Anda di halaman 1dari 9

BAB II PEMBAHASAN MASALAH

A. BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA Dengan Philip Hull, Center for Psychological Studies Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan informasi. Bahasa juga merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi pada generasi berikutnya. Bahasa bisa mengacu kepada kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, atau kepada sebuah instansi spesifik dari sebuah sistem komunikasi yang kompleks. Kajian ilmiah terhadap bahasa dalam semua indra disebut dengan linguistik.Pemerolehan bahasa (language aquisition) adalah suatu aspek penting dalam psikologi bahasa karena pengetahuan tentang hal itu akan membentu kita memahami isu-isu perilaku manusia yang lebih luas. Misalnya, dengan mencari proses-proses pemerolehan mana saja yang universal dan mana yang khas/spesifik pada suatu budaya tertentu, kita akan lebih bisa menjawab sebuah pertanyaan abadi dalam psikologi. 1. TEORI DAN PANDANGAN TRADISIONAL TENTANG BAHASA a. Ciri-ciri bahasa Ahli psikolinguistik biasanya mencoba menggambarkan bahasa dengan menggunakan lima ciri/fitur kritis: 1) Leksikon, yaitu kata-kata yang ada dalam sebuah bahasa. Misalnya: pohon, makan, bagaimana dan pelan-pelan adalah diantara kosakata bahasa indonesia. 2) Sintaks dan tata bahasa (grammar) suatu bahasa mengacu pada sistem aturan yang mengatur bentuk kata dan bagaimana kata-kata dirangkai agar bisa menghasilkan ujaran yang punya makna. 3) Fonologi, yaitu suatu sistem aturan yang mengatur bagaimana sebuah kata diucapkan (pronounciation atau aksen) dalam suatu bahasa. 4) Semantik, yaitu arti yang dimaksud oleh suatu kata. 5) Pragmatik, yaitu sistem aturan tentang bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam suatu konteks sosial. Ahli psikolinguistik juga menggunakan dua konsep lain untuk membantu menjelaskan struktur bahasa. Yang pertama adalah fonem, yaitu unit bunyi paling kecil dan paling dasar dalam sebuah bahasa dan morfem, yaitu untit makna paling kecil dan paling dasar dalam sebuah bahasa. Salah satu perdebatan abadi dan paling penting dalam psikologi bahasa adalah debat antara hubungan antara jenis bahasa yang kita gunakan dengan proses berpikir yang kita miliki. Ini sering kali disebut sebagai hipotesis SapirWhorf. Perdebatan penting lain dalam psikologi bahasa adalah tentang sejauh

mana proses-proses pemerolehan bahasa (language acquisition) bersifat bawaan atau innate, dan sejauh mana proses-proses tersebut kita peroleh lewat pengalaman alias dipelajari. b. Hipotesis sapir-whorf Hipotesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa orang yang berbeda bahasa, karena perbedaan bahasa ini, berpikir secara berbeda. Karena budaya yang berbeda biasanya punya bahasa yang berbeda pula, hipotesis Sapir-Whorf penting khususnya dalam pemahaman kita mengenai berbagai perbedaan (dan persamaan), kultural dalam cara berpikir dan perilaku sebagai fungsi bahasa. c. Penelitian lintas budaya tentang hipotesis sapir-whorf Dalam salah satu kajian awal pada bahasa, Caroll dan Casagrande (1958) membandingkan orang yang berbahasa Navaho dan yang berbahasa Inggris. Mereka meneliti hubungan antara sistem klasifikasai bentuk dalam bahasa Navaho dengan tingkat perhatian anak-anak terhadap bentuk ketika melakukan klasifikasi benda. Mereka mencatat bahwa dalam ciri linguistik bahasa Navaho jauh lebih kompleks dibandingkan dengan bahasa Inggris. Hasilnya, anak-anak yang berbahasa Navaho lebih sering menggunakan bentuk/form dalam melakukan klasifikasi. Ditemukan dugaan bahwa ciri linguistik yang demikian punya peran dalam mempengaruhi proses-proses kognitif. Temuan ini menjadi bukti yang mendukung ide bahwa bahasa yang kita