Anda di halaman 1dari 40

CASE REPORT STRUMA NODUSA NON TOKSIK

Oleh :

Defi Anggraini, S.Ked Elfrida Sihaloho, S.Ked Jayanti Supriyatin, S.Ked Meta Gapila, S. Ked

Preceptor : dr. Wien, Sp. PA

KEPANITERAAN KLINIK SMF PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA RSUD DR. H. ABDOEL MULUK AGUSTUS 2013

STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Suku Bangsa Agama Status : An. AR : 10 tahun : Laki laki : Menggala, Tulang Bawang : Pelajar : Lampung : Islam : Belum menikah

II. ALLOANAMNESIS dan AUTOANAMNESIS Keluhan Utama Bercak kemerahan pada lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, pipi kanan serta paha kanan sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan Tambahan Kebas, gatal, panas, serta kulit terasa kering pada daerah tersebut. Riwayat penyakit sekarang Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul bercak kemerahan pada pipi kanan sebesar uang logam 100 500 rupiah, tidak terasa gatal, panas dan nyeri. 4 bulan kemudian pasien merasakan timbul bercak kemerahan yang serupa pada bagian lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri serta kaki kanan yang dirasakan semakin lama semakin luas. Keluhan ini disertai dengan rasa kesemutan dan kebas, gatal, panas dan nyeri pada bercak kemerahan. Kemudian, pasien memeriksakan dirinya ke RS Menggala dan diberikan 3 macam obat tablet yang pasien lupa nama obat yang telah

diberikan. Setelah meminum obat, pasien merasakan keluhan panas, gatal, dan nyeri berkurang. Rasa kebas dan kesemutan masih dirasakan pasien. 1 minggu yang lalu keluhan gatal, panas dan nyeri timbul kembali terutama pada daerah bercak kemerahan. Selain itu keluhan rasa kebas dan kesemutan serta kulit menjadi kering pada daerah bercak kemerahan tidak mengalami perubahan. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal orang tua pasien. Pasien kemudian berobat kembali ke RS. Menggala, namun karena keluhannya tersebut akhirnya pasien disarankan untuk memeriksakan dirinya ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Abdoel Muluk. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien belum pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya, riwayat asma disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga Orang tua pasien mengaku tidak ada keluarganya yang menderita penyakit seperti pasien. Riwayat Lingkungan Menurut orang tua pasien, dilingkungannya tidak ada yang menderita penyakit seperti ini. Riwayat Pengobatan Pengobatan yang pernah didapat: Rumah Sakit Menggala : 3 macam obat minum

III. STATUS GENERALIS Keadaan umum : Tampak sakit ringan Kesadaran Keadaan Gizi : Compos mentis : Cukup

TD Nadi Respirasi Suhu Berat badan Kepala Thoraks Abdomen KGB Extermitas Saraf perifer

:: 86 x/menit : 21 x/menit :: 20 kg : Alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Tidak ditemukan deformitas : Tidak ditemukan penebalan

IV. STATUS DERMATOLOGIS Lokasi Inspeksi : Regio Fascia Dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan palmar dekstra sinistra : Nampak makula eritema berukuran plakat, lesi multiple sirkumskrip Lokasi Inspeksi Tes manipulasi : Regio femoralis anterior 1/3 distal : Nampak lesi punched out berukuran plakat, soliter : Pemeriksaan saraf tepi dengan jarum dan kapas.

4.1 Pemeriksaan Saraf Tepi 1. N. Ulnaris a. Pembesaran saraf (+) pada n. Ulnaris sinistra, disertai rasa nyeri. b. Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis (-) c. Clawing kelingking dan jari manis (-) d. Atrofi hipotenar dan otot interosseous dorsalis pertama (-)

2. N. Medianus a. Pembesaran saraf (-) b. Anestesi ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah (-) c. Aduksi ibu jari (-) d. Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah (-) e. Kontraktur ibu jari (-) 3. N. Radialis a. Anestesi dorsum manus (-) b. Tangan gantung (-) c. Ekstensi jari jari atau pergelangan tangan (-) 4. N. Poplitea lateralis a. Kaki gantung atau foot drop (-) 5. N. Tibialis posterior a. Anestesi pada telapak kaki (-) b. Anestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior (-) c. Clow toes (-) 6. N. Facialis a. Lagoftalmus (-) 4.2 Pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit 1. Tes raba halus dengan ujung jari kapas halus yang sudah dilancipkan Hipoanestesi pada 1/3 distal antebrachii dekstra sinistra, dan pada daerah olecranon sinistra dekstra. Hipoanestesi pada 1/3 distal regio femoralis anterior. 2. Tes nyeri Nyeri (+) pada 1/3 distal antebrachii dekstra sinistra, dan pada daerah olecranon sinistra dekstra. Nyeri (+) pada 1/3 distal regio femoralis anterior. 4.3 Pemeriksaan motorik Dalam Batas Normal

