ABSTRAK Penelitian ini berjudul Fenomena Dindustrialisasi di Provinsi Jambi. Tujuan penelitain ini adalah untuk Mendeskripsikan fenomena deindustrialisasi yang terjadi di Provinsi Jambi dan mengetahui pengaruh pembentukan modal tetap bruto (PMTB), tingkat keterbukan dan indeks harga konsumen (IHK) terhadap deindustrialisasi di Provinsi Jambi. Jenis data yang digunakan adalah data makro Provinsi Jambi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Model yang terbentuk akan terdiri atas dua, yakni untuk model pertama dengan variabel dependent rasio PDRB sektor Industri terhadap total PDRB dan model kedua dengan variabel dependent rasio total pekerja sektor industry terhadap total pekerja. Masingmasing variabel dependent tersebut dipasangkan dengan tiga variabel independent . berupa variabel Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang di logatritma naturalkan, tingkat keterbukaan dan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dilogaritma naturalkan. dengan series waktu mengikuti variabel dependentnya. Model pertama menggunakan series waktu 1982-2010 dan model kedua menggunakan series waktu 1990-2010. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Linear Berganda Untuk Time Series dan Error Correction Model (ECM), dan diolah dengan bantuan software Eviews 6 dan SPSS 17. Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa untuk model pertama, dengan menggunakan analisis regresi berganda hanya konstanta dan variabel tingkat keterbukaan yang berpengaruh masing-masing secara positif dan negative dan signifikan terhadap variabel rasio PDRB. Sedangkan untuk model kedua dengan model ECM, untuk model jangka pendek hanya speed of adjustment yang berpengaruh signifikan dan bernilai negative, sedangkan tiga variabel bebas lainnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rasio tenaga kerja. Sedangkan untuk model jangka panjang, model dinyatakan tidak fit.
LATAR BELAKANG Pertumbuhan ekonomi adalah suatu indikator yang menunjukkan perkembangan kegiatan perekonomian di suatu negara. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diharapkan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun karena pertumbuhan yang terus mengalami kenaikan akan sangat mempengaruhi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi, Indonesia mengalami
pertumbuhan yang tidak seimbang karena perekonomiannya mayoritas bertumpu pada sektor jasa atau sektor non-tradeable yang tidak bisa dipasarkan dengan leluasa secara internasional. Sedangkan untuk sektor yang berkaitan dengan produksi dan manufaktur (tradeable) cenderung mengalami penurunan dan cenderung di bawah pertumbuhan non-tradeable. Selama periode 2000-2009, ratarata pertumbuhan sektor non-tradeable sebesar 6,92 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,87 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan sektor radeable sebesar 3,46 persen jauh dibawah rata-rata pertumbuhan sektor non tradeable dan pertumbuhan ekonomi (Basri, 2009 dalam Susi Metinara 2011). Sektor manufaktur atau sektor industry merupakan salah satu sektor yang cukup mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Hal tersebut didukung oleh teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966) yang menyebutkan bahwa sektor manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam sistem perekonomian bagi suatu negara atau wilayah (Dasgupta dan Singh, 2006 dalam Susi Metinara 2011). Hal tersebut yang mendorong banyak negara berlomba-lomba memicu pertumbuhan ekonominya melalui penerapaan industrialisasi khususnya industry manufaktur. Namun belakangan ini , isu terjadinya deindustrialisasi kian marak diperbincangkan melanda beberapa negara. Indonesia pun tidak luput dari isu tersebut.
Apabila kontribusi industri manufaktur kian meningkat PDB (Produk Domestik Bruto), maka suatu negara bisa dikatakan mengalami industrialisasi. Dengan demikian, industrialisasi memiliki kinerja yang sangat konkret. Konsekuensinya, tidak ada industrialisasi ketika industri manufaktur tak memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, ini menunjukkan industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia sedang mengalai fase deindustrialisasi.
Menurut Rucky, 2008 (dalam Diah Ananta Dewi tahun 2010) menjelaskan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah, penurunan nilai tambah sektor manufaktur, penruruan tingkat investasi, proporsi nilai tambah sektor pertanian terhdap PDB semakin menurun, dan juga lemahnya hubungan antara sektor pertambangan dan penggalian dengan industry pengolahannya. Deindustrialisasi seperti ini memebrikan dampak buruk terhadap perekonomian.
Provinsi Jambi yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang tercakup dalam kawasan KESR-IMS GT. KESR adalah singkatan dari Kerjasama ekonimi sub regional. Dimana IMS GT menekankan pengembangan kerjasama pad sektor perdagangan dan industry, penambangan dan energy, pertanian dan perternakan, pariwisata dan transportasi, serta pendidikan dan pelatihan sebagai wahana untuk transfer teknologi. Oleh karena itu peningkatan sektor industry khususnya yang berbasis manufaktur di provinsi Jambi harus terus ditingkatkan.
Grafik 1. Kontribusi Sektor Industri, Sektor Perdagangan dan Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jambi 1995-2010.
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa kontribusi sektor industry terhadap pertumbuhan ekonomi masih di bawah sektor perdagangan dan pertanian serta cenderung mengalami penurunan setelah tahun 2000. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2000. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terjadinya deindustrialisasi di Indonesia dalam skala nasional nasional tidak akan luput dari deindustrialisasi yang terjadi di level provinsi. Sehingga perlu untuk dikaji lebih mendetail bagaiman fenomena deindustrialisasi juga terjadi pada level provinsi. Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti fenomena deindustrialisasi yang terjadi di provinsi Jambi dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya.
TUJUAN 1. Mendeskripsikan fenomena deindustrialisasi yang terjadi di Provinsi Jambi 2. Mengetahui pengaruh pembentukan modal tetap bruto (PMTB), tingkat keterbukan dan indeks harga konsumen (IHK) terhadap deindustrialisasi di Provinsi Jambi ?
LANDASAN TEORI 1. Konsep Deindustrialisasi Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan kontribusi output sektor manufaktur dalam pendapatan nasional maupun penurunan pangsa (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.Dalam penelitian ini, deindustrialisasi mengacu pada penurunan pangsa (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja seluruh sektor. Apabila produktivitas tenaga kerja meningkat dengan cepat, deindustrialisasi dapat terjadi meskipun output sektor manufaktur meningkat atau konstan (Susi Metinara 2011). Blackaby (1979) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000) mendefinisikan Deindustrialisasi sebagai penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau penuruan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional. Singh (1982) diacul dalam Jalilian dan weiss (2000) menyatakan deindustrialisasi sebagai ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai impornya untuk mencapai kondisi full employment dalam perekonomian. Rowthorn dan Wells (1987) diacu dalam IMF (1997) menyatakan penurunan proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja
sebagai deindustrialisasi. Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Bazen dan Thirwall (1989) yang diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000) menyatakan deindustrialisasi sebagai penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik secara absolute maupun relative terhadap total pekerja.
2.
Pembentukan Modal Tetap Bruto Yang dimaksud dengan PMTB adalah pengeluaran untuk barang modal
yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan bukan merupakan barang konsumsi. PMTB mencakup bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, bangunan lain seperti jalan, dan bandara, serta mesin peralatan. Pengeluaran barang modal dan bangunan untuk keperluan militer tidak tercakup di sini tetapi digolongkan sebagai konsumsi pemerintah. (Neraca Arus Dana Indonesia Tahunan 2003-2008) Secara rinci, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terdiri dari
a. Penambahan bersih (baru atau bekas) oleh produsen, aset berwujud yang dapat diproduksi kembali yang mempunyai umur satu tahun atau lebih dan digunakan bukan utuk keperluan militer. b. Pengeluaran atas peningkatan dan perubahan barang-barang modal yang diharapkan memperpanjang umur barang tersebut atau dapat meningkatkan produktivitasnya. c. Pengeluaran atas reklamasi tanah dan perbaikannya, perkembangan dan perluasan perkebunan, pertambangan, hutan, lahan pertanian dan perikanan. d. Penambahan ternak yang dipelihara untuk diambil tenaga, susu, bulu dan pembibitan langsug ternak potong. PMTB menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan perekonomian daerah. Untuk meningkatkan pertumbuhan daerah dan memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat luas maka penentuan target investasi (PMTB) menjadi hal yang sangat penting karena dengan diketahuinya seberapa besar investasi yang dibutuhkan maka akan dapat diketahui perkiraan pertumbuhan ekonomi daerah. Penghitungan target investasi pada dasarnya sama dengan mencari berapa investasi yang dibutuhkan untuk dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan. Kaitan antara investasi dan laju pertumbuha ini merupakan inti pokok dari suatu perencanaan pembangunan, dan perencanaan kebutuhan investasi merupakan masalah yang cukup rumit dalam kegiatan perencanaan tersebut. Penetapan sasaran laju pertumbuhan ekonomi mengandung implikasi yang cukup besar dalam memperkirakan kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut. Semakin tinggi sasaran laju pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula kebutuhan investasi di masa mendatang.
3.
Tingkat Keterbukaan (Degree of Openess) Tingkat keterbukaan (Degree of Openness)1suatu negara merupakan
ukuran seberapa besar ekonomi negara tersebut bergantung kepada perdagangan luar negerinya (ekspor dan impor). Tingkat keterbukaan (Openness) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
4.
Indeks Harga Konsumen (IHK) Reisman (2002) menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam
terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal dan profit yang diharapkan menjadi berkurang.(Susi Metinara 2011). Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus (kontinu). Inflasi merupakan salah satu indikator penting yang dapat memberikan informasi tentang dinamika perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Inflasi dihitung dengan menggunakan indeks harga konsumen, dimana indeks harga konsumen adalah nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga (household). IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan kontrak lainnya. Untuk memperkirakan nilai IHK pada masa depan, ekonom menggunakan indeks harga produsen, yaitu harga rata-rata bahan mentah yang dibutuhkan produsen untuk membuat produknya. Rumus IHK (modifikasi Laspeyres):
In
P
i 1
P ni
P
i 1
( n 1) i k
In Pni P(n-1)i
= Indeks periode ke-n = Harga jenis barang i, periode ke-n = Harga jenis barang i, periode ke-(n-1)
= Nilai konsumsi jenis barang i, periode ke-(n-1) = Nilai konsumsi jenis barang i pada tahun dasar = Jumlah jenis barang paket komoditas
Fenomena mengenai deindustrialisasi sudah sering diteliti oleh peneliti baik itu dari dalam negeri amupun dari luar negeri. Rowthorn dan Ramaswamy (1997), "Deindustrialization:Causes and Implication" menggunakan data set 21 Negara OECD dari 23 Negara OECD (tidak termasuk Luxemberg dan Iceland). Tahun 1963, 1970, 1975, 1980, 1985, 1990 dan 1994. Dengan variabel Dependen: proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persentase). Independen: pendapatan per kapita, persentase pangsa neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) terhadap PDB, pangsa investasi dalam PDB dan pengangguran. Data tersebut diolah dengan menggunakan metode regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat hubungan yang non linear antara pendapatan per kapita dan share pekerja manufaktur sehingga pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat justru menyebabkan proporsi pekerja di sektor manufaktur menurun. Deindustrialisasi memberikan implikasi terhadap
pertumbuhan dan industri dalam kelangsungan ekonomi. Proses deindustrialisasi yang terus berlanjut, akan mempengaruhi produktivitas total dimana produktivitas total akan tumbuh berdasarkan pertumbuhan sektor jasa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan standar hidup selanjutnya akan dipengaruhi oleh pertumbuhan produktivitas sektor jasa. Implikasi lain dari deindustrialisasi adalah peranan serikat perdagangan (trade union) dapat berubah pada perekonomian yang telah maju. Perubahan peranan tersebut terjadi dalam hal penentuan standar upah pekerja.(Dalam Susi Metinara 2011) Sedangkan Dasgupta dan Singh (2006), berjudul "Manufacturing,Services, and melalui penelitiannya yang Deindustrialization in
Premature
Developing Countries: A Kaldorian Analysis" di 14 negara berkembang, tahun 1986-2000 dengan menggunakan variabel Dependen: kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen) Independen: pendapatan per kapita, proporsi gross fixed capital terhadap PDB, tingkat keterbukaan perdagangan, dummy negara Amerika Latin dan China memperoleh hasil bahwa Negara-negara berkembang dengan pendapatan perkapita pada level rendah dan menengah
mempunyai income elasticity of demand terhadap barang-barang manufaktur tetap tinggi. Negara yang mengalami pathological deindustrialization seharusnya mengevaluasi kebijakan industrinya agar pertumbuhan ekonominya lebih terarah dan tepat sasaran. Sebaliknya negara yang mengalami deindustrialisasi positif, kebijakan industri yang ada tidak perlu direvisi kembali. Analisis deindustrialisasi dengan pendekatan Kaldorian pada negara berkembang memberikan fakta bahwa terdapat dua tipe deindustrialisasi yaitu deindustrialisasi positif terjadi karena sektor manufakturnya berkembang ke arah sektor yang bersifat informal sehingga tidak membawa dampak buruk pada perekonomian dan deindustrialisasi negatif lebih disebabkan arah pengembangan sektor manufaktur yang salah atau proses industrialisasinya mengalami kegagalan sehingga tidak mampu memberikan pertumbuhan ekonomi yang sustain. (Dalam Susi Metinara 2011) Selain penelitian yang dilakukan di luar Indonesia, Susi Metinara 2011 melakukan penelitian terkait deindustrialisasi melalu thesis yang berjudul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia Tahun 20002009. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan deindustrialisasi dalam penelitian ini (dependent variable) adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja, pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas. Sementara variabel yang digunakan untuk menjelaskan faktorfaktor yang memengaruhi deindustrialisasi (independent variable) adalah pendapatan per kapita, pertumbuhan produktivitas, keterbukaan ekonomi (openness), penanaman modal asing (PMA), jumlah tenaga kerja terampil (human capital), dan tingkat pengangguran. Estimasi model menggunakan pendekatan metode Fixed EffectGeneral Least Square (FE-GLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktorfaktor domestik (pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas) serta globalisasi ekonomi (keterbukaan ekonomi dan penanaman modal asing) berpengaruh terhadap deindustrialisasi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, human capital (jumlah tenaga kerja terampil) turut berpengaruh terhadap deindustrialisasi alaupun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian, memperlihatkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir merupakan deindustrialisasi negatif.
Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan melainkan akibat sejumlah guncangan (shock) dalam sistem perekonomian. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Diah Ananta Dewi tahun 2010, melalui thesisnya yang berjudul : Deindustrialisasi di Indonesai 1983-2008 : Analisis Dengan Pendekatan Kaldorian. Variabel yang digunakan adalah proporsi pekerja sektor manufaktur dalam total pekerja yang menggambarkan
deindustrialisasi. Hasil penelitan ini menujukkan bahwa sektor manufaktur menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian. Pertumbuhan sektor manufaktur memicu pertumbuhan sektor selain manufaktur sehingga pada akhirnya pertumbuhan PDB akan tumbuh lebih pesat. Proses Deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2002 cenderung menuju ke arah yang negative. Deindustrialisasi negative ini salah satunya ditandai dengan rendahnya trade balance. Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan yang sangat maju melainkan lebih disebabkan oleh guncangan (shock) terhadap perekonomian Indonesia.
