam Madinnah” pada tahun 622, yang memberikan
jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi penduduk Madinnah yang terdiri atas
berbagai suku dan agama.
Berhubung Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia
semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa Hak
Asasi Manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata
bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga Hak Asasi
Manusia itu tidak bias dikurangi (non derogable right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari
Negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia tersebut.
Kita tentunya masih ingat dengan peristiwa kerusuhan atau pembantaian di provinsi
Timor-Timur pada tahun 1999. Dimana pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena
rakyat Timor-imur memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eurico Barros Gomes Guterres, itulah nama lengkapnya. Pria kelahiran Uatulari, Timor Timur,
17 Juli 1971 ini lebih dikenal dengan nama beken
Eurico Guterres. Ia seorang milisi proIndonesia atau anti-kemerdekaan Timor Timur.
Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah pembantaian di Timor Timur. Selain itu, Guterres
merupakan pemimpin milisi utama pada pembantaian pasca referendum tahun 1999 dan
penghancuran ibu kota Dili.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis akan memberikan beberapa
permasalahan dalam pembahasan makalah ini, yaitu :
1. Bagaimanakah kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur?
2. Bagaimana penerapan hukumnya?
3. Apakah alasan penangkapan terhadap tersangka Eurico Gutteres?
BAB II
PEMBAHASAN
Undang –undang Nomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia didasarkan pada prinsip-
prinsip hak asasi manusia universal sebagaimana sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi
universal Hak Asasi Manusia. Prinsip-prinsip tersebut meliputi undang-undang pertama yang
menyatakan bahwa komitmen Indonesia untuk memprioritaskan hak asasi manusia dan
kebebasan (UU 2) menyatakan bahwa Repuplik Indonesia mengakui dan mengutamakan hak
asasi manusia dan kewajiban manusia sebagai hak alamiah yang melekat dan tidak dapat di
pisahkan dari manusia .
Hak harus di lindungi, dihormati, dan ditingkatkan demi prestise kemanusiaan,kebahagiaan,
kecerdasan, dan keadilan. Karena itu, Negara ini membentuk elemen utama dalam
pengembangan dan perlindungan hak asasi manusia. Konsep Hak Asasi manusia bertujuan
untuk mengembangkan kesadaran manusia akan pentingnya menerima, menghormati, dan
menciptakan manusia yang terintegrasi dan lengkap. Dalam undang-undang 1 undang-
undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia,disebutkan bahwa Right Hak Asasi
Manusia membentukserangkaian hak yang melekat pada martabat dan martabat manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.
Pernytaan umum tentang hak asasi manusia mengacu pada deklarasi yang di rumuskan oleh
Amerika. Bangsa-bangsa pada tahun 1946, di mana pernyataan itu mencakup perlindungan
terhadap hak asasi manusia dan kemerdekaan. Hak asasi manusia terlahir bersama manusia.
Dengan kata lain, hak asasi manusia sudah ada sejak manusia ada.
Deklarasi hak asasi manusia Universal menjadi elemen pertama dari hak asasi manusia
Regulasi (bill of rights internasional) sebagai dasar bergabungnya protocol secara hukum dan
tambahan dalam perjanjian iternasional hak sipil dan politik dan dua komite ini menonton
implementasi dan setiap perjanjian menyediakan mekanisme menegakkan hak-hak. Taat
pada prinsip-prinsip yang tercermin dalam deklarasi hak asasi manusia universal menjadi
kriteria kunci pengakuan suatu Negara atau rejim baru oleh Negara lain. Disamping
penghormatan terhadap hak asasi manusia secara nyata menjadi persyaratan keanggotaan
di berbagai internasional dan organisasi regional, termaksud perserikatan bangsabangsa.
Tidak ada Negara yang mampu bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi
kerena ketidaktahuaan akan hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka harus memastikan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan yang dinyatakan dalam deklarasi sebagai
standar minimum.
