Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN

KEJURUAN MENYONGSONG MILLENIUM III

PIDATO PENGUKUHAN

IT

NEGER

I
S

UR

IVERS

A B AYA

MUCHLAS

UN

SAMANI

disampaikan pada peresmian penerimaan Jabatan Guru Besar

dalam bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan pada Jurusan Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan Institut Keguruan dan llmu Pendidikan Surabaya pada hari Senin, 14 Desember 1998

dengan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi (tertiary level), kemudian istilah pendidikan kejuruan biasanya hanya digunakan pada tingkat menengah (secondary level) kebawah. Meskipun strukturnya sangat beragam, ternyata pendidikan kejuruan terdapat hampir di seluruh negara1. Dalam tulisan ini yang dimaksud pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk persiapan memasuki lapangan kerja, baik formal maupun non formal (berbagai kursus keterampilan) pada level menengah (level di bawah pendidikan tinggi). Sebagai pendidikan yang menyiapkan pesertanya untuk memasuki dunia kerja, maka relevansi pendidikan memegang kunci amat penting. Relevansi harus diartikan sebagai kesesuaian bekal yang dipelajari peserta didik dengan tuntutan dunia kerja yang akan dimasuki setelah lulus, ditinjau dari jenis maupun kualitasnya. Berarti pendidikan kejuruan harus mampu memprediksi jauh ke depan, dari saat program pendidikan dirancang. Di era memasuki millenium ketiga yang ditandai dengan perubahan yang begitu cepat dan bahkan seringkali tidak terduga atau tidak berpola (unpredictable bahkan uncertainty), pendidikan kejuruan sering dipertanyakan banyak pihak. Pada tahun 1970-an bahkan ada pendapat beberapa ahli yang mengusulkan agar sekolah kejuruan dihapus saja, karena dianggap gagal mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja (Samani, 1987). Dari sudut teori maupun perundang-undangan, khususnya di Indonesia, eksistensi pendidikan kejuruan cukup kokoh. Namun diperlukan reorientasi dan revitalisasi agar mampu memenuhi tantangan di era millenium ketiga mendatang.

PENDIDIKAN KEJURUAN MENYONGSONG MILLENIUM III oleh Muchlas Samani


ilmu pada akhirnya hanyalah alat, untuk mencapai tujuan, yang dapat positif atau negatif dan itu tergantung pada pelakunya, yaitu manusia, yang dibekali olehNya dengan nurani, akal dan nafsu (Januari 78)

Pendahuluan Pendidikan kejuruan seringkali disalahfahami bahkan dikaburkan dengan sekolah kejuruan. Kerancuan itu mengakibatkan penyempitan arti bahkan membelokkannya. Jika kita mengacu pada definisi yang diajukan oleh Evan (1974) dan Finch dan Crunkilton (1979) pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia kerja atau lebih mampu bekerja pada bidang pekerjaan tertentu (earning a living). Jika diikuti pengertian pada Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1990, pendidikan kejuruan diartikan sebagai pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Dengan demikian pendidikan kejuruan jauh lebih luas dari sekolah kejuruan, karena mencakup pendidikan non formal misalnya pelatihan dalam berbagai bidang dan jenjang, selama pelatihan tersebut mengarah pada pemberian bekal untuk memasuki dunia kerja atau memantapkan kemampuan peserta dalam bekerja pada bidang tertentu. Bahkan pendidikan kejuruan juga mencakup pendidikan dalam keluarga, misalnya ketika seorang petani mengajari anaknya membajak atau tukang jahit yang mengajari adiknya memasang kancing baju atau menisik pakaian. Hanya saja, untuk memilah

1 Gambaran tentang posisi pendidikan kejuruan dalam spektrum pendidikan secara keseluruhan di berbagai negara dapat dibaca pada Gert Loose. 1990 Vocational Education in Transition : A SevenCountry Study of Curricula for Lifelong Vocational Learning. Hamburg: Unesco Institute for Education dan R. Murray Thomas & T. Neville Postlethwaite (Ed). 1983. Schooling in East Asia. Oxford: Pergamon Press

plant koneksitas berbagai bagian peralatan dan mesin sudah dilakukan secara otomatis, sehingga pengaturan dapat dilakukan melalui panel kontrol di ruang kontrol yang nyaman dan jauh dari suasana panas maupun bising.
Penyempurnaan dari mesin atau peralatan versi lama ke versi baru tersebut, cenderung mengarah kepada ukuran yang lebih kecil, mudah dioperasikan, dan memberi kenyamanan bagi si pemakai. Dilihat dari total biaya yang terdiri dari harga pembelian, biaya operasi dan pemeliharaan, seringkali justru lebih murah atau tidak jauh berbeda. Oleh karena itu tidak mengherankan jika orang cenderung memilih versi baru dan meninggalkan versi yang lama. Beralihnya mesin ketik ke komputer dan kini mengarah kepada paperless office dapat menjadi contoh nyata dari perpindahan menuju miniaturisasi, efisiensi, dan comfortable tersebut. Konsekuensinya para produsen terus berlomba memodifikasi mesin dan peralatan yang telah ada atau menciptakan alat dan mesin baru yang memiliki ciri tersebut, agar digemari oleh masyarakat. Jika dicermati dari sisi disiplin keilmuan, mesin dan peralatan baru tersebut seringkali tidak lagi bersifat monodisiplin, tetapi integrasi beberapa bidang keilmuan. Sifat integrasi semacam itu tampaknya semakin hari semakin kuat. Kini hampir semua peralatan mekanik permesinan sudah terpadu dengan elektro-eletronik, sehingga banyak ahli menyebut era mechatronik. Tiga contoh yang disebutkan di atas (pompa, CDI, dan power plant) adalah sedikit gambaran dari mechatronik tersebut. Kemudahan dalam bekerja, pertimbangan efisiensi waktu dan mungkin juga faktor bisnis, membawa kecenderungan bahwa mesin dan peralatan dirancang terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing dikemas dalam bentuk modul, yaitu komponen yang menyatu, dirancang tidak untuk dibuka atau direparasi. Seakan-akan komponen semacam itu mengarah
4