METODOLOGI Data yang digunakan dalam paper ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik . Data yang dikumpulkan berupa data makro provinsi Jambi dengan series tahun 1983-2010 berupa total PDRB dan PDRB sektor industry, PMTB, IHK, dan jumlah ekspor dan impor. Sedangkan untuk jumlah pekerja dan pekerja industry, series yang digunakan adalah tahun 1990-2010 Perbedaan series waktu tersebut disebabkan oleh keterbatasan data yang diperoleh. Data PDRB, PMTB , ekspor dan impor menggunakan tahun dasar 2000 dan data IHK dengan tahun dasar 2007. Adapun variabel yang digunakan terdiri atas dua jenis yaitu dua variabel dependent yang mewakili deindustrialisasi berupa variabel rasio jumlah PDRB sektor Industri terhadap Total PDRB dan rasio jumlah pekerja sektor industry terhadap total pekerja serta tiga variabel independent berupa variabel Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang di logatritma naturalkan, tingkat keterbukaan dan Indeks Harga Konsumen (IHK)
yang dilogaritma naturalkan. Dalam penelitian ini, kan dihasilkan dua model yaitu: 1. Model pertama Variabel Dependen : rasio jumlah PDRB sektor Industri terhadap Total PDRB Provinsi Jambi tahun 1983-2010. Variabel Independent : Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), tingkat keterbukaan dan Indeks Harga Konsumen (IHK) provinsi Jambi tahun 1983-2010 2. Model kedua Variabel Dependen : pekerja sektor industry terhadap total pekerja Provinsi Jambi tahun 1990-2010. Variabel Independent : Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), tingkat keterbukaan dan Indeks Harga Konsumen (IHK) provinsi Jambi tahun 1990-2010
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deksriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat pola pertumbuhan variabel-variabel dari tahun ke tahun yaitu variabel rasio PDRB sektor industry terhadap PDRB total, rasio pekerja sekotr industry terhadap total pekerja, PMTB, tingkat keterbukaan dan indesk harga konsumen. Sedangkan analisis inferensia yang digunakan adalah metode analisis regresi berganda untuk data Time Series untuk model pertama dan error correction model untuk model kedua. 1. Analisis Regresi digunakan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung dan memprediksi variabel tergantung dengan menggunakan variabel bebas. Gujarati (2006) mendefinisikan analisis regresi sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel yang diterangkan (the explained variabel) dengan satu atau dua variabel yang menerangkan (the explanatory). Variabel pertama disebut juga sebagai variabel tergantung dan variabel kedua disebut juga sebagai variabel bebas. Jika variabel bebas lebih dari satu, maka analisis regresi disebut regresi linear berganda. Disebut berganda karena pengaruh beberapa variabel bebas akan dikenakan kepada variabel tergantung. Sebelum megestimasi parameter,
terlebih dahulu kita harus menguji stasioneritas dari semua variabel, jika sudah stasioner maka lakukan estimasi parameter, namun jika tidak maka harus melalui proses diffrencing pada orde tertentu. Kemudian menentukan model yang akan digunakan, sesuai dengan data yang hanya mengandung satu variabel dependen dan satu variabel independen. Jadi, model yang digunakan adalah sebagai berikut:
2. Error correction model atau yang dikenal dengan model koreksi kesalahan adalah suatu model yang digunakan untuk melihat pengaruh jangka panjang dan jangka pendek dari masing-masing peubah bebas terhadap peubah terikat. (Satria, 2004). Menurut Sargan, Engle dan Granger, error correction model adalah teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangn jangka panjang, serta dapat menjelaskan hubungan antara peubah terikat dengan peubah bebas pada waktu sekarang dan waktu lampau. Dalam penelitian ini akan terbentuk dua model ecm masing-masing untuk rasio jumlah PDRB sektor industry terhadap total PDRB dan rasio jumlah pekerja sektor industry terhadap total pekerja. Pengolahannya dilakukan dengan bantuan software Eviews 6 dan SPSS 17. Error correction model atau yang dikenal dengan model koreksi kesalahan adalah suatu model yang digunakan untuk melihat pengaruh jangka panjang dan jangka pendek dari masing-masing peubah bebas terhadap peubah terikat (Satria, 2004). Menurut Sargan, Engle dan Granger, error correction model adalah teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang, serta dapat menjelaskan hubungan antara peubah terikat dengan peubah bebas pada waktu sekarang dan waktu lampau. Dalam menentukan model regresi linear dengan pendekatan ECM, terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi sebagai berikut : 3. Uji Kestasioneran Salah satu permasalah yang sering dihadapi oleh data time series adalah adanya autokorelasi yang menyebabkan data runtun waktu tidak stasioner. Oleh
karena itu dalam membuat model model ekonometrika dari data runtun waktu diharuskan menggunakan data yang stasioner. Apabila data yang digunakan tidak stasioner artinya data mempunyai autokorelasi atau heterokedastisitas maka akan mengakibatkan kurang baiknya model yang diestimasi dan akan menghasilkan model yang dikenal dengan regresi spurious. Bila regresi sprious diinterpretasikan maka hasil analisisnya akan salah dan dapat berakibat salahnya keputusan yang diambil shingga kebijakan yang dibuatpun akan salah.Salah satu uji yang biasa digunakan untuk menguji kestasioneran data adalah Uji Uji Root Test. Uji ini dikenalkan oleh Dickey dan Fuller. Adapun modelnya adalah sebagai berikut :
Kriteria pengujian : Terima H0 jika r > nilai statistic DF (Dickey-Fuller) artinya akar unit atau data tidak stasioner.
Tolak H0 jika r < nilai statistic DF artinya tidak ada akar unit atau data stasioner.
4. Uji Derajat Integrasi Uji derajat integrasi dilakukan apabila data tidak stasioner pada saat uji kestasioneran. Uji derajat integrasi dimaksudkan untuk mengetahui pada derajat berapa data akan stasioner. Dalam kasus dimana data yang digunakan tidak stasioner, Granger dan Newbold (Nachrowi, 2006) berpendapat bahwa regresi yang menggunakan data tersebut biasanya memiliki R2 yang relative tinggi namun memiliki nilai statistic durbin Watson yang rendah. Ini memberikan indikasi bahwa regresi yang dihasilkan adalah spurious regression. Secara umum apabila suatu data memerlukan diferensiasi sampai ke d agar stasioner, maka
dapat dinyatakan sebagai I(d). 5. Uji Kointegrasi Uji Kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar unit dan uji derajat integrasi. Uji ini dimaksudkan untuk menguji apakah residual dari dihasilkan dari persamaan regresi stasioner pada data atau tidak (Engle dan Granger, 1987). Apabila terjadi satu atau lebih peubah mempunyai derajat integrasi yang berbeda, maka peubah tersebut tidak dapat berkointegrasi (Engle dan Granger, 1987). Ada dua cara pengujian kointegrasi yang dikenal, antara lain: a) Uji Engle-Granger (Augmented Engle-Granger) Uji Engle-Granger dilakukan dengan memanfaatkan uji DF-ADF. Adapun tahapannya adalah : Estimasi model regresi Hitung residualnya Jika residualnya stasioner, berarti regresi tersebut merupakan regresi kointegrasi. b) Uji kointegrasi Durbin-Watson Cointegrating Regression Durbin-Watson) Tahapan pengujiannya sebagai berikut :
1. Hitung statistic Durbin-Watson (d), dengan d =
, pada saat
bernilai 1, maka d akan bernilai 0. Oleh karena itu hipotesis yang digunakan :
Jika d hitung lebih besar dari d tabel ( d hitung > d tabel), dengan d tabel adalah nilai yang diperoleh dari tabel Durbin Watson dengan maka hipotesis H0 ditolak artinya data stasioner dan terjadi kointegrasi antar peubah.
4. Pemodelan Error Correction Model (ECM)
Model ECM dapat dibentuk apabila terjadi kointegrasi antara peubah bebas dan peubah terikat yang menunjukan adanya hubungan jangka panjang atau equilibrium antara peubah bebas dan peubah terikat yang mungkin dalam jangka pendek terjadi ketidakseimbangan atau keduanya tidak mencapai
keseimbangan. ECM digunakan untuk menguji spesifikasi model dan menguji apakah pengumpulan data yang dilakukan sesuai. Apabila parameter ECT (Error Correction Term) signifikan secara statistik, maka spesifikasi model dan cara pengumpulan data sudah sesuai. Langkah-langkah dalam melakukan pemodelan ECM adalah : a. Pengumpulan Data Setelah data terkumpul maka harus diketahui dahulu apakah tiap peubah tersebut dapat digunakan atau tidak untuk menunjang peubah terikat karena itu tiap peubah harus diperiksa terlebih dahulu, jika peubah tersebut memenuhi syarat maka peubah tersebut digunakan, jika peubah tersebut tidak memenuhi syarat maka peubah tersebut tidak dipakai dalam pemodelan. Untuk mengetahui berpengaruh atau tidaknya peubah bebas terhadap peubah terikat maka digunakan uji keberartian koefisien dengan menggunakan uji-t. b. Linearitas Model Misalkan dari data diperoleh fungsi sebagai berikut : Y = f(X1, X2, X3)(1) Dengan model linearnya dapat dituliskan sebagi berikut : (2) Kemudian model (3.5) dibentuk menjadi model dinamis yang menyertakan kelambanan atau lag yang biasa dikenal dengan Error Correction Model yang didefinisikan sebagai berikut :
Dimana : D = Difference pertama B = kelambanan kebelakang (backward lag operator) Model pertama dapat dinyatakan sebagai berikut :
Bentuk umum dari persamaan ECM jangka pendek adalah sebagai berikut :
Model persamaan (3.8) merupakan model persamaan jangka pendek. Sedangkan untuk model persamaan jangka panjang (Sasana, 2006) didefinisikan sebagai berikut :
ECM mempunyai ciri khas dengan dimasukkannya unsur Error Correction Term (ECT) dalam model. Apabila koefisien ECT signifikan secara statistik yaitu nilai probabilitas kurang dari 10%, maka spesifikasi model yang digunakan adalah sahih atau valid. Regresi Linear Berganda dan Model ECM dipilih sebagai metode analisis dalam peneltian karena setelah melakukan sekumpulan uji trial and error dalam pemilihan model terbaik, model Regresi Linear Berganda untuk model pertama dan model ECM untuk model kedua adalah yang menurut peneliti paling sesuai dan cocok untuk diterapkan.
5. Uji Asumsi
a. Uji Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda maka disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang terdapat
homokedastisitas atau tidak tejadi heterokedastisitas (Ghozali, 2005 dalam Rusniasari, 2008). Cara untuk mengetahui ada tidaknya heterokedastisitas adalah dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dan residualnya (SRESID). Deteksi terhadap heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y dan sumbu X yang telah diprediksi, sumbu X adalah residual (Y prediksi Y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Dasar analisisnya adalah sebagai berikut :
1.
Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heterokedastisitas.
2.
Jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik yang menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas (Ghozali, 2005 dalam Rusniasari 2008). Hipotesis yang berlaku dalam uji homoskedatisitas ragam error adalah:
Tolak Ho jika nilai Sig. < , yang artinya variabel bebas signifikan mempengaruhi residual (mengalami masalah heteroskedastisitas). b. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,variabel pengganggu / residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka uji statistik dianggap tidak valid (Ghozali, 2005 dalam Rusniasari, 2008). Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi normal atau mendekati normal. Adapun hipotesisnya adalah :
ApabilanilaiAsimp.sig(2-tailed)atauprobabilitasnyadiatas 0.05, maka hipotesis nol diterima dan data telah memenuhi asumsi normalitas. Cara untuk mengetahui normalitas residual adalah dengan melihat normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dan distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk suatu garis lurus diagonal, dan plotting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah normal maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya (Ghozali, 2005 dalam Rusniasari, 2008).
c. Uji Autokolerasi
Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t -1). Secara sederhana adalah bahwa analisis regresi adalah untuk melihat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, jadi tidak boleh ada korelasi antara observasi dengan data observasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah pengaruh antara tingkat inflasi bulanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Data tingkat inflasi pada bulan tertentu, katakanlah bulan Februari, akan dipengaruhi oleh tingkat inflasi bulan Januari. Berarti terdapat gangguan autokorelasi pada model tersebut. Contoh lain, pengeluaran rutin dalam suatu rumah tangga. Ketika pada bulan Januari suatu keluarga mengeluarkan belanja bulanan yang relatif tinggi, maka tanpa ada pengaruh dari apapun, pengeluaran pada bulan Februari akan rendah.
MenurutGhozali (2005), dengan software SPSS, pengujian dapat dilakukan melalui nilai Tolerance danVariance Inflation Factor (VIF).Jika nilaiTolerance < 0.10 dan nilai VIF > 10 mengindikasikan adanya multikolinieritas yang serius diantara variabel bebas.
Tabel 1. Tabel pengambilankeputusan adatidaknya autokorelasi Hipotesis Nol Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi Tolak 4-dl<dw<4 No Decision dl<dw<du Keputusan Tolak Jika 0<dw<dl
negative Tidak ada autokorelasi negative Tidak ada autokorelasi, positif atau negative TidakDitolak du<dw<4-du No Decision 4-du<dw<dl
Uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series (runtut waktu) dan tidak perlu dilakukan pada data cross section seperti pada kuesioner di mana pengukuran semua variabel dilakukan secara serempak pada saat yang bersamaan. Model regresi pada penelitian di Bursa Efek Indonesia di mana periodenya lebih dari satu tahun biasanya memerlukan uji autokorelasi. Beberapa uji statistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson, uji dengan Run Test dan jika data observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange Multiplier. Beberapa cara untuk menanggulangi masalah autokorelasi adalah dengan mentransformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan memasukkan variabel lag dari variabel terikatnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data observasi menjadi berkurang 1.
D. Multikolinearitas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Asumsi multikolinieritas menyatakan bahwa variabel independen harus terbebas dari gejala multikolinieritas. Gejala multikolinieritas adalah gejala korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Deteksi ada tidaknya multikolinieritas yaitu dengan melihat nilai VIF (Variable Inflation Factor) dan tolerance. Model regresi dikatakan bebas dari multikolinieritas apabila nilai VIF < 10, dan tolerance > 0,1 (10%) (Ghozali, 2001).
E. Uji Linearitas Uji linieritas dilakukan untuk membuktikan bahwa masing-masing variabel bebas mempunyai hubungan yang linier dengan variabel dependent.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Deindustrialisasi di Provinsi Jambi Tahun 1990-2010. Penelitian-penelitian sebelumnya banyak yang mengungkapkan bahwa deindustrialisasi sudah mulai melanda Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa deindustrialisasi merupakan kebalikan dari industrialisasi. Jika industri
manufaktur kian meningkat kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), maka suatu negara bisa dikatakan mengalami industrialisasi. Dengan demikian, industrialisasi memiliki kinerja yang sangat konkret. Konsekuensinya, tak ada industrialisasi manakala industri manufaktur tak memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami deindustrialisasi.
Salah satu dampak dari terjadinya industrialisasi adalah terkait penyerapan tenaga kerja. Secara logika, penurunan jumlah industri, baik kecil maupun besar, membawa dampak pada menurunnya peluang kerja bagi masyarakat. Industri manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar. Deindustrialisasi mengakibatkan pekerja sektor formal semakin terdesak.
0.2 0.18 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rasio tenaga Kerja Rasio PDRB
Grafik 2. Rasio PDRB Sektor Industri Terhadap Total PDRB dan Rasio Pekerja Sektro Industri Terhadap Total Pekerja di Provinsi Jambi Tahun 1983-2010.
Berdasarkan gambar dapat terlihat bahwa rasio PDRB sektor industri terhadap total PDRB di Provinsi Jambi cenderung mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun. Terjadi peningkatan pada tahun 1983 sampai tahun 1987 kemudian turun pada tahun 1988 dan naik kembali pada tahun 1989. Rasio tertinggi terjadi pada tahun 1997 yakni sebesar 0,174 kemudian cenderung mengalami penurunan sampai pada tahun 2010. Terjadinya penurunan setelah tahun 1997 mungkin disebabkan oleh krisi moneter yang terjadi pada tahun 1998 dan diikuti oleh krisis global pada tahun 2008.
Demikian juga denga rasio jumlah pekerja sektor industri terhadap total pekerja di Provinsi Jambi tahun 1990-2006 mengalami perkembangan yang fluktuatif. Rasio tertinggi terjadi pada tahun 1996 yakni mencapai 0,095. Setelah tahun 2006, rasionya cenderung menunjukkan penurunan secara perlahan, dan mencapai titik terendah pada tahun 2010 dengan rasio sebesar 0,032.
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pergerakan antara kedua variabel cenderung saama. Gejala deindustrialisasi ternyata tidak hanya terjadi pada skala nasional tetapi juga terjadi pada Provinsi Jambi, hal tersebut dapat terlihat dari grafik, bahwa terjadi trend yang menurun pada rasio PDRB sektor industry dan pekerja sektor industry pada periode tahun 19962010. Terlebih lagi terjadinya krisis moneter dan krisi global yang melanda Indonesia pada selang periode tersebut menyebabkan semakin menurunya kontribusi sektor industry terhadap perekonomian Jambi. Sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi Jambi juga mengalami Deindustrialisasi. Gambaran Umum Variabel Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Tingkat Keterbukaan dan Indeks Harga Konsumen Provinsi Jambi Tahun 1983-2010
LNIHK
5.0
15.0
LNPMTB
4.5
14.8
4.0
14.6
3.5
14.4
3.0
14.2
2.5
14.0
TINGKAT_KETERBUKAAN
1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 1985 1990 1995 2000 2005 2010
Grafik 3. Perkembangan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), Tingkat Keterbukaan dan Indeks Harga Konsumen Provinsi Jambi Tahun 1983-2010.
Berdasarkan gambar di atas dapat kita lihat bahwa PMTB Provinsi Jambi pada periode 1983 sampai dengan 1997 cenderung mengalami kenaikan namun mengalami penurunan drastis pada tahun 1998 dan 1999. Hal tersebut juga disebabkan karena krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Setelah tahun 1999, PMTB terus mengalami kenaikan kecuali pada tahun 2005 yang mengalami sedikit penurunan. Ini menunjukkan bahwa perkembangan investasi Indonesia juga cenderung mengalami perkembangan yang fluktuatif.
Berdasarkan grafik tersebut datat dilihat bahwa tingkat keterbukaan Provinsi Jambi memilik trend naik pada periode tahun 1983-2010. Walaupun kenaikan yang terjadi tidak begitu signifikan serta terjadi beberapa kasus penurunan kecil yang terjadi pada beberapa periode. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah komoditas ekspor dan impor Provinsi Jambi cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun selama periode tersebut. Pada periode 1983-2005, tingkat keterbukaan Provinsi Jambi masih di bawah 1, namun sejak tahun 2006-2010, tingkat keterbukaannya naik menjadi 1 ke atas. Kenaikan tersebut mungkin disebabkan oleh semaking berkembangannya globalisasi dan perdagangan bebas. Sehingga menyebabkan keluar masuknya barang dari dan keluar negeri begitu mudah terjadi. Hal tersebut berdampak pada semakin naiknya komoditas ekspor dan impor setiap tahunnya.
