Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Retinoblastoma merupakan tumor ganas intraokular yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun dengan pola herediter dan biasanya bersifat unilateral (Mansjoer, 2007; Ilyas, 2009) Retinoblastoma merupakan suatu bentuk keganasan intra okuler primer yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan angka kejadian sekitar 1:15.0001:23.000 kelahiran hidup. merupakan 4 % dari total seluruh keganasan pada anak-anak, sektar 1 % dari seluruh kanker pada manusia, dan merupakan keganasan kedua terbanyak pada semua tingkat usia setelah melanoma maligna. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan 300 kasus baru setiap tahunnya. Insiden retinoblastoma tinggi pada negara-negara berkembang, terutama pada masyarakat kurang mampu (Paduppai , 2010; Vajzovic et al, 2010). Gejala retinoblastoma bervariasi sesuai stadium penyakit, dapat berupa leukokoria, strabismus, mata merah, nyeri mata yang disertai glaucoma dan visus menurun Sebagian besar kasus retinoblastoma di Amerika Serikat terdiagnosis saat tumor masih di intraokular tanpa invasi lokal atau metastasis jauh. Di negara berkembang, diagnosis sering dibuat setelah penyakit menyebar keluar mata dan ekstraokular (Rosdiana, 2011). Pengobatan retinoblastoma berdasarkan usia, ukuran, lokasi tumor, dan bilateral. Terapinya meliputi unkleasi dan terapi radiasi sinar, plak

radioterapi, laser fotokoagulasi, cryoterapy, kemoreduksi dan termoterapi (Carol et al, 1999). Tumor ini mempunyai prognosis baik bila ditemukan dini dan intraokuler. Prognosis sangat buruk bila sudah tersebar ekstra ocular pada saat pemeriksaan pertama. Retinoblastoma yang tidak diobati akan

tumbuh dan menimbulkan masalah pada mata, dapat menyebabkan lepasnya retina, nekrosis dan menginvasi mata, saraf penglihatan dan system syaraf pusat (Rosdiana, 2011). Retinoblastoma merupakan salah satu dari sekian banyak tumor yang memungkinkan ada pada mata, selain insidensi di negara berkambang tergolong tinggi, diagnosis sering di tegakan saat tumor sudah menyebar ke ekstraokukar, sehingga prognosisnya menjadi buruk karena itu penulis akan menyajikan referat yang berjudul retinoblastoma. B. Tujuan Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi retina serta mengetahui lebih dalam lagi tentang retinoblastoma C. Manfaat Manfaat penulisan refrat ini adalah untuk menambah wawasan tentang retinoblastoma dan penatalaksanaannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi retina a) Anatomi Retina Retina adalah membran tipis, bening, berbentuk seperti jaring sehingga disebut juga selaput jala, . Letaknya antara badan kaca dan koroid (Suhadrjo & Hartono, 2007). Di bagian retina yang letaknya sesuai dengan sumbu penglihatan terdapat makula lutea (bintik kuning) kira-kira berdiameter 1 2 mm yang berperan penting untuk tajam penglihatan. Di tengah makula lutea terdapat bercak mengkilap yang merupakan fovea. Kira-kira 3 mm ke arah nasal, kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih kemerahmerahan, disebut papil saraf optik, Arteri retina sentral bersama venanya masuk ke dalam bola mata di tengah papil saraf optic (Suhadrjo & Hartono, 2007).

Gambar 1 : bola mata

Gambar 2: Retina

Lapisan retina dari dalam ke luar yaitu: 1) Ephithelium pigmen retina 2) Lapis fotoreseptor yang terdiri atas sel batang dan sel kerucut 3) Membrane limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi 4) Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis sel kerucut dan sel batang 5) Lapisan pleksiform luar, merupakan lapisan aselular dan merupakan termpat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal 6) Lapisan nucleus dalam merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller. 7) Lapisan pleksiform dalam merupakan lapisan aselular tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin, dan sel ganglion. 8) Lapisan sel ganglion merupakan lapisan badan sel 9) Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kea rah safar optic 10) Membrane limitan interna merupakan membrane hialin antara retina dan badan kaca (Ilyas, 2009)

Gambar 3 : Lapisan Retina

Retina mendapat vaskularisasi dari lamina koriokapilaris koroid dan arteria retina sentralis. Lamina koriokapilaris memberi makan lapisan epitel pigmen retina dan sel-sel fotoreseptor. Arteri retina sentralis memberi makan lapisan sel horizontal, bipolar dan sel ganglion.

