Anda di halaman 1dari 6

DISONANSI PEMILIH MEKANISTIK

Oleh : Gun Gun Heryanto

Perhelatan Pemilu dalam praktik demokrasi prosedural di Indonesia hingga

kini, masih menempatkan elit politik sebagai pusat. Kelompok elit senantiasa

menjadi kekuatan dominan yang mensubordinasikan rangkaian proses tindakan

sosial dalam Pemilu tanpa memberi akses leluasa bagi publik untuk mendapatkan

pemberdayaan politik (political empowerment) yang memadai. Pemilu dengan

segala hingar-bingarnya seolah menjadi momentum milik para pemimpin partai,

Caleg, kandidat Capres serta Cawapres. Penetrasi elit dilakukan mulai dari

berbagai varian media massa hingga ke lingkup keluarga, organisasi dan

kelompok masyarakat. Akan tetapi berbagai sentuhan politik yang dilakukan elit

berjalan linear menuju pencapain kepentingan mereka. Sehingga Pemilu sangat

berpotensi besar menyebabkan terjadinya disonansi kognitif daripada menjadi

momentum transformasional.

Pendekatan Instrumental

Bila kita amati perkembangan aktual belakang ini, perbincangan publik

tentang Pemilu telah memberi ruang luar biasa pada berbagai manuver, intrik serta

strategi para Capres dan Cawapres. Energi kita tersedot ke dalam pusaran

pemetaan kelompok elit di empat poros utama, yakni Blok S (SBY), Blok J (Jusuf

Kalla), Blok M (Megawati), Blok T (Poros Tengah yang hinggi kini belum jelas

konsolidasi politiknya). Berbagai loby dan negosiasi secara intensif dilakukan elit,

dalam kuadran yang memungkinkan mereka merasa everybody happy everybody

lucky. Sebuah mekanisme dagang politik yang menempatkan para inisiator berada
dalam wilayah aman Zona of Possible Agreement (ZOPA) dan leluasa

mengantongi hasil maksimal atau paling tidak berada di titik terendah tawaran

yang bisa ditolerir hingga dapat ikut serta ke dalam kesepakatan (reservation

price). Media massa pun turut dalam proses pengarusutamaan (mainstreaming)

elit dengan melakukan pembingkaian pada setiap pergerakan mereka. Berbagai

pernyataan, aneka rupa acara silaturahmi, sejumlah Rapimnas partai politik dan

lain-lain praktis menjadi menu utama media massa.

Mari kita amati, bagaimana perbincangan publik soal keterlambatan

sosialisasi Pemilu oleh KPU justru berada di wilayah isu pinggiran. Dalam

berbagai simulasi, banyak warga pemilih yang belum paham apakah mereka

mencontreng atau mencoblos, tapi hal itu dianggap bukanlah sesuatu yang

mendesak untuk diatasi. Padahal sosialisasi Pemilu terlebih di Indonesia sebagai

negara kepulauan, membutuhkan kerja intensif, sistematik serta tepat sasaran.

Setali dua uang dengan KPU, partai politik pun lebih sibuk menghitung peluang

dan menjadikan pemilih sebagai sekumpulan jumlah layaknya benda yang

menjadi komoditi partai untuk memenangkan pertarungan. Logika berdemokrasi

melalui pendekatan instrumentalisik yang menjadikan pemilih hanya sebagai

instrumen pencapai tujuan elit dan partai politik. Tidak dalam substansi demokrasi

yang fungsional dan humanistik. Meminjam formula dari pemikir Martin Burber,

yang membedakan antara I-thou relationship (hubungan saya dengan anda sebagai

manusia) dan I-it relationship (hubungan saya dengan anda sebagai benda), maka

sikap elit politik kita memperlakukan pemilih jelas memilih tipe kedua. Sebuah

langkah yang menempatkan pemilih dalam kategori mekanistik atau bisa diset
layaknya mesin dan disesuaikan dengan kebutuhan elit serta partai yang pada

saatnya pencoblosan tiba pemilih akan dikonversi menjadi sejumlah hitungan

kuantitatif.

Pemilih Mekanistik

Pemilu 2009 yang kian dekat, ternyata juga masih didominasi oleh berbagai

faktor yang kian memapankan dan melembagakan jenis pemilih mekanisitik ini.

Paling tidak ada tiga faktor dominan yang menyumbang proses pemapanan ini.

