Anda di halaman 1dari 14

Demam Tifoid Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella

typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer patch Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella entereditis sedangkan demam enterik diapaki baik pada demam tifoid maupun dengan demam paratifoid.

Definisi Kasus Kasus demam tifoid Pasien dengan demam (38C) yang telah berlangsung selama setidaknya tiga hari, dengan dikonfirmasi laboratorium kultur positif (darah, sumsum tulang, cairan usus) S. typhi. Kemungkinan kasus demam tifoid Pasien dengan demam (38C) yang telah berlangsung selama setidaknya tiga hari, dengan positif serodiagnosis atau tes antigen deteksi tapi tanpa isolasi S. typhi.

Karir kronis Ekskresi S. typhi dalam tinja atau urin selama lebih dari satu tahun setelah timbulnya demam tifoid akut.

Etiologi Salmonella typhi adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromoekular lipopolisakarida kompleks yang mebentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Epidemiologi Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka kasus pasti demam tipfoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3 19 tahun mencapai 91% kasus. Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk bebrapa mingguapabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian

Patogenesis dan Patofisiologis Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja,urine,sekresi saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi. Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering

mengeluh nyeri telan yang disebabkan karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-kadang tepi lidah tampak hiperemis dan tremor. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba eustachi ke telinga dapat terjadi otitis media. Di lambung organisme menemui suasana asam dengan pH rendah dimana kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan faktor pelindung terhadap terjadinya infeksi. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganisme sampai di usus. Di usus halus organisme ini dengan cepat menginvasi sel epitel dan tinggal dilamina propia. Di lamina propia mikroorganisme melepaskan endotoksin yaitu suatu molekul lipopolisakarida yang terdapat pada permukaan luar dinding sel berbagai patogen usus. Penetrasi mukosa pada manusia berlangsung di daerah jejunum. Dilamina propia organisme mengalami fagositosis dan berada di dalam sel mononuklear. Mikroorganisme yang sudah berada di dalam sel mononuklear ini masuk ke folikel limfoid intestin atau nodus Peyer dan mengadakan multiplikasi.Selanjutnya sel yang sudah terinfeksi berjalan melalui nodus limfe intestinal regional dan duktus thorasikus menuju sistem sirkulasi sistemik dan menyebar serta menginfeksi sistem retikuloendotelial di hati dan limpa. Kelainan patologis paling penting pada demam tifoid disebabkan karena proliferasi sel endotel yang berasal dari sel RES. Akumulasi sel-sel tersebut menyumbat pembuluh darah di daerah tersebut menyebabkan nekrosis lokal dan kerusakan jaringan. Secara patologis didapatkan infiltrasi sel mononuklear, hiperplasia dan nekrosis lokal di hepar, lien, sumsum tulang, nodus Peyer ileum terminal dan jejunum, dan kelenjar limfe mesenterik. Penderita mengalami hepatomegali : hepar menjadi hiperemis, lunak, kekuningan dan sedikit membesar. Splenomegali disebabkan karena pembesaran yang bersifat lunak,kemerahan dan kongesti yang berisi nodul tifoid. Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileocecal yang timbul selama demam tifoid dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : hiperplasia, nekrosis jaringan, ulserasidan penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus Peyer tersebut menyebabkan penderita mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan dan perforasi. Diare dengan gambaran pea soup merupakan

karakteristik yang khas,dijumpai pada kurang dari 50% kasus dan biasanya timbul pada minggu kedua. Karena respon imunologi yang terlibat dalam patogenesis demam tifoid adalah sel mononuklear maka keterlibatan sel PMN hanya sedikit dan pada umumnya tidak terjadi pelepasan prostaglandin sehingga tidak terjadi aktivasi adenil siklase. Hal ini menerangkan mengapa pada serotipe invasif tidak didapatkan adanya diare. Nyeri perut pada demam tifoid dapat bersifat menyebar atau terlokalisir di kanan bawah daerah ileum terminalis. Konstipasi dapat terjadi pada ulserasi tahap lanjut,dan merupakan tanda prognosis yang baik. Ulkus biasanya menyembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi ulkus dapat menembus lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Pada keadaan ini tampak adanya distensi abdomen. Gambaran klinis yang khas pada demam tifoid merupakan hasil interaksi antara Salmonella typhi dan makrofag di hati, limpa,kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika. Sejumlah besar bakteri yang berada didalam jaringan limfoid intestinal, hati, limfa dan sumsum tulang menyebabkan inflamasi di tempat tersebut dan melepaskan mediator inflamasi dari makrofag. Makrofag memproduksi sitokin,diantaranya tumor necrosing factor (cachetin), IL-1dan interferon. Selain itu juga merupakan sumber metabolit arakhidonat dan reactive oxygen intermediates. Produk makrofag tersebut diatas dapat menyebabkan necrosis seluler, perangsangan sistem imun, ketidakstabilan sistem imun, ketidakstabilan vaskuler, permujaan mekanisme pembekuan, penekanan sumsum tulang, demam dan kelainan yang berhubungan dengan demam tifoid. Tampaknya endotoksin merangsang makrofag untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestin maupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis demam tifoid. Penderita yang telah sembuh dari demam tifoid biasanya mendapatkan kekebalan sepanjang hidup. Patogenesis deman tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu: 1.penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch,2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus mesentrikus, dan organ-organ intestinal sistem retikuloendotelial,3.bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan 4. Produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup dapat mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus tepatnya di jejunum dan ileum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Payer patch merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesentrika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesentrika, hati, dan limfe. Setelah melalui periode waktu tertentu yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penjamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui ductus torasikus masuk ke dalam sirkulsi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyerspatch. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat ,menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran Endotoksin Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas. Hal ini terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Samonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus, dan kelenjar mesentrika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produuksi dari sel-sel

inilah yang dapt menyebabkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan padfa darah, dan juga menstimulasi sistem imunologik. Respon Imunologik Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sitemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dapat menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tofoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas terhadap antigen Salmonella ser.typhi pada uji hambatan migrasi lekosit. Pada karier sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja tanpa memasuki epitel penjamu.