gunakan bisa mempengaruhi pemikiran kita. Ini menunjukkan bahwa bahasa mungkin punya peran perantaraan. Dengan kata lain, bahasa berangkali merupakan salah satu diantara beberapa pengalaman yang bisa mempengaruhi cara berpikir kita. Penelitian-penelitian tentang bahasa dan persepsi warna biasanya melihat bagaimana warna dikategorikan dan bagaimana warna diberi nama di bahasabahasa yang berbeda. Brown dan Lenneberg (1954) misalnya, menemukan adnya hubungan positif antara codability suatu warna dengan tingkat akurasi suatu warna yang diingat dalam sebuah tugas memori. Codability yang dimaksud di sini adalah tingkat kesepakatan orang-orang yang berbahasa Inggris memberi nama pada warna tertentu. Berlin dan Kay (1969) meneliti 78 bahasa dan menemukan 11 istilah warna dasar yang membentuk sebuah hirarki yang universal. Beberapa bahasa seperti Bahasa Inggris dan Jerman, menggunakan seluruh 11 istilah tersebut sedangkan beberapa lain seperti Bahasa Dani (Papua) hanya memakai dua istilah saja. Selanjutnya, mereka melihat adanya urutan evolusioner dalam bagaimana bahasa meng-encode kategori-kategori universal ini. Temuan dari Berlin dan Kay menunjukkan bahwa orang dari budaya yang berbeda mempersepsi warna dengan cara yang sama, meski ada perbedaanperbedaan yang radikal dalam bahasa mereka. Rosch juga meneliti hubungan antara bahasa dan ingatan. Ia berpendapat bahwa bila posisi teoritis Whorfian benar, maka minimnya leksikon bahasa suku

Dani untuk warna akan menghambat mereka dalam membedakan dan mengingat warna. Pada kenyataannya Heider dan Oliver (1972) menemukan bahwa orang-orang yang berbahasa Dani tidak mengalami kesulitan yang lebih daripada orang-orang yang berbahasa Inggris dalam hal kategori-kategori warna. Mereka juga tidak menunjukkan kemampuan berbeda dari orang berbahasa Inggris dalm tugas-tugas ingatan. Cara mempersepsi warna juga sangat dipengaruhi oleh biologis kita, khususnya pada sistem visual biologis kita. Sistem ini sama pada semua budaya manusia. De Valois dan rekan-rekannya meneliti sebuah spesies monyet yang memiliki sistem visual yang mirip manusia. Dari serangkaian penelitiannya, ditemukan bahwa sel-sel merah-hijau kita hanya dapat merespon pada warna merah atau hijau secara bergantian, tidak bisa bersamaan. Jadi, jelas biologi kita sangat berpengaruh terhadap bagaiamana kita melihat warna. Ringkasnya, kita bisa melihat bahwa bidang yang paling banyak dikaji adalah perbedaan leksikal antarbahasa. Leksikon atau kosakata tampaknya hanya sedikit berhubungan dengan proses berpikir kita. Hal inilah yang banyak mendorong skeptisisme terhadap hipotesis Saphir-Whorf. Bidang lain yang jauh lebih jarang diteliti, yaitu perbedaan sintaktik dan gramatikal antarbahasa tampaknya lebih banyak memberi bukti yang mengandung klaim bahwa bahasa memang mempengaruhi kognisi. 2. BAHASA DAN PERILAKU: KASUS KHUSUS BILINGUALISME Di awal abad ke-20, banyak orang Amerika mengira mengetahui lebih dari satu bahasa adalah sesuatu yang harus dihindari. Yang umum dipercaya adalah bahwa manusia hanya punya ruang terbatas untuk menyimpan bahasa. Sampai sejauh ini, kita bebrbicara tentang orang yang berbahasa seolah seluruh manusia hanya dapat berbicara dalam satu bahasa. Meski di Amerika terdapat beragam budaya, kita dapat dengan mudah berasumsi bahwa hal yang memang benar dan bahwa bilingualisme terutama merupakan persoalan minoritas. Di samping merupakan isu yang penting secara global, di Amerika memiliki sejumlah besar orang (yang terus bertambah) yang sehari-hari menggunakan bahasa inggris dan sebuah bahasa lain. Ervin (1964) membandingkan respon suatu sampel orang yang bilingual dalam bahasa inggris dan prancis terhadap gambar dari Thematik