Arteri retina sentrali masuk bersama dengan n. optikus di daerah yang di sebut denga papil nervus optikus atau diskus optikus (warnanya lebih terang dari daerah sekitarnya pada pemeriksaan oftalmoskopi) (Suhardjo & Hartono, 2007). b) Fisiologis retina Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan, serta saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke konteks penglihatan. Pada retina bagian sentral terdapat macula, yang nampak lebih gelap pada pemeriksaan oftalmoskopi karena mengandung banyak melanin, makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Macula terutama digunakan untuk ketajaman sentral dan warna (fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik) (Suhardjo & Hartono, 2007). B. Definisi Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina yang ditemukan pada anak-anak terutama pada usia dibawah 5 tahun (Mansjoer, 2007).

C. Epidemiologi Retinoblastoma telah lama dipandang sebagai contoh dari kanker yang diturunkan secara dominan, tetapi tumor ini dapat juga non-herediter (Kartawiguna, 2001). Diperkirakan sekitar 40% retinoblastoma adalah herediter, 25% diantaranya bilateral dan 15% unilateral (Rosdiana, 2009). Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 250-300 kasus baru didiagnosa setiap tahun (Jamalla et al, 2010). Dari data keluarga didapatkan < 50% keturunan penderita

retinoblastoma yang kemudian akan menderita tumor ini. Mereka menduga ini termasuk dalam golongan tumor yang non-herediter. Penyelidikan lain menunjukkan penderita retinoblastoma bilateral yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat keturunan kemungkinan menurunkan penyakit ini mendekati 50% seperti pada penderita retinoblastoma unilateral yang mempunyai riwayat keturunan. Sedangkan kemungkinan mendapat penyakit ini adalah 10-15% pada keturunan dari penderita retinoblastoma unilateral yang tidak mempunyai riwayat keturunan. Kemungkinan mendapat penyakit ini pada keturunan penderita yang tumornya unilateral atau bilateral dengan riwayat keturunan sangat tinggi yaitu 60-70% (Kartawiguna, 2001). Dari data disimpulkan 40% keturunan penderita retinoblastoma adalah karier gen yang dominan. Dari 40% ini, 95% menderita paling sedikit tumor unilateral bisa juga bilateral. Sebaliknya penderita yang tidak membawa gen dominan mempunyai risiko 1/30.000 untuk menderita tumor unilateral dan tidak pernah bilateral (Kartawiguna, 2001). D. Etiologi Etiologi retinoblastoma yaitu mutasi sel germinal yang bersifat dominan autosom, dapat juga terjadi mutasi sporadik. Kemunculannya biasanya bilateral dan tumor ini melibatkan sel-sel retina yang immatur. Mutasi terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada sel benih dan sel germinal. Bisa

juga terjadi mutasi sel somatik atau autosomal resesif dan kejadian ini biasanya unilateral. Letak gen yang bertanggung jawab adalah 13q.14.113q.14.9. Penanda genetik yang biasa dipakai antara lain enzim esterase-D, LDH (Laktat dehidrogenase). LDH ini ditemukan dalam humor aqueous karena nekrosis dari sel-sel tumor (Supartoto & Utomo, 2007). Terdapat dugaan mutasi terjadi pada sel-sel retina karier gen sehingga terbentuk retinoblastoma. Juga diduga bentuk herediter terjadi secara 2 tahap yaitu mutasi sel somatik (sel retina) yang sedang tumbuh dan mutasi pada sel benih yang akan diturunkan. Pada bentuk non-herediter terjadi 2 tahap mutasi yang ke-2 nya terjadi dalam sel somatik untuk menjadi sel kanker tetapi fenomena ini sangat jarang (1/30.000). Maka pada bentuk herediter retinoblastoma terjadi lebih awal dari bentuk non-herediter karena hanya diperlukan 1 tahap yang terjadi post-zygotik (Kartawiguna, 2001). E. Patofisiologi Retinoblastoma terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yang terletak pada kromosom 13q14 (kromosom nomer 13 sequence ke 14) baik terjadi karena faktor hereditas maupun karena faktor lingkungan seperti virus, zat kimia, dan radiasi. Gen RB1 ini merupakan gen suppressor tumor, bersifat alel dominan protektif dan merupakan pengkode protein RB1 (P-RB) yang merupakan protein yang berperan dalam regulasi suatu pertumbuhan sel (Anwar, 2010). Apabila terjadi mutasi seperti kesalahan transkripsi, translokasi, maupun delesi informasi genetik, maka gen RB1 (P-RB) menjadi inaktif sehingga protein RB1 (P-RB) juga inaktif atau tidak diproduksi sehingga memicu pertumbuhan sel kanker (Tomlinson, 2006). Retinoblastoma biasa terjadi di bagian posterior retina. Dalam perkembangannya massa tumor dapat tumbuh baik secara internal dengan memenuhi vitrous body (endofitik). Maupun bisa tumbuh ke arah luar menembus koroid, saraf optikus, dan sklera (eksofitik). Secara mikroskopis,

sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil, tersusun rapat bundar atau polygonal dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma. Selsel ini kadang-kadang membentuk rosette Flexner-Wintersteiner yang khas, yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor. Kelainan-kelainan degeneratif sering dijumpai, disertai oleh nekrosis dan kalsifikasi (Tomlinson, 2006; Vaughan et al, 2000). F. Manifestasi klinis Tanda-tanda retinoblastoma yang paling sering dijumpai adalah leukokoria (white pupillary reflex) yang digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cats-eye appearance, strabismus dan inflamasi okular. Gambaran lain yang jarang dijumpai, seperti heterochromia, hyfema, vitreous hemoragik, selulitis, glaukoma, proptosis dan hypopion. Tanda tambahan yang jarang, lesi kecil yang ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan visus jarang karena kebanyakan pasien adalah anak umur prasekolah (Hidayat, 2010). Tanda Retinoblastoma : 1) Pasien umur < 5 tahun a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Leukokoria (54%-62%) Strabismus (18%-22%) Hypopion Hyphema Heterochromia Spontaneous globe perforation Proptosis Katarak Glaukoma Nystagmus Tearing

l.

Anisocoria

2) Pasien umur > 5 tahun a. Leukokoria (35%) b. Penurunan visus (35%) c. Strabismus (15%) d. Inflamasi (2%-10%) e. Floater (4%) f. Pain (4% ) (Hidayat, 2010) G. Klasifikasi Retinoblastoma terdiri atas dua tipe, yaitu retinoblastoma yang terjadi oleh karena adanya mutasi genetik (gen RB1) dan retinoblastoma sporadik. Retinoblastoma yang diturunkan secara genetik terbagi atas 2 tipe,yaitu retinoblastoma yang muncul pada anak yang membawa gen retinoblastoma dari salah satu atau kedua orang tuanya (familial retinoblastoma), dan retinoblastoma yang muncul oleh karena adanya mutasi baru, yang biasanya terjadi pada sel sperma ayahnya atau bisa juga dari sel telur ibunya (sporadic heritable retinoblastoma). Kedua tipe retinoblastoma yang diturunkan secara genetik ini biasanya ditemukan bersifat bilateral, dan muncul dalam tahun pertama kehidupan, jumlahnya sekitar 6%. Sedangkan retinoblastoma sporadik bisanya bersifat unilateral, dan muncul setelah tahun pertama kehidupan, jumlahnya 96% (Paduppai, 2010). Klasifikasi intraokular menurut Reese and Elsworth : a. Stadium I 1) Solid < 4 diameter papil (disc diameter, dd), di belakang ekuator 2) Multipel > 4 dd, pada/ di belakang ekuator

b. Stadium II

1) Solid 4-10 dd 2) Multipel 4-10 dd, di belakang ekuator c. Stadium III 1) Di depan ekuator 2) Lebih dari 10 dd, di belakang ekuator d. Stadium IV 1) Multipel > 10 dd 2) Sampai ora serrata e. Stadium V 1) Separuh luas retina 2) Korpus vitreum Klasifikasi ekstraokular menurut Retinoblastoma Study Commitee: a. Grup I Saat enukleasi tumor ditemukan di sklera, atau sel tumor ditemukan di emisaria sklera b. Grup II Tepi irisan N II tidak bebas tumor c. Grup III Biopsi mengungkap tumor sampai dinding orbita d. Grup IV Tumor ditemukan di cairan serebrospinal e. Grup V Tumor menyebar secara hematogen ke organ dan tulang panjang (Suhardjo & Hartono, 2007) Klasifikasi Retinoblastoma Internasional Di Indonesia, klasifikasi intraokular menurut Reese and Elsworth sulit dipakai mengingat pasien yang datang umumnya sudah stadium ekstra okuler.

