Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS I. Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Agama Pekerjaan No.RM Tanggal Operasi : Tn. H : Laki-laki : 53 tahun : Sukoharjo : Islam : Petani : 228xxx : 14 Agustus 2013

II.

Keluhan Utama Terdapat benjolan di lipatan paha kanan

III.

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Sukoharjo pada tanggal 12 Agustus 2013 dengan keluhan benjolan di lipatan paha kanan. keluhan ini dirasakan sejak 5 tahun yang lalu, awalnya benjolan kecil dan bisa dimasukan dengan menggunakan tangan. Biasanya benjolan muncul saat bekerja/ saat angkat-angkat barang berat. Saat benjolan muncul terassa nyeri cengring-cengring dan nyeri terasa berkurang saat istirahat/berbaring. Benjolan semakin lama, semakin membesar tetapi masih dapat dimasukkan.Sejak 4 hari yang lalu benjolan semakin sering keluar disertai dengan nyeri cengkring-cengkring. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan makan, kemih, BAB serta tidak demam.

IV.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat darah tinggi : disangkal Riwayat kencing manis : disangkal Riwayat asma Riwayatalergi : disangkal Riwayat penyakit jantung : disangkal : disangkal Riwayat penyakit hati : disangkal Riwayat penyakit ginjal : disangkal Riwayat operasi : disangkal

V. Riwayat Penyakit keluarga Riwayat darah tinggi Riwayat kencing manis Riwayat asma Riwayatalergi Riwayat penyakit hati Riwayat penyakit ginjal : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

VI.

Riwayat Obat-obatan yang pernah atau sedang digunakan Obat Kortikosteroid Obat antihipertensi Obat antidiabetik Obat antibiotk : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

VII. Kebiasaaan sehari-hari Minum jamu Merokok Konsumsi alkohol : disangkal : disangkal : disangkal

VIII. Anamnesis Sistem Sistem serebrospinal : kadang pusing Sistem respirasi Sistem digestivus Sistem urogenital Sistem integumentum : tidak batuk, tidak pilek, tidaksesak nafas Sistem kardiovaskuler : nyeri dada tidak ada : tidak mual, tidak muntah, BAB normal : BAK lancar

Sistem muskuloskeletal: tidak ada hambatan dalam bergerak : suhu raba hangat

B.

PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis Keadaan umum Gizi Kesadaran Berat badan 2. Vital sign TD N RR S 3. Status Lokalis a) Kepala Bentuk Rambut Mata o Palpebra o Konjungtiva o Sklera o Pupil : edema -/: anemis -/: ikterik -/: bulat, isokor : normocephal : hitam, distribusi merata, beruban : 130/60 mmHg : 94 x/menit : 24 x/menit : 36,4 C : sedang : kesan cukup : compos mentis : 56 kg

o Refleks cahaya : (+/+) normal

Mulut o Gigi palsu o Gigi tonggos o Trismus : tidak ditemukan : tidak ditemukan : tidak ditemukan

o Rahang bawah maju : tidak ditemukan b) Leher KGB Kelenjar thyroid c) Thoraks Paru o Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-) o Palpasi : fremitus taktil kanan sama dengan kiri o Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru o Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) Jantung o Inspeksi o Palpasi o Perkusi o Auskultasi d) Abdomen Inspeksi Palpasi teraba Perkusi e) Ekstremitas Akral Sianosis : hangat : (-) : timpani : tampak cekung, lebih rendah dari dada, simetris Auskultasi : bising usus (+) normal : massa (-), NT (+), supel, hepar dan lien tidak : iktus kordis tidak terlihat : iktus kordis tidak teraba : batas jantung dalam batas normal : bunyi jantung I-II regular, murmur (-) : tidak ada pembesaran : tidak ada pembesaran

4.

StatusLokalis Regio Inguinalis Dextra Terdapat benjolan saat pasien berdiri di inguinal dextra, benjolan masih dapat dimasukkan. Benjolan sebesar 6x5x4 cm. Tidak nyeri tekan.

C.

