Anda di halaman 1dari 28

PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah global yang mulai

melanda dunia sejak awal tahun 80-an. AIDS dapat diartikan sebagai sindroma (kumpulan gejala) penyakit yang disebabkan oleh rusak atau menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS bukan merupakan penyakit keturunan. Penderita AIDS sangat mudah terkena serangan penyakit yang ringan sekalipun. Hingga kini belum ada obat yang ditemukan untuk melawan secara efektif penyakit ini. Ada beberapa jenis obat yang sudah digunakan untuk melawan penyakit ini, diantaranya zidovudin (AZT), didanosin (DDI), DDC. Namun hanya efektif untuk menahan laju HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh penderita dan belum mampu mematikan secara total virus ini (Murtiani dkk,2008). Angka kejadian HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus /Acquired Immune Deficiency Syndrome) menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data WHO tahun 2002 terdapat lebih dari 25 juta orang di daerah Sub Sahara Afrika yang terinfeksi HIV. Meski telah dilakukan pencegahan, HIV terus menyebar ke seluruh dunia dengan perkiraan 14.000 infeksi baru setiap harinya. Di Indonesia berdasarkan statistik kasus HIV/AIDS pada tahun 2010 terjadi peningkatan kasus sebanyak 591 kasus sehingga pada tahun 2010 ini telah tercatat sebanyak 20.564 kasus dengan angka kematian sebanyak 3.936 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

Pengertian AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, diterjemahkan secara bebas

sebagai sekumpulan gejala penyakit yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan yang didapat dari faktor luar dan bukan bawaan yang sejak lahir. Jadi, sebenarnya AIDS merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh atau kekebalan tubuh penderita (Lubis, 1992). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah Syndrome akibat defisiensi immunitas seluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik keganasan berakibat fatal. Munculnya Syndrome ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu : 1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif). 2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif). II. Pravalensi Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat meskipun usaha-usaha preventif terus dilaksanakan. Global AIDS Epidemic UNAIDS menyatakan bahwa epidemi AIDS menurun secara perlahan, namun jumlah infeksi baru meningkat di beberapa wilayah dan negara tertentu. UNAIDS memperkirakan 39.5 juta kasus sampai dengan akhir tahun 2006, ini melebihi kasus infeksi baru tahun-tahun sebelumnya. Diperkirakan infeksi baru HIV

telah mencapai 4,3 juta kasus dan telah menyebabkan kematian 2,9 juta orang pada tahun 2006 dan lebih dari 20 juta orang sejak kasus AIDS ditemukan tahun 1981. Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia pada tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun secara kumulatif cenderung meningkat. Dari ditemukannya kasus AIDS pertama kali pada tahun 1987 sampai dengan 31 Desember 2006 jumlah kumulatif pengidap infeksi HIV/AIDS yang dilaporkan mencapai 13.424 kasus, terdiri dari 5.230 kasus pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala AIDS dan 8.194 kasus AIDS. Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lamban. Tetapi tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dari dua kali lipat tahun sebelumnya. Tahun-tahun berikutnya jumlah kasus baru yang dilaporkan cenderung terus meningkat. Kasus AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai 2.873 kasus, mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta disusul Papua, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat Dari ditemukannya kasus AIDS pertama kali pada tahun 1987 sampai dengan 31 Desember jumlah kumulatif pengidap infeksi HIV/AIDS yang dilaporkan mencapai 13.424 kasus terdiri dari 5.230 orang dengan HIV positif (belum menunjukkan gejala AIDS) dan kasus AIDS 8.194. Dari 8.194 kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan akhir Desember 2006, 6.604 (82%) kasus adalah laki-laki, 1.529 (16%) kasus perempuan dan 61 (2 %) kasus tidak diketahui jenis kelaminnya (DepKes RI, 2006). III. Etiologi Penyebab terjadinya penyakit atau faktor resiko dari AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), diantaranya adalah: a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, yang meliputi patner hubungan seks lebih dari 1, seks anal, pemakaian kondom. b. Faktor risiko parenteral, yaitu faktor risiko penularan HIV/AIDS yang berkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena. Faktor ini

meliputi riwayat transfusi darah, pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik (injecting drug users). c. Faktor risiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita responden, seperti sifilis (Laksana dan Lestari, 2010).

IV.

Klasifikasi Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut CDC dan WHO.

