Anda di halaman 1dari 10

2.3. Meningitis Purulenta 2.3.

1 Definisi Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua lapisan selaput otak yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang belakang. Sedangkan, Meningitis purulenta ialah radang selaput otak (arakhnoidea dan piamater) yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman non spesifik dan non virus (Gilroy,2000).

2.3.2 Etiologi Kuman penyebab terbanyak meningitis purulenta ialah jenis Pneumokokus, Hemophilus influenza, Staphylokokus, Streptokokus, E. Coli, Meningokokus dan Salmonella, Listeria, Klebsiela (Mansjoer,2000). Agen etiologi meningitis purulenta pada neonatus paling banyak adalah bakteri streptokokus grup B dan bakteri gram negative. Bakteri streptokokus merupakan agen penting yang menyebabkan late-onset disease yang akan bermanifestasi sebagai meningitis. Bakteri Escherichia colli dan bakteri gram negative lain seperti Klebsiella, Enterobacter, dan Salmonella menyebabkan insiden meningitis yang sporadik pada negara berkembang (Muller,2011).

Tabel. Etiologi Meningitis Purulenta

2.3.3 Epidemiologi Angka prevalensi meningitis purulenta adalah 5 : 100.000 dengan insiden tertinggi meningitis purulenta terdapat pada anak usia 2 bulan hingga usia 2 tahun, dimana umumnya banyak terjadi pada anak yang distrofik dengan daya tahan tubuh rendah (Gilroy,2000).

Meningitis Purulenta pada bayi dan anak di Indonesia, khususnya di Jakarta masih merupakan penyakit yang belum mengurang. Angka kejadian tertinggi umur antara 2 bulan 2 tahun. Umumnya terdapat pada anak yangdistrofik, yang daya tahan tubuhnya rendah. Di negeri yang sudah maju, angka kejadian sudah sangat berkurang (Mansjoer,2000). Faktor predisposisi meningitis purulenta meliputi infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran pendengaran, riwayat cedera kepala, riwayat anestesi spinal, riwayat kontak dengan penderita infeksi meningokal, dan menurunnya kondisi tubuh (Gilroy,2000).

2.3.4 Patogenesis Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui : 1. Aliran darah (hematogen) karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, penumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak (Gilroy,2000). 2. Perluasan langsung dari infeksi (per kontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus kavernosus (Gilroy,2000). 3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, punksi lumbal, dan mielokel (Gilroy,2000). 4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena : Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir. Infeksi bakterial secara transplantasi terutama listeria. (4)

Meningitis purulenta pada umumnya sebagai akibat komplikasi penyakit lain. Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyerangan hematogen. Pada neonates, pathogen didapat dari sekresi genital maternal yang terinfeksi. Pada bayi dan anakanak, infeksi saluran napas merupakan port dentree utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta (Bueno et al.,2005). Inokulasi direct bacteria ke dalam CNS dapat diakibatkan karena trauma, skull defect, congenital dura defect. Proses terjadinya diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring dan melakukan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya, bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri melepaskan endotoksin dan sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, MMP1, MMP2, dan mediator-mediator lain sehingga

menyebabkan respon inflamasi meningkat pada piameter dan arachnoid sehingga terjadi kongesti dan produksi eksudat fibropurulen (Gilroy,2000)

2.3.5 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis meningitis purulenta bergantung pada usia dari penderita. Demam, kaku lehar, dan perubahan status mental ditemukan pada hamper 50% penderita, tanda kernig sign positif dan brudzinki sign positif ditemukan hanya 5% pada pasien dewasa dengan meningitis purulenta. Manifestasi klinis diatas lebih jarang didapatkan pada penderita meningitis purulenta usia anak-anak. Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku leher, tanda kernig dan brudzinki pada anak-anak tidak dapat secara spesifik mengidentifikasi meningitis purulenta (Fenichel,2005).

Secara garis besar manifestasi klinis meningitis purulenta dibagi menjadi 3 gejala besar yakni : 1. Gejala infeksi akut Anak menjadi lesu, mudah terangsang, panas muntah, anoreksia dan pada anak yang besar mungkin didapatkan keluhan sakit kepala. Pada infeksi yang disebabkan oleh meningokokus terdapat petekia dan herpes labialis (Gilroy,2000).

2. Gejala Tekanan intrakranial yang meninggi Anak yang sering muntah, nyeri kepala (pada anak besar), moaning cry (pada neonatus) yaitu tangis yang merintih. Kesadaran bayi/anak menurun dari apatis sampai koma. Kejang yang terjadi dapat bersifat umum, fokal atau. Ubun-ubun besar menonjol dan tegang, terdapat gejala kelainan serebral lainnya seperti paralisis, strabismus, Crack pot sign dan pernapasan Cheyne Stokes. Kadang-kadang pada anak besar terdapat hipertensi dan Chocked disc dari papila nervus optikus (Gilroy,2000). 3. Gejala rangsangan meningeal Terdapat kaku kuduk, malahan dapat terjadi regiditas umum. Tanda-tanda spesifik seperti kernig, brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi, sering terdapat keluhan di daerah leher dan punggung. Bila terdapat gejala tersebut di atas, selanjutnya dilakukan punksi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal (Gilroy,2000).

Manifestasi klinis meningitis purulenta berdasarkan usia : a. Neonatus : Gejala tidak khas, panas +, anak tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun. Ubun-ubun besar kadang tampak cembung, dan pernafasan tidak teratur. b. Anak-anak usia 2 bulan - 2 tahun : Gambaran klasik (-). Hanya panas, muntah, gelisah, dan kejang berulang. c. Anak umur > 2 tahun : panas menggigil, muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan kesadaran dan ditemukan tanda-tanda rangsang meningeal (Saharso,2008).

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang 1. Pungsi Lumbal Lakukan punksi lumbal pada setiap pasien dengan kecurigaan meningitis. Meskipun hasilnya normal, observasi pasien dengan ketat sampai keadaannya kembali normal. Punksi lumbal dapat diulang setelah 8 jam bila diperlukan. Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini dapat dijumpai cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorfonukleus. Pada stadium dini didapatkan jumlah sela hanya ratusan per milimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan demikian, punksi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam likuor meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah. Pengobatan antibiotik sebelumnya dapat mengqcaukan gambaran cairan serebrospinal. Pewarnaan gram cairan serebrospinal berguna untuk menentukan terapi awal. Kultur dan uji resistensi dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat. 2. Pemeriksaan Darah Dari pemeriksaan sediaan langsung di bawah mikroskop mungkin dapat ditemukan kuman penyebab (jarang). Diferensiasi kuman yang dapat dipercaya hanya dapat ditentukan secara pembiakan dan percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah indikasi kontra terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri. Umumnya terdapat anemia megaloblastik. 2.3.7 Diagnosis

Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi, dan pemeriksaan penunjang seperti lumbal pungsi. Pasien pada umumnya datang dengan keluhan adanya demam, kaku pada bagian leher, dan perubahan status mental, bahkan tidak terkecuali pasien datang dengan kejang. Pada pemeriksaan mungkin didapatkan adamya fokus infeksi yang telah ada, seperti adanya infeksi pada traktus respiratori atau lainnya. Pada pemeriksaan fisik, mungkin didapati penurunan kesadaran dari pasien, adanya tanda-tanda meningeal yang positif dengan suhu aksila yang cenderung tinggi.. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti lumbar pungsi akan menampakkan hasil yang menunjang diagnosa dari meningitis bakterial itu sendiri. Bila dibutuhkan dapat dilakukan pemeriksaan imaging yang ada untuk melihat adanya fokus-fokus infeksi ditempat tertentu.