PEMERIKSAAN TAMBAHAN a. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Hb Eritrosit Hematokrit Indeks Eritrosit MCV MCH MCHC Lekosit Trombosit Gol darah Hitung jenis leukosit Limfosit Monosit HbSAg Gula darah sewaktu SGOT SGPT Ureum Creatinin 8 4 Negative 56 50 29 36,72 1,1 Mg/dl UI UI Mg/dl Mg/dl % % 20 40 28 Negative 70 120 0-25 0-29 10-50 0,6-1,1 91 30 34 9,6 158 O Pf Pg % 10 uL 10 uL
3 3

Hasil 14,6 5,69 52

Satuan Gr/dl 10 uL %
6

Nilai Normal 12,0 14,0 4,0 5,0 37- 43 82 92 27 31 32 36 5,0 10,0 150 400

b. Pemeriksaan EKG Dalam batas normal

D.

DIAGNOSIS Hernia Inguinalis Lateralis Dextra

E.

KESIMPULAN Berdasarkan status fisik pasien preanestesia, pasien tersebut

diklasifikasikan dalam ASA II (pasien dengan penyakit sistemik ringansedang dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari). ACC operasi dengan anestesi spinal. F. PENATALAKSANAAN Terapi operatif G. TINDAKAN ANESTESI 1. Pre-operatif Informed Consent/persetujuan tindakan anestesi dan operasi, memberi tahu pasien tentang prosedur yang akan dilakukan dan kemungkinan resiko yang akan terjadi. Dilakukan visite preop dan dilakukan pemeriksaan vital sign : TD 130/80 mmHg, N88x/menit, RR 24x/menit, S 36,00C. Dilakukan pemeriksaan fisik dan status mental pasien untuk menentukan ASA dan rencana obat-obatan dan teknik anestesi yang akan dilakukan, pada pasien ini di rencanakan general anestesi dengan intubasi, ASA II. Pasien diberi tahu untuk puasa (makan dan minum) lebih 6 jam pada malam sebelum pelaksanaan operasi, mulai puasa jam 23.00 wib. Melengkapi pemeriksaan penunjang (laboratorium, EKG dll). Preloading cairan: Cairan yang digunakan: Ringer Laktat 20 tpm. Kebutuhan cairan 24 jam dewasa = 30-35 ml/ kgBB/ 24jam = 30 ml x 50 kg = 1500ml/24jam. Pasien puasa 8 jam, pengganti cairan puasa: 625 ml/8jam : Herniotomy

2. Peri-operatif Pukul 8.45 : Pasien masuk ke ruang operasi, diposisikan di atas meja operasi, diukur kembali tekanan darah, nadi, respirasi rate, dan saturasi O2.

TD = 130/ 80 mmHg, HR = 90x/ menit, RR = 24x/ menit, SpO2 = 99%. Induksi 08.58 : Pasien duduk sedikit membungkuk dengan posisi kepala fleksi. Dilakukan anestesi spinal. Selanjutnya dilakukan tindakan aseptic pada daerah yang akan di injeksi. Jarum yang digunakan adalah jarum spinal no.25 dan selanjutnya anestesi spinal dilakukan pada sub aracnoid kanalis spinalis antara lumbal 3-4. Setelah LCS keluar dari jarum selanjutnya diinjeksi Lidodex 100 mg dan Catapres 75 mg. Pukul 09.05: Operasi dilakukan. Maintenance Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, nadi, respirasi rate, dan saturasi O2 senantiasa dikontrol setiap 5 menit. Pasien dimaintenance dengan O2 2 liter/ menit Waktu Tekanan darah (mmHg) Preoperasi (pukul 08.45) Setelah induksi 130/ 76 (pukul 08.58) 5 menit (pukul 09.05) 10 menit (pukul 09.10) 15 menit (pukul 09.15) 20 menit (pukul 09.20) 25 menit 115/ 76 96 26 99 116/ 75 96 26 98 117/ 73 103 26 99 118/ 72 98 26 99 118/ 70 109 26 99 100 26 99 130/ 80 Nadi (x/ menit) 90 Respirasi rate (x/ menit) 24 SpO2 (%) 99

(pukul 09.25) 30 menit (pukul 09.30) 35 menit (pukul 09.33) 116/73 94 26 99 117/72 98 26 99

Tabel perubahan tekanan darah, respirasi rate, dan saturasi O2 Resusitasicairanperioperatif : Stresoperasisedang= 6 ml/ kgBB/ jam = 6 ml x 50 kg = 300 ml/ jam. Selamaoperasiberlangsung, dapatterlihatdaribanyaknyakassa terjadiperdarahan yang yang digunakan,

padaoperasiiniterlihat 20 kassa yang tidakpenuhdengandarah (1 kasa 10 ml), sehinggaperdarahan yang terjadisebanyak 200 ml. Perdarahan perioperatif < 20%, tidak perlu dilakukan transfusi, cukup diganti dengan cairan kristaloid. Pukul 09.05 : pasien diinjeksi Ketorolac 1 amp (30mg) Pukul 09,05 : pasien diinjeksi Ondancentron 1 amp (4mg) Operasi berlangsung 30 menit Pukul 09.33 : operasi selesai

3. Post-operatif Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room. Monitoring keadaan umumpasien dengan Bromage score: Fleksi penuh tungkai (ada tanda- tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi supine) = 4 Keterangan: Bromage Score 3 boleh dipindahkan ke bangsal dari recovery room.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Regional Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara, dengan hambat impuls syaraf sensorik. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian/seluruhnya. Berat.jenis LCS pada suhu 370C adalah 1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat yaitu blockade sensorik dan motorik yang adekuat, mulai kerja yang cepat, tidak neurotoksik dan pemulihan blockade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan resiko toksisitas sistemik yang rendah. Obat anestetik yang sering digunakan adalah lidokain 5% dalam dekstrosa 7,5% bersifat hiperbarik dengan berat jenis 1,003, dosisnya 20-50 mg (1-2m1). Selain lidokain juga sering digunakan, bupivakain adalah anestesi lokal golongan amino amida yang telah lama dan banyak digunakan untuk anestesi regional. Konsentrasi bupivakain 0,5% hiperbarik adalah obat anestesi lokal yang banyak digunakan untuk anestesi spinal. Bupivakain dapat menyebabkan toksisitas sistemik karena kecelakaan penyuntikan intravena anestetika lokal atau absorbsi sistemik dari rongga epidural pada teknik anestesi epidural. Manifestasi yang pertama kali muncul adalah toksisitas terhadap sistem saraf pusat seperti kejang tonik klonik. Sedangkan kejadian kardiotoksisitas membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi didalam plasma, yaitu 4-7 kali dosis yang dapat menyebabkan kejang tonik klonik. Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang durasi anestesi spinal. Salah satunya dengan menambahkan

obat-obat adjuvan pada anestesi lokal. Adjuvant intratekal seperti opioid, ketamin, klonidin dan neostigmin dari anestesi sering spinal. ditambahkan Penambahan untuk opioid

memperpanjang

durasi

memperpanjang lama kerja anestesi spinal tanpa menunda pulih kembali, dan klonidin meningkatkan kualitas analgesia dan mengurangi kebutuhan obat analgesik postoperasi. Walaupun demikian, penggunaannya masih terbatas karena dijumpainya berbagai efek samping, yang terpenting diantaranya yaitu pruritu, retensio urin, depresi pernapasan, gangguan hemodinamik, nistagmus, nausea dan vomitus. 1. Klasifikasi Regional Anestesi Infiltrasi lokal : Injeksi obat anestesi lokal langsung ke tempat lesi Neroaxial Block : Spinal dan Epidural Field Block : Membentuk dinding analegesi di sekitar lapangan operasi Surface Analgesia : Obat dioleskan atau disemprotkan (EMLA, Chlor ethyl) Intravenous Regional Anesthesia : Injeksi obat anestesi lokal intravena ke ekstremitas atas / bawah lalu dilakukan isolasi bagian tersebut dengan torniquet (BIER BLOCK) 2. Anestesi Spinal Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.Tempat penusukan : L2-3 atau L3-4 3. Ketinggian dermatom anestesi regional sesuai pembedahan Tungakai bawah : thorax 12 Pelvis : thorax 10 Uterus-vagina : thorax 10 Prostat : thorax 10 Hernia : thorax 4