Dilihat dari segi perkembangannya, dari tahun ke tahun nilai indeks harga konsumen di Indonesia cenderung mengalami kenaikan sepanjang periode 1983-2010. Ini memperlihatkan di Indonesia, kecenderungan harga untuk mengalami kenaikan lebih besar daripada penurunan. Indeks harga konsumen mengalami kenaikan yang cukup signifkan terjadi pada tahun 1998. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat pada tahun itu terjadi krisis moneter yang
melanda perekonomian Indonesia sehingga berdampak kepada lonjakan hargaharga barang secara signifikan. Terlebih lagi krisis global yang kemudian melanda perekonomian Indonesia semakin memperbesar peluang harga untuk terus mengalami kenaikan daripada penurunan. Analisis Inferensia 1. Hasil Uji Kestasioneran Uji stasioneritas diperlukan dalam data time series. Bila menggunakan data yang tidak stasioner, maka akan menghasilkan persamaan purious regression yaitu persamaan regresi lancung atau persamaan regresi yang tidak memiliki arti ekonomi. Adapun ringkasan hasil uji unit root tanpa intercept dan trend adalah sebagai berikut : Tabel 2. Ringkasan Tabel Hasil Pengujian Unit Root
Variabel Model 1 Rasio PDRB sektor industry terhadap total PDRB LNPMTB Tingkat Keterbukaan LNIHK Model 2 Rasio pekerja sektor industry terhadap total pekerja LNPMTB Tingkat Keterbukaan LNIHK Data Level Data Difference 1 -4,802
0,304
-0,380
-8.388
1,072 2,632
1,000
Keterangan : Model 1 : Nilai kritis pada level 10% data level = -1.6095 Nilai kritis pada level 10% data difference 1 = -1.6093
Nilai kritis pada level 10% data difference 1 = -1.607051 Tabel di atas didasarkan pada hasil uji unit root dengan menggunakan Uji
ADF tanpa intercept dan trend. Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa pada level 10%, untuk data level tidak ada satupun variabel yang stasioner. Hal ini ditunjukkan dari nilai t statistic ADF lebih besar dari nilai kritis pada tingkat kepercayaan 90%. Sehingga keputusannya menerima terima H0, yaitu terdapat unit root.
Karena belum ada data yang stasioner, maka salah satu langkah yang diambil adalah dengan melakukan differencing. Terlihat pada tabel bahwa setelah diffrencing pertama, semua variabel sudah stasioner pada tingkat kepercayaan 90%.
Dependent Variable: D_RASIO_PDRB Method: Least Squares Date: 08/06/12 Time: 21:24 Sample (adjusted): 1984 2010 Included observations: 27 after adjustments Variable D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERBUKAA N D_LNIHK C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient -0.021656 -0.048266 -0.059087 0.009399 0.265053 0.169191 0.009261 0.001973 90.26598 2.764927 0.064908 Std. Error 0.025329 0.022396 0.038016 0.004628 t-Statistic -0.854998 -2.155144 -1.554247 2.030961 Prob. 0.4014 0.0419 0.1338 0.0540 0.001282 0.010160 -6.390073 -6.198097 -6.332988 1.725251
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Berdasarkan persamaan di atas dapat diketahui bahwa secara simultan model RLB dinyatakn Fit dilihat dari F probabilitynya yang kurang dari alpha=10%. Selain itu, secara parsial konstanta dan D_tingkat keterbukaan atau perubahan tingkat keterbukaan mempengaruhi perubahan rasio PDRB sektor industry terhadap total PDRB (deindustrialisasi) secara signifikan untuk tingkat kepercayaan 90%. Setiap kenaikan perubahan tingkat keterbukaan satu satuan akan meneyebabkan penurunan perubahan rasio
PDRB sektor industry terhadap total PDRB (deindustrialisasi) sebesar . Tingkat keterbukaan diukur dengan melihat proporsi
penjumlahan ekspor dan impor Provinsi Jambi terhadap total PDRB provinsi tersebut. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara tingkat keterbukaan dengan proporsi PDRB sektor industry di Provinsi Jambi. Ini mungkin saja terjadi apabila ternyata jumlah impor Jambi lebih besar dari jumlah ekspornya, yang mengindikasikan rendahnya produktivitas industrynya sehingga menyebabkan rendahnya
kontribusi PDRB sektor industry Provinsi Jambi terhadap total PDRB Provinsi Jambi. Namun, pada dasarnya secara teori suatu daerah yang lebih terbuka dalam perekonomiaannya akan lebih baik dibandingkan
perekonomian yang tertutup. Semakin meningkat keterbukaan ekonomi (openness) suatu daerah atau negara mengindikasikan bahwa kinerja perdagangan daerah atau negara tersebut meningkat. Dengan meningkatnya kinerja perdagangan terutama ekspor manufaktur, secara tidak langsung mengindikasikan bahwa produk-produk manufaktur lokal dapat bersaing. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan proporsi kontribusi PDRB sektor industri manufaktur semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya demand produk industri manufaktur. Namun dengan asumsi komoditas ekspornya melebih komoditas impornya.
Sedangkan dua variabel yaitu perubahan pertumbuhan investasi atau PMTB dan perubahan pertumbuhan IHK atau perubahan inflasi secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap deindustrialisasi. Setelah melakukan uji asumsi, hanya asumsi heterokedastis yang terlanggar.
Uji Derajat Integrasi Berdasarkan hasil uji Stasioneritas dapat dilihat bahwa semua data stasioner pada difference pertama untuk alpha 10%. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel stasioner pada derajat integrasi yang sama yaitu difference pertama atau yang sering disimbolkan dengan I(I). Oleh karena itu langkah selanjutnya dalam melakukan pemodelan ECM dapat dilanjutkan.
Uji Kointegrasi Uji ini dimaksudkan untuk menguji apakah residual dari dihasilkan dari persamaan regresi stasioner pada data atau tidak (Engle dan Granger, 1987). Apabila terjadi satu atau lebih peubah mempunyai derajat integrasi yang berbeda, maka peubah tersebut tidak dapat berkointegrasi (Engle dan Granger, 1987). Dalam penelitian ini, untuk menguji kointegrasi digunakan Uji Engle Granger. Berdasarkan hasil pengujian residual dari persamaan regresi untuk model pertama dan model kedua yang menggunakan data level dihasilkan output sebagai berikut :
Null Hypothesis: RESID01 has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. -3.174494 -2.685718 -1.959071 -1.607456 Prob.* 0.0031
Berdasarkan output di atas dapat dilihat bahwa, untuk kedua model, residualnya sudah stasioner pada level, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua model tersebut merupakan regresi yang berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang.
Pemodelan Error Model Correction Model ECM dapat dibentuk apabila terjadi kointegrasi antara peubah bebas dan peubah terikat yang menunjukan adanya hubungan jangka panjang atau equilibrium antara peubah bebas dan peubah terikat yang mungkin dalam jangka pendek terjadi ketidakseimbangan atau keduanya tidak mencapai keseimbangan. Berdasarkan hasi pengolahan variabel menggunakan Eviews 6, diperoleh hasil sebagai berikut : Persamaan Jangka Pendek
Dependent Variable: D_RASIO_TENAGAKERJA Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:32 Sample (adjusted): 1991 2010 Included observations: 20 after adjustments Variable C D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERBUKAA N D_LNIHK RESID01(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient -0.007096 0.064308 -0.050066 0.072299 -0.749918 0.520654 0.392828 0.012044 0.002176 62.88197 4.073152 0.019747 Std. Error 0.007117 0.038118 0.041580 0.057039 0.212469 t-Statistic -0.996921 1.687087 -1.204080 1.267539 -3.529532 Prob. 0.3346 0.1123 0.2472 0.2243 0.0030 -0.000439 0.015457 -5.788197 -5.539264 -5.739603 2.276975
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Berdasarkan output tersebut persamaan jangka pendek yang bisa dibentuk adalah :
Berdasarkan persamaan di atas dapat diketahui bahwa dengan tingkat kepercayaan 90%, dalam jangka pendek, speed of adjustment untuk model kedua adalah sebesar dan signifikan, artinya kecepatan variabel-
variabel untuk menuju keseimbangan yang sama adalah sebesar -0,7499. Meskipun model dinyatakan fit secara simultan, namun tidak ada variabel baik itu perubahan pertumbuhan PMTB atau investasi, perubahan
pertumbuhan Tingkat Keterbukaan maupun perubahan pertumbuhan IHK atau perubahan inflasi yang mempengaruhi deindustrialisasi secara signifikan untuk model kedua. Hal tersebut mungkin disebabkan karena series waktu yang digunakan dalam pemodelan kedua ini sangat terbatas yakni 20 series. Padahal secara teori, syarat data yang diperlukan dalam analisis data time series adalah 50 series waktu. Mungkin hal ini lah menyebabkan tidak adanya variabel yang dinyatakan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel proporsi tenaga kerja sektor Industri yang mewakili deindustrialisasi. Meskipun berdasarkan teori-teori yang ada disebutkan adanya pengaruh variabel-variable tersebut terhadap
deindustrialisasi.
Dalam
jangka
panjang,
variabel
LNIHK
yang
mempengaruhi
deindustrialisasi secara sginifikan pada tingkat kepercayaan 90%. Ini ditunjukkan dengan nilai nilai probability (t- Statistik) yang kurang dari 0,1, yang artinya secara parsial LNIHK berpengaruh terhadap deindustrialisasi Namun secara simultan, model tidak fit. .