Jaminan hak asasi manusia harus di buat melalui penghormatan dan pemberian prioritas
serta pengamanan perlindungan hak asasi manusia oleh Negara. Di Indonesia, bersama
dengan peraturan repuplik Indonesia yang di rumuskan, pancasila menjadi dasar ideologi
dan filosofi Negara.Oleh karena itu ,pengakuan martabat dan martabat orang (Indonesia)
bukan hasil dari perjuangan panjang tetapi pada hakekatnya melekat pada pancasila
tercermin dalam prinsipprinsipnya.ini juga remaksud dalam pembukaan dan jumlah pada
kisah para rosul dalam karya -karya asli konstitusi dasar 1945.
A. Kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976
juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis
meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata
Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu
dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di
samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi
perhatian masyarakat Australia dan media.
Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur
secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah
secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30
Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%).
Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh
unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET)
dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan
tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut
keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir
Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di
Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang
saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang
bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau
Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor
Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi
kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November,
Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya
wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan
Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi
dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia
untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung
integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di
daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor
Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke
daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk
melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di
hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan,
terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang
lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama
FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti
Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan
kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu
Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di
hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan
hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri
komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para
komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang
keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan
terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu
yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste
dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia
selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang
secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB).
Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan
tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena
keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan
kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal
diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh
sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah
cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi
dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan
FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi
merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan
bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002)
mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai
Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas
akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey
(1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.Fakta
sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang
memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media
populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12
November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma,
Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis
oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang
wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah
yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan
penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada
masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12
November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka
terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang
ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah
mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB
secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah
Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah
seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan
nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana
Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai
menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan
250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal
Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan
Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat
rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil
menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang
wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang
Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan
bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan
dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor,
ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya
memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat
Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan
bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang
yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia
yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang
menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia
II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye
diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri
luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara
halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian
Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah
demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan
kutukan internasional.
Jajak Pendapat 1999
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus
yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna
mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah
Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998,
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas
kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB.
Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro
integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat
internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech
act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia
internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor
Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak
yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang
mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir
dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini,
Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu
hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan
bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah
dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk
dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk
meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya
saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai
mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor
Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah
Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami karena terkait
masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang
menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap
berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi
melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan
jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan
bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur
menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari
Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia
dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan
menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor
Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998
dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi
Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final
atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan
akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember
1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan
memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat
tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri
(right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan
bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana
referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun
lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan
keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal.
Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua,
kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara
dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari
kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan
syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie
meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan
Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar
adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior
Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua
pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih
Akbar Tanjung.
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun
domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-
pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di
lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor
Timur setelah referDi mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya
sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin
Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi
pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga
kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi
sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika
perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor
Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya
berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak
pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian
besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil
pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-
integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia
lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini
secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi
tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan
penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui
keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta
oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET)
telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan
perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan
Indonesia.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu,
yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui
pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang
tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua
melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu
itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah
Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.

B. Penerapan Hukum
Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro
integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak, Pasukan Pejuang
Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut, adalah kerena ketidak
setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang menginginkan Timor-Timur lepas dari
negara Indonesia, sehingga menjadi negara yang merdeka. Eurico Guterres dalam
kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima kelompok Pasukan Pejuang Integrasi dan
atau atasan/komandan dari kelompok Aitarak dimana Terdakwa sebagai atasan bertanggung
jawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat yang dilakukan
oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan pengendaliannya yang efektif.
Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan pencegahan ketika
salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar peresmian PAM
swakarsa, yang isinya:
- Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan;
- Bunuh para Pemimpin CNRT;
- Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh;
- Bunuh Manuel Viegas Carrascalao;
- Keluarga Carrascalao harus dibunuh ;
- Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao ;
- Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao ;
Sehingga akibat tidak adanya pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang
mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel mereka mendatangi
dan menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136
(seratus tiga puluh enam) orang pengungsi dan rumah saksi Leandro Issac. Selanjutnya
massa tersebut melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang
berada di rumah Manuel Viegas Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata
yang telah merka bawa. Akibat serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah
Manuel Viegas Carrascalao, yaitu :
1. Raul Dos Santos Cancela;
2. Alfonso Ribeiro;
3. Mario Manuel Carrascalao (Minelito);
4. Rafael da Silva;
5. Alberto Dos Santos;
6. Joao Dos Santos;
7. Antonio Do Soares;
8. Crisanto Dos Santos;
9. Cesar Dos Santos;
10. Agustino B.X. Lay;
11. Eduardo De Jesus;
12. Januario Pereira;
Semuanya meninggal dunia. Sehingga dalam hal ini Eurico diancam pidana
berdasarkan Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

C. Alasan penangkapan tersangka Eurico Gutteres


Ingat milisi Timor Timur, ingat Eurico Guterres. Jabatannya waktu itu, Wakil Panglima
Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), telah membuat namanya melambung. Ia dielu-elukan
sebagai pahlawan. Itu dulu. Kini, ia menjadi tahanan Mabes Polri, karena dituduh melanggar
pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): menghasut orang lain untuk
melawan petugas. Eurico ditangkap Rabu (4/10) di kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta
Pusat.
Penangkapan Guterres, menurut polisi, dilakukan berdasarkan laporan polisi yang
dibuat Polres Atambua, Nusa Tenggara Timur. "Penangkapannya berkaitan dengan
pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga pengungsi Tim-
Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam penguasaan kepolisian. Ini yang
menjadi dasar pemeriksaan dan penahanan Guterres," kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen
Pol. Saleh Saaf seperti dikutip Kompas.
Sebenarnya, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, dalam perjalanan lawatannya ke
sejumlah negara, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika melanggar undang-undang,
Guterres harus ditangkap. "Jika diperlukan, orang seperti Eurico Guterres, kalau memang dia
diketahui melanggar undang-undang harus ditangkap," kata Presiden seperti dikutip koran di
atas. Sebelumnya, Kepala Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (Untaet), Sergio Vieira
de Mello,juga pernah meminta agar Pemerintah Indonesia segera menangkap Guterres dan
komandan milisi pro-integrasi lainnya. Alasannya, Eurico dan kawan-kawan merupakan salah
satu kendala penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di Atambua.
Alasan penangkapan karena adanya bukti permulaan yang cukup, menyusul
diterimanya laporan polisi LP.603/IX/2000/Res Belu, 25 September 2000 serta SPDP dari
Kapolres Belu kepada Kejari Atambua 29 September 2000. Selain itu adanya keterangan saksi
yang menerangkan keterlibatan pemohon dalam peristiwa perampasan senjata api di
Mapolres Belu. Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan
berdasarkan adanya kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri , merusak atau
menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Penangkapan terhadap
pemohon, kata Suyitno, dilakukan berdasarkan surat perintah penangkapan nomor Pol
SPP/88/X/2000/Korserse, 4 Oktober 2000 yang terlebih dahulu telah diperlihatkan dan
ditunjukkan kepada pemohon saat penangkapan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Pelanggaran Ham berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak dan kelompok Pasukan
Pejuang Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di rumah Viegas Carascalao di Kota Dili.
Dalam kasus ini, menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 (dua belas) orang dan rumah Viegas
Carascalao mengalami kerusakan .
2) Eurico Gutteres didakwa dengan diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis pasal 9
huruf a pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
3) Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua.
Ia menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam
penguasaan kepolisian.

B. Saran
1) Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka merupakan
suatu hak apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga pembantaian tersebut
seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju harus diselesaikan secara
musyawarah.
2) Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah tepat
karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus bertanggung
jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya.
3) Bahwa penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan
tindak pidana baru.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi Manusia
Abdullah, Rozali HM. Perkembangan HAM dan Keberadaan HAM di Indonesia. 2004. Bogor:
PT. Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai