Anda di halaman 1dari 15

BAB I KASUS POSISI A.

Fakta Setiap orang berhak mendapatkan hak mereka masing-masing salah satunya hak asasi manusia dan memiliki nilai yang universal artinya tidak mengenal batas dan waktu. Negara haruslah dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dalam studi kasus ini dapat digambarkan bahwa usaha pembantaiaan suatu kelompok etnis yang dilakukan secara sistematis dan bertujuan untuk memusnahkan suatu kelompok etnis tertentu .Jika sebuah negara terjadi sebuah konflik yang berimbas pada perampasan hak asasi manusia seperti pembantaiaan atas suatu sebab untuk mementingkan kepentingan individu atau kelompok, maka negara harus mengambil tindakan secara cepat untuk mengadili perbuatan tersebut karena termasuk kejahatan genoside. Sometimes In April merupakan sebuah film yang mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini saya melihat mulai muncul bentuk primordialisme yang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi. Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah hama yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus
1

memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Pada awalnya sweeping dilakukan untuk menselektif mana yang Hutu atau Tutsi, tetapi gerakan kemudian menjadi massive dan tidak terkendali dipengaruhi oleh provokasi. Sebagian besar korban digeletakkan begitu saja dan tidak dimakamkan secara layak. saat itu korban hanya ditimbun dengan tanah sekedarnya di Pegunungan Gisozi yang disinyalir menjadi tempat pemakaman massal. Pada 21 April 1994 Setelah eksekusi sepuluh tentara Belgia yang menjaga Uwilingiyimana, PBB mengurangi pasukannya dari 2.500 menajdi 250 orang Peristiwa pembantaian ini terjadi selama kurang lebih 100 hari yang telah menewaskan kurang lebih 800.000 orang .Menurut saya menjadi dalam film ini, mampu memperlihatkan seperti apa genosida itu dilihat dari mereka yang mengalaminya.

B.Pihak-Pihak Yang Bersengketa Berdasarkan uraian di atas, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah : 1. Suku hutu 2. Suku Tutsi 3. Komando militer Rwanda terhadap Presiden Rwanda

BAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORISTIK

A. MASALAH HUKUM Pada saat terjadi konflik berlangsung, tentu banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing kelompok atau sutu, di antaranya melanggar kaidah atau peraturan hukum perang dan melanggar hak asasi manusia. Saya ingin menganalisis apakah hukuman yang pantas untuk para penjahat tersebut dan dapatkah diadili di mahkamah internasional? apa saja pelanggaran yang terjadi dan diatur dimana pelanggaran tersebut?

B. TINJAUAN TEORITIK 1. Perlindungan Korban Tewas Hukum Humaniter Internasional (HHI) menetapkan kewajiban menghormati jenazah orang-orang yang bukan warganegara dari negara di mana mereka meninggal sebagai akibat pertikaian dari suatu konflik bersenjata. Penghormatan yang sama harus pula diberikan kepada jenazah orang-orang yang meninggal karena sebab-sebab yang berhubungan dengan pendudukan atau di dalam tahanan sebagai akibat dari pendudukan atau operasi militer1. Pihak-pihak yang bertikai berkewajiban mengubur korban-korban yang meninggal tersebut dengan cara yang terhormat dan, apabila memungkinkan, pemakaman mereka disertai dengan upacara ritual keagamaan yang sesuai dengan keyakinan korban bersangkutan. Apabila memungkinkan, setiap korban harus dimakamkan secara perseorangan. Jenazah mereka harus dimakamkan di tempat-tempat pemakaman yang terhormat, dan jika memungkinkan, mereka dikumpulkan dalam satu lokasi pemakaman yang sesuai dengan kewarganegaraannya. Demikian pula, kuburan setiap korban harus diberi tanda pengenal. Protokol Tambahan I tahun 1977 telah menegaskan keharusan memberikan kemudahan bagi pemulangan jenazah-jenazah korban yang meninggal dan barang milik pribadi mereka ke tanah air masing-masing2. Dalam Protokol tersebut juga ditegaskan kewajiban untuk membantu anggota-anggota keluarga dari korban yang meninggal dan wakil-wakil dari Dinas Pencatatan Pemakaman Resmi, untuk
1 2

F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998.