2.3.8 Diganosis Banding Gejala awal yang tidak khas menyebabkan pasien diduga menderita demam tifoid atau sakit dengan penyebab panas yang lain . Diagnosis banding untuk meningitis purulenta juga adalah meningitis tuberkulosa dan meningitis virus (Saharso,2008).

2.3.9 Komplikasi Ventrikulitis, efusi subdural, gangguan cairan dan elektrolit, meningitis berulang, abses otak (gejala neurologik fokal, leukositosis), paresis/paralisis, ataksia, tuli, hidrosefalus, retardasi mental, epilepsi,syok septik, trombosis sinus vena (gangguan kesadaran) (Mansjoer,2000 ; Krawinkel,2001). Ventrikulitis Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran mikroorganisem dari ruang subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi sering terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta. Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi stempat (terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan dapat menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral secara massif, irigasi dan drainase secara periodic.

Efusi Subdural Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetap memnonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul

kelainan neurologis fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan. Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusen asimetri, pada bayi berumur kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada bayi berumur 6 bulan atau lebih daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a. kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau bertambah banyak; c. membentuk membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema. Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik, peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari (selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang berasal dari fibrin dan dapat menghalangi pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk neovaskular yang ujungnya menempel di korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna xantokrom, tapi setelah beberapa kali menjadi kuning muda.

Gangguan cairan dan elektrolit Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan sedikit natrium.

Tuli Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat menetap. Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan pendengaran apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis 0,6mg/kgBB/hari intravena dibagi 4 dosis selama 4 hari.

2.3.10 Penatalaksanaan Penanganan penderita meningitis meliputi : 1. Farmakologis : Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut (Pusponegoro,2004): Umur 0-7 hari 1. Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau 2. Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau 3. Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari setiap 12 ajm IV. Umur >7 hari 1. Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari 2. setiap 12 jam IV atau 3. Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau 4. Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV. Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : Usia 1 3 bulan : 1. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau 2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis Usia > 3 bulan : 1. Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau 2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau 3. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur dan resistensi. Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial meningitis adalah sebagai berikut : N meningitidis - 7 hari H influenzae - 7 hari S pneumoniae - 10-14 hari S agalactiae - 14-21 hari Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu L monocytogenes - 21 hari atau lebih Pada neonatus pengobatan selama 21 hari, pada bayi dan anak 10 14 hari (Saharso,2003 ; Behrmann,2003)

2. Pengobatan Simptomatis : Menghentikan kejang : Diazepam 0,2-0,5mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan : Phenitoin 5mg/kgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau Phenobarbital 5-7mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

Menurunkan Panas : o Antipiretik : Paracetamol 10mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4x sehari. o Kompres air hangat atau biasa 3. Pengobatan Supportif : Cairan intravena, koreksi gangguan asam basa dan elektrolit, oksigenasi

(Saharso,2003)

Tabel : Terapi Antibiotik untuk meningitis purulenta (Krawinkel,2001)

2.3.12 Prognosis Berat ringannya penyakik.t ini tergantung pada umur (makin muda makin berat), jenis kuman, berat ringannya infeksi, lama sakit sebelum diobati, kepekaan kuman terhadap antibiotik (sering jenis kuman tidak teridentifikasi) dan komplikasi yang timbul. Prognosis

buruk pada usia lebih muda, infeksi berat yang disertai DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) (Mansjoer,2000)

1. GilroyJ.2000. Basic Neurology 3rd edition. USA : McGraw-Hill 2. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Diakses

Meningitis.http://emedicine.medscape.com/article/061497-overview. tanggal 24 Juli 2013 3. Mansjoer Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : EGC

4. Fenichel GM.2005. Clinical Pediatric Neurology 5th ed. Philadelphia : Elsevier saunders. 5. Saharso D, dkk.2003.Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI. 6. Pusponegoro HD, dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI : 200 208. 7. Krawinkel,M.2001. Praktik kedokteran di Negara Berkembang. Edisi I. Jakarta : Widya Medika

Anda mungkin juga menyukai