4.4 Pemeriksaan komplikasi dan deformitas Tidak terdapat tanda tanda komplikasi dan deformitas pada seluruh tubuh. V. LABORATORIUM Tidak dilakukan VI. RESUME Laki-laki 10 tahun datang bersama dengan orang tuanya dengan keluhan 6 bulan yang lalu timbul bercak kemerahan sebesar uang logam 100-500 rupiah, tidak terasa gatal, panas, dan nyeri pada lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, pipi kanan serta paha kanan. 4 bulan kemudian bercak kemerahan meluas disertai rasa kebas dan kesemutan pada bercak kemerahan. Pasien memeriksakan dirinya ke RS Menggala dan diberikan 3 macam obat tablet minum. 1 minggu yang lalu keluhan gatal, panas dan nyeri timbul. Selain itu keluhan rasa kebas, kesemutan pada bercak kemerahan tidak mengalami perubahan. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal orang tua pasien. Status generalis dalam batas normal, pemeriksaan fisik ditemukan alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral. Status dermatologis, pada regio fascia dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan palmar dekstra sinistra nampak makula eritema berukuran plakat, lesi multiple sirkumskrip. Pada regio femoralis anterior 1/3 distal nampak lesi punched out berukuran plakat, soliter. Pada pemeriksaan saraf tepi ditemukan pembesaran n. Ulnaris sinistra. Hipoanestesi ditemukan pada pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit terutama pada daerah bercak kemerahan.

VII.DIAGNOSIS BANDING Morbus Hansen tipe Multibasiler Tinea versikolor Psoriasis

VIII. DIAGNOSIS KERJA Morbus Hansen tipe Multibasiler

IX.

PENATALAKSANAAN Umum Meningkatkan kebersihan Diet TKTP Merawat kesehatan kulit

Khusus Multipel Drug Treatment (MDT) Rifampisin 450 mg/bulan sebelum makan Klofazimin (lamprene) 50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan DDS 50 mg/hari

X.

PEMERIKSAAN ANJURAN Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan Histopatologis

XI.

PROGNOSIS Quo ad Vitam Quo ad Fungtionam Quo ad Sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

ANALISIS KASUS

1. Apakah diagnosis pada kasus sudah tepat? Untuk mendiagnosis lepra/kusta/morbus hansen dapat dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan penunjang dapat dilakukan selain untuk membantu menegakan diagnosis dapat juga untuk pengamatan pengobatan, yaitu dapat berupa pemeriksaan bakteriologis dan histopatologis. Pada kasus, dari hasil anamnesis didapatkan adanya bercak kemerahan yang pada pipi kanan, lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, serta paha kanan yang dirasakan semakin lama semakin meluas. Pasien juga mengeluh adanya rasa kebas/mati rasa dan kulit terasa kering pada daerah bercak kemerahan tersebut. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral, pada regio fascia dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan palmar dekstra sinistra nampak makula eritema berukuran plakat multiple dan sirkumskrip. Pada femoralis anterior 1/3 distal nampak lesi punched out berukuran plakat, soliter. Pemeriksaan saraf tepi diketahui terjadi pembesaran pada N. Ulnaris dan pada pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit didapatkan adanya hipoanestesi pada daerah terdapatnya bercak kemerahan. Untuk pemeriksaan penunjang tidak dilakukan. Menurut Soenarto Kartowigno pada buku Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit tahun 2011 diagnosis morbus hansen dapat ditegakan bila ditemukan 2 dari 3 tanda kardinal pertama atau ditemukannya BTA. Adapun tanda kardinal pada penyakit morbus hansen : Anestesi, terutama pada daerah yang terkena. Pembesaran saraf pada tempat predileksi.

Lesi kulit, lesi tuberkuloid pada pasien berkulit gelap,berwarna hipopigmentasi baik makular atau infiltratif. Pada pasien berkulit terang warna lesi seperti tembaga atau berwarna merah.

Pemeriksaan laboratorium (slit skin smears) pada lesi lepra tipe lepromatosa atau borderline ditemukan BTA

Untuk kepentingan pengobatan, menurut WHO, tipe kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Adapun perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pausibasiler (PB) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hanya satu cabang saraf Negatif Multibasiler (MB) > 5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi simetris Banyak cabang saraf Positif

Lesi Kulit

Kerusakan saraf BTA

Dari tanda kardinal diatas, pada kasus ini memenuhi ketiga tanda kardinal pertama dan pada penentuan morbus hansen pada kasus ini memenuhi untuk tipe multibasiler. Sehingga dapat disimpulkan pasien didiagnosis menderita morbus hansen tipe multibasiler.