Tantangan Dunia Kerja di Masa Depan Membahas eksistensi ke depan dari pendidikan kejuruan, tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan situasi dan perkembangan dunia kerja, karena sebagaimana disebutkan di atas, hakekat pendidikan kejuruan akan selalu terkait erat dengan dunia kerja. Namun demikian, pembahasan akan dilakukan secara singkat dan difokuskan pada hal-hal yang secara langsung terkait dengan dunia pendidikan2 Perkembangan iptek yang demikian cepat ternyata mampu memfasilitasi manusia dengan berbagai kemudahan dalam kehidupan maupun pekerjaan. Mengingat secara naluriah, manusia selalu ingin dapat hidup dan bekerja lebih mudah dan nyaman, maka kita dapat mengamati hasilhasil iptek berupa berbagai alat/mesin untuk kehidupan sehari-hari maupun alat bantu kerja yang semakin hari semakin canggih dan comfortable. Pompa piston mekanik (biasanya disebut pompa dragon) digantikan oleh pompa sentrifugal yang digerakkan oleh motor listrik (biasanya disebut pompa sanyo) dan kemudian disempurnakan dengan dilengkapi dengan sistem self priming dan kontrol, sehingga begitu keran air dibuka pompa langsung hidup. Jika menggunakan tandon air, dapat diatur agar pompa hidup secara otomatik, jika tandon kosong dan mati jika tandon sudah penuh. Dalam bidang otomotif, kopling (clutch) yang bersifat manual digantikan dengan kopling sentrifugal (biasanya disebut kopling otomatik), sehingga pengendara tidak perlu menginjak kopling jika akan memindahkan gigi transmisi. Bahkan transmisipun dibuat otomatik, sehingga secara otomatik berpindah gigi sesuai dengan laju kendaraan. Platina mobil yang merupakan salah satu komponen yang mudah rusak kini sudah mulai menghilang dan digantikan dengan CDI. Dalam power
2 Pembahasan lebih rinci dapat dibaca antara lain pada World Bank. 1991. Indonesia Employment and Training Foundation for Industrialization in the 1990s. Report No 9350-IND.

harus pandai menggunakan word processor, dengan berbagai soft ware penyertanya. Teknisi servis pompa dan kompresor saat ini harus memahami tentang motor listrik dan kontrol elektronik, walaupun dalam taraf sederhana. Salon mobil dan bengkel asesoris yang kini mulai menjamur merupakan jenis usaha yang memerlukan tenaga kerja cukup banyak, yang 10 tahun lalu mungkin belum terbayangkan oleh banyak orang. Semakin banyaknya peralatan rumah tangga, seperti TV, AC, komputer, mesin cuci, dan sebagainya, memunculkan pekerjaan jasa servis bergerak, yang dengan perlengkapan cukup, siap bergerak untuk memenuhi panggilan konsumen.

kepada single use, sehingga kalau rusak langsung diganti secara satu modul utuh. Dari tampak luar seringkali modul semacam itu hanya berupa kotak atau silinder, sehingga orang hanya dapat mengenali dan membayangkan prinsip kerjanya lewat skema atau manual yang menyertainya. Perubahan atau penyempurnaan mesin dan peralatan tersebut diduga akan semakin cepat, seiring dengan perkembangan iptek yang juga semakin cepat, sebagai basis untuk perubahan tersebut. Bahkan banyak ahli yang memperkirakan perubahan itu tidak sekedar berjalan secara linier, tetapi secara eksponensial dan bahkan disertai dengan berbagai kejutan. Pada tahun 1950-an mungkin orang tidak menduga kalau saat ini orang mampu melakukan reparasi terhadap komponen satelit yang sedang mengorbit jauh di luar angkasa. Bahkan Stephen Hawking dalam kuliah Millenium Evening menyatakan bahwa kini manusia harus bersiap-siap terhadap kelahiran komputer generasi baru dengan kemampuan amat sangat canggih yang mungkin tidak terbayangkan selama ini. Gambaran di atas menunjukkan bahwa di masa datang, bahkan saat ini sudah tampak nyata gejalanya, akan terjadi perubahan pola pekerjaan dan kualifikasinya (Apeid, 1992). Akan banyak pekerjaan yang selama ini dominan dan menyerap banyak tenaga kerja akan berkurang atau bahkan hilang. Di lain pihak akan muncul jenis pekerjaan baru yang memerlukan banyak tenaga kerja. Jenis pekerjaan yang tetap eksispun akan mengalami perubahan pola, sehingga memerlukan perubahan kualifikasi pekerjanya. Selama tahun 1970-an, di Amerika Serikat telah muncul tidak kurang dari 20.000 jenis pekerjaan baru, baik itu merupakan perubahan dari pekerjaan yang telah ada maupun pekerjaan yang benarbenar baru (Levin dan Rumberger, 1989). Gejala semacam itu juga sudah mulai terjadi di Indonesia. Sebagai contoh tenaga administrasi kantor yang selama ini cukup pandai mengetik, kini
5

Gambar 1. Bentuk Struktur Ketenagakerjaan Pergeseran pola pekerjaan dan kualifikasinya akan menimbulkan pergeseran pula dalam kebutuhan tenaga kerja. Setelah melakukan studi di beberapa negara berkembang, Apeid (1992) menyimpulkan pergeseran yang terjadi akan mengarah antara lain: (1) meningkatnya kebutuhan tenaga ahli dan teknisi untuk installers, maintenance and repairs, (2) menurunnya tenaga kerja craft workers, operators and labours, (3) menurunnya kebutuhan tenaga untuk clerical and administrative staff, dan (4) meningkatnya kebutuhan tenaga bidang jasa, khususnya untuk keuangan, periklanan, transportasi, penjualan (sales) dan akuntansi, serta
6

Tabel 1. Angkatan Kerja di Indonesia dipilah untuk Kota dan Desa*)

(5) meningkatnya kebutuhan tenaga setingkat manajer dan jasa konsultansi. Dengan demikian struktur ketenagakerjaan yang selama ini digunakan, yaitu berbentuk piramida akan bergeser menjadi trapesium atau gendang, seperti Gambar 1. Pergeseran ketenagakerjaan tersebut tentunya diikuti dengan pergeseran kompetensi tenaga kerja yang diperlukan. Dimasa datang keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keinovatifan akan sangat diperlukan. Kemampuan yang berifat rutin dan pengulangan-pengulangan akan segera usang dan digantikan dengan kemampuan bernalar, abstraksi, adaptasi dan kemampuan mengembangkan diri (self training) untuk menghadapi pekerjaan yang terus berkembang. Dengan kata lain akan terjadi pergeseran dari keterampilan manual ke keterampilan intelektual yang memerlukan banyak pengetahuan dan transferable skills dalam bentuk kemampuan menangani pekerjaan yang bersifat broader mix of tasks. Pendidikan Kejuruan dan Urbanisasi Urbanisasi adalah fenomena alamiah yang terjadi hampir disemua negara. Namun fenomena yang terjadi di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini perlu mendapat perhatian kalangan pendidikan kejuruan. Saat ini di daerah pedesaan dapat dikatakan kekurangan tenaga kerja terdidik. Penelitian Samani dkk. (1997) menemukan bahwa generasi muda lulusan SLTP dan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikan pada umumnya enggan untuk bertani atau berdagang sebagaimana orang tua mereka. Mereka cenderung berurbanisasi ke kota, sehingga yang tinggal di daerah adalah mereka yang relatif tidak berpendidikan atau mereka yang berusia lanjut.

