Anda di halaman 1dari 7

PERMASALAHAN PENYAKIT REMATIK DALAM SISTEM PELAYANAN KESEHATAN (BONE AND JOINT DECADE)

Candra Syafei
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

ABSTRAK Masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sedang kita hadapi saat ini diantaranya adalah beban ganda penyakit, yaitu masih adanya penyakit infeksi, dan semakin meningkatnya penyakit tidak menular, serta adanya penyakit baru. Proporsi angka kematian penyakit tidak menular meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun 2007. Pengendalian Penyakit Tidak Menular, kegiatan pokoknya adalah, (1) peningkatan komunikasi, informasi, edukasi dan jejaring kerja, (2) pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, dan perlindungan khusus, (3) penemuan dan tatalaksana penderita, (4) surveilans epidemiologi, (5) monitoring dan evaluasi. Ruang lingkup Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular, adalah surveilans (1) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, (2) Penyakit Kanker, (3) Penyakit Kronik dan Degeneratif lainnya, (4) Penyakit Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik, (5) Gangguan Akibat Kecelakaan dan Cidera.

1. PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pembangunan nasional, karena kesehatan sangat terkait dalam konotasi dipengaruhi dan dapat juga mempengaruhi aspek demografi/ kependudukan, keadaan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat termasuk tingkat pendidikan serta keadaan dan perkembangan lingkungan fisik maupun biologik. Penyakit reumatik adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan segala kondisi sakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal termasuk persendian, otot-otot, jaringan ikat, jaringan lunak di sekitar persendian dan tulang, yang diakibatkan oleh berbagai faktor diantaranya gangguan metabolik, faktor nutrisi, inflamasi, autoimun, trauma dan penyebab idiopatik. Meskipun kelainan terutama terjadi pada sendi, tulang dan otot, tetapi penyakit reumatik dapat pula mengenai jaringan ekstra-artikuler. Pada umumnya penyakit rematik mempunyai bentuk-bentuk kelainan yaitu : a) Yang hanya menyerang sendi dan otot, b) Yang juga menyerang sendi, otot dan alat-alat dalam tubuh lainnya. c) Sistemik yang menghasilkan nyeri sendi (artralgia) dan nyeri otot (mialgia), d) Jaringan ikat yang menyebar (difus) yang menyerang sistem sendi, otot, kulit dan alat-alat dalam. Reumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit sendi, termasuk penyakit arthritis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang menyebabkan nyeri somatik dan

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

kekakuan. Saat ini telah dikenal kurang lebih 110 jenis penyakit rematik yang sering kali menunjukkan gambaran klinis yang mirip. Reumatologi secara cepat berkembang menjadi suatu disiplin ilmu kedokteran, dimana penemuan-penemuan ilmiah baru tentang imunologi dan sistem autoimun sebagai dasar pathogenesis dari penyakit reumatik. Sejalan dengan itu, perkembangan terbaru juga mencakup pemahaman dasar-dasar genetika dari penyakit reumatik sehingga modalitas penatalaksanaannya di masa depan dapat melibatkan terapi genetik. Penyakit rematik dan keradangan sendi merupakan penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat, khususnya pada orang yang berumur 40 tahun ke atas. Lebih dari 40 persen dari golongan umur tersebut menderita keluhan nyeri sendi dan otot. Dalam hal ini masalah rematik dipandang sebagai salah satu masalah kesehatan utama sejak tahun 2000. Seperti penyakit menahun yang lain, maka rematik sering menyebabkan kecacatan, dapat memberikan akibat yang memberatkan baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Adanya atau timbulnya kecacatan dapat mengakibatkan penderita mengeluh terus-menerus, timbul kecemasan, ketegangan jiwa, gelisah,sampai mengasingkan diri karena rasa rendah diri dan tak berharga terhadap masyarakat. Sedang bagi keluarga sering menyebabkan cemas, bingung dan kadang-kadang merasa malu bahwa keluarganya ada yang cacat, dengan demikian timbul beban moril dan gangguan sosial di lingkungan keluarga. Disamping itu kronisitas dan kecacatan dapat menimbulkan beban ekonomi baik bagi keluarga maupun masyarakat karena banyak pengeluaran tanpa ada produktivitasnya dalam arti banyaknya jam kerja yang hilang; atau bahkan penderita tidak dapat mengurus dirinya sendiri sehingga timbul ketergantungan dengan konsekuensi menambah pengeluaran bagi perawatan dirinya. Masyarakat luas hingga kini masih belum mengetahui bahwa sebetulnya jenis gangguan rematik saat ini terdapat lebih dari 100 macam gangguan. Di mana pada awalnya gangguan rematik tersebut akan memberikan gejala dan tanda yang sangat mirip satu sama lain. Dalam hal ini, dokter sekalipun akan sulit sekali membedakannya. Sekitar 60 persen dokter dalam hal ini melakukan kesalahan dalam mendiagnosis. Penggunaan NSAID bukanlah satu-satunya modalitas dalam penanggulangan gangguan rematik. Hal ini mengingat efek samping pada lambung dan saluran cerna yang menyebabkan adanya keterbatasan dari penggunaan obat jenis ini.