Klasifikasi dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut:

CD4 Total % A

Kategori Klinis B (simtomatik) B1 B2 B3 C (AIDS) CI C2 C3

(asimtomatik,infeksi akut) 500/ml 200-499/ml < 200/ml 29 % 14-28% < 14 % A1 A2 A3

Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik), dan infeksi akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. Kategori klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simtomatik) pada remaja atau remaja yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa kriteria berikut: a. Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan yang diperantarakan sel.

b.

Kondisi yang dianggap olek dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya kandidiasis orofaringeal, oral hairy leukoplakia, herpes zoster , dan lain-lain.

Kategori klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS, misalnya sarkoma kaposi, pneumonia pneumocystis carinii, kandidiasis esofagus dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

V.

Patogenesis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus

ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain.

Gambar 2.1. Struktur anatomi HIV (TeenAIDS, 2008).

Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel target. Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap permukaan molekul CD4. Virus ini memiliki kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian. Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi. Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Anonim, 2008).

Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan.Ada beberapa Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala AIDS: 1. Periode Jendela HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam darah Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 2 minggu 6 bulan

2.

HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun: HIV berkembang biak dalam tubuh Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibody terhadap HIV Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek).

3.

HIV Positif (muncul gejala) Sistem kekebalan tubuh semakin turun Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dlls Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya

4.

AIDS Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah

VI.

Gejala klinik

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi): Gejala mayor: a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis e. Demensia/ HIV ensefalopati Gejala minor: a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalisata c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang d. Kandidias orofaringeal e. Herpes simpleks kronis progresif f. Limfadenopati generalisata g. Retinitis virus Sitomegalo Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase. a. Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadangkadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain. b. Fase lanjut Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering

merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek. c. Fase akhir Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu 1. Gejala awal stadium infeksi yaitu : Demam, Kelemahan, Nyeri sendi menyerupai influenza/Nyeri tenggorok, Pembesaran kelenjaran getah bening 2. Stadium tanpa gejala Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV. 3. Gejala stadium ARC Demam lebih dari 38C secara berkala atau terusMenurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulanPembesaran kelenjar getah bening, Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik, Keringat malam. 4. Gejala AIDS Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening. Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneumocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis dan sebagainya. 5. Gejala gangguan susunan saraf Lupa ingatan, Kesadaran menurun, Perubahan Kepribadian, Gejalagejala peradangan otak atau selaput otak, Kelumpuhan. Umumnya penderita AIDS sangat kurus, sangat lemah dan menderita infeksi. Penderita AIDS selalu meninggal pada waktu singkat (rata-rata 1-2 tahun) akan tetapi beberapa penderita dapat hidup sampai 3 atau 4 tahun (Anonim, 2008). VII. Diagnosis

Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi Diagnosis laboratorium yang dapat dilakukan dengan dua metode:

HIV dan AIDS.

1. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR). 2. Tidak Langsung : dengan melihat respon zat antibodi spesifik, misalnya dengan ELISA, immunofluerescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA). Untuk diagnosis HIV, yang lazim dipakai : 1. ELISA, Sensitivitas tinggi, 98,1% - 100% . Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot. Tapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas. 2. PCR (Polymerase Chain Reaction) Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonveksi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensitivitasnya rendah untuk HIV-2). Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia skrining dan surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan western blot telah digunakan di waktu lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1,ELISA 2 untuk skrining dan surveilans (Jayanti, 2008). VIII. Cara penularan HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). 1. Seksual

Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. 2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV. 3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan. 4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan. 5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV 6. Penularan dari ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI. 7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium. Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam. Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Anonim, 2008). VIII. Komplikasi Aids bersifat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Tidak heran jika penderita Aids mudah terinfeksi berbagai penyakit dan kanker. Misalnya :

Tb. Umum dikenal dengan tuberculosis, adalah penyakit umum yang diderita penderita Aids dan dapat mematikan. hampir semua penderita HIV/Aids, juga menderita Tb.

Salmonela. Menular melalui makanan dan air. Gejalanya ialah diare parah, demam, menggigil, sakit perut dan muntah.

Cytomegalovirus (CMV). Adalah jenis virus herpes yang menular melalui cairan tubuh, seperti air liur, darah, ASI, semen dan urin. Virus ini dapat menyebabkan kerusakan pada mata, sistem pencernaan, paru-paru dan organ tubuh lainnya.