Manifestasi Klinik Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5 -40 hari dengan ratarata antara 10-14 hari. Demam terjadi pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti sekarang, penampilan pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai

dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan dan pada minggu keempat demam akan turun perlahan, kecuali pabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orangtua pasien demam tifoid melaporkan bahwa lebih tinggi saat sore hari dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti delirium, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat pada saat demam tinggi akan tampak toksik / sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akinbat kutang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudia disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak indonesia lebih banyak dijumpai gejala hepatomegali dibandingkan splenomegali. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 5 mm sringkali dijumpai pada daerah abdomen, torak, ekstremitas, dan punggung pada orang kulit putih, tidak p[ernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7- 10 dan bertahan 2 -3 hari. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis demam, gangguan gastrointestinal, dan mungkin disertai dengan perubahan kesadaran.

Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah. PAda 2 minggu pertama sakit kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi, prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai pada praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan bioakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik. Uji serologi widal adalah suatu metode serologi yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin lebih besar 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutionasion (prosedur pemeriksaan memerlukan waktu 45 menit) menunjukka nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif 96% kasus benar demam tifoid, akan tetapi apabila hasil negatif tidak menyingkirkan. Banyak center mengatur pendsapat

apabila titer O aglutinin sekali periksa lebih beasar dari 1/200 atau pada titer sepasangg terjadi peningkatan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.typhi. Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serolgi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis dan dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan positif. Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhgadap S.typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S.typhi dalam darah dan feses. Polimerase Chain reaction tel;ah digunakan untuk memperbanyak gen salmonella ser.Typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh dalam beberapa jam. Metode ini lebih spsifik dan sensitiv dibandingkan dengan biakan darah.

Tata Laksana Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan nuntuk kasus berat harus dirawat di rumahsakit sehingga pemenuhan cairan, elektroilit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia. Kloramfenikol masih merupakan pengobtan utama penderita demam tifoi. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgbb/hari dalam 4 kakli pemberian selama 10-14 hari atau 5 7 hari setelah demam turun. Sedang pada kasus malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karir. Namun pada anak hal itu jarang dilaporkan. Ampicilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfrnikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 kali dengan pemberian secara intravena. Amoxilin dengan dosis 100mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 kali pemberian oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi Trimetropinsulfametoksazol (TMP/SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan

kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10mg/kg/hari atau SMZ 50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Dibeberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resistem terhadap kloramfenikol, di India resistensi ganda terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan TMP/SMZ terjadi sebanyak 49-83%. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sepalosporin generasi 3. Pemberian sefalosporin generai 3 seperti ceftriaxon 100mg/kg/hari dibagi 1-2 dosis (maksimal 4 gr/hr) selama 5-7 hari atau cefotaxim 150-200mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Efikasi

quinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Akhir-akhir ini cefiximey oral 10-15mg/kg/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit kurang dari 2000 atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi. Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, dan syok pemberian dexametason intravena (3mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam 48 jam ) disamping antibiotik yang memadai dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demm tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan apabila diduga perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat menegakkan diagnosis. Laparotomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai penemabahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10cm di setiao sisi perforasi dilaporkan dpat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobtan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan pedarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah. Ampicilin atau amoksisilin dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral ditambah dengan probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP/SMZ selama 4 6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karir tanp-a penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemberian antibiotik (ampicilin 200mg/kgbb/hari dalam 4-6 dosis IV)selama 7-10 hari setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksilin 30mg/kgbb/hari dalam 3 dosis oral selama 30 hari . Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama. Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju dengan pengobatan antibiotikn yang adekuat angka mortalitas kurang dari 1%. Di negara berkembang angka mortalitasnya lebih dari 10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia mengakibatkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.typhi lebih besar dari 3 bulan setelah 3 bulan dari infeksi umumnya menjadi kari kronis. Resiko menjadi karir pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karir kronik terjadi pada 1 5 % pada pasien demam tifoid. Insiden penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karir kronis dibanding dengan populasi umum. Walaupun karir kronis juga dapat terjadfi hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis. Pencegahan Secra umum untuk memperkecil kemungkinan terkena S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makan, dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella Typhi dalam air akan mati apabila dipanasi 57 C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi. Untuk makanan pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat mebantu menekan angka kejadian demam tifoid. Vaksin

Saat sekarang dikenal 3 macam vaksin untuk penyakit demam tifoid yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari salmonell typhi. Vaksin yang beriisi kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup uyang dilemahkan (TY21A) diberikan peroral 3 kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun.Vaksin TY21A diberikan pada anak diatas 2 tahun.Pada penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmis penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan iuntramuscular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.

Komplikasi Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat :

mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga. -2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis).

infeksi

tulang

(osteomielitis),infeksi

katup

jantung

(endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin

Anda mungkin juga menyukai