Anda di halaman 1dari 10

BAB I KASUS POSISI

A. FAKTA Setiap orang berhak untuk mendapatkan kemerdekaannya serta hak untuk hidup. Akan tetapi terjadi sebuah kejadian kelam yang mewarnai belahan bumi afrika saat itu. Sebuah pembunuhan massal etnis yang terjadi pada negara Rwanda. Genocide tepatnya untuk menyebutkan pembantaian Suku Tutsi oleh kelompok militer garis keras dari Suku Hutu. Sebuah kejadian nyata yang kemudian direfleksikan ke dalam film yang berjudul Sometimes In April. Sometimes In April merupakan sebuah film yang mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini saya melihat mulai muncul bentuk primordialismeyang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front,kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi. Sebenarnya melalui film ini juga terdapat beberapa hal yang mampu disimpulkan, yaitu: 1. Sebenarnya genosida tidak hanya dijalankan oleh sistem yang melakukannya dalam konteks ini adalah rezim Hutu, tetapi secara tidak langsung PBB ataupun negara yang memiliki andil besar dalam perpolitikan global, seperti Amerika Serikat, juga memberikan dampak secara tidak langsung atas terciptanya genosida di Rwanda. Ketidakadaan kepentingan Amerika di Rwanda, dan bersikeukeuhnya Amerika terhadap sistem kepentingan politik global secara sadar ataupun tidak sadar turut membiarkan genosida di Rwanda hingga harus menelan korban jiwa 800.000 selama 100 hari dibawah rezim Hutu. 2. Melihat kasus di Rwanda yang diangkat dalam film ini agaknya amat mudah sekali disimpulkan bahwa konsepsi Third World tersirat secara eksplisit pada negara Afrika. Teori

dependensi agaknya bisa menjadi cara yang solutif, walaupun pada dasarnya cenderung menciptakan circumstance of capitalism and social class. 3. Power tampaknya menjadi sebuah unsur yang sangat amat sensitif jika dilihat dalam konteks kekuasaan suatu negara, menentukan apakah negara tersebut cenderung dipimpin oleh mereka yang egaliter dan demokratis, atau sebaliknya otoritarian, totaliter dan sangat mengutamakan aspek represif 100% dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sometimes In Aprilsebuah film yang sangat inspiratif dalam memaknai genosida dan melihat bahayanya. Sebuah film yang memberikan sebuah shocking therapydalam melihat dampak yang muncul dari genosida. (Sekali lagi) menjadi sebuah bentuk refleksi akan pentingnya pemahaman dan menanamkan aspek human rightsdalam kehidupan sebuah negara. Agar nantinya manusia tidak dianggap sebagai kecoa dan tidak ada lagi Tutsi-Tutsi yang lain setelah April 1994.

B. PIHAK PIHAK YANG BERSANGKUTAN Berdasarkan uraian di atas, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah: 1. Suku tutsi 2. Suku hutu

BAB 2 MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

A. MASALAH HUKUM Banyak sekali pelanggaran dan kasus genosida pada saat perang berlangsung yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang melanggar kaidah atau peraturan hukum perang. Pada kali ini saya akan menganalisis pelanggaran-pelangaran apa saja yang dilakukan? dan dimanakah pengaturan pelanggaran tersebut diatur?

B. TINJAUAN TEORITIK Pada kejadian tersebut banyak terjadi kasus genosida : 1. membunuh anggota kelompok 2. menyebabkan penderitaan fisik ataupun mental terhadap anggota kelompok 3. tindakan disengaja yang berdampak kerusakan fisik sepenuhnya maupun seluruhnya 4. memaksakan tindkan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok 5. dan secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya sesuai yang tercantum ayat 2 pasal 2, dan juga yang tercantum pada ayat 3 pasal 2 statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda Akibat terjadinya kasus genosida pada peperangan antara suku hutu terhadap suku tutsi dibentuk International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) adalah sebuah pengadilan internasional yang dibentuk pada bulan November 1994 melalui Resolusi 955 Dewan Keamanan PBB.Pengadilan ini dibentuk untuk menindaklanjuti tindakan genosida pada April sampai dengan Juli 1994. Kasus pembantaian massal yang menewaskan kurang lebih 800.000 jiwa dengan kebanyakan dari korbannya adalah penduduk Rwanda dengan etnis Tutsi. Korban dalam kasus ini tiga perempatnya adalah kaum Tutsi karena ekstrimis Hutu yang menyalahkan kaum Tutsi sepenuhnya dalam ketegangan sosial, politik dan ekonomi domestik.

Pada konvensi jenewa tahun 1949 tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat pasal 3 yang berisi bahwa : Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari pihak peserta agung , tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangya ketentuan-ketentuan berikut : 1. orang yang tidak turut aktif dalam sengketa itu mereka yang luka-luka , penahanan atau sebab lain apapun , dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan ,kelamin, keturunan atau kekayaan Untuk maksut ini maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga : a. tindakan kekerasan atas jiwa dan raga semacam pembunuhan b. penyanderaan c. perkosaan atas kehormatan pribadi terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat d. menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan 2. Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat sebuah badan humaniter tidak berpihak seperti komite palang merah internasional dapat menawarkan jasa-jasakepada pihak pihak dalam sengketa pihak pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa. 2 Penggolongan penolong korban perang : 1. 2. 3. 4. Negara pelindung Organisasi kemanusiaan Petugas-petugas dinas kesehatan dan rohaniawan Warga masyarakat atau penduduk

Proses penegakkan hukum humaniter internasional Proses penegakkan hukum terhadap orang-orang yang melakukan untuk melakukan hukum humaniter internasional melalui peradilan internasional dan peradilan nasional dari Negaranegara peserta konvensi

1 Konvensi jenewa tahun 1949 pasal 3 2 Ria wirma putrid,2010,hukum humaniter Indonesia,Bandar lampung, universitas lampung.

BAB 3 RINGKASAN PUTUSAN

TUNTUTAN PELANGGARAN PERANG HUKUM HUMANITER Berdasarkan fakta yang telah dibeberkan pada bab-bab sebelumnya, pada sub bab landasan teoritik, pelanggaran-pelanggaran yang dapat dituntutkan terhadap kasus genosida tersebut 1. membunuh anggota kelompok 2. menyebabkan penderitaan fisik ataupun mental terhadap anggota kelompok 3. tindakan disengaja yang berdampak kerusakan fisik sepenuhnya maupun seluruhnya 4. memaksakan tindkan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok 5. dan secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya sesuai yang tercantum ayat 2 pasal 2, dan juga yang tercantum pada ayat 3 pasal 2 statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

Sesuai dengan sub bab pada bab 2 yakni pembahasan tentang masalah hukum, masalah yang akan dianalisis adalah: 1. Melakukan penyerangan terhadap objek, dalam hal ini adalah gereja, yang bukan sebagai tempat yang seharusnya dijadikan sasaran penyerangan militer dalam keadaan atau alasan apapun.

Hal ini telah diatur jelas pada pasal 59 ayat (1) Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang berbunyi: Dilarang bagi Pihak-pihak dalam sengketa untuk menyerang, dengan cara apapun juga,kawasan-kawasan yang tidak dipertahankan.3 Dalam Konvensi Den Haah IV tahun 1907 Pasal 28 berbunyi: Larangan melakukan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan, kecuali jika hal itu akan dilakukan maka Komandan yang bersangkutan harus mengumumkan terlebih dahulu kepada penguasa sipil yang bersangkutan.4 Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Protokol Tambahan I, Larangan terhadap setiap tindakan permusuhan yang ditujukan kepada bangunan-bangunan bersejarah, benda-benda budaya atau tempat-tempat ibdah. Termasuk larangan penggunaan obyek-obyeu tersebut sebagi obyek pembalasan atau reprisal.

2.

Melukai penduduk sipil yang tidak melakukan perlawanan khususnya bagi wanita.

Melukain penduduk sipil melanggar ketentuan dasar dari Konvensi Jenewa 1949 pasal 48 tentang ketentuan dasar yang berbunyi: Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil danobyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiapsaat harus membedakan penduduk sipil darikombatan dan antara obyek sipil dan sasaranmiliter dan karenanya harus mengarahkanoperasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja. Kekerasan seksual berbasis gender sering digunakan sebagai alat perang yaitu anak-anak dan wanita sebagai sasaran. Walaupun negara memegang tanggung jawab utama untuk melindungi warganya dari kekerasan seksual, seringkali terjadi pada kasus dalam keadaan darurat seperti perang, suatu negara tidak cukup sumber daya untuk menegakkan hukum. Perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya adalah dilarang.
3 Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1949 pasal 59 4 Konvensi Den Haag IV tahun 1907

Akayesu, (Sidang Pengadilan), 2 September 1998, Paragraf 731: Sidang memutuskan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat membentuk bagian integral dari proses penghancuran suatu kelompok. Pemerkosaan-pemerkosaan mengakibatkan penghancuran fisik dan psikologis terhadap para perempuan Tutsi, keluarga mereka dan masyarakat mereka. Kekerasan seksual adalah bagian integral dari proses penghancuran yang ditargetkan secara khusus terhadap perempuan Tutsi khusunya dan memperbesar penghancuran terhadap kelompok Tutsi secara keseluruhan.