Setelah dilakukan pembentukkan model kedua, dilanjutkan dengan pengujian asumsi untuk model ECM. Setelah dilakukan pengujian asumsi diperoleh hasil bahwa untuk model kedua asumsi normal tidak terpenuhi, residual bersifat homoskedastis, terjadi autokorelasi, tidak ditemukannya multikolinearitas dan bersifat linear.
Berdasarkan hasil model pertama dan kedua, tidak diperoleh model yang baik secara simultan dan parsial berpengaruh signifikan dan memenuhi uji asumsi, sehingga tidak dapat dilakukan forecasting.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gejala deindustrialisasi ternyata juga terjadi pada Provinsi Jambi, hal tersebut dapat terlihat dari grafik, bahwa pergerakan antara kedua variabel deindustrialisasi cenderung sama dan terjadi trend yang menurun pada rasio PDRB sektor
industry dan pekerja sektor industry pada periode tahun 1996-2010. Selain itu, variabel-variabel yang diduga mempengaruhi deindustrialisasi yaitu Tingkat Keterbukaan dan IHK, kedua variabel ini memiliki kecenderungan trend yang terus naik dari tahun ke tahun selama periode 1983-2010. Untuk PMTB sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja terjadi penurunan drastic pada tahun 1998-2000, yang disebabkan oleh krisisi moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998, sehingga berpengaruh pada penurunan investasi Indonesia. 2. Untuk model pertama, dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan tingkat kepercayaan 90% diperoleh hasil bahwa hanya tingkat keterbukaan dan konstanta yang mempengaruhi deindustrialisasi secara signifikan meskipun secara simultan model dinyatakan fit. Sedangkan untuk dua variabel lain yaitu perubahan pertumbuhan investasi atauPMTB dan perubahan pertumbuhan harga konsumen tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap deindustrialisasi model pertama. Sedangkan untuk model kedua dengan model ECM, dalam jangka pedek hanya speed of adjustment yang berpengaruh secara signifikan terhadap deindustrialisasi, meskipun secara simultan model juga dinyatakan fit. Untuk model jangka panjang, dengan tingkat kepercayaan 90%, model jangka panjang tidak dinyatakan fit secara simultan. Namun dari hasil pengujian parsial untuk model kedua, variabel pertumbuhan IHK berpengaruh secara signifikan terhadap deindutrialisasi. Berdasarkan hasil uji asumsi juga diperoleh hasil baik model pertama maupun model kedua tidak ada yang memenuhi semua asumsi. Oleh karena itu, untuk kedua model tidak dilakukan forecasting. Kurang maksimalnya hasil yang diperoleh mungkin disebabkan oleh keterbatasan data yang digunakan, yakni 28 series untuk model pertama dan 21 series untuk model kedua. Padahal syarat analisis time series adalah series data yang digunalan minimal 50 series.
Saran 1. Diharapkan upaya dari pemerintah Provinsi Jambi, untuk mencegah semakin luasnya dampak buruk deindustrialisasi di provinsi tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan peningkatan daya saing produksi, misalnya dengan meningkatkan kualitas produk dan mendorong kreatifitas pelaku industry di provinsi Jambi. 2. Pemerintah Provinsi Jambi pada khususnya dan Indonesia pada umumnya melalui kebijakan moneter, diharapkan mampu menjaga iklim investasi Indonesia agar tetap stabil, sehingga diharapkan ke depannya investasi Indonesia dapat terus mengalami kenaikan pertumbuhan. Kenaikan investasi ini penting, karena investasi merupakan salah satu factor yang memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. 3. Pemerintah Provinsi Jambi pada khususnya dan Indonesia pada umumnya diharapkan mampu membuat suatu kebijakan untuk menumbuhkan kembali gairah sektro industry untuk terus meningkatkan produktivitasnya. Salah satunya mungkin dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan mengurangi impor barang dari luar negeri dan upaya meningkatkan produksi dalam negeri. 4. Penyerapan tenaga kerja sektor industry juga harus terus ditingkatkan, karena salah satu dampak dari deindustrialisasi adalah semakin menurunnya tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor industry. Sedangkan sebagaimana yang kita ketahui bahwa sektor industri merupakan salah satu sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbesar. Bisa dibayangkan apabila kinerja sektor industri semakin menurun, maka akan sangat berpengaruh pada meningkatnya angka pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA Metinara, Susi. 2010. Faktor Faktor Yang Memengaruhi Deindustrialisasi Di Indonesia Tahun 2000 2009. Bogor(Thesis) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2011
Dewi, Diah Ananta. 2010. Deindustrialisasi di Indonesia 1983-2008 : Analisis Dengan Pendekatan Kaldorian. Bogor(Thesis) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2011
Neraca Arus Dana Indonesia Tahunan 2003-2008 : Badan Pusat Statistik Republik Indoensia
http://www.jambiprov.go.id/pages/jaip/draft_laporan_akhir_fs_jaip/draft_akhir_b ab_2.pdf
Umiati, Etik. 2010. Kajian Terhadap Sektor Industri dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi. Jambi(Jurnal) : Jurnal paradigm Ekonomika Universitas Jambi.
Sustriana, Matilda Eva. 2011 ; Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia Melalui Pendekatan Error Correction Model (Ecm). Bandung : Universitas Pendidikan Nasional Jurusan Matematika.
http://juliana201171098psikologi.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/02/jurnal-tentanguji-linearitas/
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Data Yang Digunakan Tahun 1983-2010
PDRB INDUSTRI (juta rupiah) 257376.0961 316832.3518 436604.8069 462390.4722 508903.3104 623762.7047 809011.0215 831963.931 865122.3491 914436.3274 956933.9871 1083636.023 1273206.223 1430998.142 1503160.919 1362452.503 1378755.171 1408195.813 1459246.793 1606509.016 Ekspor (juta rupiah) 719688.5 592551.3 697006.5 744909.2 763814 1625725 1738901 1866572 1994242 2125647 2741948 3271667 3652146 3930467 4428793 4445560 4366228 4462739 4752212 4756191 Import (juta rupiah) 513207.9 338187.9 413389.7 439793.2 470621.8 1352719 1341311 1603976 1760946 1829605 2728243 3373052 3617545 3858641 4327910 4099847 3960822 4115027 4660670 4678683 PDRB (juta rupiah) IHK PMTB (juta rupiah)
2933167 9.672927 1069846 3094016 10.55947 1083271 3315632 10.74161 1123444 3237338 11.38212 1155533 3475249 13.19361 1211860 4850873 14.87173 1205585 5294436 15.8515 1230018
5902920 16.55224 1492237 6183225 17.77469 1515188 6546267 18.79341 1538138 7027885 20.42038 1646441 7602062 22.46524 1964845 8246752 23.84831 2095401 8973525 25.27897 2268638 9324753 27.16173 2302384 8819993 41.76086 1552699 9076152 50.0195 1255684
11343280 67.10555 1765344 11953885 72.45085 1948487 12619972 79.90391 1875859 13363621 90.59359 2157873 14275161 15297771 100 2320286 110.7 2521709 115.84 2603276 123.4 2792081
Total Pekerja (jiwa) 743611 696505 724494 781135 799068 783571 848740 963060 1063185 1082416 996425 997606 1077336 1093894 1132107 1101557 1082553 1125384 1206752 1239061 1429115
Total Pekerja Industri (jiwa) 32246 25132 38223 36919 57000 43518 80270 65152 67107 56712 58321 69904 56637 66869 48017 42567 46038 46385 45598 40923 45317
Tahun 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tingkat Keterbukaan 0.420329404 0.300819108 0.334897295 0.365949615 0.355207918 0.614001482 0.581782854 0.587937366 0.607318701 0.604199624 0.778355127 0.874067982 0.881521763 0.868009749 0.939081589 0.968867796 0.917464726 0.896389337 0.922325964 0.873322608 0.873698483 0.894017578 0.9803842 1.053890629 1.173928168 1.163370748 1.194784987 1.413497083
Rasio PDRB Industri 0.094833021 0.11067133 0.142314907 0.154365087 0.158262338 0.138972125 0.165144052 0.152323099 0.151213537 0.150969065 0.147158548 0.154056562 0.166856836 0.172347171 0.174219325 0.16694803 0.164177471 0.164177471 0.142985029 0.1487037 0.144966888 0.14244778 0.140192134 0.138273416 0.136493047 0.135074872 0.12645233 0.122357228