M. Ikbal Idrus, "Aktualisasi Penegakkan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Penegakkan Hukum dan Stabilitas Nasional", Jurnal HAM, vol. 2 no. 2, September 2005, hlm. 37.

mengetahui tempat-tempat pemakaman para korban dan mengatur persiapanpersiapan yang dibutuhkan untuk masuk ke tempat-tempat pemakaman itu. Protokol tersebut juga menegaskan perlindungan, pemeliharaan dan perawatan tempat-tempat pemakaman para korban secara berkesinambungan.

Selain itu, Protokol tersebut juga melarang pihak negara yang menjadi tempat pemakaman korban untuk mengeluarkan jenazah para korban karena kepentingan umum, termasuk kepentingan yang berkaitan dengan kepentingan otopsi medis atau kepentingan penyelidikan, kecuali setelah menyampaikan pemberitahuan ke negara asal korban yang meninggal beserta rincian tentang tempat penguburan kembali jenazah bersangkutan.

2. Perlindungan Korban Cedera, Sakit dalam Hukum Humaniter Internasional Protokol Tambahan II tahun 1977 dan Pasal 3 dalam Konvensi Jenewa III tahun 1949 telah menegaskan hak-hak dan jaminan perlindunganyang harus diberikan kepada korban cedera, sakit dan korban karam dalam konflik bersenjata non internasional. Ketetapan hukum tersebut sebenarnya hampir tidak berbeda dengan hukum yang berlaku pada konflik bersenjata internasional. Pada Pasal 3 dalam Konvensi Jenewa tahun 1949, terdapat kewajiban untuk memperlakukan orang yang tidak mampu melakukan peperangan akibat cedera atau sakit, dengan perlakuan yang manusiawi dalam setiap kondisi dan tanpa diskriminasi. Sedangkan Bab III dalam Protokol Tambahan II tahun 1977 (Pasal 7 12) membahas tentang perlindungan bagi korban cedera, sakit dan korban karam. Pada Pasal 7 ditegaskan kewajiban menghormati dan melindungi mereka, sekalipun mereka tidak terlibat dalam konflik bersenjata. Mereka harus diperlakukan dengan perlakuan yang manusiawi. Mereka juga berhak menerima perawatan kesehatan tanpa diskriminasi3. Pada Pasal 8 dijelaskan tentang keharusan mencari dan mengumpulkan mereka yang cedera, sakit dan korban karam bila kondisi memungkinkan, terutama setelah pertempuran selesai. Mereka harus dilindungi dari perampokan dan perlakuan buruk serta mendapatkan jaminan perawatan yang layak. Protokol Tambahan II juga menetapkan kewajiban untuk melindungi dinas kesehatan, dinas keagamaan, petugas medis, serta satuan dan sarana transportasi kesehatan. Diwajibkan pula menghormati tanda pengenal palang merah dan bulan sabit merah yang tidak boleh disalahgunakan pemakainnnya
3

Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan , Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta: Komnas HAM, 2001.

3. Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Protokol Tambahan Konvesi Jenewa Tahun 1977 Perlindungan penduduk sipil dalam PTKJ 197, pertama-tama dari judul protokol tersebut, tampak merupakan tambahan perlindungan yang ditetapkan KJ tahun1949. Sebagai tambahan konvensi itu, perlindunganprotokol tersebut juga merupakan pertambahan perlindungan penduduk sipil dimasa perang. Hal itu tampak juga dari adanya beberapa ketentuan protokol tersebut yang secara eksplisit juga mengatur perlindungan bagipenduduk sipil dimasa perang4. Perlindungan itu ditetapkan dalam prinsip umumdanketentuan lain protokol tersebut. Berikut masing-masing perlindungan itu:

