Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

EPISTAKSIS

PEMBIMBING : Dr.Azwan Mandai, Sp.THT-KL

DISUSUN OLEH : PUSPA AYU NAVRATILOVA 61109018

SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM 2013

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wataala, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr.Azwan Mandai, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah member bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas di stase Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan dan Kepala Leher, dengan judul Epistaksis pada kepaniteraan klinik senior di RSUD Embung Fatimah Batam. Dalam penyusunan referat ini penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan kedepannya. Penulis berharap referat ini dapat memberi manfaat bagi penulils khususnya dan pembaca sekalian pada umumnya dan juga memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Batam,

Juli 2013

Penulis

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1 I.2 Tujuan ....................................................................................................................2 I.3 Manfaat ....................................................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Anatomi dan Vaskularisasi Hidung.........................................................................3 II.2 Definisi Epistaksis ...................................................................................................9 II.3 Etiologi ....................................................................................................................9 II.4 Sumber Perdarahan ...............................................................................................18 II.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan ......................................................................20 II.6 Penatalaksanaan ....................................................................................................23 II.7 Komplikasi ...........................................................................................................27 II.8 Diagosis Banding ..................................................................................................28 II.9 Pencegahan ............................................................................................................28 II.10 Prognosis .............................................................................................................29 BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan .........................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................32

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 3

BAB I PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang

Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau sekunder, spontan atau akibat rangsangan dan berlokasi disebelah posterior atau anterior. Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan tidak terlindung mudah rupture dan menyebabkan perdarahan. 1

Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.2

Banyak faktor yang dapat menyebabkan epistaksis, secara garis besar dibagi menjadi dua, kelainan lokal dan kelainan sistemik.2 Kelainan lokal yaitu diakibatkan oleh kerusakan dari daerah local nya sendiri yaitu hidung, misalnya karena trauma mengorek hidung, benturan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras. Sedangkan kelainan sistemik yaitu epistaksis yang diakibatkan oleh penyakit lain, misalnya penyakit kardiovaskular, kelainan darah, kelainan kongenital, dan lain-lain.

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 4

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan , yaitu daerah anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoid anterior. Sedangkan daerah posterior dapat berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.2

I.2.

Tujuan 1.2.1. Mampu mengetahui dan menjelaskan tentang epistaksis 1.2.2. Mampu menentukan letak epistaksis 1.2.3. Mampu mengetahui dan menjelaskan tentang penyebab utama dari epistaksis 1.2.4. Mampu mengetahui dan menjelaskan diagnosis dan penatalaksanaan dari epistaksis

1.3.

Manfaat Manfaat referat ini adalah peneliti memperoleh wawasan pengetahuan dan informasi mengenai epistaksis serta mampu mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari.

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

Anatomi dan Vaskularisasi Hidung

A. Anatomi Hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.1

Gambar 1 : Hidung

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 6

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi, yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung) kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung. 1,2

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 7

Gambar 2 : anatomi hidung dengan potongan sagittal

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. 1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 8

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. 1,2

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus 1

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla. 1,2

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 9

B. Vaskularisasi hidung

Gambar 3 : Vaskularisasi hidung 2

Bagian atas rongga hidung mendapatkan perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapatkan perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung belakang ujung posterior konka media.2

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area).2

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 10

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis: arteri karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui : 1) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.2
2)

Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior. 2

Gambar 4 : Anatomi vaskuler supplai darah septum nasi. Pleksus Kiesselbachs atau Littles area, merupakan lokasi epistaksi anterior paling banyak

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 11

Gambar 5: Pleksus Kiessalbach(4)

II.2.

Definisi Epistaksis

Epistaksis menurut kamus kedokteran Dorland yaitu perdarahan dari dalam hidung, mimisan disebut juga nosebleed atau nose hemorrhage.3 Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates. Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.4

II.3.

Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.2 Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau
Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 12

sekunder, spontan atau akibat rangsangan, dan berlokasi disebelah anterior atau posterior. Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan tidak terlindungi mudah rupture dan menyebabkan perdarahan.1

A. Kelaianan Lokal

a) Trauma, perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas, adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.1,2 b) Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau ingus. 1,2 Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.

Gambar 6 : Epistaksis pada neoplasma

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 13

c) Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak dan remaja. d) Infeksi lokal , bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis.1,2 Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung. e) Iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung. Keadaan lingkungan yang sangat dingin, tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba-tiba.1,2 Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah. f) Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksis ringan unilateral disertai Ingus berbau busuk. 1,2

B. Kelainan Sistemik

a) Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. 2

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 14

1) Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.5

2) Arteriosklerosis Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.5

3) Sirosis hepatis Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.6

4) Diabetes mellitus Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial
Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 15

pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.7

b) Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia, anemia pernisiosa, purpura vaskuler, polisitemia, defisiensi faktor pembekuan.1,2,7

Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A2 (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ l. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.5

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia
Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 16

A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.5,6

Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan

pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.5,6

c) Infeksi sistemik, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid, malaria, pneumonia. 1,2,7 Demam berdarah, sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 17

terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.5,7

d) Gangguan Hormonal, keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan dan menopause karena pengaruh perubahan hormon.1,2 Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.

e) Kelainan kongenital misalnya Hereditary Hemorrhagic Telangiectasis atau penyakit Rendj-Osler-Weber, juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.
1,2

Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan

kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam. 8

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 18

Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang normal.8

Gambar 7a. Pembekuan darah normal

Gambar 7b. Pembekuan darah tidak normal

Tahap 1 Tahap 2

Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan. Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah yang luka.

Tahap 3

Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi trombosit.

Tahap 4

Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 19

terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.

Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von Willebrand ) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.

Gambar normal 8

8a.

cascade

koagulasi

Gambar

8b.

cascade

koagulasi

hemophilia8

VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.6,8 1) Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah. 2) Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 20

perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.

f) Pada pasien dengan pengobatan anti koagulan (Aspirin, walfarin dan lain-lain).

Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu

dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.7

II.4.

Sumber Perdarahan

Melihat sumber perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.3

a) Epistaksis anterior

Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.3 Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 21

yang merupakan area terpenting pada epistaksis, merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior.

Gambar 9: Epistaksis anterior(6)

b) Epistaksis posterior

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.

Gambar 10. Epistaksis posterior(6)


Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 22

II.5.

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.5

Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.6

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa. Anamnsis yng lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. 2,6

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.6 Pasien dengan keadaan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaan lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 23

ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampaivdarah mengalir ke saluran nafas bawah.pasien anak dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.2

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktorfaktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/5000-1/10.000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara.
2,5,7,8

Sesudah 10 sampai 15 menit kapas

dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior hidung. 2.8

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa: 5,6

a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat.

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 24

Gambar 11 : Rhinoskopi Anterior 8 b) Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.8

c) Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.8

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.5

e) Skrining terhadap koagulopati Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. 6

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 25

f) Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. 6

g) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.5

Gambar 12: Tampilan endoskopi epistaksis posterior 5

II.6.

Penatalaksanaan Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang penting dicari tahu adalah : 5,6 1. Riwayat perdarahan sebelumnya. 2. Lokasi perdarahan. 3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 26

4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya 5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 6. Hipertensi 7. Diabetes melitus 8. Penyakit hati 9. Gangguan koagulasi 10. Trauma hidung yang belum lama 11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : Perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebabnya untuk mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien (nadi, pernafasan, serta tekanan darahnya), bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infuse.2,6 Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:6,7,8 a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 10-15 menit (metode Trotter).8

Gambar 13. Metode Trotter 8

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 27

c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. 5,7

d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti (AgNO3) 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sesudahnya tempat tersebut diberikan krim antibiotik. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.2,4

e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau salep antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukan atau dicabut. Tampon dimasukan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.2 Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapislapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
5,6

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 28

Gambar 14 : Tampon anterior 6 Perdarahan posterior Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior, tindakan nya adalah : a. Diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang berlawanan. Tampon harus menutup koana (nares posterior). Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.2,6,8

Gambar 15: Tampon Bellocque

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 29

b. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.8

Gambar 18. Tampon posterior dengan Kateter Foley 8

c. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.8

II.7 Komplikasi Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran nafas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfus darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberika antibiotik.

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 30

Pemasangan tampon anterior dapat timbul rino-sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir, bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.2,7 Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotic pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.2

Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum. 2

II.8.

Diagnosis banding Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.7

II.9.

Pencegahan Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain : 2 a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teh garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku. b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 31

c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung. d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras. e. Bersin melalui mulut. f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari. g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen. h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa. i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan iritasi.

II.10. Prognosis Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.6

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 32

BAB III PENUTUP

III.1

Kesimpulan

Epistaksis menurut kamus kedokteran Dorland yaitu perdarahan dari dalam hidung, mimisan disebut juga nosebleed atau nose hemorrhage.3 Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.2 Melihat sumber perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.2 Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah: 5,6,7 a. Memencet hidung b. Pemasangan tampon anterior dan posterior c. Kauterisasi d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 33

Komplikasi pemasangan tampon anterior dapat timbul rino-sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir, bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.2,7

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.6

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 34

DAFTAR PUSTAKA

1. Balenger JJ, Snow JrJB. Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, 15th Ed.William & Wilkins, Baltimore. 2. Iskandar N, Supardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Edisi 6, Jakarta : FKUI, 2008; p. 155-159. 3. Setiawan andy, dkk. Kamus Kedokeran Dorland, edisi 29, Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC, 2003 ; p.752 4. Nwaorgu OGB, Epistaxis : an overview, Annals of Ibadan postgraduate medicine, 2004 5. Bamimore, ola, Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities Serial

Online 8 juli 2013 (Online 15 juli 2013) Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment 6. Alvi A, Joyner-Triplett N, dkk. Nosebleed (Epistaxis). Serial Online 20 april 2010(online 16 juli 2013) Available from: http://www.patient.co.uk/doctor/Nosebleed-(Epistaxis).htm 7. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine. Serial Online 19 Februari 2009 (online 15 Juli 2013) Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784 8. David Zieve, dkk. Nosebleed Bleeding from Nose Epistaxis. Serial Online 24 januari 2012 (Online 15 Juli 2013) Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0003594/

Epistaksis Puspa Ayu Navratilova | 35

Anda mungkin juga menyukai