kini, masih menempatkan elit politik sebagai pusat. Kelompok elit senantiasa
sosial dalam Pemilu tanpa memberi akses leluasa bagi publik untuk mendapatkan
Caleg, kandidat Capres serta Cawapres. Penetrasi elit dilakukan mulai dari
kelompok masyarakat. Akan tetapi berbagai sentuhan politik yang dilakukan elit
momentum transformasional.
Pendekatan Instrumental
tentang Pemilu telah memberi ruang luar biasa pada berbagai manuver, intrik serta
strategi para Capres dan Cawapres. Energi kita tersedot ke dalam pusaran
pemetaan kelompok elit di empat poros utama, yakni Blok S (SBY), Blok J (Jusuf
Kalla), Blok M (Megawati), Blok T (Poros Tengah yang hinggi kini belum jelas
konsolidasi politiknya). Berbagai loby dan negosiasi secara intensif dilakukan elit,
lucky. Sebuah mekanisme dagang politik yang menempatkan para inisiator berada
dalam wilayah aman Zona of Possible Agreement (ZOPA) dan leluasa
mengantongi hasil maksimal atau paling tidak berada di titik terendah tawaran
yang bisa ditolerir hingga dapat ikut serta ke dalam kesepakatan (reservation
pernyataan, aneka rupa acara silaturahmi, sejumlah Rapimnas partai politik dan
sosialisasi Pemilu oleh KPU justru berada di wilayah isu pinggiran. Dalam
berbagai simulasi, banyak warga pemilih yang belum paham apakah mereka
mencontreng atau mencoblos, tapi hal itu dianggap bukanlah sesuatu yang
Setali dua uang dengan KPU, partai politik pun lebih sibuk menghitung peluang
instrumen pencapai tujuan elit dan partai politik. Tidak dalam substansi demokrasi
yang fungsional dan humanistik. Meminjam formula dari pemikir Martin Burber,
yang membedakan antara I-thou relationship (hubungan saya dengan anda sebagai
manusia) dan I-it relationship (hubungan saya dengan anda sebagai benda), maka
sikap elit politik kita memperlakukan pemilih jelas memilih tipe kedua. Sebuah
langkah yang menempatkan pemilih dalam kategori mekanistik atau bisa diset
layaknya mesin dan disesuaikan dengan kebutuhan elit serta partai yang pada
kuantitatif.
Pemilih Mekanistik
Pemilu 2009 yang kian dekat, ternyata juga masih didominasi oleh berbagai
faktor yang kian memapankan dan melembagakan jenis pemilih mekanisitik ini.
Paling tidak ada tiga faktor dominan yang menyumbang proses pemapanan ini.
Pertama, kita melihat adanya upaya sengaja, intensif dan berkelanjutan yang
dilakukan oleh elit untuk terus memelihara basis massa tradisional dengan
dimaksud dengan manipulasi ideologi adalah partai politik maupun elit secara
belakang. Salah satu pengikat manipulasi ideologi juga bisa dalam bentuk
pemanfaatan tokoh besar untuk dijadikan rujukan dan membawa fantasi kian
membumbung tinggi. Kita bisa melihat di berbagai spanduk, baliho, iklan media,
tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ali Sadikin, Wahid Hasyim, Hasyim Asy’ari
dll., kembali dihidupkan. Upaya menawarkan basis ideologi dan panutan tokoh-
dalam pendidikan politik terhadap pemilih yang menjadi kader partai atau elit.
dengan kekuatan finansial melalui beragam suntikan uang, barang dan fasilitas.
Proses transaksi yang mengharuskan elit memberi dan pemilih bersedia patuh
pada kendali, seolah lumrah dalam sebuah kontestasi. Pendekatan ini, sama saja
dengan terus melembagakan mata rantai dari dosa Pemilu yang akan melahirkan
kesadaran palsu pemilih. Banyak Caleg dan tokoh partai yang berkomentar di
media massa, mereka harus merogoh hingga miliran rupiah untuk memberi
“bensin” pemilih. Sebuah pola transaksional yang mereka anggap wajar, padahal
peranannya sebagai ruang publik. Media massa kita saat ini memang sedang
menikmati peningkatan belanja iklan politik dari partai dan caleg serta kandidat
Capres-Cawapres. Isu “sexy” yang laku jual pun selalu mengalir dari elit,
dalam proses dari oleh dan untuk masyarakat justru kurang mendapat perhatian.
Contoh aktual adalah penyusunan DPT yang hingga kini masih carut-marut.
Hanya sedikit media yang benar-benar melakukan kontrol atas terlindunginya
Disonansi Kognitif
Jika Pemilu hanya melahirkan pemilih mekanistik, maka sudah barang tentu
hubungan antar elemen kognisi. Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang
arah yang lebih baik sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan
antara elit partai politik maka akan melahirkan hubungan disonan atau
meyenangkan yang timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik antara dua
kualitas pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli Teori
Desonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik, bisa menyebabkan pemilih