2. PERMASALAHAN DALAM SISTEM PELAYANAN KESEHATAN Pelayanan kesehatan diseluruh dunia akan menghadapi permasalahan yang cukup berat pada 10-20 tahun mendatang karena peningkatan prevalensi penderita muskuloskeletal yang cukup drastis. WHO menyebutkan bahwa peningkatan angka tersebut diperhitungkan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk lansia. Sekjen PBB Kofi Annan pada tahun 1999 telah mencanangkan dekade 2000 sampai 2010 merupakan dekade tulang dan sendi (bone and joint decade). Program tersebut mengajak pemerintah diseluruh dunia untuk mengambil langkahlangkah antisipasi dan bekerjasama dengan berbagai organisasi penyakit musculoskeletal, profesi kesehatan di tingkat nasional maupun di tingkat internasional untuk pencegahan dan penalaksanaan penyakit musculoskeletal. Di Indonesia, pencanangan Bone and Joint Decade dilakukan pada tahun 2000 oleh Menteri Kesehatan, dr. Ahmad Sujudi, bersamaan dengan Temu Ilmiah Rheumatologi ke-3 di Jakarta. Saat ini diperkirakan paling tidak 355 juta penduduk dunia menderita penyakit rematik, yang artinya 1 dari 6 penduduk dunia mengalami penyakit rematik. Keluhan muskuloskeletal dikeluhkan oleh sedikitnya 315 juta pasien rawat jalan di Amerika Serikat setiap tahunnya. Survei