Apperseption Test (sebuah test yang umum digunakan dalam penelitian lintas-budaya). Para subjek membuat sebuah cerita respon terhadap gambar-gambar tersebut dalam bahasa inggris dan sekali lagi dalam bahasa Prancis. Ervin menemukan bahwa para subjek menunjukan lebih banyak agresi, otonomi, dan penarikan diri dalam bahasa prancis di banding bahasa Inggris, dan bahwa hanya subjek perempuan yang menunjukkan kebutuhan akan prestasi (need for achievment) yang lebih besar dalam bahasa Inggris dibanding Prancis. Ada sebuah contoh Isu bilingualisme dan kepribadian bagi para imigran di Amerika: seorang bilingual Cina-Inggris, yang dibesarkan disebuah rumah monolingual Cina dan belajar bahasa Inggris secara alami setelah berimigrasi ke

Amerika dari Cina diusia 8 tahun. Saat ini ia adalah seorang mahasiswi tinggal bersama orangtuanya, dan menggunakan bahasa cina sebagai satu-satunya bahsa dirumah. Bahasa Inggris ia gunakan di sekolah dan bersama sebagian besar teman sebayanya. Kita bisa menduga bahwa saat gadis ini menggunakan bahasa Cina ia akan cenderung berperlaku sesuia dengan norma-norama kultural Cina di rumahnya. Namun ketika berbahasa Inggris, ia akan cenderung berperilaku yang bergeser menjauh dari norma-norma Cina kearah norma-norma Anglo-Amerika. Menurut pandangan Whorfian menjelaskan perbedaan perilaku yang terkait bahasa seperti ini dengan menunjuk pada sistem pragmatik bahasa Inggris dan Cina (serta pada perbedaan-perbedaan linguistik lainnya). Setidaknya ada dua penjelasan mengenai mekanisme yang mungkin berada dibalik kepribadian yang terkait bahasa seperti ini. Kedua penjelasan ini disebut sebagai hipotesis afiliasi-budaya dan hipotesis afiliasi kelompok-minoritas. Hipotesis afiliasi-budaya menyetakan bahwa imigran bilingual cenderung mendekatkan atau mengafiliasikan diri pada nilai-nilai keyakina-keyakinan dari budaya yang di asosiasikan dengan bahasa yang sedang mereka gunakan. Dan menurut hipotesis afiliasi kelompok minorits etnis dan/atau mengadopsi perilku yang di-sterotipekan oleh budaya mayoritas tentang perilku ke-minoritas-an mereka ketika menggunkan bahasa yang diasosiasikan dengan kelompok minoritas mereka itu. 3. PEMEROLEHAN BAHASA Dalam suatu studi yang sekarang dikenal luas ditahun 1950-an, Jean Bercko (Bercko, 1958; Bercko-Gleason, 1989) dengan amat cerdik menunjukkan bahwa anak-anak tidak sekedar meniru apa yang mereka dengar, melainkan membuat hipotesis-hipotesis tentang bahasa dan kemudian menguji hipotesis-hipotesis tersebut pembuatan hipotesis dan pengujiannya ini merupakan strategi penting yang di pakai anak-anka diseluruh dunia untuk mempelajari bahasa ibu mereka. Bercko (1958) menunjukkna pada sekelompok anak-anak Amerika membuat gambar sebuah gambar makhluk imajiner. Ia kemudia mengatakan pada anka-anak bahwa itu adalah gambar seekor wug (makhluk imajiner yang ia ciptakan untuk eksperimen tersebut). Setelah itu Bercko menunjukan pada anak-anak yang tadi sebuah gambar yang memuat makhluk imajiner itu dan menanyakan pada mereka apa yang mereka lihat: Now there are two________. Sebagian besar anak-anak itu mengisis kalimat itu dengan mengatakan wugs. Karena kata wugs bukanlah kata dari bahasa Inggris dan merupakan kata yang belum pernah didengar anakanak itu sebelumnya, hal ini jelas menunjukkan bahwa mereka tak mungkin menggunakan imitasi untuk memunculkkan kata wugs. Terkadang pengetahuan anak-anak tentang aturan tata bahasa membuat mereka seolah mengalami kemunduran dalam perkembangan bahasa mereka. Banyak orang tua di Amerika yang kecewa ketika anak-anak mereka, yang sebelumnya sudah bisa menggunakan bentuk kata kerja to go dengan benar, mulai menggunkan bentuk yang salah yang dulu pernah mereka pakai.

