Anda di halaman 1dari 10

BAB I KASUS POSISI A.

Fakta Peristiwa hukum yang terjadi dalam kasus ini ialah mengenai pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Peristiwa ini berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsi yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu dalam hal ini merasa bahwa mereka memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi yang dipekerjakan sebagai Kerah Putih yang status pekerjaannya lebih tinggi dibandingkan Suku Hutu yang dipekerjakan sebagai Kerah Biru yang status pekerjaannya lebih rendah serta pekerjaan kasar diberikan juga kepada Suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. B.Pihak-Pihak Yang Bersengketa Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini ialah antara Suku Hutu dan Suku Tutsi yang merupakan bagian dari kelompok etnik di Rwanda, sebuah negara di Afrika Tengah.

BAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK A.Masalah Hukum Ketika terjadinya peperangan dalam sebuah negara, terkadang sasaran utama yang dijadikan sebagai objek kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun seksual.Dalam hal ini, permasalahan yang akan diangkat ialah bagaimana perlindungan khusus terhadap korban kekerasan seksual yang seringkali diabaikan layaknya korban peperangan dalam sebuah negara yang dijadikan sebagai kejahatan biasa ? B.Tinjauan Teoritik Tinjauan dalam penelitian ini berisikan asas-asas, kaidah, teori, serta doktrin yang diangkat berdasarkan perkembangan hukum humaniter yang diatur dalam ketentuan yang ada. 1.Asas-asas Hukum Humaniter1 : a ). Asas kepentingan militer (military necessity) yaitu pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukan tawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. b ). Asas prikemanusiaan (humanity) yaitu pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan prikemanusiaan dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaanyang tidak perlu. c ). Asas kesatriaan (Chivalry) yaitu didalam perang kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. 2.Asas-asas umum prinsip pembedaan2 : a ). Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objekobjek sipil. b ). Penduduk dan orang-orang sipil tidak boleh dijadikan objek serangan. c ). Dilarang melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil. d ). Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil, atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin.
1

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, hlm. 11. 2 Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, hlm. 73.

e ). Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan bertempur melawan musuh. 3.Prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional3 : a ). Kemanusiaan Prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. b ). Kepentingan Prinsip kepentingan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu objek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan yang harus terpenuhi menjadi sasaran militer mencakup dua hal, yaitu: 1. Objek tersebut telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh. 2. Tindakan penghancuran, atau penangkapan atau perlucutan terhadap objek tersebut memang akan memberikan suatu keuntungan militer yang semestinya bagi pihak yang akan melakukan tindakan. Selanjutnya tindakan yang disebut diatas hanya boleh dilaksanakan terhadap objek atau sasaran tersebut sebagai tindakan militer apabila : 1. Tujuan politis dari kewenangan hanya bisa dicapai melalui tindakan keras tersebut dengan mengarahkannya terhadap sasaran militer. 2. Dua kriteria diatas mengenai kontribusi efektif dan perlunya tindakan keras tersebut memang terpenuhi dalam hal yang berlangsung pada waktu itu. c ). Proporsional Dalam melakukan tindakan keras atau serangan, apapun alatnya dan caranya, setiap pihak yang bersengketa harus melakukannya dengan berpegang pada prinsip proporsional. Menurut prisnsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan dipihak sipil yang berupa kehilangan nyawa,luka-luka,ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang berimbas langsung akibat serangan tersebut. d ). Pembedaan
3

Ambarwati et.al., Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 40.

Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi warga sipil. Suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan yaitu kombatan dan penduduk sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.4 e ). Prohibition of Causing Unnecessary Suffering ( Prinsip HHI Tentang Larangan Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya ) Dalam perjanjian-perjanjian internasional dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional, prinsip ini diformulasikan sebagai berikut : 1. Dalam setiap konflik bersenjata, hak dari pihak yang berkonflik untuk memilih metode atau alat peperangan adalah tidak terbatas. 2. Dilarang menggunakan senjata, baik proyektil dan materiil, serta metode peperangan yang sifatnya menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak seharusnya. 3. Dilarang menggunakan metode atau cara peperangan tertentu atau yang bisa diharapkan untuk merusak lingkungan yang meluas, berjangka panjang dan parah. f ). Pemisahan Antara Ius Ad Bellum Dengan Ius In Bello Pemberlakuan HHI, sebagai ius in bello ( hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata ) tidak dipengaruhi oleh ius bellum ( hukum tentang keabsahan tindakan perang ). g ). Ketentuan Minimal HHI HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata noninternasional. Ketentuan minimal yang dimuat dalam Pasal 3 ketentuan yang sama dari konvensi-konvensi Jenewa 1949. h ). Tanggung Jawab Dalam Pelaksanaan dan Penegakan HHI Melihat prinsip-prinsipnya,jelas bahwa HHI memberikan ketentuan yang mengatur tindakan negara atau pemerintahnya dan sekaligus juga langsung mengatur tingkah laku individu atau warga dari negara yang bersangkutan. BAB III TUNTUTAN PELANGGARAN HUKUM HUMANITER Dalam hal ini berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi dalam kasus ini sebagaimana telah dijelakan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Suku Hutu
4

Ahmad Baharuddin Naim, Op.Cit., hlm. 34.

sangat membabi buta terhadap setiap warga yang menjadi pihak lawan dalam peperangan tersebut tanpa melihat kembali asas-asas peperangan5 yang mengatur mengenai pihak-pihak yang dilindungi dalam sebuah peperangan serta pembunuhan terhadap kepala pemerintahan dengan maksud untuk menduduki kepemerintahan dalam negara tersebut bahkan pelanggaran yang terjadi merupakan tindak pidana yang tertuju pada aparatur negara yang disisi lain telah diatur tentang perlindungan terhadap kepala dan wakil pemerintah sebuah negara. Dapat dikatakan juga bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat(3) Protokol Tambahan I tahun 1977, yang menyatakan bahwa Protokol ini berlaku dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 yang dimana seharusnya dalam peperangan yang terjadi diawali dengan adanya pernyataan ataupun pengumuman terlebih dahulu6 namun perlawanan keras terhadap pemerintahan di negara tersebut dilakukan tanpa adanya kejelasan dari pihak Suku Hutu dan pengaturan akan peristiwa hukum yang terjadi pada kasus ini juga dapat dikaitkan pada Konvensi Den Haag Tahun 1907 dalam The First Hague Peace Conference pada konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai7.

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

5 6

Ria Wierma Putri, Loc.cit. Ahmad Baharuddin Naim, Op.Cit., hlm.54 7 Ibid., hlm. 48

Ketentuan tentang perlakuan terhadap tawanan pada prinsipnya sejalan dengan Konvensi Jenewa III 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 yang secara garis besar berisi sebagai berikut8: a) Menjamin penghormatan; artinya para tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi, b) Menjamin perlindungan; artinya mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya yang mungkin timbul dari suatu peperangan, dan terhadap kemungkinan atas perkosaan integritas kepribadian mereka. Harus ada tindakantindakan yang perlu untuk menjamin hal ini. c) Memberikan perawatan kesehatan; artinya mereka berhak atas perawatan kesehatan yang setara dan tidak boleh diabaikan. Meskipun upaya yang dilakukan untuk mengatur semua aspek NIAC dengan cara hukum internasional, kenyataannya adalah bahwa konflik tersebut tetap tunduk pada hukum internal negara. Menurut hukum itu, anggota kelompok bersenjata adalah individu yang dihukum semata berdasarkan fakta karena telah mengangkat senjata. Bahkan jika mereka tidak memenuhi syarat sebagai bandit, teroris, pemberontak, atau pengkhianat, mereka tidak dianggap sama dengan anggota pasukan bersenjata pemerintah (yang operasinya dilindungi oleh hukum). Pemerintah, dalam hukum internal, adalah otoritas yang mengendalikan aparat yang membatasi atau menyangkal kebebasan orang dalam wilayah karena alasan yang sah. Pasukan bersenjata pemerintah dapat, dengan restu pemerintah, menjadi bagian dari aparat berkenaan dengan anggota kelompok bersenjata. Sepanjang menyangkut tentang hal itu, hukum internasional tidak muncul dari arah yang berlawanan. HHI tidak berbicara tentang subyek ini9,hakekatnya merupakan indikasi bahwa pasukan bersenjata pemerintah memiliki hak untuk menahan orang-orang. Memang, hukum humaniter tidak hanya memperoleh fakta tentang perampasan kebebasan yang telah terbukti, ia juga tidak mewajibkan pemerintah yang berkuasa untuk melepaskan orang yang ditahan karena alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik, setelah konflik berakhir (setidaknya tidak secara prinsip10), sedangkan proposal ICRC terhadap Protokol Tambahan II menetapkan kewajiban pembebasan pada akhir konflik bersenjata. Dalam hal ini, terkadang perempuan dijadikan sasaran utama dalam objek kekerasan serta dijadikan sebagai tahanan bagi pihak yang bertikai ketika adanya peperangan yang sedang terjadi. Mayoritas perempuan dalam tahanan di daerah konflik ditahan karena kejahatan biasa. Kombatan perempuan ditahan sebagai
8

Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, An Introduction, Separate Print from Hans Haug, Humanity for All, Intemational Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Berne Stuttgart, Paul Haupt Publisher, Vienna, 1993, hlm 29-30 9 Marco Sassli dan LauraM. Olson, The relationship between international humanitarian and human rights law where it matters: admissible killing and internment of fighters in non international armed conflicts, dalam Ulasan Internasional Palang Merah, Vol. 90, No 871, 2008, h. 618. 10 Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck (eds), Customary International Humanitarian Law, Volume I: Rules, ICRC, Cambridge University Press, Cambridge, 2009, h. 451

tawanan perang sedikit jumlahnya karena mereka adalah minoritas dalam angkatan bersenjata dan kelompok-kelompok bersenjata dan jarang sekali berada di garis depan di mana mereka bisa tertangkap.Jumlah perempuan yang ditahan untuk alasan keamanan terkait konflik bersenjata atau gangguan internal juga sangat kecil jika dibandingkan dengan laki-laki, terutama karena mereka kecil kemungkinan dianggap sebagai kombatan atau kombatan potensial. Perempuan juga bisa menjadi korban penculikan, apakah oleh negara atau oleh kekuatan nonnegara, atau dirampas kebebasannya dalam situasi terjerat utang atau kerja paksa11. Melalui upaya gigih masyarakat sipil, khususnya organisasi perempuan, kerentanan perempuan terhadap pelecehan seksual yang luas dan mengerikan pada saat konflik - sering terjadi dalam situasi dimana perempuan ditahan - mulai mendapat perhatian. Statuta Mahkamah Pidana Internasional ad hoc untuk eksYugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), yang dibuat oleh Dewan Keamanan PBB masing-masing pada tahun 1993 dan 1994, mengakui pemerkosaan dalam situasi penahanan dan nonpenahanan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam keadaan tertentu: yaitu, ketika pemerkosaan merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematis12.Dalam keputusan penting dan bersejarah pada September 1998, ICTR memutuskan tindakan pemerkosaan sebagai tindakan genosida13.Pada bulan Februari 2001, ICTY menjatuhkan hukuman untuk pemerkosaan, penyiksaan,dan perbudakan wanita14.Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional dapat menyebabkan penuntutan yang sama dan mempunyai ketentuan yang lebih kuat untuk memastikan penerapansensitif gender hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional15.

BAB V KESIMPULAN
11

Charlotte Lindsey, Perempuan Menghadapi Perang (Women Facing War), ICRC, Jenewa, 2001, hal. 163,
12
13

Statuta ICTY, Pasal 5(g), dan Statuta ICTR, Pasal 3(g). ICTR, Penuntut v. Jean-Paul Akayesu, Kasus No. ICTR-96-4-1, Putusan, 2 September 1998. 14 ICTY, Penuntut v. Dragoljub Kunarac et al., Kasus No. IT-96-23-T, Putusan, 22 September 2001. 15 Mahkamah Pidana Internasional, Statuta Roma, Pasal 3(g) dan 4(e).

Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual kini menjadi hal yang dikedepankan sebagai perlindungan Hak Asasi Manusia bagi kaum perempuan diwaktu berlangsungnya peperangan yang kini telah diatur dalam ketentuan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional terhadap Rwanda yang dimana kekerasan seksual tersebut menjadi bagian dari kejahatan genosida yang nantinya dapat dijatuhkan hukuman bagi setiap pelaku tindakan tersebut.

HUKUM HUMANITER

UJIAN TENGAH SEMESTER

Disusun oleh : Nama : Dopdon Kurniawan Sinaga Npm : 1112011114 Kelas : A2 Universitas Lampung Fakultas Hukum 2013

DAFTAR PUSTAKA

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011. Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2010. Ambarwati et.al., Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2009. Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, An Introduction, Separate Print from Hans Haug, Humanity for All, Intemational Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Berne Stuttgart, Paul Haupt Publisher, Vienna, 1993. Marco Sassli dan LauraM. Olson, The relationship between international humanitarian and human rights law where it matters: admissible killing and internment of fighters in non international armed conflicts, dalam Ulasan Internasional Palang Merah, Vol. 90, No 871, 2008. Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck (eds), Customary International Humanitarian Law, Volume I: Rules, ICRC, Cambridge University Press, Cambridge, 2009. Charlotte Lindsey, Perempuan Menghadapi Perang (Women Facing War), ICRC, Jenewa, 2001. Statuta ICTY, Pasal 5(g), dan Statuta ICTR, Pasal 3(g). Mahkamah Pidana Internasional, Statuta Roma, Pasal 3(g) dan 4(e).

Anda mungkin juga menyukai