Anda di halaman 1dari 17

BAB I STATUS PASIEN

I.1 Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik Identitas Pasien Nama TTL Usia Jenis Kelamin Alamat Masuk RS tanggal No. kamar No Rekam medis : Tn. S : Sragen, 15 April 1965 : 47 tahun 1 bulan 18 hari : Laki-laki : Kebon kelapa tinggi Rt. 3/8 Kel Utan Kayu Selatan : 2 Juni 2012 : Kamar 3 Marwah atas : 00.76.91.34

Dokter yang merawat : dr. Pudji Raharjo, Sp.PD GH

Anamnesis (Autoanamnesis) Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari SMRS Keluhan Tambahan : Perut terasa kembung, mual, sakit kepala, nyeri perut, badan terasa lemas Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke RSIJ dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS, demam dirasakan hilang timbul, demam dirasakan tinggi saat sore menjelang malam hari dan demam turun saat pagi hari. Demam disertai dengan mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien mengeluh nyeri perut terutama nyeri ulu hati, perut kanan dan perut kiri. Badan terasa lemas, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal, perut terasa kembung pasien merasa selalu kenyang sehingga nafsu makannya menurun, Susah BAB sejak 3 hari SMRS. BAK lancar tidak ada keluhan. Riwayat Penyakit Dahulu : o o o Riwayat hipertensi (+) Riwayat DM (+) Riwayat Asma disangkal 1

Riwayat Penyakit Keluarga : o o o Riwayat DM disangkal Riwayat Hipertensi disangkal Riwayat Asma disangkal

Riwayat Alergi : o o Alergi makanan disangkal Alergi obat-obatan disangkal

Riwayat Pengobatan : 3 hari sebelumnya pasien berobat ke Puskesmas, keluarga pasien lupa nama obatnya. Tetapi keluhan tidak berkurang, kemudian pasien dirujuk ke RS

Riwayat Psikososial : Makan teratur 3 kali sehari,merokok disangkal, mengkonsumsi minuman beralkohol disangkal.

Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Tanda Vital : TD Nadi RR Suhu Status gizi BB sebelum sakit : 57 kg BB setelah sakit Tinggi badan IMT kesimpulan : 57 kg : 165 cm : 120/80 mmHg : 70 x/menit (kuat, cukup, regular) : 18 x/menit, : 37,8 oC : Tampak Sakit Sedang : Composmentis

: (Normal) : Gizi Baik

Status Generalis Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak rontok, distribusi merata. Mata : Alis mata madarosis (-), bulu mata rontok (-), konjungtiva anemis (+)/(+), sklera ikterik (-)/(-), refleks pupil (+)/(+). Kulit : Ikterik (-), eritem (-), skar (-) 2

Hidung : deviasi septum (-), sekret (-), darah (-) Telinga :Normotia, sekret (-), darah (-) Mulut : Mukosa Bibir kering (-), stomatitis (-), lidah agak kotor dan tremor (+), tepi lidah hiperemis (-), dinding tonsil hiperemis (-) Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-) Dada : Normochest

PARU-PARU Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-), spider nevi (-) Palpasi Perkusi : Vokal fremitus simetris kanan=kiri : Sonor pada semua lapang paru, batas paru-hepar setinggi ICS 6, midclavicularis dextra. Auskultasi Kesan JANTUNG Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea mid klavikularis sinistra : Batas kanan jantung linea parasternalis dextra Batas kiri jantung linea midclavikularis sinistra Auskultasi Kesan ABDOMEN Inspeksi Auskultasi Palpasi : Distensi , skar (-), caput medusa (-), spider nevi (-) : Bising usus (+) normal. :Nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+), nyeri tekan epigastrium (+), Hepatomegali (-), splenomegali (-), Perkusi Ascites : Timpani pada 4 kuadran : (-) : : : : : Atas (-) Hangat (-/-) (+) Bawah (-) Hangat (-/-) (+) ballotement (-) : BJ 1 dan 2 murni reguler, Murmur (-), Gallop (-). : Jantung normal : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing(-) : Paru-paru normal

EXTREMITAS Pucat Akral Luka RCT < 2 detik

Pemeriksaan penunjang Tanggal 31 Mei 2012, Pukul : 15 : 55 WIB

Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Jumlah Leukosit Jumlah Trombosit Hematokrit