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

terbaru oleh Center of Disease Control (CDC) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 33% (69,9 juta) penduduk AS mengalami gangguan muskoloskeletal. Sementara itu, hasil survei di benua Eropa pada tahun 2004 menunjukkan bahwa penyakit rematik merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai. Kurang lebih 50% penduduk Eropa yang berusia diatas 50 tahun mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal paling tidak selama 1 bulan pada waktu dilakukan survei. Penyakit rematik berada pada urutan ke-8 dari 10 penyakit yang paling sering dijumpai di Eropa dan kurang lebih 40% wanita yang berusia diatas 50 tahun dan mengalami fraktur terjadi akibat komplikasi penyakit osteoporosis. Data di Indonesia sendiri masih belum lengkap. Prof. Handono Kalim, Sp.PD,KR., menyebutkan prevalensi rematik di kota Semarang sekitar 46% dan di Bali 56%. Sementara data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 menyebutkan bahwa gangguan muskuloskeletal menempati urutan ke-6 dari 10 penyakit terbanyak yang dilaporkan dari keseluruhan Puskesmas di Sumatera Utara. Tingginya prevalensi penyakit rematik secara logis akan menimbulkan implikasi peningkatan biaya kesehatan. Biaya ekonomi yang dikeluarkan dapat terjadi akibat secara langsung dari biaya pengobatan dan tindakan penunjang medis lainnya, ataupun secara tidak langsung akibat penurunan produktivitas kerja. Data tahun 2002 di AS tercatat pengeluaran biaya kesehatan sebesar 118,5 miliar dolar AS/tahun atau setara dengan 2,5% dari total GDP AS. Angka ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya dan merupakan biaya total akibat biaya kesehatan langsung ataupun biaya tidak langsung akibat penurunan produktivitas. Permasalahan lain yang timbul selain masalah biaya ekonomi yang besar adalah efek samping yang diakibatkan pemakaian obat-obat rematik seperti golongan NSAID dan steroid. Obat-obat rematik sering kali dipakai secara sembarangan dan pada akhirnya mengakibatkan komplikasi NSAID gastropati. Penggunaan obat rematik secara tidak terkontrol dapat meningkatkan resiko mengalami tukak lambung pada 1 dari 5 pasien rematik dan mengakibatkan tukak yang bergejala pada 1 dari 70 pasien yang memakai obat rematik. Perdarahan Saluran Makanan Bagian Atas (PSMBA) akibat obat-obat rematik dialami oleh 1 dari 150 pasien pemakainya. Penelitian di RSCM pada tahun 2005 oleh Marcellus Simadibrata dkk terhadap 1192 pasien PSMBA menunjukkan bahwa NSAID gastropathy merupakan penyebab PSMBA tersering (70%). Masalah lain yang dapat timbul adalah disabilitas ataupun ketidakmampuan dalam pergerakan yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup dan produktivitas kerja. Diperkirakan 5,6-8,7% pasien rematik akan mengalami gangguan disabilitas. Masalah penyakit rematik pada masa mendatang jelas akan semakin meningkat karena : a. Bertambahnya jumlah orang tua, peningkatan industri dan pencemaran lingkungan meningkatkan prevalensi penyakit rematik. b. Tuntutan akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dari masyarakat akan semakin tinggi akibat dari peningkatan tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat. c. Harga obat-obatan dan prosedur diagnostic akan semakin mahal karena datangnya obatobatan yang baru dan alat-alat yang canggih dari luar negeri. d. Globalisasi di bidang kesehatan secara tidak langsung memaksa dokter di Indonesia untuk dapat bersaing dengan dokter di luar negeri. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, jelas terlihat bahwa upaya mengatasi masalah penyakit rematik merupakan kebutuhan mendesak yang nyata dan harus dipikirkan mulai dari sekarang. Upaya ini mencakup upaya pencegahan yang terus-menerus dikombinasi dengan penatalaksanaan medis rematik yang sebaik-baiknya. Supaya usaha tersebut dapat berhasil perlu

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

kerjasama dan program yang terpadu secara nasional baik oleh penyelenggara sistem kesehatan, industri farmasi dan penyelenggara pendidikan dokter/pelayan kesehatan. Terapi medis di masa depan diharapkan dapat membantu pasien dengan penyakit reumatik untuk menjalani kualitas hidup yang lebih baik. Sebagian besar penyakit reumatik diterapi dengan obat-obatan analgesik, seperti OAINS, steroid, DMARDs, namun fisioterapi/rehabilitasi medis juga sangat penting dalam penatalaksanaan penyakit reumatik. Rehabilitasi adalah penerapan gabungan dan terkoordinirnya tindakan medis, sosial, pendidikan dan memberikan ketrampilan dengan melatih atau melatih kembali seseorang yang cacat (tak mempunyai kesanggupan melakukan tugas sehari-hari) ke arah tingkat yang semaksimal mungkin untuk mencapai tugas harian atau produksi dalam masyarakat (WHO). Depkes menggunakan batasan sebagai berikut : Proses pelayanan medis yang bertujuan mengembangkan kesanggupan fungsional dan psikologik seseorang, dan kalau perlu mengembangkan mekanisme konpensatorik, sehingga memungkinkan bebas dari ketergantungan dan mengalami hidup yang aktif. Usaha pemerintah meliputi juga pemulihan kesehatan, yaitu rehabilitasi medis. Untuk melaksanakan usaha pemulihan tersebut telah dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 134 tahun 1978, bahwa setiap rumah sakit dilengkapi dengan Unit Pelaksana Fungsionil Pelayanan Rehabilitasi Medis. Sehingga jelas usaha pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit merupakan pelayanan "total care" sebagai sarana untuk mencapai kesehatan masyarakat. Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dokter umum maupun ahli penyakit dalam mutlak diperlukan secara berkesinambungan. Kebutuhan ini tidak hanya timbul di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain karena porsi yang diberikan untuk pendidikan mengenai penyakit rematik di Fakultas Kedokteran maupun di Institusi Pendidikan Kesehatan lainnya sangat tidak memadai. Jam kuliah dan lamanya pelatihan hendaknya disesuaikan dengan besarnya masalah yang dihadapi dalam penanggulangan rematik. Selain dari penambahan jam pendidikan tentang penyakit rematik di Institusi pelayanan kesehatan beberapa cara lain dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas dokter di Indonesia diantaranya mengikuti berbagai simposium dan workshop mengenai penyakit rematik secara berkala sehingga dapat meng-update pengetahuan tentang rematik misalnya Temu Ilmiah Reumatologi, Rheumatology Update, dan sebagainya.

3. PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR Penyakit tidak menular adalah penyakit yang tidak menular dan bukan karena proses infeksi yang mempunyai faktor risiko utama dan mengakibatkan kecacatan dan kematian, tetapi penyakit tidak menular merupakan penyakit yang dapat dicegah bila faktor risiko dikendalikan. Pemerintah Indonesia telah memberikan apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit tidak menular dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575 Tahun 2005 dan diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan yang ditangani dengan dibentuknya Direktorat Penyakit Tidak Menular. Kegiatan Pengendalian Penyakit Tidak Menular mulai tahun 2003 dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1479/Menkes/SK/2003 Tentang Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular dan Penyakit Tidak Menular, dan setelah Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan yang ditangani dengan dibentuknya Direktorat Penyakit Tidak Menular, maka pelaksanaan ruang lingkup Pengendalian Penyakit Tidak Menular, sebagai berikut :

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

a. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Meliputi pengendalian penyakit : 1) Demam reumatik akut, 2) Penyakit jantung reumatik kronik, 3) Penyakit hipertensi, 4) Infark miokard akut, 5) Penyakit sistemik lainnya, 6) Emboli paru, 7) Gangguan hantaran dan aritmia jantung, 8) Gagal jantung dan Kardiomiopati, serta penyakit jantung lainnya. b. Penyakit Kanker Meliputi ruang lingkup pengendalian : 1) Penyakit kanker serviks / leher rahim, 2) Penyakit kanker mammae / payudara, 3) Penyakit kanker paru dan nasopharing, 4) Penyakit leukemia, 5) Penyakit retinoblastoma, 6) Penyakit kanker, dan lainnya. c. Penyakit Kronik dan Generatif lainnya Meliputi ruang lingkup pengendalian : 1) PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) 2) Osteoporosis, 3) Epilepsi, 4) Asma brokial, 5) Osteoartritis, 6) Reumatoid artritis, 7) Gagal ginjal kronik, 8) Parkinson, 9) Haemofilia, 10) Thalasemia, dan penyakit kronik lainnya. d. Penyakit Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik Ruang lingkup pengendalian antara lain : 1) Faktor risiko DM & PM, 2) Diabetes Melitus Type-2 3) Penyakit Thyroid, 4) Obesitas, 5) Dislipidemia (gangguan lipid/cholesterol), 6) Penyakit metabolik lainnya. e. Gangguan Akibat Kecelakaan dan Cidera Ruang lingkup pengendalian diantaranya : 1) Kecelakaan transportasi, 2) Kecelakaan kerja, 3) Kecelakaan di rumah tangga, 4) Kecelakaan olah raga, 5) Kekerasan di rumah tangga, 6) Kekerasan di masyarakat,

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

7) 8) 9) 10) 4.

Kekerasan di komunitas khusus, Kekerasan anak dan perempuan, Keracunan dan bunuh diri, Kecacatan (disabitlty), dan gangguan akibat kecelakaan lainnya.

MEKANISME KERJA DAN POKOK-POKOK PENYAKIT TIDAK MENULAR

Program pencegahan dan pemberantasan penyakit bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit tidak menular. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah : 4.1 Peningkatan komunikasi, informasi, edukasi dan jejaring kerja, dengan tujuan meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam pengendalian penyakit tidak menular melalui komunikasi, informasi dan edukasi, dengan sasaran program adalah tenaga kesehatan dan masyarakat. 4.2 Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Perlindungan Khusus, dengan tujuan terhindarnya masyarakat dari faktor risiko penyakit tidak menular, dengan sasaran adalah kelompok masyarakat yang berisiko penyakit tidak menular, 4.3 Penemuan dan Tatalaksana Penderita, dengan tujuan terlaksananya deteksi dini penyakit tidak menular pada kelompok masyarakat, di sarana/institusi pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, pelayanan paliatif terhadap penderita penyakit tidak menular, dengan sasaran masyarakat berisiko dan penderita penyakit tidak menular 4.4 Survailans epidemiologi, penyakit tidak menular terdiri dari surveilans kasus, surveilans faktor risiko, surveilans penyebab kematian serta registrasi kanker dan jantung. Surveilans kasus dilakukan secara rutin dan berjenjang di seluruh wilayah Indonesia yang berbasis pada pelayanan kesehatan; surveilans faktor risiko dilaksanakan melalui survei khusus dan berkala serta memanfaatkan sisitem yang sudah ada, seperti Susenas, Surkesnas, Riskesdas, dan lain-lain; surveilans penyebab kematian dilakukan dengan survei khusus untuk mengetahui penyebab kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular, sedangkan registrasi kanker dan jantung merupakan bagian dari surveilans untuk beberapa penyakit, yang berguna untuk membandingkan dengan penyakit lain. 4.5 Monitoring dan evaluasi, dilaksanakan demi terpantaunya kegiatan program pengendalian penyakit tidak menular, dalam input, proses, output, dan outcome, serta terselenggaranya penilaian terhadap kegiatan Pengendalian Penyakit Tidak Menular.

5. GAMBARAN PENYAKIT TIDAK MENULAR Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sedang kita hadapi saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah beban ganda penyakit, yaitu disatu pihak masih adanya penyakit infeksi yang harus ditangani, dilain pihak semakin meningkatnya penyakit tidak menular, dan ditambah lagi munculnya penyakit baru. Proporsi angka kematian penyakit tidak menular meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun 2007 (Riskesdas 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, memperlihatkan prevalensi nasional penyakit Sendi adalah 30,3%, dan prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah 14%, prevalensi penyakit sendi tertinggi dijumpai di Provinsi Papua Barat (28,8%), dan terendah di Sulawesi Barat (7,5%), sedangan prevalensi penyakit sendi di Provinsi Sumatera Utara sebesar

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

(20,2%). Cakupan diagnosis penyakit sendi oleh tenaga kesehatan di setiap provinsi umumnya sekitar 50% dari seluruh kasus yang di seluruh kasus yang ditemukan. Sedangkan prevalensi penyakit sendi secara nasional 10 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang tertinggi yaitu Kota Binjai (10,5%). Karakteristik responden penyakit sendi, sesuai dengan kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan tipe daerah di Indonesia dengan gambaran berikut : kelompok umur 18-24 tahun (6,9%), umur 25-34 tahun (19,0%), umur 35-44 tahun (32,8%), umur 45-54 tahun (46,2%), umur 55-64 tahun (56,4%), umur 65-74 tahun (62,9%) dan pada umur diatas 75 tahun (65,4%). Karakteristik responden penyakit sendi di Provinsi Sumatera Utara, Umur 15-24 tahun (1,2%), umur 25-34 tahun (5,0%), umur 35-44 tahun (10,8%), umur 45-54 tahun (20,0%), umur 55-64 tahun (30,3%), umur 65-74 tahun (38,7%) dan umur diatas 75 tahun (42,1%) Karakteristik responden penyakit sendi, menurut jenis kelamin secara nasional sebagai berikut : Laki-laki (28,2%) dan Perempuan (32,2%), sedangkan di Provinsi Sumatera Utara untuk prevalensi penyakit persendian, laki-laki (10,2%) dan perempuan (13,4%). Prevalensi penyakit persendian, menurut pendidikan secara nasional sebagai berikut : Tidak sekolah (53,7%), tidak tamat SD (44,9%), tamat SD (33,7%), tamat SMP (19,6%), tamat SMA (18,0%), dan tamat PT (18,8%). Sedangkan menurut pendidikan Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut : Tidak sekolah (51,1%), tidak tamat SD (38,6%), tamat SD (25,7%), tamat SMP (14,6%), tamat SMA (12,2%), dan tamat PT (13,8%). Prevalensi penyakit persendian, menurut jenis pekerjaan secara nasional sebagai berikut : tidak kerja (31,3%), sekolah (4,8%), ibu RT (33,4%), pegawai (20,1%), wiraswasta (29,1%), petani/nelayan/buruh (37,6%), lainnya (28,4%). Sedangkan prevalensi penyakit persendian, berdasarkan provinsi Sumatera Utara sebagai berikut : tidak kerja (23,1%), sekolah (1,8%), ibu RT (22,4%), pegawai (14,3%), wiraswasta (20,4%), petani/nelayan/buruh (25,7%), lainnya (19,2%). Prevalensi penyakit persendian, menurut tempat tinggal secara nasional sebagai berikut : penderita yang tinggal kota (25,8%) dan pedesaan (33,2%), sedangkan penderita yang tempat tinggal kota (18,5%) dan pedesaan (21,7%). 6. KESIMPULAN Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyajikan bahwa penyakit menular merupakan penyebab utama dari 58 juta kematian di dunia, terdiri dari penyakit jantung dan pembuluh darah (30,0%), penyakit pernafasan kronik dan penyakit kronik lainnya (16,0%), kanker (13,0%) cedera (9,0%) dan diabetes melitus (2,0%). Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sedang kita hadapi saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah beban ganda penyakit, yaitu disatu pihak masih adanya penyakit infeksi yang harus ditangani, dilain pihak semakin meningkatnya penyakit tidak menular, dan ditambah lagi munculnya penyakit baru. Proporsi angka kematian penyakit tidak menular meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun 2007. Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular, disamping dilaksanakan dengan surveilans khusus, namun kegiatan surveilans Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular tetap dilaksanakan secara berkesinambungan. Pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular, ruang lingkupnya ; (1) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, (kegiatan yang telah dilaksanakan adalah surveilans hipertensi), (2) Penyakit Kanker (kegiatan telah dilaksanakan surveilans kanker serviks, (3) Penyakit Kronik dan Degeneratif lainnya, (kegiatan yang telah dilaksanakan adalah surveilans Penyakit Paru Obstruktif Kronis, dan Osteophorosis), (4) Penyakit Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik, (kegiatan yang telah dilaksanakan adalah surveilans faktor risiko diabetes melitus), dan (5) Gangguan Akibat Kecelakaan dan Cidera, (kegiatan surveilans kecelakaan transportasi).

Proceeding Book Rheumatology Update 2010

Anda mungkin juga menyukai

  • ASKEP - Pneumotorak
    ASKEP - Pneumotorak
    Dokumen15 halaman
    ASKEP - Pneumotorak
    Fitri Aprilia Sari
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen8 halaman
    Isi
    Fitri Aprilia Sari
    Belum ada peringkat
  • Sap Nyeri1
    Sap Nyeri1
    Dokumen14 halaman
    Sap Nyeri1
    Fitri Aprilia Sari
    Belum ada peringkat
  • Pert Emu An
    Pert Emu An
    Dokumen2 halaman
    Pert Emu An
    Fitri Aprilia Sari
    Belum ada peringkat
  • Askep Asma
    Askep Asma
    Dokumen10 halaman
    Askep Asma
    Aulia Aysh
    Belum ada peringkat
  • Woc Syok Septik
    Woc Syok Septik
    Dokumen1 halaman
    Woc Syok Septik
    Fitri Aprilia Sari
    Belum ada peringkat