LNIHK 2.269331 2.357023 2.374125 2.432044 2.579733 2.699462 2.763264 2.806521 2.877776 2.933506 3.016533 3.111969 3.171713 3.229973 3.301809 3.73196 3.912413 3.936727 4.03484 4.146544 4.206267 4.282908 4.380825 4.506383 4.60517 4.706824 4.75221 4.815431
LNPMTB 13.88303 13.8955 13.93191 13.96007 14.00767 14.00248 14.02254 14.21579 14.23105 14.24608 14.31413 14.49092 14.55526 14.63469 14.64946 14.2555 14.04319 14.1113 14.27892 14.3043 14.38386 14.48256 14.44458 14.58463 14.6572 14.74045 14.77228 14.8423
0.043364 0.036083 0.052758 0.047263 0.071333 0.055538 0.094575 0.067651 0.063119 0.052394 0.05853 0.070072 0.052571 0.061129 0.042414 0.038643 0.042527 0.041217 0.037786 0.033027 0.03171
Sumber : Badan Pusat Statistik diolah LAMPIRAN 2 Model Pertama A. Uji Kestasioneran
Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 0.303893 -2.653401 -1.953858 -1.609571 Prob.* 0.7663
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RASIO_PDRB) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:16 Sample (adjusted): 1984 2010 Included observations: 27 after adjustments Variable RASIO_PDRB(-1) R-squared Coefficient 0.004251 -0.012932 Std. Error 0.013988 t-Statistic 0.303893 Prob. 0.7636 0.001282 0.010160
Adjusted R-squared -0.012932 S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.010226 0.002719 85.93510 1.773519
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. -4.802318 -2.656915 -1.954414 -1.609329 Prob.* 0.0000
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RASIO_PDRB,2) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 11:57 Sample (adjusted): 1985 2010 Included observations: 26 after adjustments Variable D(RASIO_PDRB(1)) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat -0.921668 0.478372 0.478372 0.009994 0.002497 83.36776 2.031530 0.191921 -4.802318 0.0001 Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 1.587768 -2.653401 -1.953858 -1.609571 Prob.* 0.9691
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LNPMTB) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:17 Sample (adjusted): 1984 2010 Included observations: 27 after adjustments Variable LNPMTB(-1) R-squared Coefficient 0.002460 -0.001888 Std. Error 0.001550 t-Statistic 1.587768 Prob. 0.1244 0.035529 0.115049
Adjusted R-squared -0.001888 S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.115158 0.344793 20.55741 1.363793
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. -3.334184 -2.656915 -1.954414 -1.609329 Prob.* 0.0018
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LNPMTB,2) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 11:58 Sample (adjusted): 1985 2010 Included observations: 26 after adjustments Variable D(LNPMTB(-1)) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient -0.621895 0.307613 0.307613 0.113965 0.324698 20.08604 1.812462 Std. Error t-Statistic Prob. 0.0027 0.002213 0.136960
3. Tingkat Keterbukaan
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 2.277675 -2.653401 -1.953858 -1.609571 Prob.* 0.9929
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TINGKAT_KETERBUKAAN) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:18 Sample (adjusted): 1984 2010 Included observations: 27 after adjustments Variable TINGKAT_KETERBUK AAN(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.044155 -0.005850 -0.005850 0.082720 0.177907 29.49013 1.861434 0.019386 2.277675 0.0312 0.036784 0.082479 Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. -3.952561 -2.656915 -1.954414 -1.609329 Prob.* 0.0003
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TINGKAT_KETERBUKAAN,2) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 11:58 Sample (adjusted): 1985 2010 Included observations: 26 after adjustments Variable D(TINGKAT_KETERBUK AAN(-1)) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat -0.859804 0.375954 0.375954 0.088514 0.195868 26.65694 1.709164 0.217531 -3.952561 Mean dependent var S.D. dependent var 0.0006 0.013009 0.112048 Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 6.096353 -2.653401 -1.953858 -1.609571 Prob.* 1.0000
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LNIHK) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:19 Sample (adjusted): 1984 2010 Included observations: 27 after adjustments Variable LNIHK(-1) R-squared Coefficient 0.026070 -0.066682 Std. Error 0.004276 t-Statistic 6.096353 Prob. 0.0000 0.094300 0.076175
Adjusted R-squared -0.066682 S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.078674 0.160928 30.84425 1.606335
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. -2.241511 -2.656915 -1.954414 -1.609329 Prob.* 0.0267
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LNIHK,2) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 11:59 Sample (adjusted): 1985 2010 Included observations: 26 after adjustments Variable D(LNIHK(-1)) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient -0.329845 0.167267 0.167267 0.091539 0.209485 25.78322 2.095133 Std. Error t-Statistic Prob. 0.0341
0.147153 -2.241511
Dependent Variable: D_RASIO_PDRB Method: Least Squares Date: 08/06/12 Time: 21:24 Sample (adjusted): 1984 2010
Included observations: 27 after adjustments Variable D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERBUKAA N D_LNIHK C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient -0.021656 -0.048266 -0.059087 0.009399 0.265053 0.169191 0.009261 0.001973 90.26598 2.764927 0.064908 Std. Error 0.025329 0.022396 0.038016 0.004628 t-Statistic -0.854998 -2.155144 -1.554247 2.030961 Prob. 0.4014 0.0419 0.1338 0.0540 0.001282 0.010160 -6.390073 -6.198097 -6.332988 1.725251
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
C. ji
Asumsi
1.
Normalitas
12
10
Series: Residuals Sample 1984 2010 Observations 27 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis Jarque-Bera Probability
-0.01 0.00 0.01 0.02
2.
Homoskedastis
Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS 2.734485 15.96910 15.09787 Prob. F(9,17) Prob. Chi-Square(9) Prob. Chi-Square(9) 0.0354 0.0675 0.0883
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/06/12 Time: 21:28 Sample: 1984 2010 Included observations: 27 Variable C D_LNPMTB D_LNPMTB^2 Coefficient 0.000664 -0.004621 0.011802 Std. Error 0.000143 0.001527 0.004276 t-Statistic 4.634503 -3.027345 2.759654 Prob. 0.0002 0.0076 0.0134
D_LNPMTB*D_TINGKAT_KETERBUKAAN D_LNPMTB*D_LNIHK D_TINGKAT_KETERBUKAAN D_TINGKAT_KETERBUKAAN^2 D_TINGKAT_KETERBUKAAN*D_LNIHK D_LNIHK D_LNIHK^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-0.003347 0.035625 -8.69E-05 0.002777 -0.002348 -0.010163 0.032947 0.591448 0.375156 9.50E-05 1.53E-07 217.9983 2.734485 0.035433
0.6364 0.0126 0.9472 0.2671 0.8536 0.0015 0.0097 7.31E-05 0.000120 -15.40728 -14.92734 -15.26457 1.847023
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.
Multikolinearitas
Coefficients
a
Standardize Unstandardized Coefficients d Coefficients Collinearity Statistics Toleranc Model 1 (Constant) D_LNIHK D_LNPMTB D_Rasio_Kete rbukaan a. Dependent Variable: D_Rasio_PDRB B .009 -.059 -.022 -.048 Std. Error .005 .038 .025 .022 -.443 -.245 -.392 Beta t 2.031 -1.554 -.855 -2.155 Sig. .054 .134 .401 .042 .393 .388 .967 2.542 2.574 1.034 e VIF
4.
Autokorelasi (Korelasi)
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 0.213184 0.537279 Prob. F(2,21) Prob. Chi-Square(2) 0.8097 0.7644
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/06/12 Time: 21:29
Sample: 1984 2010 Included observations: 27 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERBUKAA N D_LNIHK C RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient 4.55E-05 0.002111 -0.000160 -7.56E-05 0.124812 0.055181 0.019899 -0.213458 0.009595 0.001933 90.53733 0.085274 0.993794 Std. Error 0.026569 0.023445 0.039566 0.004829 0.221369 0.232429 t-Statistic 0.001711 0.090051 -0.004042 -0.015657 0.563817 0.237412 Prob. 0.9987 0.9291 0.9968 0.9877 0.5789 0.8146 -3.69E-19 0.008710 -6.262024 -5.974061 -6.176398 1.978251
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.