Data statistik ternyata mendukung fenomena tersebut, sebagaimana tampak pada Tabel 1. Data tersebut memberi gambaran bahwa terjadi perpindahan tenaga kerja dari daerah pedesaan ke kota, akibat terjadinya urbanisasi. Secara persentase, tenaga kerja di pedesaan turun dari 73,4% pada tahun
8 7

mengapa upaya pengolahan potensi daerah, seperti petanian untuk cabe dan melon, industri kecil untuk pengolahan buah-buahan, kerajinan kayu, bambu dan rotan, industri kecil logam dan sebagainya justru banyak dilakukan oleh mereka yang bukan lulusan pendidikan kejuruan. Sementara lulusan pendidikan kejuruan justru mencari pekerjaan sebagai karyawan ke kota. Generasi muda yang berurbanisasi ke kota ternyata menunjukkan indikator pola tertentu. Mereka yang berpendidikan cenderung berusaha mencari pekerjaan sebagai pegawai atau karyawan, sementara mereka yang kurang berpendidikan cenderung terjun se sektor informal, misalnya pedagang kaki lima. Tampak bahwa kecenderungan ingin bekerja sebagai pegawai dan karyawan terjadi ketika mereka tinggal di desa maupun setelah berurbanisasi ke kota. Jika dicermati secara saksama, akan tampak bahwa orientasi pendidikan kejuruan di Indonesia lebih berat ke industri besar dengan teknologi maju yang biasanya berlokasi di kota besar. Memang pekerjaan pada industri maju relatif lebih terstruktur, sehingga lebih mudah diterjemahkan menjadi pola pendidikan dan pelatihan. Sementara pekerjaan di industri kecil seringkali kurang berstruktur dan sangat beragam, sehingga sulit dicari pola dasarnya. Apalagi orientasi kepada industri besar dengan teknologi maju, seringkali dianggap mampu menjadikan sekolah lebih canggih dan bermutu. Di samping aspek-aspek positif yang dihasilkan, orientasi pendidikan kejuruan kepada industri besar dengan teknologi maju, ternyata juga membawa hasil ikutan, yaitu kecenderungan mencari kerja sebagai karyawan dan karena lokasi perusahaan besar pada umumnya di kota, mereka akhirnya berurbanisasi.
10

1991 menjadi 70,4% pada tahun 1994 dan 66,0% pada tahun 1997. Sebaliknya tenaga kerja di daerah perkotaan naik dari 26,6% pada tahun 1991 menjadi 29,6% pada tahun 1994 dan 34,0% pada tahun 1997. Data juga menunjukkan bahwa jumlah nominal tenaga kerja di pedesaan sebenarnya tidak turun. Yang menurun adalah proposinya, yang diduga bahwa angkatan kerja baru yang relatif lebih berpendidikan berurbanisasi ke kota. Jika data tersebut ditelusur lebih jauh, yaitu dilihat mereka yang tamatan SD, SLTP, dan SLTA akan tampak bahwa persentase mereka yang berada di kota mengalami kenaikkan dari 38,5% pada tahun 1991 menjadi 41,8% pada tahun 1994 dan 54,6% pada tahun 1997, sementara yang berada di pedesaan mengalami penurunan dari 61.5% pada tahun 1991 menjadi 58,2% pada tahun 1994 dan 55,4% pada tahun 1997. Data tersebut memperkuat bukti bahwa terjadi migrasi tenaga kerja terdidik dari desa ke kota. Oleh karena itu beberapa ahli mensinyalir tenaga kerja terdidik berubanisasi ke kota dan yang tinggal di pedesaan adalah mereka yang relatif kurang terdidik dan mereka yang berusia lanjut. Upaya mengerem urbanisasi bukan sesuatu yang mudah. Kesulitan pemerintah daerah Jawa Timur dalam melaksanakan Gerakan Kembali ke Desa (GKD) memberikan bukti empirik, bahwa urbanisasi terkait dengan berbagai faktor, mulai dari faktor alokasi sumberdaya ekonomi, infrastruktur, sampai budaya. Tulisan ini tidak akan membahas berbagai faktor tersebut. Yang ingin dibahas adalah mengapa lulusan SLTP dan SLTA, termasuk SMK dan berbagai kursus keterampilan lebih senang berurbanisasi dibanding mengolah potensi daerah setempat. Memang benar, bahwa dari berbagai segi, kota memiliki daya tarik kuat bagi generasi muda. Bagi mereka yang terdidik yang relatif mengenal pilihan itu, tentu terdorong untuk mendapatkan pilihan yang lebih baik. Tetapi pertanyaannya,
9

relatif tidak memerlukan keterampilan khusus tingkat tinggi, tetapi lebih menuntut kemandirian, keberanian, serta daya nalar secara umum. Beberapa ahli memprediksi bahwa di masa datang agro industri dan industri menengah dan kecil akan tetap memegang peran penting dalam perkembangan Indonesia, khususnya dalam penyerapan lapangan kerja. Meskipun banyak ahli menyatakan bahwa seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara, sektor informal secara bertahap akan berkembang menjadi formal, tetapi prinsip industri kecil/menengah formal semacam itu akan tetap memerlukan prinsip-prinsip dasar yang sama. Artinya, kemampuan dalam teknologi tepat guna, kemandirian, keberanian mengambil risiko, dan keinovatifan akan memegang kunci keberhasilan. Menatap Masa Depan Dengan gambaran kondisi masa depan dan pengalaman yang telah dilalui, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana seharusnya pendidikan kejuruan di masa depan, agar mampu memenuhi tuntutan zaman? Menggunakan terminologi Sallis (1993) kalau pendidikan ingin eksis, maka harus mampu memenuhi harapan pelanggannya, karena tanpa pelanggan pendidikan sebenarnya tidak memiliki arti. Jadi bagaimana pola pendidikan kejuruan agar mampu memenuhi harapan pelanggannya. Dalam membahas tantangan pendidikan kejuruan di masa depan tersebut perlu dipilah untuk aspek kelembagaan, aspek kurikulum dan aspek manajemen.

Fenomena tersebut tampaknya juga terkait dengan karateristik pekerjaan sebagai petani dan pedagang yang mirip dengan wiraswasta, sehingga memiliki risiko untuk rugi, bahkan gagal. Hal itu berbeda dengan pegawai atau karyawan yang relatif aman dari kemungkinan rugi atau gagal. Sebagaimana ditemukan oleh Clinet (dalam Simon, 1990) di beberapa negara Afrika bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, pada umumnya mereka justru ingin bekerja yang tidak terlalu berisiko (aman), yaitu menjadi pegawai atau karyawan. Mirip dengan itu, di Indonesia ditemukan bahwa kemampuan berwiraswasta ternyata diperoleh seseorang dari lingkungan keluarga atau tempat kerja dan bukan dari sekolah, termasuk sekolah kejuruan (Samani, 1991). Krisis ekonomi yang saat ini melanda Indonesia tampaknya juga perlu mendapat perhatian kalangan pendidikan kejuruan. Studi yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO, 1998) menyimpulkan bahwa akibat krisis, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian akan naik dari 41% menjadi 43% pada antara tahun 1997 -1998, perdagangan naik dari 20% menjadi 22%, sebaliknya di sektor industri akan turun dari 19% menjadi 17% dan sektor jasa turun dari 20% menjadi 18%. Jika dilihat dari lokasinya, tenaga kerja di pedesaan akan naik dari 66% menjadi 71%, sebaliknya tenaga kerja di perkotaan akan turun dari 34% menjadi 29%. Dilihat dari pola kerjanya, tenaga kerja yang mendapat gaji (karyawan/ pegawai) akan turun dari 35% menjadi 30%, sebaliknya pekerja mandiri (wiraswasta) dan pekerja keluarga akan naik 65% menjadi 70%.3 Data tersebut memberi gambaran bahwa lapangan kerja di sektor pertanian dan perdagangan akan lebih memberi harapan di saat krisis seperti saat ini. Dan itu diduga akan didominasi oleh bentuk sektor informal yang

Aspek Kelembagaan
Seperti disinggung pada awal tulisan ini bahwa pendidikan kejuruan hendaknya tidak disalahtafsirkan secara sempit sebagai sekolah kejuruan.

3 Uraian lebih jauh. tentang pergeseran tersebut dapal dibaca pada 1LO 1998 Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis Jakarta: UNDP

12

11

SMK dalam dunia kerja tidak berbeda secara signifikan. Memang pada awalnya lulusan SMK lebih baik, tetapi dalam beberapa tahun ternyata lulusan SMU mampu mengejar dan bahkan melampauinya. Studi Samani (1991) menemukan klarifikasi bahwa perbedaan antara mereka lebih disebabkan oleh kemampuan dasar yang dimiliki dan bukan karena asal sekolah. Dan memang, dalam perpekstif ketenagakerjaan seperti yang telah dipaparkan di depan dan kondisi sarana/prasarana sebagian besar SMK sangat memprihatinkan, sangat wajar jika kualifikasi lulusan SMU dan SMK tidak akan terlalu berbeda, ketika mereka memasuki lapangan kerja. Oleh karena itu wajar jika studi FMIPA IPB (1998) menemukan lulusan SLTP lebih senang masuk SMU dibanding SMK, walaupun setelah lulus akan mencari pekerjaan. Jika fakta menunjukkan bahwa 65% lulusan SMU memasuki lapangan kerja dan secara formal peraturan memang memberi peluang untuk itu, seyogyanya kurikulum SMU juga memberi perhatian bagi kelompok besar lulusan tersebut. Salah satu alternatif adalah menyediakan matapelajaran keterampilan, sebagai bentuk pendidikan kejuruan. Sebenarnya di SMU pernah diberikan matapelajaran keterampilan. Namun, mungkin dengan asumsi bahwa SMU dimaksudkan sebagai persiapan ke pendidikan tinggi, matapelajaran keterampilan dihapuskan. Dengan fakta bahwa 65% lulusan SMU terjun memasuki lapangan kerja, keberadaan matapelajaran keterampilan perlu dipertimbangkan lagi.4 Penyediaan metapelajaran keterampilan (sebagai wujud pendidikan kejuruan) di SMU sudah banyak dilakukan di negara maju. Jumlah dan jenis matapelajarannya sangat beragam, disesuaikan dengan karateristik

Pendidikan kejuruan mencakup pendidikan yang berlangsung pada sekolah kejuruan (SMK), di berbagai kursus keterampilan, dan bahkan perlu dipikirkan kemungkinan di sekolah menengah umum (SMU) dalam bentuk pelajaran yang bersifat marketable skill. Untuk SMK dan berbagai jenis kursus keterampilan kiranya tidak ada persoalan, karena pemerintah maupun masyarakat sudah menerima eksistensinya. Oleh karena itu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pendidikan kejuruan pada SMU. Sampai saat ini masih sulit untuk mendapatkan data akurat, berapa persen lulusan SMU yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Tetapi secara parsial dan gambaran umum, proporsi tersebut hanya berkisar 35%. Artinya, 65% lulusan SMU terjun ke masyarakat dan memasuki lapangan kerja. Hal itu perlu mendapat perhatian, karena kurikulum SMU Tahun 1994 betul-betul diarahkan sebagai persiapan masuk perguruan tinggi, sementara fakta menunjukkan hanya sekitar 35% yang benar-benar melanjutkan ke perguruan tinggi. Memang dalam taraf gagasan, lulusan SLTP seyogyanya memilih SMU jika nantinya akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan memilih SMK jika akan bekerja. Tetapi secara formal dalam kurikulum dinyatakan, baik lulusan SMU maupun SMK memiliki peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi maupun terjun memasuki lapangan kerja. Oleh karena itu tidak salah jika lulusan SLTP masuk SMU meskipun nantinya akan mencari kerja, atau masuk ke SMK meskipun nantinya akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Masuknya lulusan SLTP ke SMU, walaupun setelah lulusan tidak akan melanjutkan, bukanlah karena ketidaktahuan, bahkan mungkin justru melalui pertimbangan yang rasional. Studi yang dilakukan dark (1983) dan Nurhadi (1988) menemukan bahwa performance lulusan SMU dan
13

4 Inisiasi pemberian matapelajaran keterampilan di SMU dapat dibaca pada Sarbiran October 1998.

The Combine School Model for SMU. Jakarta: Dit. Dikmenum Ditjen Dikdasmen.

14

Untuk tingkat SLTP, yang perlu mendapat perhatian adalah Kejar Paket B. Secara logika, warga belajar Paket B sangat kecil kemungkinannya untuk melanjutkan ke SLTA. Oleh karena itu, matapelajaran pada Paket B seharusnya fungsional, sesuai dengan karateristik lingkungan warga belajar. Itu artinya, matapelajaran diarahkan langsung untuk meningkatkan kemampuan warga belajar menangani kehidupan sehari-hari, pekerjaan atau memasuki lapangan kerja bagi yang belum bekerja. Pengertian setara antara Kejar Paket B dengan SLTP hendaknya tidak ditafsirkan dengan sama. Artinya apa yang dipelajari warga belajar Paket B tidak harus sama dengan siswa SLTP. Bukankah kebutuhan mereka berbeda? Siswa SLTP pada umumnya akan melanjutkan ke SLTA, sementara warga Kejar Paket B akan bekerja (bahkan mereka sudah bekerja). Oleh karena itu penerapan kurikulum Kejar Paket B yang mengacu utuh kurikulum SLTP perlu ditinjau kembali. Penerapan kurikulum yang mengacu utuh kurikulum SLTP menyebabkan warga belajar tidak merasakan manfaat mengikuti Kejar Paket B, sehingga tingkat drop out sangat tinggi (Samani dkk., 1997).