3.

Pemusnahan Etnis yang dilakukan Suku Hutu terhadap Suku Tutsi

Dalam Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Pasal 1 menyatakan: 1. Dalam konvensi ini, pengertian diskriminasi rasial berarti suatu pembedaan, pengucilan, pembatasan tau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keurunan atau asal usul etnik atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi pengakuan, perolehan tau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dalam suatu kesederajatan, di bidak pilitik, ekonomi, sosial, budaya tau bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan lainnya. 2. Konvensi ini tidak berlaku terhadap pembedaan-pembedaan, pengucilan-pengucilan, pembatasan-pembatasan atau pilihan-pilihan yang dilakukan oleh suatu Negara Pihak Konvensi dalam hubungannya dengan masalah warga negara dan bukan warga. 3. Tidak ada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini yang dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi, dengan cara apapun juga, ketentuan-ketentuan hukum Negara Negara Pihak tentang kebangsaan, kewarganegaraan atau naturalisasi sepanjang ketentuanketentuan tersebut tidak mendiskriminasi kebangsaan tertentu. 4. Langkah-langkah khusus yang semata-mata diambil untuk menjamin pemajuan kelompok ras atau etnik atau perorangan atau kelompok perorangan yang memerlukan perlindungan agar mereka dapat menikmati atau melaksanakan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan mendasar secara sederajat tidak dapat dianggap suatu diskriminasi rasial, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyai konsukuensi yang mengarah kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok rasial yang berbeda dan bahwa langkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannya tercapai.

BAB V KESIMPULAN

Peperangan di dunia ini disebabkan karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang lain. Dapat kita lihat peperangan anatara suku tutsi dan suku hutu mendatangkan malapetaka hebat dimana perikemanusiaan sudah diinjak-injak , nyawa manusia tidak ada harganya ,nafsu membunuh, merusak,menyiksa, dan kebencian meluap luap . Masa kelam yang mewarnai belahan bumi afrika pada saat itu, sebuah pembunuhan masal entis yang terjadi pada negara rwanda , mengakibatkan korban jiwa yang amat besar kurang lebih menewaskan 800.000 jiwa dengan kebanyakan dari korbannya adalah penduduk rwanda dengan etnis tutsi . korban dalam kasus ini seperempat adalah kaum tutsi kerena ekstrimnya hutu yang menyalahkan kaum tutsi sepenuhnya dalam ketegangan sosial , politik, dan ekonomi domestik. pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini saya melihat mulai muncul bentuk primordialismeyang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front,kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi.

5 Ahmad baharudin naim, s.h, m.h, 2010, hukum humaniter internasional,Bandar lampung,unila.

DAFTAR PUSTAKA

1. Konvensi jenewa tahun 1949 pasal 3 2. Ria wirma putrid,2010,hukum humaniter Indonesia,Bandar lampung, universitas lampung. 3. Ahmad baharudin naim, s.h, m.h, 2010, hukum humaniter internasional,Bandar
lampung,unila.

4. http://teras-usakti.blogspot.com/ 5. http://wwwjurnalhukum.blogsp
http://www.komnasperempuan.or.id/perpus/index.php?p=show_detail&id=2603ot.com/20 10/10/kejahatan-berat-dan-hukum-humaniter.html

6. 7. http://fh.unsoed.ac.id/id/Jurnal-Dinamika/FH-Unsoed/Edisi-2012 8. http://www.docstoc.com/docs/82876708/Makalah-HUKUM-HUMANITER-INTERNASIONAL 9. http://www.scribd.com/doc/56644478/Hukum-Humaniter-Dan-Keefektifannya 10. http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/prg/article/view/50 11. Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1949 pasal 59
2. Konvensi Den Haag IV tahun 1907

TUGAS HUMANITER MENGANALISIS FILM SOMETIMES IN APRIL

NAMA: DESTRY FIANICA NPM : 1112011102

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2011/2012

Anda mungkin juga menyukai