Linearitas
Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio 0.148370 0.181479 Prob. F(1,22) Prob. Chi-Square(1) 0.7038 0.6701
Test Equation: Dependent Variable: D_RASIO_PDRB Method: Least Squares Date: 08/06/12 Time: 21:30 Sample: 1984 2010 Included observations: 27 Variable D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERBUKAA N D_LNIHK C FITTED^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient -0.017685 -0.049903 -0.057886 0.008369 29.84438 0.269977 0.137245 0.009437 0.001959 90.35672 2.034005 0.124585 Std. Error 0.027794 0.023214 0.038865 0.005420 77.47994 t-Statistic -0.636305 -2.149644 -1.489414 1.544004 0.385188 Prob. 0.5311 0.0428 0.1506 0.1369 0.7038 0.001282 0.010160 -6.322720 -6.082750 -6.251364 1.810431
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
LAMPIRAN 3 Model Kedua A. Uji Kestasioneran 1. Rasio Tenaga Kerja Sektor Industri Terhadap total tenaga kerja
Null Hypothesis: RASIO_TENAGAKERJA has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 19 -0.380116 -2.692358 -1.960171 -1.607051 Prob.* 0.5336
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RASIO_TENAGAKERJA) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:26 Sample (adjusted): 1992 2010 Included observations: 19 after adjustments Variable RASIO_TENAGAKERJ A(-1) D(RASIO_TENAGAKE RJA(-1)) -0.578455 0.195150 -2.964160 0.0087 -0.020597 0.054185 -0.380116 0.7086 Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Null Hypothesis: D_RASIO_TENAGAKERJA has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 19 -8.387793 -2.692358 -1.960171 -1.607051 Prob.* 0.0000
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(D_RASIO_TENAGAKERJA) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:25 Sample (adjusted): 1992 2010 Included observations: 19 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. 0.0000
D_RASIO_TENAGAKE -1.586963
0.189199 -8.387793
RJA(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.796218 0.796218 0.012749 0.002926 56.43757 1.684658 Mean dependent var S.D. dependent var 0.000465 0.028242
Null Hypothesis: LNPMTB has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 1.072997 -2.685718 -1.959071 -1.607456 Prob.* 0.9197
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LNPMTB) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:28 Sample (adjusted): 1991 2010 Included observations: 20 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNPMTB(-1) R-squared
0.002148 -0.001372
0.002002
1.072997
Adjusted R-squared -0.001372 S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.129110 0.316719 13.07597 1.275024
Null Hypothesis: D_LNPMTB has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 19 -2.759852 -2.692358 -1.960171 -1.607051 Prob.* 0.0085
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(D_LNPMTB) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:26 Sample (adjusted): 1992 2010 Included observations: 19 after adjustments
Variable D_LNPMTB(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Std. Error
t-Statistic
3. Tingkat Keterbukaan Null Hypothesis: TINGKAT_KETERBUKAAN has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 2.632447 -2.685718 -1.959071 -1.607456 Prob.* 0.9963
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TINGKAT_KETERBUKAAN) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 22:28 Sample (adjusted): 1991 2010 Included observations: 20 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
TINGKAT_KETERBUK AAN(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.045200 0.003724 0.003724 0.070487 0.094401 25.18060 1.461977 0.017170 2.632447 0.0164 0.041278 0.070619
Null Hypothesis: D_TINGKAT_KETERBUKAAN has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 19 -1.935991 -2.692358 -1.960171 -1.607051 Prob.* 0.0525
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(D_TINGKAT_KETERBUKAAN) Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:27 Sample (adjusted): 1992 2010
Included observations: 19 after adjustments Variable D_TINGKAT_KETERBU KAAN(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat -0.533841 0.159213 0.159213 0.078477 0.110855 21.90792 1.583624 0.275746 -1.935991 Mean dependent var S.D. dependent var 0.0687 0.010491 0.085585 Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
5.
Null Hypothesis: LNIHK has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 4.954403 -2.685718 -1.959071 -1.607456 Prob.* 1.0000
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LNIHK) Method: Least Squares
Date: 08/04/12 Time: 22:29 Sample (adjusted): 1991 2010 Included observations: 20 after adjustments Variable LNIHK(-1) R-squared Coefficient 0.025412 -0.084872 Std. Error 0.005129 t-Statistic 4.954403 Prob. 0.0001 0.100445 0.084527
Adjusted R-squared -0.084872 S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.088041 0.147275 20.73311 1.615316
Null Hypothesis: D_LNIHK has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 19 -1.956293 -2.692358 -1.960171 -1.607051 Prob.* 0.0504
Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:27 Sample (adjusted): 1992 2010 Included observations: 19 after adjustments Variable D_LNIHK(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient -0.349046 0.175324 0.175324 0.103044 0.191126 16.73314 2.128098 Std. Error t-Statistic Prob. 0.0661
0.178422 -1.956293
B. Uji Kointegrasi Null Hypothesis: RESID01 has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) t-Statistic Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. -3.174494 -2.685718 -1.959071 -1.607456 Prob.* 0.0031
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01) Method: Least Squares
Date: 08/04/12 Time: 12:31 Sample (adjusted): 1991 2010 Included observations: 20 after adjustments Variable RESID01(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Coefficient -0.687345 0.346560 0.346560 0.012771 0.003099 59.34646 2.256421 Std. Error t-Statistic Prob. 0.0050 6.49E-05 0.015798
D. Uji Asumsi
1.
Normalitas
7 6 5 4 3 2 1 0 -0.02
Series: Residuals Sample 1991 2010 Observations 20 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis Jarque-Bera Probability
-0.01 0.00 0.01 0.02 0.03
2.
Homoskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared 0.326727 9.555240 Prob. F(14,5) Prob. Chi0.9550 0.7939
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:33 Sample: 1991 2010 Included observations: 20 Variable C D_LNPMTB D_LNPMTB^2 D_LNPMTB*D_TINGKAT_KETE RBUKAAN D_LNPMTB*D_LNIHK D_LNPMTB*RESID01(-1) D_TINGKAT_KETERBUKAAN D_TINGKAT_KETERBUKAAN^2 D_TINGKAT_KETERBUKAAN* D_LNIHK D_TINGKAT_KETERBUKAAN*R ESID01(-1) D_LNIHK D_LNIHK^2 D_LNIHK*RESID01(-1) RESID01(-1) RESID01(-1)^2 R-squared 0.172090 0.019962 -0.086481 0.169011 -0.016897 -0.184704 0.477762 0.249604 0.689453 0.5212 0.016634 1.200113 0.2839 0.078333 -1.104022 0.3199 0.668750 0.252727 0.8105 0.047870 -0.352973 0.7385 0.558060 -0.330975 0.7541 Mean dependent var 0.00010 -0.010837 0.103661 -0.104539 0.9208 -0.023792 -0.082628 -0.183944 -3.82E-05 0.006884 0.039952 -0.595511 0.5774 0.069690 -1.185650 0.2890 0.203090 -0.905725 0.4066 0.011843 -0.003226 0.9976 0.031691 0.217233 0.8366 Coefficient -0.000951 0.011708 -0.014221 Std. Error t-Statistic Prob.
9 0.00023 Adjusted R-squared -0.984504 S.D. dependent var 2 Akaike info S.E. of regression 0.000327 criterion 13.1007 5 12.3539 Sum squared resid 5.34E-07 Schwarz criterion 5 Hannan-Quinn Log likelihood 146.0075 criter. 12.9549 7 1.98569 F-statistic Prob(F-statistic) 0.326727 0.954952 Durbin-Watson stat 4
3. Correlation Test
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 2.850956 6.097677 Prob. F(2,13) Prob. Chi-Square(2) 0.0941 0.0474
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/04/12 Time: 12:33 Sample: 1991 2010 Included observations: 20 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable C D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERB UKAAN D_LNIHK RESID01(-1) RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.046677 -0.043726 0.179662 -0.120624 0.837607 0.304884 -0.015939 0.010786 0.001512 66.51874 0.950319 0.493544
0.043091
1.083209
4. Multikolienaritas
Coefficients
Standardiz ed Unstandardized Coefficients Std. Model 1 (Constant) d_LNPMTB d_TIngkat_ket erbukaan d_LNIHK .058 .075 .319 .783 .445 .330 3.030 B -.008 .069 -.022 Error .009 .050 .053 .572 -.099 Beta t -.810 1.373 -.407 Sig. .430 .189 .689 .316 3.165 .920 1.087 Coefficient s Collinearity Statistics Toleran ce VIF
Coefficients
Standardiz ed Unstandardized Coefficients Std. Model 1 (Constant) d_LNPMTB d_TIngkat_ket erbukaan d_LNIHK .058 .075 .319 .783 .445 .330 3.030 B -.008 .069 -.022 Error .009 .050 .053 .572 -.099 Beta t -.810 1.373 -.407 Sig. .430 .189 .689 .316 3.165 .920 1.087 Coefficient s Collinearity Statistics Toleran ce VIF
5.
Linearitas
Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio 0.086014 0.122502 Prob. F(1,14) Prob. Chi-Square(1) 0.7736 0.7263
Test Equation: Dependent Variable: D_RASIO_TENAGAKERJA Method: Least Squares Date: 08/05/12 Time: 13:23 Sample: 1991 2010 Included observations: 20 Variable C D_LNPMTB D_TINGKAT_KETERBUKAA N D_LNIHK RESID01(-1) FITTED^2 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Coefficient -0.007738 0.065058 -0.052238 0.074481 -0.786699 4.362716 0.523581 0.353431 0.012429 0.002163 62.94323 3.077175 0.044302 Std. Error 0.007664 0.039418 0.043543 0.059329 0.252588 14.87549 t-Statistic -1.009596 1.650459 -1.199701 1.255398 -3.114554 0.293282 Prob. 0.3298 0.1211 0.2502 0.2299 0.0076 0.7736 -0.000439 0.015457 -5.694323 -5.395603 -5.636009 2.295033
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat