Anda di halaman 1dari 7

PENGAWASAN KEPOLISIAN

Mengawasi kepolisian (police oversight) sesungguhnya jauh lebih mudah untuk dikatakan ketimbang dilakukan. Karena, kalau saja kegiatan pengawasan itu sungguh-sungguh dilaksanakan, maka merupakan pekerjaan maha besar untuk melakukan pengawasan terhadap organisasi dengan multi fungsi dan multi tugas seperti kepolisian. Dengan kata lain, perlu dilakukan pemfokusan, penajaman dan pemilahan. Demikian pula dari segi upaya (effort), perlu dilakukan secara berkesinambungan dan dengan sumber daya yang juga memadai.

Jika tidak, maka amat mungkin yang terjadi adalah, bahwa kegiatan pengawasan itu tidak mengawasi pihak yang seharusnya diawasi. Atau mengawasi dengan cara yang tidak seharusnya atau dengan cara yang tidak dikehendaki. Bila itu yang terjadi, tentulah kegiatan pengawasan lebih banyak menjadi kegiatan yang kontroversial dan selalu membuat heboh ketimbang suatu kegiatan yang niscaya dilakukan dalam rangka menjamin terselenggaranya suatu kewenangan publik dengan sebaik-baiknya.

Dalam rangka menjamin itu, maka perlu dilakukan 5 Tepat : tepat subyek pengawasan, tepat unit kegiatan yang diawasi, tepat lokasi pengawasan, tepat waktu pengawasan, tepat cara pengawasan, tepat orang yang diawasi. Tulisan ini pada dasarnya hanya membicarakan mengenai aspek tepat cara pengawasan saja. Namun demikian bisa dimengerti apabila dikatakan mengapa cara tertentu dipilih dan bukan cara yang lain sebenarnya juga dipengaruhi oleh aspek-aspek tepat yang lain.

Cara pengawasan Dari sudut cara, maka terdapat beberapa jenis pengawasan kepolisian sebagai berikut: Secara formal, pengawasan bisa mengambil bentuk adanya lembaga formal yang disebut komisi kepolisian. Memang, seperti terjadi di Indonesia, komisi kepolisian tidak harus diniatkan guna menjalankan fungsi pengawasan, tetapi juga bisa menjalankan fungsi kepenasehatan (advisory).

Secara non-formal, jangan dilupakan peran dari media massa maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat pemerhati kepolisian yang setiap saat dan dengan caranya masing-masing melakukan pengawasan. Dewasa ini, daya tekan dari media massa maupun hasil-hasil kajian LSM terlihat cukup tinggi dalam rangka mengintervensi kepolisian menuju kondisi yang lebih baik.

Selanjutnya, secara informal, esensi pengawasan juga dilakukan melalui pelibatan beberapa pakar sebagai penasehat ahli di lingkungan kantor kapolri maupun pelibatan konsultan domestik serta technical assistance asing, terkait dengan berbagai proyek-proyek yang dibiayai donor di lingkungan kepolisian. Tentu saja kita tidak boleh berpretensi bahwa pihak-pihak luar tersebut akan dengan segera terkontaminasi oleh budaya di lingkungan kepolisian; yang mungkin terjadi adalah sebaliknya dimana

pihak-pihak luar tadi akan menyebarkan budaya dan cara kerja baru yang lebih baik daripada sebelumnya.

Pengawasan struktural oleh kepolisian dalam hal ini dilakukan oleh pihak-pihak yang memang secara struktur diposisikan sebagai atasan kepolisian, dalam hal ini Presiden RI. Demikian pula oleh Komisi III sebagai pengawas kepolisian secara kelembagaan. Tentunya, kegiatan pengawasan tersebut bisa berlangsung terbuka, tetapi bisa juga berlangsung secara tidak langsung yakni ketika pimpinan kepolisian melaporkan secara rutin tentang berbagai perkembangan terkait lembaga yang dipimpinnya.

Adapun bentuk pengawasan yang terakhir adalah pengawasan horisontal, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah atau DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Obyek pengawasan yang dilakukan oleh pemda maupun parlemen daerah, tentunya adalah satuan wilayah kepolisian setempat, baik polda ataupun polres (polsek di kecamatan tidak memiliki counterpart yang lengkap yakni pemerintahan didampingi parlemen setempat).

Model-model pengawasan horisontal Menyiratkan namanya, model pengawasan ini dilakukan oleh lembaga-lembaga yang menjadi rekan samping yang berada pada posisi sejajar atau bermitra. Tentunya, warna pengawasan yang dilakukan tidak seyogyanya bernuansa investigatif atau direktif. Mendukung peningkatan kapasitas rekan samping, misalnya dengan mengundang kasatwil untuk mengajukan permohonan kebutuhan dana, dalam rangka mencegah satwil tersebut untuk menyimpang dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya, secara esensial adalah pengawasan juga.

Dalam kaitan itu terdapat tiga model pengawasan horisontal. Yang pertama adalah kepolisian setempat menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Dengan kata lain, kapolda dan kapolres menjadi bawahan dari pemerintah daerah. Dengan struktur demikian, pengawasan yang terjadi bersifa subordinatif (antara atasan kepada bawahan).

Yang kedua adalah dimana kepolisian setempat berada pada posisi simetris atau sejajar dengan pemerintah daerah, kedua lembaga tunduk pada parlemen setempat yang mewajibkan kepolisian setempat melaporkan perkembangan kegiatan kepolisian secara rutin dan, seiring dengan itu, meminta secara politis kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran belanja kepada kepolisian setempat. Melalui hubungan segitiga ini, terjadi situasi ideal: kepolisian tidak menjadi alat eksekutif tetapi akuntabel kepada para pemilik konstituen politik yakni parlemen. Sebaliknya, kepolisian mendapatkan reward dari akuntabilitasnya yakni dukungan dana dari pemerintah daerah tanpa membuat kasatwil setempat merasa berhutang budi kepada pemerintah daerah.

Yang ketiga, hubungan dengan pemerintah daerah tetap sejajar, namun hadir pihak ketiga yakni lembaga multistakeholder (bisa berupa yayasan, LSM atau ormas) yang berfungsi beragam. Ada yang menekankan diri menjadi penampung keluhan publik mengenai kepolisian untuk kemudian disalurkan kepada kepolisian dan mitra pemerintah daerah. Ada pula yang menekankan diri menjadi penampung dana publik yang ingin disumbangkan kepada kepolisian tanpa membuat kepolisian berhutang budi kepada pihak yang menyumbang.

Pengawasan pada level pelaksanaan kegiatan kepolisian Mengatakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan kegiatan kepolisian memunculkan beberapa masalah. Pertama, apa yang menjadi fokus pengawasan. Kedua, apa yang menjadi indikator pengawasan.

Terkait yang pertama, maka fokus pengawasan dalam hal ini ada beberapa hal, dengan mengasumsikan bahwa visi, misi dan dasar kewenangan kepolisian adalah tidak berubah. Dari atas ke bawah maka urutannya adalah: Pertama, gaya atau pendekatan kepolisian (policing style). Kedua, strategi, Ketiga, program, Keempat, proyek. Kelima, kegiatan riil yang dalam hal ini dapat dibagi lagi menjadi tindakan rutin ataupun tindakan tidak rutin polisional maupun yang non-polisional. Yang dimaksud tindakan atau perilaku polisional adalah kegiatan yang terkait dengan penggunaan kewenangan dan tanggungjawab kepolisian.

Kedua, terkait indikator pengawasan, maka bentuknya berbeda-beda pula terkait dengan fokus pengawasan. Terkait dengan gaya atau pendekatan kepolisian, maka indikatornya adalah sejauh mana gaya atau pendekatan yang dilakukan cocok atau sesuai dengan prinsip-prinsip umum dari suatu gaya atau pendekatan kepolisian. Ambil contoh, community policing atau perpolisian masyarakat. Mengingat prinsip-prinsip umum gaya atau pendekatan itu adalah kesetaraan, kemitraan, pemecahan masalah (problem solving), akuntabilitas dan anti-diskriminasi, maka untuk selanjutnya hal itu dapat dijadikan indikator bahwa kepolisian sudah benar-benar melakukan community policing.

Seiring dengan itu, tentunya indikator pengawasan terkait strategi, program maupun proyek juga berbeda-beda. Yang juga perlu diingat adalah bahwa telah terdapat satuan kerja khusus untuk menangani fokus maupun indikator pengawasan tertentu, sebagai contoh kantor irwasum/da terkait penggunaan dana negara khususnya untuk fokus level proyek. Sebaliknya, kantor propam nampaknya lebih memfokuskan pada indikator tindakan atau perilaku polisional oleh personil kepolisian.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah terhadap masing-masing fokus pengawasan itu telah tersedia pengawas yang memang konsisten dan disiplin (serta sekaligus tuntas) melakukan mekanisme pengawasan pada levelnya masing-msing. Dikatakan konsisten dan disiplin karena kecenderungannya adalah, memfokuskan indikator tindakan atau perilaku polisional oleh personil kepolisian guna

kemudian dikaitkan dengan fokus pengawasan dari level yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, hanya berangkat dari satu kasus saja terkait penyimpangan individu polisi tertentu, kemudian dengan serta-merta digeneralisir atau disimpulkan bahwa ada yang tidak beres dalam tubuh kepolisian. Jangan heran, saat rapat kerja dengan DPR pun, kapolri kerap memperoleh pertanyaan tentang kasus yang menyangkut kerabat seorang anggota DPR.

Walau telah tersirat dari penjelasan pada sub-bab di atas bahwa terdapat berbagai mekanisme oversight dan dengan pelaku yang berbeda-beda, namun bila tidak konsisten dan disiplin dijalankan, bisa saja berakhir sama yakni dengan bermodalkan satu-dua kasus kemudian dilanjutkan dengan pengadilan terhadap lembaga kepolisian secara nasional.

Walau permasalahan di atas tidak menjadi wilayah kerja Propam, tetapi alangkah baik apabila satuan kerja ini juga memikirkan hal tersebut.

Pengawasan perilaku personil polisi Sub-bab ini membahas hal yang lebih spesifik lagi, yakni ketika fokus pengawasan adalah aktivitas atau tindakan rutin maupun tidak rutin dalam hal kewenangan polisional, dan dengan indikator pengawasannya adalah perilaku polisional oleh personil kepolisian. Pada dasarnya, inilah yang menjadi wilayah kerja Propam.

Dalam kaitan ini, terdapat beberapa permasalahan yang semoga telah ditangani oleh Propam. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: bahwa selalu mungkin perilaku polisional dilakukan oleh personil polisi ataupun yang bukan polisi. Sebaliknya, perilaku yang tidak termasuk perilaku polisional juga dapat dilakukan oleh personil polisi ataupun yang bukan polisi. Apakah Propam menangani semuanya atau sebagian saja?

Terkait perilaku polisional dilakukan oleh personil polisi, tidak ada permasalahan mengenai hal itu. Demikian pula jika perilaku tersebut dianggap sebagai salah atau menyimpang, maka nampaknya Propam telah memiliki mekanismenya. Namun, bagaimana halnya dengan perilaku polisional (turjawali, tindakan tegas, pengendalian massa, olah TKP) yang dilakukan oleh non-personil polisi (misalnya oleh anggota TNI, satpol PP, linmas dll.)? Kondisi semakin rumit ketika ternyata perilaku polisional itu salah dijalankan/diterapkan.

Jawaban sederhananya adalah: diamkan saja karena tidak terkait dengan personil kepolisian. Namun, mengingat telah terlibatnya korps kepolisian secara langsung atau tidak langsung, telah disalahgunakannya kewenangan-kewenangan khas kepolisian oleh pihak yang tidak berhak, ataupun

telah tercemarnya citra kepolisian gara-gara tindakan non-personil polisi itu, mungkin bisa dipikirkan untuk berbuat sesuatu.

Permasalahan kedua adalah, perilaku non-polisional yang dilakukan oleh polisi ataupun non-polisi. Apabila ada non-personil polisi melakukan perilaku non-polisional yang ternyata melanggar hukum atau menyimpang dari nilai dan norma di masyarakat, tentunya penanganannya sudah jelas yakni mekanisme hukum ataupun mekanisme alternatif yang berbasis adat dan lain-lain. Tetapi, bagaimana dengan perilaku non-polisional menyimpang (mencuri, memperkosa, beristri lebih dari satu, berbisnis) yang dilakukan personil polisi?

Jawaban yang nampaknya berlaku dewasa ini adalah, bahwa hal itu menjadi kewenangan Propam untuk kemudian ditangani secara bertahap: diadakan persidangan profesi terlebih dahulu dan kemudian, apabila diperlukan, dilanjutkan dengan tindakan administratif (pemecatan dan lain sebagainya) serta proses peradilan pidana umum. Permasalahan dalam hal ini adalah: Pertama, sudahkah Propam melakukan pengkajian yang komprehensif mengenai apa saja yang termasuk penyimpangan kepolisian (police deviation), mana yang termasuk police criminality (kejahatan oleh personil polisi) dan lebih jauh lagi mana kejahatan kepolisian yang dilakukan oleh individu kepolisian atau yang merupakan perbuatan bersama-sama, sistematis dan terencana antar sesama polisi sendiri (organized abuse of power atau conspiracy). Kedua, setelah mengetahui hal itu, sejauh mana Propam tidak melakukan tebang-pilih, penghindaran sistematis, main-mata terorganisir, terkait dengan penyimpangan kepolisian tertentu

Jika Propam juga bersedia melihat ke wilayah persepsi atau pencitraan publik, maka masih kuat persepsi oleh publik terdapat begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oleh personil polisi yang mengimplikasikan dan menimbulkan kerugian tidak hanya pada publik tetapi juga sesama anggota kepolisian sendiri, tetapi tetap saja berlangsung.

Kalaupun kita tidak hendak menjadikan persepsi sebagai tolok ukur kinerja Propam, kantor ini tetap valid untuk terus mempertanyakan dan mengkaji (paling tidak untuk diri sendiri) seberapa besar penyimpangan kepolisian yang telah dapat di-enforce oleh Propam dan seberapa besar yang masih berlangsung dalam tataran kultur atau kebudayaan polisi dimana belum tersedia political will ataupun dasar hukum untuk meniadakannya. Mungkin, hanya dengan melakukan itulah, kepercayaan publik pada mekanisme pengawasan internal kepolisian (yang dalam hal ini diwujudkan dalam struktur Propam) dapat meningkat

Tantangan-tantangan

Sebagai satuan kerja yang diciptakan oleh kepolisian tatkala telah memasuki era Reformasi Polri sebagai Polisi Sipil, tantangan besar diemban oleh Propam. Sebagian tantangan berupa pertanyaan-pertanyaan telah diajukan pada sub-bab terdahulu.

Pada sub-bab ini diajukan tiga tantangan Propam ke depan sebagai berikut: Pertama, imparsialitas. Sebagaimana telah disinggung, tingkat kepercayaan atau level of trust masyarakat terhadap Propam tidak atau belum tinggi. Kepercayaan ini pada suatu ketika akan semakin penting terkait dengan pengimplementasian community policing maupun hubungan segi tiga antara satwil-pemda-parlemen daerah (khususnya yang berbuah pada akuntabilitas dan reward bagi satwil). Propam dalam konteks itu harus siap digerakkan guna meningkatkan kepercayaan publik ataupun stakeholders kepolisian lainnya.

Sejauh ini, kepolisian memang masih dilihat sebagai jauh lebih imparsial (atau tidak berpihak) dibanding kejaksaan dan lembaga pengadilan, khususnya pada saat peradilan profesi telah dilaksanakan ataupun ketika seorang personil polisi telah nyata-nyata berbuat kriminalitas dan kemudian diproses layaknya warganegara biasa. Namun, belum ada mekanisme yang menjamin konteks imparsialitas tersebut terkait dengan proses-proses sebelum peradilan profesi dijalankan ataupun proses sesudahnya, demikian pula proses-proses sebelum seorang personil diputuskan diajukan ke proses peradilan pidana umum. Pihak Propam seyogyanya meningkatkan transparansi dalam proses pra dan pasca peradilan profesi ataupun peradilan pidana umum tersebut

Kedua, tumpang-tindih. Selain Propam yang by function melakukan peran internal oversight pada tingkat individual, dalam pandangan kami, terdapat kecenderungan dimana beberapa satuan kerja lain juga melakukannya. Sebagai contoh BIK atau fungsi intelijen pada umumnya. Konteks pengawasan melekat yang ada pada setiap pimpinan juga pada dasarnya melakukan internal oversight juga. Demikian pula kantor Irwasum/da, yang walau obyek pemeriksaannya adalah aktivitas yang menggunakan keuangan negara, mau tidak mau akan menyentuh orang per orang juga.

Terkait situasi tersebut, diperkirakan terdapat situasi tumpang- tindih atau overlapping yang membutuhkan koordinasi dalam rangka pembenahan jalur organisasi dan tata-laksananya. Untuk itu, kepada pihak-pihak terkait tersebut, dan khususnya kepada Propam, diperlukan semangat untuk membuka diri atau tidak menganggap diri selaku cluster kerja yang tidak ada kaitannya dengan pihak lain.

Diyakini, apabila Propam mengoptimalisasi koordinasi dengan berbagai satuan kerja lain yang juga memiliki kecenderungan oversight, diperkirakan akan jauh lebih banyak lagi penyimpangan maupun kejahatan kepolisian dapat menjadi perhatian Propam.

Ketiga, sesuai fungsi utamanya, personil Propam lebih kerap dilihat sebagai sosok dimana personil Polri pada umumnya perlu lebih berhati-hati berbicara dan berperilaku. Hampir tak pernah atau jarang terlihat sosok Propam yang analitis.

Bila kita menyadari bahwa terdapat suatu latar belakang, proses dan kecenderungan mengapa seorang polisi dapat menjadi menyimpang atau bahkan berperilaku jahat, maka adalah penting Propam melakukan berbagai kajian terkait hal itu. Demikian pula mengenai pola penanganan (treatment) terkait personil bermasalah itu. Terkait hal ini, maka kerjasama dengan jajaran Sumber Daya Manusia, lebih khusus lagi Biro Psikologi, menjadi penting.

Selalu menjadi pertanyaan bagi kami, bisakah telur busuk atau personil polisi yang menyimpang dan kriminil itu diprediksi? Dengan pola pendidikan umum dewasa ini, dengan pertambahan jumlah personil polisi dewasa ini maupun dengan perubahan sistem rekrutmen dan alat tes dewasa ini, bisakah diramalkan berapa persen dari mereka yang telah menjadi polisi ternyata berubah menjadi telur busuk di kemudian hari?

Tentunya, kajian yang bersifat peramalan ini penting guna menentukan postur jajaran Propam di suatu satwil tertentu. Penentuan DSPP jajaran Propam, misalnya, tentulah harus mengacu pada profil penyimpangan tersebut, dan bukannya berdasarkan anggapan atau mitos saja.

Adrianus Meliala Kriminolog UI; Dosen dan Anggota Senat PTIK ; Dosen Program S-2 KIK-UI; Senior Governance Adviser pada Partnership for Governance Reform in Indonesia; Penasehat Ahli Kapolri

Anda mungkin juga menyukai