daerah dan siswa (Middleton, Ziderman, & Adams, 1993). Ada sekolah yang mewajibkan siswa mengambil tiga matapelajaran keterampilan, tetapi juga ada yang hanya mewajibkan satu matapelajaran saja. Prinsipnya matapelajaran tersebut diharapkan menjadi keterampilan yang laku jual (marketable) ketika lulusan memasuki lapangan kerja, misalnya komputer (word processing), akutansi, pemandu wisata, merawat bayi, mengolah buah-buahan, dan sebagainya. Bagi siswa yang benar-benar akan memasuki lapangan kerja disarankan mengambil jenis keterampilan yang memiliki peluang kerja, sedangkan bagi yang akan melanjutkan disarankan mengambil yang mendukung studi di perguruan tinggi, misalnya komputer dan bahasa asing. Pengambilan mata pelajaran keterampilan tersebut tidak harus di sekolah sendiri. Dapat saja siswa mengambil di sekolah lain atau di tempat kursus keterampilan tertentu. Dalam rangka optimalisasi penggunaan saranaprasarana, justru harus mulai dikembangkan penggunaan sarana secara bersama. Dengan cara itu, setiap sekolah dapat menjadi pusat untuk keterampilan tertentu, yang juga melayani siswa sekolah lain. Jika masingmasing sekolah memiliki jenis pusat keterampilan yang berbeda, maka siswa akan memperoleh banyak pilihan, sesuai dengan minatnya. Kerjasama untuk pemanfaatan sarana semacam itu dapat dilebarkan dengan SMK, Balai Latihan Kejuruan - Depnaker, maupun lembaga penyelenggara kursus keterampilan. Beberapa studi menunjukkan bahwa banyak alat di lembaga pendidikan/pelatihan yang underutilized dengan alasan kekurangan dana untuk menyelenggaran program, sementara banyak lembaga lain yang memerlukan alat tersebut, tetapi tidak memiliki. Memang tidak mudah melakukan kerjasama semacam itu, tetapi perlu dirintis, sehingga ditemukan pola yang paling tepat. Yang harus dijaga adalah isi matapelajaran tersebut benar-benar marketable, sesuai dengan minat siswa dan program sekolah.
15

Kurikulum Pendidikan Kejuruan


Untuk menghadapi tuntutan pekerjaan yang mengarah kepada broader mix of tasks dan kondisi Indonesia yang sangat heterogen, maka kurikulum pendidikan kejuruan perlu ditelaah ulang. Beberapa kecenderungan adalah bahwa kurikulum harus mengarah kepada multiskills dengan basic skills yang kuat, memberikan penekanan kepada intelectual skills, kemampuan beradaptasi dan self training, serta ramah dengan lingkungan setempat (Samani, 1995; Akhir, 1997). Penekanan kepada multi skills sepintas tampak bertentangan dengan spesialisasi yang diyakini sementara pihak dapat menghasilkan tenaga kerja
16

Ranah afektif tidak kalah pentingnya dengan kedua ranah yang lain. Studi Samani dkk. (1992) di beberapa perusahaan besar di daerah Surabaya menemukan bahwa dalam penerimaan karyawan baru, perusahaan lebih mementingkan rasional dan sikap dibanding keterampilan manual. Disiplin, tanggung jawab dan motivasi kerja dianggap modal lebih penting dibanding keterampilan manual. Mengapa? Keterampilan manual relatif mudah dilatihkan ketika karyawan sudah mulai bekerja, sementara aspek sikap sulit dibentuk dan jika salah pilih seringkali justru menjadi masalah di belakang hari. Dalam basic skills, harus tercakup life skills, antara lain keimanan dan moralitas, kemampuan kerjasama, kemampuan menggali dan mengolah informasi untuk menghadapi situasi yang dihadapi, kemampuan memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi. Kemampuankemampuan tersebut akan diperlukan oleh siapapun serta dimanapun dia bekerja dan bermasyarakat. Oleh karena itu sangat janggal jika hal yang begitu esensial seringkali dilupakan dalam kurikulum.6 Penerapan life skills dalam pembelajaran tentunya disesuaikan dengan tingkat kedewasaan siswa. Di samping itu tidak harus aspek-aspek tersebut berdiri menjadi matapelajaran, tetapi dapat diintegrasikan ke matapelajaran tertentu. Misalnya, dalam kerajinan bambu siswa perlu diajak untuk menggali data tentang bambu dan pasar kerajinannya, sehingga siswa berlatih menganalisis jenis kerajinan apa, dari mana bahan dicari, dan kemana hasil kerajinan dijual serta berapa harganya yang layak. Tentu analisis tersebut disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.

yang siap kerja karena apa yang dipelajari benar-benar tepat dengan apa yang ada di industri. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan kejuruan yang spesialistik hanya cocok untuk job specific education5, sementara kondisi industri di Indonesia sangat heterogen, baik dari jenis maupun tingkat teknologi yang digunakan. Oleh karena itu tidak tepat penerapan kurikulum yang spesialistik. Pola broad based curriculum diikuti dengan pendidikan sistem ganda yang kini mulai diterapkan di SMK sudah menuju ke arah yang tepat, meskipun masih ada beberapa hal yang perlu diluruskan, misalnya pengertian tentang basic skills dan multi entry-multi exit.

Basic skills hendaknya tidak dikaburkan dengan praktek dasar. Basic skills adalah isi sedangkan praktek dasar adalah wahana untuk membentuk isi tersebut. Basic skills mencakup keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotor. Artinya, dalam praktek dasar ketiga ranah tersebut harus dirancang secara integratif dan diukur hasil belajarnya. Praktek dasar yang hanya menekankan ranah psikomotor, tanpa melibatkan kognitif dan afektif akan mengarahkan siswa menjadi mekanistik. Dalam praktek dasar, ranah kognitif khususnya aspek why perlu mendapat penekanan. Dalam setiap tahapan tugas, siswa harus didorong sampai memahami mengapa tugas tersebut dikerjakan dengan metoda kerja seperti itu dan bukan cara lain. Dengan kata lain, siswa harus memahani rasional dari tugas yang dikerjakan dan bukan sekedar mengerjakan sesuai petunjuk yang ada. Tampaknya pendidikan juga memberi kontribusi terhadap pembentukan budaya minta petunjuk.

6 Uraian tentang life skills dan implementasinya dalam pendidikan dapat dibaca pada Muchlas Samani. Oktober 1997. Perlu Terobosan Pemikiran Menyongsong Deregulasi Pendidikan. Jakarta: Dit. Dikmenum Ditjen Dikdasmen.