Dalam perkembangan selanjutna anak-anak akan belajar tentang pengecualianpengecualian dalam aturan yang mereka pelajari sebelumnya seperti dalam bentuk lampau went yang ireguler ini. Yang dapat dipetik disini adalah bahwa mengetahui suatu aturan tata bahasa secara kreatif dalam situasi-situasi baru menunjukan kecanggihan kognitif yang jauh lebih tinggi ketimbang imitasi semata. Ini adalah sebuah strategi pembelajaran yang universal. Menurut Chomsky (1967), manusia memiliki apa yang disebut pemerolehan bahasa (PPB, atau Language Acquistion Device, LAD). Ia berpendapat bahwa PPB ini adalah yang memungkinkan semua anak normal untuk mempelajari bahasa dengan lancar. Bukti lain yang mendukung adanya Perangkat Pemerolehan Bahasa berasal dari penelitian lintas-budaya tentang pigdin dan kreole. (Pigdin adalah pengucapan yang disederhanakan yang dipakai untuk komunikasi antara orang yang berbeda bahasa. Kreole adalah bahasa yang didasarkan pada dua atau lebih bahasa yang menjadi bahasa ibu dari orang-orang yang menggunakannya). Bickerton (1981) mempelajari beberapa Pig din dan perkembangannya menjadi kreole. Ia menemukan bahwa banyak fitur linguistik yang ada pada beberapa kreole independent tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa sumbernya. Bickerton mengatakan bahwa satu-satunya penjelasan yang mungkin mengenai keberadaan fitur-fitur tersebut dalam kreole yang tidak terkait dengan kreole lain yang memiliki fiturfitur itu adalah bahwa mereka sudah terpogram-sejak lahir atau terpatri-cara biologis pada manusia sebagai bagian dari PPB kita. B. KOGNISI Adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indra menjadi pengetahuan. Proses-proses ini mencakup persepsi, pemikiran rasional,dst. 1. KATEGORISASI DAN PEMBENTUKAN KONSEP Dunia merupakan kekompleksan yang tiada batas. Melalui kategorisasi kita membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. a. Pengetahuan Tradisional Salah satu proses mental yang paling mendasar adalah cara bagaimana orang mengelompokkan hal-hal ke dalam kategori-kategori. Orang melakukan kategorisasi berdasarkan kemiripan-kemiripan dan kemudian melekatkan label yaitu kata-kata untuk mengelompokkan hal-hal yang kelihatannya punya kemiripan. Dengan demikian orang menciptakan kategori-kategori dari hal-hal yang punya cirri-ciri tertentu. Misalnya, kursi makan, kursi sofa, kursi ayun,dll. Semuanya mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda, tapi tergolong dalam kategorisasi satu dasar yang sama yaitu kursi. Dalam contoh ini, penentu utama kategorisasi adalah fungsinya yaitu kursi digunakan sebagai tempat duduk. Cara lain yang dipakai orang untuk menentukan apakah sesuatu tergolong dalam suatu kelompok tertentu adalah dengan membandingkannya dengan

anggota kategori tersebut yang paling umum atau representatif(mewakili). Misalnya, jika kita ingin mengkategorikan sesuatu apakah masuk pada golongan dengan kursi, maka kita harus membandingkan benda tersebut dengan cirri-ciri yang ada pada kursi.