10

Klasifikasi retinoblastoma internasional dibuat dengan menggabungkan gambaran klinik dan patologi dengan satu tujuan, yaitu angka bertahan hidup pada pasien retinoblastoma. Pasien diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan penyakit, termasuk gambaran mikroskopik atau ekstensi ekstra okuler dan metastase (Paduppai, 2010). Berikut ini adalah klasifikasi Retinoblastoma Internasional a. Stadium leukokoria Pada stadium ini, pasien tidak merasakan gejala apapun hanya

penglihatan yang menurun sampai visus 0. Saat ini orang tua pasien sering merasa tidak ada masalah dengan mata anaknya sehingga kadang dibiarkan, padahal pada tahap inilah pasien masih bisa diselamatkan dengan tindakan enukleasi (pengangkatan bola mata), jika pada pemerikasaan patologi anatomi N.optik sudah terkena maka tindakan selanjutnya adalah kemoterapi. Kelangsungan hidup pada stadium ini jika cepat ditindaklanjuti biasanya baik. b. Stadium glaukomatosa Pada stadium ini massa tumor membesar, meluas ke depan, sudah memenuhi seluruh isi bola mata, sehingga menyebabkan kenaikan tekanan intraokular. Oleh karena itu, gejala yang nampak adalah gejala glaukoma. Gejala lain yang dapat nampak adalah strabismus, uveitis, dan hifema. Pasien merasa kesakitan, bola mata membesar, dan midriasis dengan refleks pupil negatif, eksoftalmos dan edema kornea. Stadium ini biasanya hanya berlangsung beberapa bulan, sehingga jika terlambat ditangani akan masuk stadium berikutnya. c. Stadium ekstraokuler Pada stadium ini bola mata sudah menonjol (proptosis), akibat desakan masa tumor yang sudah keluar ke ekstra okuler. Segmen anterior bola mata sudah rusak dan keadaan umum pasien nampak lemah dan kurus. Terjadi perluasan ke saraf optik dan koroid. Penyebaran bisa secara 11

limfogen dan hematogen. Sel ganas bisa ditemukan hingga di cairan serebrospinal. Prognosis dalam stadium ini kurang baik dan tindakan yang dilakukan hanyalah untuk mempertahankan hidup pasien. d. Stadium metastase Stadium ini sangat buruk oleh karena tumor sudah masuk ke kelenjar lymfe preaurikuler atau submandibula. Penanganan pada stadium ini hanyalah bersifat paliatif saja. Terlambatnya diagnosis adalah suatu fenomena yang kompleks pada banyak pasien. Sering berhubungan dengan faktor sosial ekonomi atau misdiagnostik karena tidak nampaknya gangguan penglihatan. Pada beberapa populasi, ketidaktahuan akan abnormalitas mata seperti strabismus dan leukokoria sebagai suatu tanda dari kanker mata (Suhardjo & Hartono, 2007; Paduppai, 2010).

H. Diagnosis 1) Anamnesis Anamnesis harus menanyakan adakah riwayat keluarga yang menderita kanker apapun, misalnya Ca cervix/mammae, Ca paru. Sifat sel tumor pleotropik, jadi punya kecenderungan untuk mutasi ke bentuk keganasan lain (Suhardjo &Hartono, 2007). 2) Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis mengungkap adanya visus turun, leukokoria yang merupakan gejala yang paling mudah dikenali oleh keluarga penderita, strabismus, midriasis, hipopion, hifema, dan nistagmus (Suhardjo & Hartono, 2007). 3) Pemeriksaan penunjang a. Biopsi Dengan melakukan biopsi jarum halus, maka tumor dapat ditentukan jenisnya. Namun demikian, tindakan ini dapat menyebabkan