Pertama, kita melihat adanya upaya sengaja, intensif dan berkelanjutan yang

dilakukan oleh elit untuk terus memelihara basis massa tradisional dengan

pendekatan manipulasi ideologi dan kekuatan referensi (reference power). Yang

dimaksud dengan manipulasi ideologi adalah partai politik maupun elit secara

terencana “memenjarakan” pemilih di basis-basis kantong pemilihannya dengan

membawa pada tema-teman fantasi yang mempesona dan menyatukan pemilih

pada satu bentuk konvergensi simbolik. Menurut Ernest G Bormann (dalam

Putnam and Pacanowsky, 1983: 110), konvergensi simbolik akan menghasilkan

tema-tema fantasi melalui visi retorik. Fantasi sendiri merupakan asumsi

pengetahuan bersama yang didasarkan pada penguasaan realitas di benak anggota

kelompok. Partai menjelang Pemilu kembali intensif mencitrakan dirinya sebagai

representasi ideologi tertentu padahal dalam praktiknya sama sekali bertolak

belakang. Salah satu pengikat manipulasi ideologi juga bisa dalam bentuk

pemanfaatan tokoh besar untuk dijadikan rujukan dan membawa fantasi kian

membumbung tinggi. Kita bisa melihat di berbagai spanduk, baliho, iklan media,

tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ali Sadikin, Wahid Hasyim, Hasyim Asy’ari
dll., kembali dihidupkan. Upaya menawarkan basis ideologi dan panutan tokoh-

tokoh nasional sah-sah saja selama memang memiliki komitmen untuk

mengimplementasikan nilai-nilai normatif ideologi dan pemikiran tokoh tersebut

dalam pendidikan politik terhadap pemilih yang menjadi kader partai atau elit.

Kedua, maraknya elit yang mencalonkan diri dan memersuasi pemilih

dengan pendekatan kekuatan hadiah (reward power). Proses membeli pemilih

dengan kekuatan finansial melalui beragam suntikan uang, barang dan fasilitas.

Proses transaksi yang mengharuskan elit memberi dan pemilih bersedia patuh

pada kendali, seolah lumrah dalam sebuah kontestasi. Pendekatan ini, sama saja

dengan terus melembagakan mata rantai dari dosa Pemilu yang akan melahirkan

kesadaran palsu pemilih. Banyak Caleg dan tokoh partai yang berkomentar di

media massa, mereka harus merogoh hingga miliran rupiah untuk memberi

“bensin” pemilih. Sebuah pola transaksional yang mereka anggap wajar, padahal

berbahaya bagi masa depan demokrasi dan konsolidasi civil society.

Ketiga, masih kurangnya sensitivitas media massa pada pemilih dalam

peranannya sebagai ruang publik. Media massa kita saat ini memang sedang

menikmati peningkatan belanja iklan politik dari partai dan caleg serta kandidat

Capres-Cawapres. Isu “sexy” yang laku jual pun selalu mengalir dari elit,

sehingga kelompok elit selalu mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih

memadai sementara pemilih yang seharusnya menjadi simpul utama demokrasi

dalam proses dari oleh dan untuk masyarakat justru kurang mendapat perhatian.

Contoh aktual adalah penyusunan DPT yang hingga kini masih carut-marut.
Hanya sedikit media yang benar-benar melakukan kontrol atas terlindunginya

hak-hak warga negara sebagai pemilih.

Disonansi Kognitif

Jika Pemilu hanya melahirkan pemilih mekanistik, maka sudah barang tentu

dapat menyebabkan disonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam

Shaw & Constanzo, 1982) desonanasi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan

hubungan antar elemen kognisi. Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang

dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakan bagian dari

elemen-elemen pokok kognisi.

Dalam konteks Pemilu, jika masyarakat memahami Pemilu sebagai

mekanisme demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke

arah yang lebih baik sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan

antara elit partai politik maka akan melahirkan hubungan disonan atau

penyangkalan di tingkatan Pemilih. Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak

meyenangkan yang timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik antara dua

kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih

sebagai wujud partisipasi politik dalam Pemilu dan ketidakyakinan terhadap

kualitas pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli Teori

desonansi Kognitif seperti Festinger disebut sebagai inskonsistensi logis.

Desonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik, bisa menyebabkan pemilih

apatis bahkan apolitis di kemudian hari. Pemilu seyogyanya tidak semata-mata

melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, melainkan harus menjadi momentum


pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rasional voter) yang

memiliki daya tawar.

Anda mungkin juga menyukai