2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat? Obat anti kusta yang paling banyak digunakan saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulon), klofazimin dan ripamfisin. Selain itu terdapat antibiotik lain sebagai pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minoksiklin, dan klaritromisin. Untuk mencegah kemungkinan timbulnya resistensi dilakukan pengobatan kombinasi atau Multi Drug Treatment (MDT). Selain mencegah resistensi, penggunaan MDT aman, efektif serta mudah diberikan

dalam regimen terapi. Adapun regiemen terapi pada morbus hansen tipe multibasiler sebagai berikut : DDS 100 mg/hari 50 mg/hari atau 1 mg/KgBB/hari Ripamfisin 600 mg/bulan 450 mg/bulan atau 10 mg/KgBB/bln Klofamizin 50 mg/hari 300 mg/bulan 50 mg selang sehari 150 mg/bulan

Dewasa Anak-anak (10-14 tahun)

Untuk penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat karena sudah sesuai dengan pengobatan morbus hansen tipe multibasiler yaitu dengan menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) untuk anak-anak. Untuk ripamfisin sebaiknya diberikan sebelum makan karena absorpsi ripamfisin terganggu bila diberikan bersama makanan. Selain meningkatkan kebersihan dan menjaga kebersihan kulit dan perlu diedukasi terhadap pasien dan keluarganya untuk mencegah penularan, terhadap anggota keluarga lain. Diet makanan tinggi kalori dan tinggi protein baik untuk meningkatkan sistem imunitas dan nutrisi dari pasien sendiri, sehingga dapat menunjang proses penyembuhan.

TINJAUAN PUSTAKA

10

A. SINONIM

Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta, leprosy, Hansens disease, dan Hanseniasis.

B. DEFINISI

Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer (Fauci, 2008). Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli, 2:2003). Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Hiswani, 1:2001).

C. ETIOLOGI

Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil cepat asam (Brooks, 453:2005).

11

Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya (Isselbacher, 808:1999). Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).

D. EPIDEMIOLOGI 1. Distribusi Menurut Geografi

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus lepra terjadi pada wilayah dengan iklim tropis. Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah penduduk.

12

Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).
2. Distribusi Menurut Waktu

Seperti terlihat pada tabel di bawah, ada 17 negara yang melaporkan 1.000 atau lebih kasus baru selama tahun 2005. Tujuh belas negara ini memiliki kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di dunia (Depkes, 7:2006). Dari tabel terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, akan tetapi sejak tahun 2002 pada berbagai negara terjadi peningkatan kasus baru seperti di Republik Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Filipina (Depkes RI, 7:2006) Tabel Penemuan kasus baru di 17 negara dengan jumlah pasien kusta terbanyak No . 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Negara Angola Bangladesh Brazil China D. R. Congo Egypt Ethiopati India Indonesia Madagascar Mozambique Myanmar Nepal Nigeria Philippines Jumlah kasus baru ditemukan 1993 2002 2003 2004 2005 339 4.727 2.933 2.109 1.877 6.943 9.844 8.712 8.242 7.882 34.235 38.365 49.206 49.384 38.410 3.755 1.646 1.404 1.499 1.658 3.927 5.037 7.165 11.781 10.737 1.042 1.318 1.412 1.216 1.134 4.090 4.632 5.193 4.787 4.698 456.000 473.658 367.143 260.063 161.457 12.638.740 12.377 14.641 16.549 19.695 740 5.482 5.104 3.710 2.709 1.930 5.830 5.907 4.266 5.371 12.018 7.386 3.808 3.748 3.571 6.152 13.830 8.046 6.958 6.150 4.381 5.078 4.799 5.276 5.024 3.442 2.479 2.397 2.254 3.130

13

16 Sri Lanka 17 U.R.Of Tanzania Jumlah Jumlah Global .

944 2.731 555.307 (94%) 590.933

2.214 6.497 599.945 (97%) 620.638

1.952 5.279

1.995 5.190

1.924 4.237

495.074 389.027 279.664 (96%) (95%) (94%) 514.718 407.791 296.499

3. Distribusi Menurut Faktor Manusia a. Etnik atau Suku

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
b. Faktor Sosial Ekonomi

Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).
c. Distribusi Menurut Umur

14

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI, 8:2006).
d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).
4. Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta a. Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).
b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak

15

diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
c. Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
d. Cara Masuk ke Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).
e. Pejamu

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).

16

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).

E. PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC ( Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009). Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009). Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan

17

mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009). Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009). APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 8:2009).
1. Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam

18

makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).
2. Patogenesis Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction, dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009). Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009).

19

F. Gambaran Klinis

Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis. Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling: 1. Tipe Tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta. 2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 3. Tipe Mid Borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

20

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. 5. Tipe Lepromatous Leprosy Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling Lepromatous Borderline Mid Borderline Sifat Leprosy (LL) Lepromatous (BL) (BB) Lesi Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome

21

Difus, Papul, Nodul Papul Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anastesia BTA Lesi Kulit Sekret Hidung Tes Lepromin Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus Berkilat Tidak Jelas Biasanya Tak Jelas

Shaped (Kubah), Punched Out Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit masih ada kulit sehat sehat jelas ada Hampir Simetris Halus Berkilat Agak Jelas Tak Jelas Asimetris Agak Kasar/berkilat Agak Jelas Lebih Jelas Agak Banyak Negatif Biasanya Negatif

Banyak (ada globus) Banyak Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif Negatif

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf. Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot

22

lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jarijari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung ( foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes, dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer

mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama-sama akan menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena

23

kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya. Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satelliteskin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler. Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekan dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satu atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.

G. Pemeriksaan Pasien

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di

24

daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar.
1. Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).
2. Tes Fungsi Saraf

a. Tes Sensoris (Gunakan kapas, jarum, tabung reaksi berisi air hangat, dingin) Rasa Raba Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga

25

diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003). Rasa Nyeri Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003). Rasa Suhu Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu (Daili, 22:2003). b. Tes Otonom Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis. Tes dengan pensil tinta : Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal. Tes pilokarpin : Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin subkutan.Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering. c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)

26

Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa: Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

3. Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan

27

paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP 2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP 3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP 4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP 5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP 6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 % Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
4. Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan

28

banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
5. Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi dipstick.
6. Pemeriksaan Lepromin

oleh

M.leprae.

Pemeriksaan

serologik

adalah

MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis. Reaksi Mitsuda bernilai : 0 +1 +2 +3 Papul berdiameter 3 mm atau kurang Papul berdiameter 4 6 mm Papul berdiameter 7 10 mm Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

H. Diagnosis

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis

29

penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu: 1. Bercak kulit yang mati rasa Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri. 2. Penebalan saraf tepi Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu. 3. Ditemukan kuman tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
I.

Diagnosis Banding Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis alba, Tinea korporis, dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

30

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia. Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen. Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva. Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris

31

adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total. Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin. Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball). Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut ( glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing. Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.

32

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen. Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik. Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll. Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada. Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

33

J.

Pengobatan Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo. Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung. Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

34

1. Pausi Basiler (PB) 2. Multi Basiler (MB) Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug

treatment.Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (25).

Rifampicin Dewasa (50-70 kg) Anak (5-14 th) 600 mg 300 mg

Ofloxacin 400 mg 200 mg

Minocyclin 100 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.

35

Rifampicin Dewasa

Dapson

600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di Diminum di depanrumah petugas kesehatan

Anak-anak (10-14 th)

450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di Diminum di depanrumah petugas kesehatan

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun. Rifampicin Dewasa 600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan Dapson Lamprene

100 mg/hari diminum 300 mg/bulan di rumah diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dgn 50 mg/hari diminum di rumah 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan di rumah diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dg 50 mg selang sehari diminum di rumah

Anak-anak (10-14 th)

450 mg/bulan diminum di depan petugas

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

36

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari. Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
K. Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu: 1. Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah: Lama Pengobatan 6 Bulan Jenis Obat Klofazimin Dosis 50 mg/hari

37

Diikuti dengan 18 bulan

Ofloksasin Minosiklin Klofazimin dengan Ofloksasin atau Minosiklin

400 mg/hari 100 mg.hari 50 mg/hari 400 mg/hari 100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di atas. 2. Penderita yang menolak kofazimin Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy

merekomendasikan juga regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan: -. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan, -. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan -. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan 3. Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB, obat ini harus dihentikan. Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara: Dewasa Anak-anak
L. Komplikasi

Rifampisin 600 mg/bln 450 mg/bln

Klofazimin 50 mg/hari dan 300 mg/bulan 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun

38

ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

M. Prognosis

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondaryamyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. Kusta. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 5. Jakarta. FK UI. 2007 : 73-88 Siregar RS. Kusta. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi 2. Jakarta 2005. Warouw W. Penyakit kulit oleh karena mikobakteri. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Dermatologi Umum. Manado. 2004 :13-20 Kosasih A, dkk. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta.FKUI. 2007 : 73-88

39

Modul Orientasi Program P2 Kusta bagi Co Ass.DinKes SULUT. Manado. 2007

40

Anda mungkin juga menyukai