12

terjadinya penyebaran sel tumor sehingga tindakan ini jarang dilakukan oleh dokter spesialis mata (Rahman, 2008). b. Pemeriksaan dengan anestesi (Examination under anesthesia / EUA) Di Bagian Mata, pemeriksaan dengan anastesi (Examination under anesthesia / EUA) diperlukan pada semua pasien untuk mendapatkan pemeriksaan yang lengkap dan menyeluruh (Hidayat, 2010). Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan diameter kornea, tekanan intraokuler, pemeriksaan funduskopi, serta melihat pembuluh

darah/neovaskularisasi yang terjadi (Rahman, 2008). Lokasi tumor multipel harus dicatat secara jelas. Tekanan intra okular dan diameter cornea harus diukur saat operasi (Hidayat, 2010). c. USG USG dapat membantu dalam diagnosis retinoblastoma yang

menunjukkan ciri khas kalsifikasi dalam tumor (Hidayat, 2010). Sensitivitas USG mencapai 97%, dan dapat membedakan

retinoblastoma dengan retinopati prematuritas (Suhardjo & Hartono, 2007). d. Computerized Tomography (CT Scan) Pemeriksaan CT scan ini dilakukan untuk melihat adanya kalsifikasi, ukuran, serta perluasan tumor ke tulang (Rahman, 2008; Suhardjo & Hartono, 2007). e. MRI MRI lebih disukai sebagai modal diagnostik untuk menilai nervus optikus, orbita dan otak , serta untuk melihat perluasan tumor ke n. Optikus (Hidayat, 2010; Suhardjo &Hartono, 2007). MRI tidak hanya memberikan resolusi jaringan lunak yang lebih baik, tapi juga menghindari bahaya terpapar radiasi (Hidayat, 2010).

13

f. Lumbal punksi Jika diperkirakan adanya perluasan ke nervus optikus, lumbal punksi dilakukan. Lumbal punksi tidak di indikasikan pada anak tanpa abnormalitas neurologis atau adanya bukti perluasan ekstraokular (Hidayat, 2010). g. Pemeriksaan histopatologi Khas gambaran histopatologis Retinoblastoma yang biasanya dijumpai adalah adanya Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang. Keduanya dijumpai pada derajat terbatas pada diferensiasi sel retina. Homer-Wright rosettes juga sering dijumpai tetapi kurang spesifik untuk Retinoblastoma karena sering juga dijumpai pada tumor neuroblastik lain. Kalsifikasi luas biasa dijumpai (Hidayat, 2010). Sel berproliferasi membatasi lumen sehingga berbentuk seperti roset. Pada retinoblastoma yang sel roset-nya banyak, biasanya

berdiferensiasi baik, kurang ganas, dan radioresisten. Sedangkan yang sel roset-nya sedikit, biasanya diferensiasi buruk, ganas, dan radiosensitif, Tumor terdiri dari sel basophilic kecil (Retinoblast), dengan nukleus hiperkhromatik besar dan sedikit sitoplasma. (Suhardjo & Hartono, 2007). Kebanyakan Retinoblastoma tidak dapat dibedakan, tapi macammacam derajat diferensiasi Retinoblastoma ditandai oleh pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe (Hidayat, 2010) : 1) Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen central yang dikelilingi oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen. 2) Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel terbentuk mengelilingi masa proses eosinophilik

14

3) Flerettes adalah fokus sel tumor, yang mana menunjukkan differensiasi fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan tampak menyerupai karangan bunga. I. Diagnosis banding Diagnosis banding Retinoblastoma adalah sebagai berikut (Harbour, 2001): J. 1. Kondisi yang menyerupai retinoblastoma eksofitik a. Astrocytic hamartoma b. Choroidal hemangioma c. Chorioretinal coloboma d. Coats disease (congenital retinal telangiectasis) e. Combined hamartoma of the RPE and retina f. Familial exudative vitreoretinopathy g. Incontinentia pigmenti h. Myelinated nerve fibers i. Morning glory disc anomaly j. Norries disease k. Retinal capillary hemangioma l. Retinal dysplasia m. Retinopathy of prematurity n. Retinoschisis o. Rhegmatogenous retinal detachment p. PHPV 2. Kondisi yang menyerupai retinoblastoma endofitik a. Congenital cytomegalovirus retinitis and other retinitides b. Endophthalmitis c. Juvenile xanthogranuloma d. Leukemia e. Medulloepithelioma

15

f. Pars planitis and other uveitides g. Toxocariasis h. Toxoplasmic retinitis i. Vitreous hemorrhage j. Tuberous sclerosis 3. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukokoria a. Congenital cataract b. Congenital corneal opacity c. Persistent hyperplastic primary vitreous 4. Kondisi Lain a. Orbital cellulitis b. Traumatic hyphema Keterangan: RPE = retinal peripheral epithelium; PHPV = persistent hyperplastic primary vitreous K. Penatalaksanaan Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral, perluasan kejaringan ekstra okuler dan adanva tanda-tanda metastasis jauh. 1) Fotokoagulasi laser Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma stadium sangat dini. Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh darah yang menuju ke tumor akan tertutup sehingga sel tumor akan menjadi mati. Keberhasilan cara ini dapat dinilai dengan adanya regresi tumor dan terbentuknya jaringan sikatrik korioretina. Cara ini baik untuk tumor yang diameternnya 4,5 mm dan ketebalan 2,5 mm tanpa adanya vitreous seeding. Yang paling sering dipakai adalah Argon atau diode laser yang dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dengan interval masingmasingnya 1 bulan.

16

2) Krioterapi Dapat dipergunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan ketebalan 3 mm tanpa adanya vitreous seeding, dapat juga digabungkan dengan foto koagulasi laser. Keberhasilan cara ini akan terlihat adanya tanda-tanda sikatrik korioretina. cara ini akan berhasil jika dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval masing-masingnya 1 bulan. 3) Thermoterapi Dengan mempergunakan laser infra red untuk menghancurkan sel-sel tumor terutama untuk tumor-tumor ukuran kecil. 4) Radioterapi Dapat digunakan pada tumor-tumor yang timbul kearah korpus vitreus dan tumor-tumor yang sudah berinvasi ke nervus optikus yang terlihat setelah dilakukan enakulasi bulbi. Dosis yang dianjurkan adalah dosis fraksi perhari 190 - 200 cGy dengan total dosis 4000 - 5000 cGy yang diberikan selama 4 sampai 6 minggu. 5) Kemoterapi Indikasinya adalah pada tumor yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang pada perneriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada koroid dan atau mengenai nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang sudah dilakukan eksenterasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh. Kemoterapi juga dapat diberikan pada tumor ukuran kecil dan sedang untuk rnenghindari tindakan radioterapi. Retinoblastoma study Group menganjurkan penggunaan carboplastin, vincristine sulfate dan etopozide phosphate. Beberapa peneliti juga menambahkan cyclosporine atau dikombinasikan dengan regimen kemoterapi carboplastin, vincristine, etopozide phosphate.

17

Teknik lain yang dapat digabungkan dengan metode kemoterapi ini adalah: a) Kemotermoterapi dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan dengan termoterapi cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada pada fovea dan nervus optikus dimana jika dilakukan radiasi atau fotokoagulasi laser dapat berakibat teriadinya penurunan visus. b) Kemoradioterapi adalah kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi yang dapat dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik. 6) Enakulasi bulbi Dilalukan apabila tumor sudah memenuhi segmen posterior bola mata. Apabila tumor telah berinvasi kejaringan sekitar bola mata maka dilakukan eksenterasi (Rahman, 2008). Berdasarkan ukuran tumor penatalaksanaan tumor dapat dibagi: 1) Tumor kecil Ukuran tumor kecil dari 2 diameter papil nervus optikus tanpa infiltrasi ke korpus vitreus atau subretinal. Dapat dilakukan fotokoagulasi laser, termoterapi, krioterapi dan kemoterapi. 2) Tumor medium a) Brakiterapi untuk tumor ukuran kecil dari 8 diarneter papil nervus optikus terutama yang tidak ada infiltrasi ke korpus vitreous juga dipergunakan untuk tumor-tumor yang sudah mengalami regresi. b) Kemoterapi c) Radioterapi. Sebaiknya hal ini dihindarkan karena komplikasinya dapat mengakibatkan katarak, radiasi retinopati. 3) Tumor besar a) Kemoterapi untuk mengecilkan tumor dan ditambah pengobatan lokal seperti krioterpi dan fotokoagulasi laser yang bertujuan untuk menghindarkan enakulasi dan radioterapi. Tindakan ini juga

18

memberikan keuntungan apabila terdapat tumor yang kecil pada mata sebelahnya. b) Enakulasi bulbi dalakukan apabila tumor yang diffuse pada segmen posterior bola mata dan yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya rekurensi. 4) Tumor yang sudah meluas ke jaringan ekstra okuler maka dilakukan eksenterasi dan diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi. 5) Tumor yang sudah bermetastasis jauh, hanya diberikan kemoterapi saja (Rahman, 2008) L. Komplikasi Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila tidak diobati secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun setelah didiagnosis akan bermetastase ke otak atau berrnetastase jauh secara hematogen (Paduppai, 2010). M. Prognosis Prognosis dan survival rate sangat tergantung pada stadium klinis tumor pada saat didiagnosis. Apabila ditemukan dalam stadium dini maka prognosanya akan lebih baik (Paduppai, 2010).