Candiasis. Menyebabkan peradangan dan bercak putih pada mulut (lidah), tenggorokan dan vagina. Bintik putih ini menyebabkan nyeri. Akan lebih parah jika mengenai anakanak.

Cryptococcal meningitis. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi jamur pada membran dan cairan sekitar otak dan tulang belakang. Biasanya ada pada tanah, dapat pula menyebar melalui burung atau kelelawar.

Toxoplasma. Umumnya disebarkan melalui kotoran kucing dan dapat menyebar ke hewan lainnya. Virus ini dapat menyebabkan kematian.

Cryptosporidiosis. Disebabkan oleh parasit yang hidup pada usus hewan yang dapat menyebar melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit ini dapat hidup pada usus manusia dan dapat mengakibatkan diare parah.

Kaposis sarcoma. Adalah tumor pada dinding pembuluh darah. Gejalanya adalah kemerahan pada kulit dan mulut. Penyakit jenis ini sangat jarang mengenai mereka yang bukan penderita HIV.

Lymphomas. Kanker ini terjadi pada sel darah putih, umumnya bermula pada kelenjar getah bening. Gejala awalnya adalah bengkak dan nyeri pada kelenjar getah bening (leher, ketiak dan pangkal paha).

IX. IX.I

Terapi (non-Farmaka dan Farmaka) Terapi non-Farmaka

IX.II Terapi Farmaka Sasaran terapi adalah mencapai efek penekanan maksimum replikasi HIV. Sasaran sekunder adalah peningkatan limfosit CD4 dan perbaikan kualitas hidup. Sasaran akhir adalah penurunan mortalitas dan morbiditas. Terapi yang direkomendasikan pada penderita HIV dapat dilihat pada tabel. Tabel 9.1 Rekomendasi untuk memulai terapi dengan Antiretroviral (ARV) pada remaja dan dewasa berdasarkan fase klinik dan tanda imunologi. Fase klinik WHO 1 2 3 Test CD4 tidak tersedia Tidak di terapi Tidak di terapi Terapi Pertimbangkan terapi bila CD4 < 350 sel/mm3acd dan terapi bila CD4 tururn < 200 sel/mm3e 4 Terapi Terapi tanpa memperhitungkan nilai CD4 Test CD4 tersedia Terapi bila CD4 < 200 sel /mm3a

a.

Nilai hitung CD4 yang disarankan untuk membantu menetapkan kebutuhan terapi segera seperti TB pulmonal dan infeksi bakteri berat yang mungkin terjadi pada tiap tingkat CD4.

b.

Total limfosit 1200/mm dapat menggantikan hitung CD4 jika nilai CD4 tidak ada atau infeksi HIV ringan. Ini tidak berguna pada pasien tanpa gejala.

c.

Pemberian terapi ARV direkomendarikan untuk perempuan hamil dengan fase klinik 3 dan nilai CD4 < 350 cells/mm3

d.

Pemberian terapi ARV direkomendarikan untuk seluruh pasien HIV dengan nilai CD4 < 350 cells/mm3 dan TB pulmonal dan infeksi bakteri berat.

e.

Tepatnya nilai CD4 > 200/mm3 pada infeksi HIV belum ditetapkan.

Penggolongan obat-obat ARV 1. Didanosin Indikasi lain Peringatan : riwayat pankreatitis; neuropati perifer, hiperurisemia, gangguan fungsi hati, : infeksi HIV progresif atau lanjut; dalam kombinasi dengan antiretroviral yang

gangguan fungsi ginjal, dan kehamilan. Kontra indikasi: gangguan fungsi hati dan ibu menyusui Efek samping : pankreatitis; neuropati perifer, terutama pada infeksi lanjut , hiperurisemia asimtomatik, mual, muntah, mulut kering, reaksi hipersensitivitas. Dosis : Dewasa BB < 60 kg: 125 mg tiap 12 jam. BB > 60 kg: 200 mg tiap 12 jam.