Intarabdomen: thorax 4 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya dermatom Tempat penyuntikan Volume obat anestesi Kecepatan injeksi Barbotase (penarikan jarum spinal) 5. Indikasi anestesi spinal Bedah ekstremitas bawah Bedah panggul Bedah obstetric-ginekologi Bedah urologi Bedah abdomen bawah 6. Kontra indikasi anestesi spinal Alergi terhadap obat anestesi Pasien menolak Infeksi pada tempat suntikan Hipovolemia berat, syok Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan Tekanan intrakranial meningkat Infeksi sistemik Kelainan neurologis Kelainan psikis Bedah lama Penyakit jantung Nyeri punggung kronik 7. Efek Neuroaxial Block a. Komplikasi kardiovaskular Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 1040%. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,

makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infus cairan kristaloid (NaC1, Ringer laktat) secara cepat sebanyak 1015m1/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anestesi spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV. b. Komplikasi respirasi Hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dapat terjadi respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga mengganggu gerakan diafragma dan otot perut yang dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi. c. Komplikasi gastrointestinal Nausea dan vomitus karena hipotensi, hipoksia, aktvitas parasimpatis yang berlebihan, penggunaan obat narkotik, serta komplikasi jangka panjang berupa pusing pasca pungsi lumbal merupakan ciri khas dan terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi lumbal, dengan intensitas yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. d. PDPH (Post Dural Pungcture Headache) Disebabkan adanya kebocoran cairan serebrospinal (LCS) akibat tindakan penusukan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intrakranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh darah, .

saraf, falk serebri dan meninges, dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20m1. PPDH ditandai dengan nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, muntah dan penurunan tekanan darah. Pencegahan dan penanganan: hidrasi dengan cairan yang adekuat, gunakan jarum sekecil mungkin, hindari penusukan jarum yang berulang- ulang, tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter, mobilisasi seawal mungkin, dan gunakan pendekatan paramedian. e. Transient Radicular iritation (transient neurologic symptom) Kondisi ini ditandai dengan nyeri pada kedua tungkai yang menjalar dari tulang belakang, disertai parestesi atau kesemutan yang dapat berlangsung hingga 24- 48 jam postanestesi. Hat ini banyak dihubungkan dengan penggunaan injeksi lidokain 5% hiperbarik dosis tinggi pada subarachnoid yang memberi efek neurotoksik. f. Sindrom cauda equina Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Penyebab utamanya adalah trauma dan toksisitas. Tanda-tanda meliputi disfungsi otonomis, perubahan pengosongan kandung kemih dan usus besar, pengeluaran keringat yang abnormal, kontrol temperatur yang tidak normal dan kelemahan motorik. Penggunaan obat- obat lokal anestesi yang tidak neurotoksik terhadap cauda equina merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada cauda equina waktu melakukan penusukan jamm spinal. g. Retentio urine / Disfungsi kandung kemih Blokade sakral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urine di vaesika urinaria menjadi lebih banyak. Blokade simpatik eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urine. Spinal anestesi menurunkan 5- 10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien

hipovolemi. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonomik kecil dan paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar. Kateter urin harus dipasang bila anestesi atau analgesia dilakukan dalam waktu yang lama. h. Meningitis Munculnya bakteri pada ruang subarachnoid tidak mungkin terjadi jika penaganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptik mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni lokal yang memadai. Pencegahan terhadap meningitis dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul steril, menggunakan jarum spinal sekali pakai dan bila terjadi meningitis dilakukan pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik. 8. Bromage skore SKOR 1. KRITERIA Tidak mampu menggerakkan tungkai dan kaki (blokade penuh) 2. 3. 4. Hanya mampu menggerakkan kaki saja Hanya mampu menggerakkan tungkai saja Fleksi penuh tungkai (ada tanda- tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi supine) 5. Tidak ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi supine 6. Mampu menggerakkan tungkai

Keterangan: pasien dapat dipindahkan ke bangsal jika skor bromage >3 B. Farmakologi obat anestesi 1. Lidodex a. Farmakodinamik

Lidodek diindikasikan untuk anestesi spinal, sediaan lidodek adalah lidokain 5% dalam dekstrosa 7,5% (Lidodex) bersifat hiperbarik dengan berat jenis 1,003, dosisnya 50-100 mg (1-2m1). Lidokain adalah anestetik lokal lokal yang kuat digunkan secara luas dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan aminietilamid. Pada larutan 0,5 % toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2 % lebih toksik daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi, sedangkan larutan 1-2% untuk anestesi blok dan topikal. Anestesi ini efektif bila digunakan tanpa vaokonstriktor, tetapi kecepatan absorbsin dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat menimbulkan kantuk pada sediaan berupa larutan 0,5% 5% dengan atau tanpa epinefrin (1:50.000 sampai 1:200.000). b. Farmakokinetik Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan melalui sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di dalam hati, lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua metabolit monoetil glisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestesi lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan disekresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin. Indikasinya dapat juga digunakan secara suntiakan untuk anestesi infiltrasi, blokade saraf, anestesi epidural maupun anestesi selaput lendir. Dosis dalam obstetric dengan spinal anestesi 50 mg, section caesaria 75mg, pembedahan abdominal dengan spinal anestesi 75-100 mg.

2. Catapres a. Interaksi dengan obat lain Anestesi lokal: klonidin dapat memperpanjang blokade sensori dan motorik anestesi lokal. Analgesik narkotik akan

mempotensiasi efek hipotensif klonidin. b. Mekanisme kerja Menstimulasi adrenoreseptor alfa-2 stem otak, sehingga

mengaktivasi penghambatan neuron, menghasilkan penurunan aliran simpatetik dari SSP, penurunan resistensi perifer, resistensi vaskuler, resistensi vaskular renal, denyut jantung dan tekanan darah. Penggunaan klonidin epidural ditujukan untuk mengurangi nyeri dengan mencegah transmisi singnal nyeri. 3. Ketorolac a. Indikasi Keterolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari.Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetric karena mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus. b. Dosis Dosis awal ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10-30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg. c. Efek samping Efek samping kesaluran cerna berupa diare, dyspepsia, nyeri gastrointestinal, nausea. Efek samping pada susunan saraf pusat berupa sakit kepala, pusing, mengantuk dan berkeringat.

4. Efedrin a. Mekanisme kerja Efedrin bekerja pada reseptor , 1 dan 2. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. b. Efek kardiovaskuler Tekanan sistolik dan diastolik meningkat sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan konstraksi jantung dan curah jantung.

DAFTAR PUS'TAKA

1. Dobridnjov, L, etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth Analg 2003;96:1496-1503 2. Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of Medicine. Jan-Mar 2002. 3. Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J Bone Joint SurgAm. 2010; 62:1219-1222. 4. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2009; 107-112. 5. Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III ha1.261-264. 2000. Jakarta. 6. Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5 ha1.259-272. 2007. Gaya Baru, Jakarta.

LAPORAN KASUS

ANESTESI SPINAL PADA TINDAKAN HERNIOTOMY TERHADAP PASIEN HERNIA INGUINALIS LATERALIS DEXTRA

Pembimbing : Dr. E. Cendra Pramana Widyanaputra, Sp. An.

Dewangga Leonita Budi Iswanto

J 500 080 019 J 500 080 098

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

LAMPIRAN

LEMBAR PENGESAHAN ANESTESI SPINAL PADA TINDAKAN HERNIOTOMY TERHADAP PASIEN HERNIA INGUINALIS LATERALIS DEXTRA

Yang Diajukan Oleh: Dewangga Leonita, S.Ked Budi Iswanto, S.Ked (J500080016) (J500080098)

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada hari tanggal Pembimbing Nama : dr. E. Cendra Pramana Widyanaputra, Sp. An.: Dipresentasikan di hadapan Nama : dr. E. Cendra Pramana Widyanaputra, Sp. An.: Disahkan oleh Nama : dr. Yuni Prasetyo K, MM.Kes : (.................................) (.................................) (.................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

LEMBAR PENGESAHAN Ketamin/propofol versus fentany/propofol for sedating obese patients undergoing endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

Yang Diajukan Oleh: Dewangga Leonita, S.Ked Budi Iswanto, S.Ked (J500080016) (J500080098)

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada hari tanggal Pembimbing Nama : dr. E. Cendra Pramana Widyanaputra, Sp. An.: Dipresentasikan di hadapan Nama : dr. E. Cendra Pramana Widyanaputra, Sp. An.: Disahkan oleh Nama : dr. Yuni Prasetyo K, MM.Kes : (.................................) (.................................) (.................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

Anda mungkin juga menyukai