19

BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina yang ditemukan pada anakanak terutama pada usia dibawah 5 tahun. 2. 40% retinoblastoma adalah herediter, 25% diantaranya bilateral dan 15%

unilateral Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 250-300 kasus baru didiagnosa setiap tahun 3. Tanda-tanda retinoblastoma yang paling sering dijumpai adalah leukokoria (white pupillary reflex) yang digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cats-eye appearance, strabismus dan inflamasi okular 4. Retinoblastoma terdiri atas dua tipe, yaitu retinoblastoma herediter yang bersifat bilateral (6%) dan retinoblastoma sporadik yang bersifat unilateral ( 96%) 5. Diagnosis retinoblastoma di tegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, gambaran khas pada pemeriksaan histopatologi ditemukan Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang. Keduanya dijumpai pada derajat terbatas pada diferensiasi sel retina. 6. Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral, perluasan kejaringan ekstra okuler dan adanva tanda-tanda metastasis jauh. 7. Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila tidak diobati secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun setelah didiagnosis akan bermetastase ke otak atau berrnetastase jauh secara hematogen 8. Prognosis sangat tergantung pada stadium klinis tumor pada saat didiagnosis. Apabila ditemukan dalam stadium dini maka prognosanya akan lebih baik.

20

BAB IV DAFTAR PUSTAKA Anwar, F, et al, 2000. Retinoblastoma Expression in Thyroid Neoplasms. (http://www.nature.com/modpathol/journal/v13/n5/ Desember 2012). Carol et al. 1999. Thermotherapy for Retinoblastoma. Arch Ophthalmol.Vol : 117:885-893 Harbour, William J. 2001. Retinoblastoma: Pathogenesis and Diagnosis in American Cancer Society. Atlas of Clinical Oncology Tumours of the Eye and Ocular Adnexa. Vol; 258 Hidayat, R. 2010. Perbandingan Hasil Pengobatan Retinoblastoma antara Tindakan Kemoterapi diikuti Enukleasi dengan Tindakan Enukleasi diikuti Kemoterapi di RS H. Adam Malik Medan periode 2008-2009. Tesis. Medan: Departemen Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK UI: Jakarta Jamalla, R. .2010. Retinoblastoma Registry Report-Hospital Kuala Lumpur Experience. (http://www.crc.gov.my/documents/Journal/4%20MJM%20CRC%202010%28 128-130%29.pdf, 25 desember 2012). Kartawiguna, E. 2001. Faktor-faktor yang berperan pada karsinogenesis. (http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Vol.20_no.1_3.pdf, Desember 2012). Manjoer, A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. FK UI: Media Aesculapius. Paduppai, Suliati. 2010. Characteristic Of Retinoblastoma Patiens At Wahidin 24 pdf/3880097a.pdf, 25

Sudirohusodo Hospital 2005-2010. The Indonesian Journal of Medical Science. Volume : 2 : 1-7 21

Rahman, Ardizal. 2008. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma. Medical Journal of the Andalas University. Vol: 57 Rosdiana, Nelly. 2011. Gambaran Klinis dan Laboratorium Retinoblastoma. Sari Pediatri. Vol:2(5):319-22. Rosdiana, N. 2009. Retinoblastoma Familial. (http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/ jurnal/31093336.pdf, 24 Desember 2012). Suhardjo & Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM : Yogyakarta Supartoto, A & Utomo, P.T. 2007. Onkologi Mata dan Penyakit Orbita dalam: Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tomlinson, D. 2006. Pediatric Oncology Nursing. Berlin: Springer. Vajzovic et al. 2010. Supraselective intra-arterial chemotherapy: evaluation of treatment-related complications in advanced retinoblastoma. Clinical Ophthalmology. Vol : 5 (171176). Vaughan, D.G., et al. 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya medika.

22

Anda mungkin juga menyukai