Anak diatas 3 bulan: 120 mg/ m2 tiap 12 jam (90 mg/m2 bila dikombinasi dengan zidovudin). 2. Lamivudin Indikasi Peringatan : infeksi HIV progresif, dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain : gangguan fungsi ginjal, penyakit hati yang disebabkan infeksi hepatitis B

kronis dan kehamilan. Kontra indikasi: ibu menyusui Efek samping : nyeri perut, batuk, sakit kepala, insomnia,malaise, nyeri muskuloskeletal, gejala nasal, mual, muntah, diare. Dosis : 150 mg tiap 12 jam (sebaiknya tidak bersama makanan). Anak dibawah 12

tahun keamanan dan khasiatnya belum diketahui. 3. Zalsitabin Indikasi : infeksi HIV lanjut pada dewasa yang tidak tahan terhadap zidovudin (anemia,

netropenia) atau pada pasien yang gagal diobati dengan zidovudin Peringatan : pasien dengan resiko neuropati perifer, pankreatitis monitor amilase serum,

alkoholisme, kardiomiopati, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal, dan kehamilan. Kontra indikasi: neuropati perifer dan ibu menyusui.

Efek samping : ulkus mulut, neuropati perifer, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, ruam,penurunan berat badan, lesu, anemia, gangguan fungsi hati, gangguan pergerakan, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan ginjal, mual, muntah. Dosis : 750 mcg tiga kali sehari, usia lanjut dan anak dibawah 13 tahun keamanannya

belum terbukti. 4. Zidovudin Indikasi : pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan HIV asimtomatik

dengan tanda-tanda resiko progresif, infeksi HIV simtomatik dan asimtomatik pada anak dengan tanda imuno defisiensi yang nyata dapat dipertimbnagkan untuk transmisi HIV metarnofetal (mengobati wanita hamil dan bayi baru lahir). Peringatan : toksisitas hematologis (lakukan uji darah tiap 2 minggu selama 3 bulan

pertama, selanjutnya sebulan sekali pemeriksaan darah dapat lebih jarang, tiap 1-3 bulan, pada infeksi dini dengan fungsi sum-sum tulang yang baik); defisiensi vitamin B12, gangguan fungsi hati, fungsi ginjal, usia lanjut, kehamilan, tidak dianjurkan menyusui selama pengobatan. Kontra indikasi:neutropenia dan atau anemia berat, neonatus dengan hiperbilirubinemia yang memerlukan terapi selain fototerapi atau dengan peningkatan transaminase. Efek samping : anemia, neutropenia dan lekopenia ulkus mulut, neuropati perifer, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, ruam,penurunan berat badan, lesu, anemia, mual, muntah, anoreksia, sakit perut, sakit kepala, ruam, demam, insomnia, lesu. Pernah dilaporkan kejang miopati, pigmentasi pada kuku, kulit, dan mukosa, gangguan fungsi hati dan asidosis laktat. Dosis Oral: dosis bervariasi, 500-600 mg/hari dalam 2-5 kali pemberian atau 1 gram perhari dalam 2 kali pemberian. Anak diatas 3 bulan: 120-180 mg/m2 tiap 6 jam (maksimum 200 mg tiap 6 jam).

Kehamilan > 14 minggu: oral: 100 mg 5 kali sehari sampai saat persalinan, pada fase persalinan dan setelah bayi lahir. Intravena: dimulai dengan 2 mg/kg selama 1 jam, kemudian 1 mg/kg sampai saat penjepitan tali pusat. Untuk operasi sesar selektif: berikan 4 jam sebelum operasi. Neonatus: mulai dalam 12 jam setelah lahir: per oral 2 mg/kg tiap 6 jam sampai berumur 6 minggu. Atau intravena selama 30 menit dengan dosis 1,5 mg/kg tiap 6 jam. Pasien yang sewaktu-waktu tidak dapat minum obat per oral: berikan injeksi intravena selama 1 jam dengan dosis 1-2 mg/kg tiap 4 jam. Biasanya tidak lebih dari 2 minggu. X. Panduan Terapi

Terapi dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virus adalah strategi adalah strategi yang sukses pada terapi HIV. Ada tiga golongan obat ARV yaitu: 1. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) a. analog nukleosida (NARTI) analog nukleotida (NtARTI) b.non nukleosida (NNRTI) 2. HIV Protease inhibitor (PI 3. Fusion inhibitor Bila terjadi kegagalan terapi yang dapat disebabkan oleh resistensi atau pasien tidak dapat menoleransi reaksi obat yang tidak diinginkan maka terapi harus ditukar. Regimen yang direkomendasikan dan perubahan terapi dapat dilihat pada tabel. Interaksi yang bermakna dapat terjadi dengan beberapa obat ARV.