1). Prinsip Umum Perlindungan Penduduk Sipil Pasal 1 par. 2 PTKJ 1 Tahun 1977 menetapkan bahwa dalam hal-hal yang tidak diatur protokol tersebut atau perjanjian internasional lain,penduduk sipil dan kombatan tetap dilindungi dan dinaugi asa-asas hukum internasional yang bersumber pada kebiasaan yang berlaku, asas kemanusiaan dan suara hati nurani umum. Ketentuan ini sebenernya merupakan perumusan klausula Martens yang dimodernisasikan5. Semula ketentuan ini ditetapkan dalam preambul Konvensi Den Haag (KDH)tahun 1899 dan 1907, yang mengatur perang di darat. Dengan di terapkannya ketentuan tersebut, dalam pasal 1 protokol itu dimaksudkan agar ketentuan itumempunyai kekuatan berlaku yang lebih kuat daripada KHDtersebut. Ditetapkannya klausula Martens dalam batang tubuneh protokol itu dimaksudkan untuk menegaskan sifat memaksanya (mandatory) ketentuan hukum kebiasaan tersebut sebagai ketentuan hukum positif yang dapat diterapkan.

2). Ketentuan-Ketentuan Perlindungan Penduduk Sipil Selain ketentuan umum yang tertuang dalam pasal 1 PTKJ 1 Tahun 1977tersebut diatas, dalam batang tubuh protokol itu terdapat banyak ketentuan yang mengatur penduduk sipil di masa perang. Berbeda dengan prinsip umum diatas, ketentuanketentuanini merupakan peraturan yang terinci, yang disepakati oleh negara-negara
4

Ifdhal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan Dari Crimes Against Humanity: Sebuah Penjelasan Pustaka, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 Nopember 2004, hlm. 43. F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998.

yang merupakan pihak dalam protokol tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam beberapa kelompok, yakni ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan penduduk sipil di wilayah negara pihak lawan dan perlindungan penduduk sipil diwilayah sendiri negara pihak yang bertikai. Masing-masing perlindungan itu adalah sebagai berikut: Perlidungan penduduk sipil secara umum Perlindungan yang dimaksud disini adalah perlindungan bagi tiap penduduk sipil, dimanapun dia berada. Perlindungan secara umum itu ditetapkan berdasarkan prinsip pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan. Pembedaan itu bahkan diperluas dengan ditetapkannya ke-harusan diadakannya pembedaan objek antara objek sipil dan sasaran militer. Adapun perlindungan yang ditetapkan adalah jaminan penghormatan dan perlindungan dimasa perang. Perlindungan ini di pirit dari KJ I, II dan IV tahun 1949. Bertitik tolak dari ketentuan konvensi itu penghormatan yang dimaksud protokol tersebut ialah kewajiban untuk tidak menyerang, tidak merusak atau merugikan. Adapun perlindungan yang dimaksud disitu ialah kewajiban untuk memberi pertolongan dan bantuan. Perlindungan yang lebih rincci dari ketentuan iniditetapkan lebih lanjut dalam ketentuan lain dalam usaha melindungi penduduk sipil di wilayah negara pihak lawan dan diwilayah sendiri di negara pihak yang bertikai. A. Asas Kemanusiaan (Humanity) Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e). asas kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi korban6. Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan kematian seorang musuh maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali.

B. Asas Ksatriaan (Chivalry) Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang. Asas kesatriaan
6

Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005.

tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities)7. Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya, baik dalam bentuk pernyataan perang beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat. Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Namun pada kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag III. Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat(c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.

ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008.

BAB III TUNTUTAN PELANGGARAN PERANG HUKUM HUMANITER

Berdasarkan fakta yang telah saya jelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta asas-asas, kaidah-kaidah yang telah dipaparkan pada sub bab landasan teoritik, pelanggaranpelanggaran yang dapat dituntutkan terhadap kasus genosida ini ialah : 1. Pembantaian, pembunuhan pada suku hutu dan tutsi yang dilakukan oleh tentara Rwanda secara semena mena dan mari kita lihat kasus ini dari Deklarasi universal hak-hak asasi manusia 2. Melukai penduduk sipil yang tidak melakukan perlawanan 3. Tidak adanya perlindungan korban tewas dan diperlakukan secara tidak benar

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

Masuk dalam bab ini saya akan menjelaskan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di negara Rwanda begitu pula cara penyelesaianny dan membahas tentang analisis dari pelanggaran tersebut, antara lain : 1. Pembantaian, pembunuhan pada suku hutu dan tutsi yang dilakukan oleh tentara Rwanda secara semena mena dan mari kita lihat kasus ini dari Deklarasi universal hak-hak asasi manusia Secara singkat dalam deklarasi hak asasi manusia berfungsi sebagai, deklarasi ini akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka8. Pelanggaran HAM berat juga terkandung dalam deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia yang telah dijelaskan secara rinci pasal per pasal antara lain : Pasal 2 Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain Pasal 5 Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999.

Pasal 7 Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini Pasal 12 Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini. Pasal 25 (1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama. 3.Melukai penduduk sipil yang tidak melakukan perlawanan Hal diatas ini tentu sudah melanggar ketentuan dasar dari PTKJ 1949 pasal 48 tentang ketentuan dasar yang berbunyi: Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja 3. Tidak adanya perlindungan korban tewas dan diperlakukan secara tidak benar Hal di atas sudahlah melanggar ketentuan Protokol Tambahan I tahun 1977 yang berbuny : keharusan memberikan kemudahan bagi pemulangan jenazah-jenazah korban yang meninggal dan barang milik pribadi mereka ke tanah air masing-masing. Dalam Protokol tersebut juga ditegaskan kewajiban untuk membantu anggota-anggota keluarga dari korban yang meninggal dan wakil-wakil dari Dinas Pencatatan

10

Pemakaman Resmi, untuk mengetahui tempat-tempat pemakaman para korban dan mengatur persiapan-persiapan yang dibutuhkan untuk masuk ke tempat-tempat pemakaman itu. Protokol tersebut juga menegaskan perlindungan, pemeliharaan dan perawatan tempat-tempat pemakaman para korban secara berkesinambungan.

11

BAB V KESIMPULAN

Banyak Pelanggaran yang terjadi di kasus ini yang paling besar dapat kita lihat bahwa pembantaian kaum manusia yaitu suku Hutu dan Tutsi yang ada di Rwanda merupakan kejahatan kemanusian yang sangat keji dan jauh dari kaidah baik kemanusiaan , hal tersebut terjadi karena salah satu pihak merasa terdiskriminasi atas pernyataan kepala Negara saat itu , pada akhirnya mereka memberontak dan melakukan pembunuhan masal secara membabi buta , hal tersebut menjadikan kejadian ini sebagai genosida yang merupakan suatu kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Genosida yang terjadi di Rwanda seharusnya menjadi agenda keamanan internasional karena genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental hak asasi manusia yang tercantum dalam piagam PBB. Genosida ini juga menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan fanatisme antar suku berubah menjadi pembantaian manusia yang mengakibatkan eskalasi politik dan keamanan di kawasan juga meningkat bahkan menjadi perhatian dunia internasional menyusul diadilinya para penjahat kemanusiaan di Rwanda di Pengadilan Kriminal Internasional dan perdebatan panjang akan istilah mutual-genocide dalam komunitas internasional.

12

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Jurnal HAM volume 2, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2004. Anita Marianche, "Hak Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat Bagi Wartawan Melalui Media Massa", Jurnal HAM, vol. 3 no. 2, Desember 2012, hlm. 118. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998. F.S. Suwarno, Pelanggaran HAM Yang Berat, Jurnal CSIS, Tahun XXIX/2005 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999. ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008. Ifdhal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan Dari Crimes Against Humanity: Sebuah Penjelasan Pustaka, Jurnal HAM Komisi HAM Vol. 2 No. 2 Nopember 2004, hlm. 43. Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta: Komnas HAM, 2001. M. Ikbal Idrus, "Aktualisasi Penegakkan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Penegakkan Hukum dan Stabilitas Nasional", Jurnal HAM, vol. 2 no. 2, September 2005, hlm. 37. Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005.

13

Ria Wierma Putri, Hukum HumaniterInternasional, Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung, 2011. Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Komandan, Semarang: Makalah Kuliah Umum FH Undip, 2003.

14

MAKALAH HUMANITER TENTANG ANALISIS FILM SOMETIMES IN APRIL

Himawan Amri Islami 1112011176

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

15

Anda mungkin juga menyukai