Hasil

Satuan

Nilai rujukan 13.0 18.0 3.8 10.6 150 440 40 52

12.1 12.50 281 37.0

g/dL Ribu/L Ribu/L %

Imunoserologi Widal Anti S. Typhi H Anti S. H Paratyphi A Anti S. H Paratyphi B Anti S. H paratyphi C Anti S typhi O Anti S. O Paratyphi A Anti S. O Paratyphi B Anti S. O Paratyphi C 1/320 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1/320 Negatif

Resume Tn. S 47 tahun datang ke RSIJ dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS, demam dirasakan intermitten, demam timbul saat sore menjelang malam hari dan menghilang saat pagi hari, nausea, nyeri epigastrium, abdominal pain, malaise, distensi, cephalgia, atralgia, anoreksia, dan konstipasi. Pemeriksaan fisik : Vital sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg, Nadi : 70 x/menit, RR : 18 x/menit, suhu : 37, 8 C, Mata : konjungtiva anemis (+/+), mulut : Lidah kotor (+), pada abdomen terlihat distensi (+), pada palpasi nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+), nyeri tekan epigastrium (+) Pemeriksaan laboratorium Hemoglobin 12.1 g/dL, lekosit 12.50 ribu/L, hematokrit 37 % 4

Imunoserologi Widal potitif Anti S typhi H Anti O paratyphi B 1/320 1/320

Daftar Masalah Febris e.c Demam tifoid

Assassment Febris e.c Demam tifoid Berdasarkan anamnesis : Pasien mengeluh demam sejak 5 hari SMRS, demam dirasakan hilang timbul, demam dirasakan tinggi saat sore menjelang malam hari dan demam turun saat pagi hari. Pasien mengeluh mual, sakit kepala, badan terasa lemas, badan terasa pegal-pegal, nyeri perut kanan dan kiri, nyeri uluhati. Pasien mengeluh perut terasa kembung sehingga nafsu makannya berkurang karena selalu merasa kenyang, dan susah BAB. Berdasarkan Pemeriksaan fisik : Vital sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg, Nadi : 70 x/menit, RR : 18 x/menit, suhu : 37, 8 C, Mata : konjungtiva anemis (+/+), mulut : Lidah kotor (+), pada abdomen terlihat distensi (+), pada palpasi nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+), nyeri tekan epigastrium (+) Berdasarkan pemeriksaan penunjang : Hemoglobin 12.1 g/dL, lekosit 12.50 ribu/L, hematokrit 37 %. Pemeriksaan Imunoserologi: widal potitif, Anti S typhi H 1/320, Anti O paratyphi B 1/320. WD : Demam Tifoid Rencana Diagnosis : - Pemeriksaan darah perifer lengkap - Tubex TF Rencana terapi : Non farmakologi - Tirah baring dan perawatan - Diet bubur saring Farmakologi - Tiamfenikol 4 x 500 mg - Ranitidine 2 x 150 mg

Follow up pasien Tanggal 4 Mei 2012 S : Demam, mual, nyeri perut, mual, sakit kepala, badan terasa lemas, perut terasa kembung O : Tanda-tanda vital : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 78 x/menit, RR : 18 x/menit, suhu : 37,8C. Status generalis : konjungtiva anemis (+/+), lidah kotor (+), abdomen, inspeksi : distensi (+), palpasi : nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+) A P : Febris e.c demam tifoid : Non farmakologi : tirah baring, diet bubur saring, cek ulang H2TL Farmakologi : Kloramfenikol 4 x 500 mg, ranitidine 2 x 150 mg

Tanggal 5 Mei 2012 S O : Badan terasa lemas dan mual : Tanda tanda vital : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 74 x/menit, suhu : 37C, RR : 18 x/menit. Status generalis : konjungtiva anemis (-/-), lidah kotor (-), abdomen, inspeksi : distensi (-), palpasi : Nyeri tekan 4 kuadran abdomen (-), A P : Febris e.c demam tifoid : Lanjutkan terapi

Tanggal 6 Mei 2012 S O : Pasien tidak ada keluhan : Tanda tanda vital, TD : 120/70 mmHg, Nadi : 67 x/menit, RR : 18 x/menit, Suhu : 36,7C. Status generalis : nyeri tekan 4 kuadran abdomen (-), A P : Keadaan pasien sudah membaik : Rencana pulang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DEMAM TIFOID

2.1 Definisi demam tifoid Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyers patch.

2.2 Etiologi Etiologi demam typoid adalah Salmonella typhi dengan salmonella yang lain merupakan bakteri gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari ologosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resisten terhadap multiple antibiotik.