Tabel 10.1 Rekomendasi regimen lini pertama terapi dan perubahan terjadi kelini kedua infeksi HIV pada orang dewasa Regimen lini pertama Regimen lini kedua RTI Standar AZT or d4T + 3 TC + ddI + ABC atau NVP or EFV TDF + ABC atau TDF + 3TC (AZT) Pi PI/r

TDF + 3TC + NVP atau ddI + ABC atau EFV ddI + 3TC (AZT)

ABC + 3TC + NVP ddI + 3TC (AZT) atau atau EFV Alternatif TDF + 3 TC (AZT)

AZT or d4T + 3 TC + EFV atau NVP ddI TDF atau ABC

3 TC lamivudine, ABC abacavir, AZT zidovudin, d4T stavudin, ddI didanosine, NFV nelfinavir, NNRTI non nukleosida reverse transcriptase inhibitor, NRTI nukleosida reverse transcriptase inhibitor, NVP nevirapine, PI protease inhibitor, /r: ritonavir dosis rendah, TDF tenofovir disoproxil fumarate. XI. Terapi pada kondisi khusus Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan suatu perhatian khusus ketika akan memulai terapi antiretroviral. Kelompok khusus tersebut antara lain kelompok perempuan hamil; kelompok pecandu NAPZA suntik dan yang menggunakan Metadon. Sementara keadaan khusus yang perlu diperhatikan adalah keadaan Koinfeksi HIV dengan TB dan Koinfeksi HIV dengan Hepatitis B dan C. XI.I. Terapi ARV untuk ibu hamil Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan seperti terpapar berikut ini. Tabel 11.1 Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan seperti terpapar berikut ini. Tabel 11.1 Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis No. Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan (Paduan

untuk Ibu) ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan kemungkinan hamil atau sedang hamil AZT + 3TC + NVP atau TDF + 3TC(atau FTC) + NVP Hindari EFV pada trimester pertama ODHA sedang menggunakan Terapi ARV dan kemudian hamil AZT + 3TC + EVF* atau TDF + 3TC (atau FTC) + EVF* Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pada trimester I) Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan ODHA hamil dengan jumlah CD4 ARV mulai pada minggu ke 14 kehamilan Paduan sesuai dengan butir 1

>350/mm3 atau dalam stadium klinis 1.

ODHA hamil dengan jumlah CD4 < Segera Mulai Terapi ARV 350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3 atau 4

Tabel 11.2 Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis No. Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan (Paduan untuk Ibu) OAT yang sesuai tetap diberikan Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai trimester II dan III: AZT (TDF) + 3TC + EFV

ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif

Ibu hamil dalam masa persalinan dan tidak diketahui status HIV atau tes setelah persalinan.

diberikan paduan pada butir 1 7 ODHA datang pada masa persalinan dan belum mendapat Terapi ARV

Keterangan: *: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama XI.I. Terap ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV) Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui darah ( blood borne disease) dan merupakan salah satu penyakit ko-infeksi pada HIV khususnya hepatitis B & C. Infeksi hepatitis C sering dijumpai sebagai ko-infeksi pada ODHA pengguna NAPZA suntik. Infeksi hepatitis B dan hepatitis C tidak mempengaruhi progresivitas penyakit HIV, namun infeksi HIV akan mempercepat progresivitas penyakit hepatitis B dan C dan mempercepat terjadinya end stage liver disease (ESLD) 1. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis B Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV. Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV/Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena alasan apapun. Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat: peningkatan SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif.

Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV

Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya

hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan hepatic flare. 2. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis C Zidovudine dan Stavudine mempunyai efek samping tumpang tindih dalam hal hematologi dan hepatotoksisitas dengan pengobatan yang digunakan dalam hepatitis C khususnya ribavirin seperti pada tabel 12. Oleh karena itu, pada saat pemberian bersama terapi hepatitis C perlu dilakukan substitusi sementara dengan TDF. Terapi hepatitis C dianjurkan dimulai pada saat CD4 > 350 sel/mm3 dan setelah terapi ARV stabil untuk mencapai tingkat SVR yang lebih tinggi. Paduan terapi ARV pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV adalah mengikuti infeksi HIV pada orang dewasa. Hanya saja perlu memantau ketat karena risiko hepatotoksisitas yang berhubungan dengan obat dan interaksi antar obat. Beberapa interaksi yang perlu perhatian antara lain:

Tabel 11.3 Resiko dari kombinasi obat untuk HIV/ HVC Obat Ribavirin + ddI Risiko Pankreatitis / asidosis laktat Anjuran tidak boleh diberikan secara bersamaan Ribavirin + AZT Interferon + EFV Anemia Depresi berat Perlu pengawasan ketat Perlu pengawasan ketat

Tabel 11.4 Pengobatan Hepatitis C Indikasi Kriteria Pemberian Pasien Hepatitis C kronik Anti HCV + dan HCV dengan compensated liver RNA +

Keterangan Pegylated interferon dan ribavirin bersifat teratogenik, pemeriksaan kehamilan dan penggunaan alat KB perlu dilakukan.

disease dengan riwayat belum Peningkatan SGPT pernah mendapatkan interferon sebelumnya Tidak dalam keadaan menyusui atau hamil

Pengobatan yang diberikan adalah Pegylated Interferon Alfa 2A/2B + Ribavirin. Perlu dilakukan pemeriksaan genotyping HCV sebelum pengobatan. Lama pemberian tergantung dari genotype dari Hepatitis C. Pada genotype 2 & 3 diberikan selama 24 minggu dan genotype 1 & 4 diberikan selama 48 minggu. Dosis pegylated interferon Alfa 2A+ Ribavirin adalah 180g/minggu + Ribavirin 1000( BB < 75kg) 1200 mg ( BB > 75kg). Dosis Pegylated interferon Alfa 2 B +ribavirin adalah 1,5g/kg/minggu + Ribavirin 800 ( < 65kg) 1200 mg ( > 65kg).

Pemantauan pengobatan hepatitis C Untuk memantau pengobatan hepatitis C perlu dilakukan pemeriksaan: 1. Serum transaminase, yang dilakukan setiap minggu selama 4 minggu dan selanjutnya setiap bulan atau jika diperlukan

2. Jumlah HCV RNA, yang dilakukan setelah pengobatan 4 minggu (pilihan), 12 minggu, 24 minggu dan 48 minggu untuk melihat respon pengobatan ditinjau dari segi virologi seperti terpapar pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14. Respon Virologis Pengobatan Hapatitis C Respon Virologi Rapid virological response (RVR) Definisi HCV RNA tidak terdeteksi pada pengobatan minggu ke 4 Penurunan HCV RNA > 2 log dibandingkan dengan data dasar atau HCV RNA menjadi tidak terdeteksi pada pengobatan minggu ke 12.(Complete EVR) HCV RNA menjadi tidak terdeteksi pada minggu ke 24 atau 48 HCV RNA tetap tidak terdeteksi 24 minggu setelah penghentian pengobatan HCV RNA timbul kembali sementara dalam pengobatan HCV RNA timbul kembali setelah pengobatan dihentikan Gagal untuk clearance HCV RNA setelah 24 minggu pengobatan Penurunan < 2 log HCV RNA setelah 24 minggu pengobatan Penurunan > 2 log HCV RNA dan HCV RNA masih terdeteksi setelah 24 minggu pengobatan

Early virological response (EVR)

End-of-treatment response (ETR)

Sustained virological response (SVR)

Breakthrough

Relapse

Non Responder Null responder

Partial responder

Sumber : Ghanny et all. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An Update. HEPATOLOGY, Vol. 49, No. 4, 2009

C. Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.

Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis

asien yang memulai terapi ARV selama dalam terapi TB.

minggu dan tidak lebih dari 8 minggu. Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih cepat, dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan TB dan meningkatkan manajemen TB pada pasien ko-infeksi TB-HIV.

Tabel 15. Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV CD4 Berapapun jumlah CD4
Paduan yang Dianjurkan

Keterangan Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

CD4 tidak mungkin diperiksa

Mulai terapi TB. Gunakan paduan yang mengandung EFV (AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600 mg/hari). Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP Pada keadaan dimana paduan berbasis NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan pengobatan TB maka NVP diberikan tanpa lead-in dose (NVP diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi) mulai terapi TB.

Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

1. Pilihan NRTI mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas.

Paduan triple NRTI yang dapat diberikan adalah: AZT+ 3TC +TDF akan tetapi paduan

triple NRTI tersebut kurang poten dibanding dengan paduan berbasis NNRTI (lihat Bab 4D tentang Pilihan pemberian Triple NRTI) Pilihan NNRTI

EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan kadar dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah lebih kecil dan efek hepatotoksik yang lebih ringan. Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi obat TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI dan PI. Tabel 16 berikut merupakan panduan pemakaian terapi ARV pada pasien yang terdiagnosis TB dalam 6 bulan setelah mulai terapi ARV lini pertama.