b. Kajian lintas Budaya tentang kategorisasi Beberapa aspek universal kategorisasi.Meski banyak hal dikelompokkan secara berbeda dari satu budaya ke budaya lain, penelitian lintas budaya mengindikasikan bahwa beberapa kategori yang digunakan untuk berpikir dan menyampaikan informasi yang kurang relative tidak tergantung atau dipengaruhi budaya. Sebagai contoh, ekspresi wajah yang menandakan emosiemosi dasar: sedih, senang, marah ,takut, terkejut dan jijik ditempatkan pada kategori-kategori yang sama di berbagai budaya. Selain itu, terdapat kesepakatan yang sama antara berbagai budaya dalam hal warna-warna mana yang primer dan mana yang sekunder. Cara orang memilih dan mengingat warna tampaknya hampir tak terpengaruh oleh budaya dan bahasa. Terlepas apakah seseorang berbicara dalam bahasa yang memiliki lusinan kata untuk warna atau dalam bahasa yang hanya membedakan antara warna terang dan gelap, individu dari kedua kelompok cultural ekstrem ini mengelompokkan warna berdasarkan tipe primer yang sama. Orang dari budaya berbeda juga cenderung mengelompokkan bentuk berdasarkan contoh terbaik dari bentuk-bentuk dasar (lingkaran sempurna, segitiga sama kaki dan bujur sangkar) daripada membuat kategori dari bentukbentuk geometris yang tak beraturan. Kesamaan-kesamaan lintas budaya ini menunjukkan bahwa yang mempengaruhi cara manusia mengelompokkan beberapa stimulus dasar adalah factor-faktor fisiologis. Artinya, orang tampaknya memiliki kecenderungan bawaan (predisposisi)untuk lebih memilih bentuk, warna , dan ekspresi-ekspresi wajah tertentu. c. Beberapa Aspek Kategorisasi yang Khas-Budaya Dalam mengkaji kategorisasi kita melihat bahwa pada area-area dimana pengalaman antar budaya tidak berbeda seperti dalam hal warna, bentuk, dan ekspresi wajah. Orang membentuk pengelompokkan dan penilaian yang serupa. Namun, ketika ada perbedaan pengalaman cultural, orang dari budaya yang berbeda akan membuat penilaian yang sangat berbeda tentang berbagai hal. Proses-proses kategorisasi tidaklah berbeda, sedangkan yang berbeda adalah basis pengalaman yang digunakan untuk membuat kategori. Cara lain peneliti mempelajari pengelompokkan adalah dengan menggunakan tugas penyortiran (sorting task). Bila dihadapkan pada gambargambar yang bisa dikelompokkan berdasarkan fungsi, bentuk atau warnanya, pada usia dini anak-anak di budaya-budaya barat cenderung mengelompokkan berdasarkan warnanya. Seiring dengan pertambahan usia, mereka mengelompokkan benda berdasarkan bentuknya dan kemudian fungsinya. Hal ini berarti orang dewasa di budaya barat lebih sering mengelompokkan

berdasarkan fungsinya. Lain lagi dengan orang dewasa di Afrika, yang lebih sering mengelompokkan benda berdasarkan warna dan bukan fungsi. Ini menunjukkan adanya suatu proses pematangan yang mempengaruhi perubahan tersebut. Ada proses-proses yang memang universal dalam kategorisasi dan pembentukan konsep. Hal-hal universal berkaitan dengan benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara umum di semua budaya, seperti warna atau ekspresi wajah. 2. INGATAN a. Pengetahuan tradisional Tugas intelektual yang lain dan tak kalah pentingnya adalah mengingat berbagai hal. Ada beberapa jenis ingatan yaitu: ingatan sensori(inderawi), ingatan jangka pendek, dan ingatn jangka panjang. Ingatan sensori mengacu pada informasi asli yang bertahan di organ-organ indra selama beberapa saat, biasanya hanya se-per sekian detik, setelah diterima. Ingatan jangka pendek mengacu pada kapasitas ingatan yang terbatas di mana informasi bisa dipertahankan untuk selang waktu yang sedikit lebih panjang, biasanya antara 20 sampai 30 detik. Ingatan jangka panjang yaitu mengacu pada masuknya informasi yang bisa disimpan untuk jangka waktu yang jauh lebih panjang. Pengulangan(rehearsel ) merupakan salah satu cara yang mudah untuk menyimpan informasi dalam jangka pendek dan kemudian ingatan jangka panjang. Pembongkahan (chunking) yakni pengelompokkan butir-butir informasi ke dalam bagian-bagian kecil yang bermakna, juga bisa membantu penyimpanan dan penggunaan kembali informasi. Dua aspek ingatan yang penting yaitu efek awal dan efek akhir. Efek awal adalah kecenderungan kita untuk lebih mengingat hal-hal pertama dari suatu konteks daripada yang berada di tengah-tengah. Efek akhir adalah kecenderungan kita untuk mengingat lebih baik hal-hal yang lebih akhir atau baru saja terjadi atau daripada sebelumya. b. Kajian Lintas Budaya tentang Ingatan Wagner menduga bahwa efek awal tergantung pada pengulangan-ulangan dalam batin atau reherseal suatu materi untuk diingat. Dan mengusulkan ada dua bagian dalam mengingat yaitu bagian perangkat keras (hardware) yang merupakan batasan dari ingatan, dan bagian perangkat lunak (software) bagian program yang terkait dengan bagaimana orang mengingat, yang merupakan hasil belajar. Perangkat lunak yang ini lah yang bervariasi tiap budaya. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang tidak saling berhubungan tampaknya tidak begitu dipengaruhi oleh budaya melainkan lebih terkait dengan apakah seseorang tersebut pernah mengenyam sekolah atau tidak. Subjek yang bersekolah lebih banyak berlatih menghafal daripada yang tidak. Selain itu mampu menerapkan

ketrampilan tersebutdalam situasi-situasi tes yang mirip dengan pengalaman sekolah. Misalnya pada orang Afrika yang pernah bersekolah dapat mengingat kembali daftar-daftar kata sebaik orang Amerika, sedangkan yang tidak berpendidikan mengingat lebih sedikit kata. Dengan demikian, penelitian lintas budaya tentang ingat menunjukkan bahwa orang-orang dengan tradisi budaya oral punya ingatan yang lebih baik daripada orang dari budaya dengan tradisi menulis. Namun, terbatas pada materi ingatan yang bermakna seperti kisah atau cerita, dan tidak berlaku pada suatu daftar benda. Penelitian lintas budaya mencatat adanya perbedaan cultural dalam efek posisi urutan. c. Pemecahan Masalah Pengetahuan Tradisional Pemecahan masalah adalah proses dimana kita berusaha menemukan caracara mencapai suatu tujuan yang tampaknya tidak langsung bisa didapat. Jenis masalah yang berbeda mengarah pada jenis pemecahan yang berbeda pula. Ada masalah-masalah yang terkait dengan struktur; orang harus menemukan hubungan antara berbagai komponen atau elemen yang tercakup dalam permasalahan tersebut. Ada masalah-masalah yang terkait dengan penataan, di mana orang harus menemukan cara untuk menata komponen atau elemen-elemen suatu persoalan sedemikian rupa sehingga bisa menyelesaikan seluruh atau sebagian masalah tersebut. Ada masalah-masalah transformasi, di mana orang harus menjalankan suatu urutan langkah tertentu agar bisa mencapai tujuan atau memecahkan masalahnya. Ada beberapa factor yang mempengaruhi tingkat kesulitan pemecahan masalah. Misalnya, orang bisa sesat arah karena mengikuti informasi yang tidak relevan. Atau karena mereka memiliki mental set tentang cara-cara memecahkan masalah serupa dengan masa lalu namun tidak bisa diterapkan pada masalah yang sedang dihadapi. Hambatan lainnya yaitu terkait dengan ketidakmampuan kita memikirkan penggunaan benda-benda atau elemenelemen permasalahan secara berbeda dari penggunaan tradisionalnya. Masalah dipecahkan lewat beberapa cara yaitu melalui proses coba-coba atau trial-and-eror, adalah dengan mencoba berbagai solusi sampai ada yang tampaknya berhasil. Orang bisa juga dengan menggunakana analisis means/ end atau cara/ tujuan akhir yaitu dengan mengidentifikasikan cara-cara yang bisa mengubah situasi saat ini kea rah yang mirip dengan hasil akhir yang diharapkan. Bisa juga dengan memecahkan masalah dari belakang, memulai hasil akhir dan secara sistematis bekerja mundur sampai pada situasi saat ini. Selain itu, ada pemecahan masalah yang terkait dengan perubahan insight yaitu penemuan tiba-tiba. d. Penelitian Lintas Budaya tentang Pemecahan Masalah Masalah yang terkait dengan perilaku. Perbedaan cultural dalam pemecehan masalah sulit diukur dalam seting natural karena akan sulit memisahkan antara

apakah seseorang itu sedang melakukan deduksi logis dan apakah perilakunya mencerminkan latar belakang budayanya. Para ahli psikologi berusaha mengisolasi proses pemecahan masalah ini dengan meminta beberapa kebudayaan yang berbeda untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum mereka kenal dalam seting buatan. Dalam suatu eksperimen (Cole,dkk) meminta subjek dari Amerika dan Liberia untuk menggunakan sebuah alat teknologi. Dari percobaan didapatkan hasil bahwa pada orang dewasa Amerika lebih mudah menyelesaikan tugasnya karena sudah terbiasa dengan menggunakan teknologi, tapi lain hal nya dengan orang Liberia dan anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun yang belum memililki pengalaman yang banyak pada teknologi. Percobaan diulangi dengan menggunakan peralatan mekanik. Dari hasilnya diketahui bahwa orang Liberia lebih unggul dalam penggunaan alat mekanik ini. Kemudian percobaan terakhir yaitu memodifikasikan peralatan teknologi dengan mekanik. Hasil yang di dapat ialah orang Amerika lebih unggul dari orang Liberia untuk memecahkan masalah ini. Peneliti menyimpulkan bahwa kemampuan orang Liberia menyelesaikan masalah atau untuk bernalar logis tergantung pada konteks. Ketika dihadapkan pada masalah yang mengandung materi dan konsep yang sudah akrab,orang Liberia tidak kesulitan dalam memecahkan masalah. Tapi saat diberikan materi yang asing bagi mereka, mereka bingung bagaimana untuk memulai. Soal kata, kemampuan memecahkan soal kata merupakan salah satu aspek penalaran logis yang sudah diteliti. Salah satu jenis soal yang digunakan yaitu silogisme. Adanya perbedaan tajam dalam cara orang mendekati soal verbal ini. Orang-orang dari masyarakat buta huruf tidak mampu menjawab persoalan ini. Hal ini dikarenakan penalaran logis adalah sesuatu yang artificial (buatan), karena itu ketrampilan ini hanya dapat dipelajari lewat seting sekolah. Dapat kita simpulkan bahwa dalam penelitian lintas budaya kita temukan beberapa hal yang bersifat universal dan beberapa perbedaan lintas budaya, dalam pembentukan konsep, ingatan, dan pemecahan masalah. Perbedaanperbedaan cultural merupakan efek sekolah, efek budaya, dan efek dari keduanya sekaligus. Selain itu, perbedaan cultural yang muncul bukanlah perbedaan dalam kemampuan atau kapasitas kognitif, melainkan lebih merupakan perbedaan dalam preferensi untuk menggunakan gaya-gaya kognitif tertentu.

Anda mungkin juga menyukai