5 Uraian tentang job specific education dalam spektrum pendidikan kejuruan dapat dibaca pada: Hadiwarata. 1980. "Pendidikan Kejuruan untuk Meningkatkan Produktivitas dan Efisiensi di dalam Analisis Pendidikan No. 2 hal 60-69.

18

17

Untuk dapat mewujudkan pemikiran tersebut, sekolah harus diberi ruang gerak yang cukup dalam merancang dan menerapkan kurikulum. Diferensiasi kurikulum harus dimungkinkan secara luas dalam pendidikan kejuruan. Kurikulum semacam itu, di satu sisi akan akrap dengan lingkungan, sehingga diharapkan lulusannya akan mampu menerapkannya di daerah setempat. Di lain pihak, hal itu diharapkan akan mendorong tumbuhnya kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan siswa dalam menemukan teknologi yang cocok dengan lingkungan dan potensi setempat. Ruang gerak tersebut diharapkan akan menumbuhkan ciri-ciri khusus untuk setiap sekolah, sehingga dalam jangka panjang akan menjadi ciri keunggulan sekolah yang bersangkutan. Dengan demikian ciri keunggulan pendidikan kejuruan bukan terletak kecanggihan alat yang dimiliki, tetapi keunikan program/kurikulum yang merupakan hasil kreativitas sekolah. Dengan basic skills yang kuat (termasuk didalamnya life skills), siswa akan mampu menyesuaikan diri, jika akan memasuki lapangan kerja yang agak berbeda dengan pengalaman belajarnya. Artinya, mereka tetap memiliki kemampuan beradaptasi jika akan berpindah ke daerah lain, yang mungkin ciri keterampilannya agak berbeda dengan daerah asalnya. Kurikulum pendidikan kejuruan hendaknya menerapkan pola multi entrymulti exit. Artinya, pada tahap tertentu siswa harus dimungkinkan untuk berhenti, meskipun belum seluruh program selesai. Di lain pihak, mereka diperbolehkan untuk masuk kembali jika menginginkan (Samani, 1987). Untuk kursus keterampilan dan matapelajaran keterampilan di SMU mungkin hal itu tidak terlalu sulit, tetapi untuk SMK perlu dijabarkan lebih rinci pengaturannya. Sebenarnya dalam naskah Keterampilan Menjelang Tahun 2020 (Depdikbud, 1995) pola multi entry-multi exit sudah disebut, namun tampaknya masih memerlukan rincian lebih jauh dalam pelaksanaan di lapangan.
20

Kurikulum pendidikan kejuruan hendaknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Penyeragaman kurikulum akan menyebabkan siswa menjadi asing dengan lingkungan sekolah, sehingga mereka tidak tahu bagaimana menerapkan kurikulum tersebut di masyarakat. Oleh karena itu tidak mengherankan, jika kemudian lulusannya cenderung berurbanisasi ke kota. Administrasi perkantoran di Jakarta dan di Tanah Toraja mungkin berbeda. Demikian pula keterampilan untuk mesin produksi akan berbeda antara di Bandung dengan di Pare Kediri. Oleh karena itu, keterampilan yang sudah bersifat produktif (aplikatif) tidak harus sama di satu sekolah dengan yang lain. Dalam pendidikan keterampilan muatan teknologi yang sesuai dengan kondisi lingkungan harus mendapat penekanan7. Di satu sisi muatan teknologi tersebut akan membuat pembelajaran menjadi menarik, karena ada unsur baru dibanding dengan apa yang dilihat di masyarakat. Di pihak lain, muatan teknologi diharapkan akan dapat diterapkan oleh siswa untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang mungkin sudah ada di masyarakat luas. Dalam pelaksanaan KBM, guru/instruktur seyogyanya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menuangkan dan menyampaikan gagasannya. Keberanian untuk menyampaikan gagasan, baik secara lisan maupun dalam pekerjaan/tulisan/karya lain harus ditumbuhkan. Guru/instruktur juga harus diberi kesempatan seluas-luasnya (oleh sekolah) untuk mengembangkan inovasi, khususnya untuk peningkatan kualitas KBM.

7 Teknologi dalam konteks ini diartikan sebagai perangkat keras dan atau perangkat lunak yang digunakan untuk menyempurnakan cara kerja, sehingga dicapai efektivitas dan efisiensi kerja yang lebih baik. Dengan demikian teknologi dapat mencakup bidang pekerjaan administrasi kantor, rumah tangga, pendidikan dan sebagainya.

19

Siswa seyogyanya difahami sebagai pelanggan primer yang membeli jasa sekolah, berupa layanan pendidikan. Mengingat biaya sekolah siswa pada umumnya diperoleh dari orang tua mereka, maka orang tua siswa juga harus difahami sebagai pelanggan, yaitu pelanggan sekunder. Di samping itu kalangan industri (dunia kerja) juga harus dipandang sebagai pelanggan tersier, karena merekalah yang akan menyerap lulusan pendidikan kejuruan8. Oleh karena itu kebutuhan dunia kerja harus dilayani dengan program-program yang sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai unit layanan jasa pendidikan, pada akhirnya kualitas pendidikan kejuruan akan diukur dari tingkat kepuasan pelanggan tersebut. Tingkat kepuasan itulah yang kemudian membentuk opini masyarakat dan akhirnya menjadi reputasi lembaga pendidikan kejuruan. Dengan paradigma tersebut, maka alur layanan pendidikan harus diubah dari pola: sekolah melaksanakan instruksi departemen/ kanwil/kandel, guru melaksanakan instruksi kepala sekolah, dan akhirnya siswa melaksanakan instruksi guru, menjadi: guru/instruktur membantu siswa; pimpinan sekolah/lembaga membantu guru/instruktur; kanwil/kandep membantu sekolah/lembaga penyelenggara pendidikan, dan seterusnya. Jadi fokus perhatian manajemen diletakkan pada siswa (KBM), sedangkan komponen lainnya di sekolah maupun di tingkat yang atas, secara berantai diarahkan untuk membantu dan mendukungnya. Untuk dapat melakukan fungsi manajemen semacam ini, lembaga penyelenggara pendidikan kejuruan, baik dalam bentuk SMK, kursus keterampilan, maupun SMU memerlukan ruang gerak yang cukup. Dalam

Jika gagasan multi entry-multi exit akan diwujudkan di SMK, maka pengertian SMK harus 3 tahun atau 4 tahun perlu ditinjau kembali (Samani, 1987). Kurikulum SMK seyogyanya diwujudkan dalam paketpaket berjenjang tetapi fleksibel. Siswa dapat mengambil paket secara utuh seluruh jenjang, tetapi juga harus dimungkinkan mengambil sebagian saja atau secara bertahap dengan istirahat di tengah jalan. Dengan demikian siswa tidak harus menempuh pendidikan sepanjang 3 atau 4 tahun di SMK. Memang pola ini akan terasa berbeda dengan prinsip persekolahan yang selama ini dilakukan, tetapi kita harus berani melakukan terobosan, jika ingin pendidikan kejuruan mampu memenuhi tuntutan masyarakat.

Aspek Manajemen
Pendidikan kejuruan, baik dalam bentuk SMK, kursus keterampilan, maupun matapelajaran keterampilan pada SMU harus fleksibel dan cepat beradaptasi dengan perkembangan dunia kerja. Dengan demikian diperlukan gaya manajemen yang dinamik, sehingga mampu dengan cepat merespons perkembangan dunia kerja maupun kebutuhan siswa. Sebagaimana disinggung pada bagian depan bahwa eksistensi pendidikan kejuruan sangat tergantung kepada pelanggannya, maka perhatian manajemennya harus difokuskan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada siswa. Paradigma manajemen yang menganggap siswa sebagai raw input yang akan diproses menjadi output (lulusan), tampaknya sudah harus ditinggalkan, karena menganggap siswa tidak memiliki keinginan atau aspirasi tentang masa depannya. Kita seakan ingin membentuk siswa sesuai dengan pola yang ditetapkan sekolah/lembaga pendidikan. Pada hal, bukankah tujuan pendidikan adalah membantu siswa untuk menghadapi masa depannya?

8 Uraian lebih rinci tentang pandangan tersebut dapat dibaca pada: Edward Sallis. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited.

22

21

DAFTAR

KEPUSTAKAAN

Achir, Yaumil CA. 1997. Reformasi Pendidikan sebagai Upaya Memaksimalkan Hasil Pendidikan. di dalam M. Dawan Rahardjo (Ed). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Jakarta: Intermasa. APEID. 1992. New Directions in Technical and Vocational Education. Bangkok: Unesco Pricipal Regional Office for Asia and the P a s i f i c . Clark, David H. 1983. How Secondary School Graduates Perform in the Labor Market: A Study of Indonesia. Washington DC: The World Bank Staff Working Paper. Depdikbud. 1995. Keterampilan Menjelang Tahun 2020. Jakarta: Depdikbud. Evans, Rupet N. 1974. Foundations of Vocational Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Pub. Co. Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. 1979. Curriculum Development in Vocational and Technical Education. London: Allyn and Bacon Inc. FMIPA IPB. 1998. Studi SMU Besar - Buku I: Laporan Utama. Jakarta: Dit. Dikmenum Ditjen Dikdasmen Depdikbud. Hadiwaratama. 1980. Pendidikan Kejuruan untuk Meningkatkan Produktivitas dan Efisiensi di dalam Analisis No. 2 hal 60-65. International Labour Organization. 1998. Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis. Jakarta: United Nations Development Programme.

batas tertentu, pendidikan kejuruan memerlukan otonomi, sehingga mereka dapat melakukan terobosan-terobosan untuk merespons bahkan mengantisipasi terhadap perkembangan dunia kerja. Aturan-aturan yang ingin mengontrol perjalanan sekolah dengan ketat, harus ditinjau kembali. Kita harus yakin sekolah mampu mengambil inisiatif dan melaksanakan pengembangan sesuai dengan kondisinya. Yang perlu dilakukan adalah memberi arahan dan membantu agar sekolah/lembaga pendidikan kejuruan mampu berkembang lebih cepat. Sifat mendikte sedapat mungkin dihindari, karena akan mematikan rasa tanggungjawab dan kreativitas. Pola pembinaan semacam itu diharapkan dapat mengubah gaya manajemen sekolah yang cenderung mekanistik-administratif menjadi dinamis, sehingga sekolah/lembaga penyelenggara menjadi sistem organik yang dapat berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya sendiri. Dengan sistem organik, seolah diharapkan dapat bersimbiosa dengan lingkungan. Artinya, sekolah didorong untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungan, sementara sekolah juga membuka diri untuk membantu lingkungan. Di masa datang akan semakin banyak kalangan masyarakat yang memiliki potensi dan kepedulian dengan pendidikan, tetapi tidak lagi memiliki anak yang duduk di bangku sekolah. Untuk itu semua, pola pembinaan pendidikan kejuruan seharusnya diarahkan kepada school based management, sehingga pengambilan kebijakan diambil di level sekolah dan berdasarkan kebutuhan nyata sekolah yang bersangkutan. Dengan pola itu peran leader (to do the right things) menjadi lebih dikedepankan dibanding peran manager (to the things r i g h t ) .

24

23

------------. 1997. Perlu Terobosan Pemikiran Menyongsong Deregulasi Pendidikan. Jakarta: Dit. Dikmenum-Ditjen Dikdasmen Samani, Muchlas dkk. 1992. Profil Tenaga Kerja di Jawa Timur dan Hubungannya dengan Strategi Pendidikan. Surabaya: IKIP Surabaya dan KNIU UNESCO. ------------. 1997. Pengembangan Model Pembelajaran Sains dan Teknologi pada Kejar Paket B untuk Mensukseskan Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Teknologi Masuk Desa. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Jakarta: Ditbinlitabmas Ditjen Dikti Depdikbud. Sarbiran. 1998. The Combine School Model for SMU. Jakarta: Dit. Dikmenum-Ditjen Dikdasmen. Simon, John. 1990. The Education Dilema. Oxford: Perganon Press. Thomas, R. Murray & T. Neville Postlethwaite (Ed). 1983. Schooling in East Asia. Oxford: Pergamon Press. World Bank. 1991. Indonesia Employment and Training Foundation for Industrialization in the 1990s. Report No. 9350-IND.

Levin & Rumberger. 1989. Education, Work, and Employment in Developed Countries: Situation & Future Challenges di dalam Prospects Vol XIX No. 2-1989. pp. 205-224. Loose, Gert. 1990. Vocational Education in Transition: A Seven Country Study of Curricula for Lifelong Vocational Learning. Hambrug: Unesco Institite for Education. Middleton, John, Adrian Ziderman, and Arvin Van Adams. 1993. Skills for Productivity: Vocational Education and Training in Developing Countraies. A World Bank Book. New York: Oxford University Press. Nurhadi, Muljani A. 1988. The Effects of Schooling Factors on Personal Earnings within the Context of Internal Labor Market in PT Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta. Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited. Samani, Muchlas. 1987. Dilema Sekolah Kejuruan di dalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, Nomor 21 pp. 65-70. ------------. 1991. Keefektifan Pendidikan pada STM: Suatu Penelitian Pelacakan terhadap Lulusan STM Rumpun Mesin Tenaga dan Teknologi Pengerjaan Logam Tahun 1986 dan 1987 di Kotamadya Surabaya. Disertasi Doktor di IKIP Jakarta. ------------. 1995. Reformasi Pendidikan untuk Menghadapi Era IPTEK di dalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Edisi Nopember 1995.

26

25

d . Wakil Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan IKIP Surabaya, th. 1991-1994. e . Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan IKIP Surabaya, th. 1994-1997. f Sekretaris Program Pascasarjana IKIP Surabaya, th. 1996- sekarang. . g . Di samping tugas pokok di IKIP Surabaya, juga menjadi konsultan di Dit. Dikmenum Ditjen Dikdasmen, sebagai Team Leader dari Package III - Senior Secondary Education Project. h . Aktif melakukan penelitian kerjasama dengan berbagai instansi, antara lain: Riset Unggulan Terpadu dari Kantor Menristek-DRNLIPI (1992-1996); Penelitian Hibah Bersaing dari Ditbinlitabmas Depdikbud (1992-1997 dan 1996-sekarang); Penelitian Pemetaan SMP Keterampilan (1996-1997) dan Biaya Operasional Pendidikan di SMK (1997-1998), kerjasama dengan Dit. Dikmenjur Ditjen Dikdasmen; Penelitian tentang Miskonsepsi IPA di SMP (1995-1996), kerjasama dengan Dit. Dikmenum Ditjen Dikdasmen dengan Bank Dunia; Saat ini sedang terlibat persiapan studi untuk Pengembangan Model Sekolah dengan paradigma School Based Development. . i Aktif menulis di berbagai media ilmiah dan surat kabar, serta sebagai anggota dewan redaksi pada Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (IKIP Surabaya); Pendidikan Teknologi Kejuruan (FPTK IKIP Surabaya); dan Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PPs IKIP Yogyakarta). 9 . Publikasi 5 tahun terakhir, antara lain: a . Kontribusi Pendidikan dalam Pembangunan, di dalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan No. 64A/Th XV/2/93. b . The Financing of Vocational Education and Training, didalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, No. 67/Th XV/93. c . Jatidiri Keilmuan FPTK, dalam Media Pendidikan Teknologi Kejuruan Edisi Desember 1993.
28

RIWAYAT HIDUP

1 . 2 . 3 . 4 .

Nama lengkap Tempat/tgl lahir Agama Status perkawinan

: : : :

5 . Alamat 6 . Pendidikan a . Sekolah Rakyat, di SD Carat II- Ponorogo, lulus th. 1963. b . SMP Negeri I, di Ponorogo, lulus th 1966. c . STM Jurusan T. Mesin, di STMN Ponorogo, lulus th 1969. d . Sarjana Muda Pendidikan Teknik Mesin dari FPTK IKIP Surabaya, lulus th. 1974. e . Sarjana Pendidikan Teknik Mesin dari FPTK IKIP Surabaya, lulus th. 1978. . f Magister Pendidikan Bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan dari PPs IKIP Yogyakarta, lulus th. 1987. g . Doktor Pendidikan Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari PPs IKIP Jakarta, lulus th. 1991 (Cum Laude). h . Mengikuti berbagai pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri 7 . Bidang minat : a . Pendidikan Teknologi dan Kejuruan b . Evaluasi Pendidikan c . Perencanaan Pendidikan 8 . Pengalaman pekerjaan: a . Sebagai teknisi di Pertamina, th. 1972-1974. b . Dosen FPTK IKIP Surabaya sejak 1978 dan diangkat sebagai Guru Besar Madya terhitung sejak Tanggal 1 Januari 1998. c . Ketua Unit Micro Teaching PSB IKIP Surabaya, th. 1983-1985.
27

Muchlas Samani Ponorogo, 15 Desember 1951 Islam Menikah dengan Dwijani Ratnadewi, dianugerahi 3 putera: Kiki, Reza, Lala. : Jl. Tenggilis Utara 1/65 Surabaya

o . The Developing Science Instructional Model to Increase Students Reasoning Power and Thinking Ability, Laporan Penelitian Hibah Tim -URGE Ditjen Dikti, 1997. p . Perlu Terobosan Pemikiran Menyongsong Deregulasi Pendidikan. Jakarta: Dit. Dikmenum, 1997. q . Pengembangan Model Pembelajaran Sains dan Teknologi pada Kejar Paket B untuk Mensukseskan Wajib Belajar 9 Tahun dan Teknologi Masuk Desa. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Ditjen Dikti, 1998. . r Studi Biaya Operasional Pendidikan di SMK, Laporan Penelitian kerjasama antara FPTK IKIP Surabaya dengan Dit. Dikmenjur, 1998. s . Mencari Jatidiri IKIP Pasca Konversi, dalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan No. 3/Th XXI/1998. . t Manajemen Mutu Terpadu (TQM) dalam Pendidikan. Jakarta: Dit. Dikmenum, l998. u . Saat ini ada dua naskah artikel ilmiah yang sudah disetujui Dewan Redaksi dan menunggu giliran terbit di Media Ilmiah FPTK IKIP Yogyakarta dan IKIP Jakarta. 1 0 . Lain-lain: Menerima Satyalancana Dwija Sistha dari Panglima Angkatan Bersenjata RI, tertanggal 24 Maret 1997.

d . Pengembangan Kurikulum Menyongsong Era Industrialisasi, makalah pada Workshop PKG Propinsi Jawa Timur, Desember 1993. e . The Contribution of Private Sectors to Education, paper presented at the Dialogue Among South-south and North-north Educationists on Improving the Quality of Life, May 93. . f Peran Karyawisata dan Praktek Industri dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan Kejuruan, makalah pada Seminar Peningkatan Sikap Kerja Mahasiswa, Mei 1993. g . Efektivitas Unit Produksi pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kotamadya Surabaya, Laporan Penelitian LP IKIP Surabaya 1993. h . Dual System Education for Improving the Quality of Education: An Indonesia Case, dalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan No. 75/Th. XVI/11/94. . i Pengembangan Model Lintas Sektoral dan Lintas Disiplin untuk Mensukseskan Program Wajib Belajar 9 Tahun, Laporan Penelitan kerjasama antara IKIP Surabaya, KNIU UNECO, dan Balitbang Dikbud, 1994. . j Reformasi Pendidikan untuk Menghadapi Era Iptek, dalam Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan No. 78/Th. XIX/95. k . Pengembangan Model Pembelajaran Muatan Lokal untuk Meningkatan Relevansi Pendidikan dan Hubungan Sekolah dengan Industri, Laporan Riset Unggulan Terpadu dengan biaya Kantor Menristek-DRN-LIPI, 1995. . l Peningkatan Hubungan Pendidikan dan Dunia Kerja, makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan, Maret 1996. m. Inservice Training Program for Science Teachers, Laporan Penelitian the Japanese Grant Foundation Secondary Project, 1996. n . Pemetaan SMP Keterampilan di Indonesia, Laporan Penelitian kerjasama antara FPTK IKIP Surabaya dengan Dit. Dikmenjur, 1996.
29

30

Anda mungkin juga menyukai