2.3 Epidemiologi Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan Amerika Serikat. Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservior). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan

tetapi S.typhi hanya dapat hidup kurang 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperatur 63C Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang bersal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seseorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah d laporkan pula trasmisi oro-fekal dari seseorang ibu membawa laboratorium penelitian.

2.4 Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang hiak di dalam makrofag dan dibawa ke Plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) 8

dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrifag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflmasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

2.5 Diagnosis Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinis dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Manifestasi Klinik Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 14 hari. Gejala gejala klinis yang timbul sanagat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri 9

otot, anoreksia, mual, muntah, obatipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala gejala menjadi lebih jelas beruba demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, strupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. Relaps Relaps atau kambuh merupakan keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Biasanya terjadi dalam minggu kedua setelah suhu badan normal kembali 2.6 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Rutin Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia. Maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

b. Uji Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap S. Typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang dilakukan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu: 1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagela kuman) 3. Aglutinin Vi (simapi kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemingkinan 10

terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu : 1. Pengobatan dini dengan antibiotik 2. Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid 3. Waktu pengambilan darah 4. Daerah endemik atau non-endemik 5. Riwayat vaksinasi 6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7. Faktor teknik pemeriksaan anatar laboratorium, akibat aglutinasi ilang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

c. Kultur darah Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif 2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxygall) untuk pertumbuhan kuman 3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. 4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.

11

d. Tubex TF. Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen Tubex TF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri S. typhi Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen Tubex TF dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri S. typhi. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitif, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam sensitivitasnya > 95%.

e. Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Pemeriksaan ini dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

f. Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Metode ini mempunyai sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR antara lain hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses, biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit

2.7 Penatalaksanaan a. Pengobatan Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), pemberian Antimikroba. Istirahat dan perawatan

12

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekibitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Pemberian antimikroba Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid sebagai berikut: Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dinajurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunanaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5 Tiamfenikol Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan 13

terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai ke 6. Kotrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametaksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. Ampisilin dan Amoksisilin Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50 150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin Generasi Ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3 4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. Golongan Fluorokuinolon Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya : Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian. Kombinasi obat antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella. 14

Kortikosteroid Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

2.8 Pencegahan Preventif dan Kontrol Penularan Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier. 3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi. Pencegahan infeksi Salmonella typhi juga dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higienitas pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan.

Vaksinasi Vaksin pertama kali ditemukan 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO). Indikasi vaksinasi 15

adalah bila : 1) hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang, 2) orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). Petugas laboratorium.

Jenis Vaksin Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di Indonesia Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida. Pemilihan Vaksin Vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (Typhim Vi)

Indikasi Vaksinasi Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid bergantung pada faktor risiko yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya: Populasi : anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industry makanan/minuman> Individual : pengunjung/ wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid.

Kontraindikasi Vaksinasi Vaksin hidup oral Ty21a tidak diberikan pada sasaran yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan. Bila diberikan bersamaan dengan obat anti malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.

Efek Samping Vaksinasi Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%, malaise

16

0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 910% dan reaksi lokal nyeri, dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi , nyeri dada, dan syok.

Efektivitas Vaksinasi Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.

2.9 Komplikasi dan Prognosis Komplikasi dan prognosa Komplikasi : Salah satu komplikasi demam tifoid yang dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat adalah perforasi dan perdarahan usus halus. Komplikasi ini sering terjadi pada minggu ketiga yang ditandai dengan suhu tubuh yang turun mendadak, adanya tanda-tanda syok dan perforasi intestinal seperti nyeri abdomen, defance muscular, redup hepar menghilang. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah pneumonia, miokarditis, hingga meningitis. Prognosa Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan. Hasilnya mungkin akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak sepenuhnya sembuh dari infeksi.

17

Anda mungkin juga menyukai