Jelas sudah, identitas Mr.X yang menjadi pusat drama perburuan 17 Jam di
Dusun Beji, Temanggung, Sabtu (8/8), yang ternyata adalah Ibrohim. Hal ini,
mematahkan gosip yang beredar selama ini, bahwa Noordin telah berkalang
tanah. Penjelasan resmi pihak Polri ini, sekaligus menguak tabir pekat di balik
pemberitaan media dan perbincangan publik akhir-akhir ini. Cerita Noordin dan
jaringannya belum berakhir, malahan terus menggelinding bak bola api yang kian
hari kian membesar dan semakin liar. Entah di mana Noordin saat ini berada, satu
hal yang pasti lolosnya dia menjadi penanda bahwa lonceng kematian setiap saat
masih bisa berdentang. Dari peristiwa itu, ada tiga hal yang menarik untuk
Tak disangkal lagi, Noordin memang ngetop dan paling dicari belakangan
ini. Seluruh bingkai pemberitaan media (news framing) dari pagi hingga ke pagi
lagi dipenuhi oleh seribu satu cerita soal Noordin. Bahkan, kerapkali sulit
membedakan antara fakta dan gosip, antara kehati-hatian reportase dan reality
show. Noordin yang faktual dan Noordin yang simbolik, telah menyatu dalam
film action, bahkan di beberapa media mirip hidangan infotainment tanpa fakta
1
verifikatif. Perhatikan saja, klimaks cerita di Beji, Temanggung sabtu (8/8).
Dusun pinggiran yang bersahaja dan jauh dari hiruk-pikuk “politik kota” itu,
Polisi antiteror berujung khabar Noordin telah tiada. Meski belum terkonfirmasi,
berlomba untuk mejadi yang tercepat, tanpa mengindahkan fakta yang holistik.
Hanya sedikit media yang tak tergoda ke dalam jebakan euforia “kematian”
Noordin.
Ada baiknya kita memahami kembali pemikiran Peter L Berger dan Thomas
constructed). Mengkonstruksi makna, tentu tak lepas dari proses pelembagaan dan
proses konstruksi tersebut. Jika media terus menerus dan terpola mendistribusikan
khabar yang keliru, bukan tak mungkin kekeliruan itu nantinya dianggap sahih
Transformasi “Noordinisme”
Satu hal lain yang patut kita apresiasi ialah upaya kepolisian dalam
2
bagi kemanusiaan (ultimate crime againts humanity). Gerakan ini laten dan bisa
kembali aktual kapan pun dalam sosok serta jaringan yang sama atau pun berbeda.
Doktrin ajaran ala Noordin yang meliputi ide, gagasan, pemikiran sekaligus
disemai dan tumbuh subur di tengah balutan ideologisasi agama dengan tafsir
ketidakpedulian masyarakat. Embrio itu siap menetas, menjadi stelsel aktif yang
Terlebih bangsa ini kerap menjadi bangsa pelupa di tengah bekerjanya gurita para
pemilik ororitas modal dan kekuasaan yang kerap dengan sengaja membuat
proyek lupa. Satu kasus sengaja di dorong ke permukaan untuk menutupi kasus-
ideologis dan spirit gerakan radikal ala Noordin. Terlebih jika dia dikukuhkan
oleh para pengikutnya sebagai role model yang keliru dari konsep diri “pejuang”,
“syuhada”, “pembawa kebenaran”, “imam atau amir” dan lain-lain. Kini, bisa jadi
Noordin tak semata faktual melainkan juga simbolik. Artinya Noordin tak hanya
ada dalam realitasnya sebagai pribadi, tetapi juga menjadi kesadaran kelompok
terbagi (shared group conciousness) yang larut dan penetratif dalam orientasi diri
Sungguh berbahaya jika terjadi konvergensi simbolik atas diri dan gagasan
3
konvergensi simbolik ini merupakan kekuatan komunikasi di balik penciptaan
Menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi dan
paradigma berpikir (dalam Cragan, 1998). Jika cara pandang menghalalkan bom
bunuh diri, membunuh atau menebar teror menjadi kesadaran kelompok maka
Para Noordinis
memapankan noordinis atau para pengikut setia Noordin yang tak lagi
Tentu dalam konteks ini, sekali lagi bukan Noordin sebagai individu yang faktual
noordinis-noordinis ini. Paling tidak ada tiga faktor yang dapat memfasilitasi
dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerapkali dicap “teroris”
“ekstrimis” “penjahat demokrasi” dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini pula
yang telah memupuk subur gerakan radikal Islam seperti di Afghanistan, Irak,
Iran, Lybia, termasuk juga di Indonesia. Sentimen anti Barat marak dan
mengemuka seolah menjadi penegas zona perlawanan bisa dimana saja. Sehingga
4
muncul gejala terorisme transnasional. Interkonseksi para pelaku teror tak lagi
sekolah dan lingkungan pergaulan. Sangat wajar jika suatu pesantren atau sekolah
ekstrim tentang agama, maka akan banyak lahir kader militan yang siap mati
tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi teroris yang diikuti,
eksternalisasi diri agar populer sebagai penebar teror sehingga menjadi ikon
liputan media massa. Selain itu, juga ada orang-orang tertentu yang menebar teror
sebagai bentuk pertahanan diri dari berbagai tekanan pihak lain. Orientasi-
orientasi kepribadian ini, perlahan tapi pasti dapat merangsang lahirnya orang-
Dari ketiga faktor di atas, nampaknya faktor pertama dan kedualah yang
5
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian SINDO, Senin 17 Agustus 2009