Tabel 16. Paduan ARV bagi ODHA yang Kemudian Muncul TB Aktif
Paduan ARV Paduan ARV pada Saat TB Muncul Pilihan Terapi ARV

Lini pertama

2 NRTI + EFV

Teruskan dengan 2 NRTI + EFV Ganti dengan EFV atau Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Triple NRTI dapat dipertimbangkan digunakan selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak dapat digunakan. Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan bersamaan dengan LPV/r, dianjurkanmenggunakan paduan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan maka pilihan lain adalah menggunakan gi LPV/r dengan dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari). Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika menggunakan Rifampisin dan dosis ganda

2 NRTI + NVP

Lini kedua

2 NRTI + PI/r

LPV/r

Bila terapi TB sudah lengkap dapat dipertimbangkan kembali untuk mengganti paduan ARV ke NVP kembali D. Terapi ARV pada Pengguna NAPZA suntik Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pengguna NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang hidupnya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan dosis sekali sehari masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga bisa untuk mempermudah terapi. E. Terapi ARV untuk individu dengan penggunaan Metadon Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV untuk ODHA dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar metadon dalam darah dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan harus dilakukan dan dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai untuk mengurangi gejala ketagihan tersebut. a. sebaliknya b. Paduan yang direkomendasi adalah AZT atau TDF + 3TC + EFV atau NVP c. ARV bukan merupakan kontraindikasi pada penasun (pengguna napza suntik) yang masih menggunakan NAPZA atau sedang dalam terapi rumatan Metadon d. NAPZA ditentukan oleh tim medis dengan mempertimbangkan kepatuhan e. Perlunya memperhatikan (kemungkinan) interaksi obat antara ARV, Metadon dan obat lain yang digunakan, sehingga dosis metadon kadang perlu dinaikkan. arus menghentikan metadon dan

F. Terapi ARV pada keadaan Nefropati yang berhubungan dengan HIV (HIV-associated nephropathy = HIVAN) a. HIVAN biasanya ditemukan pada stadium lanjut infeksi HIV dan bisa ditemukan pada berapapun jumlah CD4. b. Semua pasien HIV dengan proteinuria perlu dicurigai sebagai HIVAN c. d. Paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau NVP e. pasien dalam keadaan gangguan fungsi ginjal f. Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV pada kasus HIVAN tanpa memandang CD4.

G. Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau Post Exposure Prophylaxis = PEP) Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk Pencegahan Pasca Pajanan (PPP atau PEP = post exposure prophylaxis), terutama untuk kasus pajanan di tempat kerja (Occupational exposure). Risiko penularan HIV melalu tusukan jarum suntik adalah kurang dari 1%. PPP dapat juga dipergunakan dalam beberapa kasus seksual yang khusus misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami istri. Beberapa hal tentang PPP: a. Waktu yang terbaik adalah diberikan sebelum 4 jam dan maksimal dalam 48-72 jam setelah kejadian b.Paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + LPV/r (Lopinavir/Ritonavir) c. Nevirapine (NVP) TIDAK digunakan untuk PPP d. e. Perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PPP f. berarti yang terpajan sudah HIV positif sebelum kejadian) g. Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang diminum

h. Perlu dilakukan Tes HIV pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP i. digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare. (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Perpustakaan digital USU. Medan. DepKes RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia 1987-2006. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Jakarta Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Perpustakaan digital USU. Medan. Jayanti, Evi. 2008. Deskripsi dan Faktor Acquired Immune Deficiency Syndrome. Universitas Indonesia. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan Remaja. Kementerian Kesehatan RI .Jakarta. Kusnandar., dkk. 2008. Iso Farmakoterapi . PT.ISFI. Jakarta. Laksana, Agung Saprasetya Dwi ., Lestari, Diyah Woro Dwi. 2010. Faktor-faktor Resiko Penularan HIV/Aids Pada Laki-laki Dengan Orientasi Seks Heteroseksual Dan Homoseksual di Purwokwrto. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 2. Murtiani, dkk. 2008. Farmakologi untuk SMF/SMKF. PPB SMF-SMKF. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai