Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan salah satu dampak keberhasilan program imunisasi ialah menurunnya angka kesakitan dan kematian penyakit campak. Sidang CDC / PAHO / WHO 1996 menyimpulkan bahwa penyakit campak dapat dieradikasi karena satu-satunya pejamu (host) reservoir campak hanya manusia, dan sidang WHA (1998) menetapkan kesepakatan Reduksi Campak.

Program imunisasi campak di Indonesia dimulai tahun 1982, dan pada tahun 1991 Indonesia telah mencapai imunisasi dasar lengkap (Universal Child Immunization=UCI) secara nasional; meskipun demikian masih ada beberapa daerah yang cakupan imunisasi campaknya masih rendah sehingga sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak. Salah satu tahapan dalam upaya pemberantasan campak ialah Tahap Reduksi Campak yang salah satu strateginya ialah Surveilans (Surveilans rutin, SKD-respon KLB, dan Penyelidikan KLB). Surveilans penyakit campak dilakukan untuk menilai perkembangan program pemberantasan campak dan menentukan strategi pemberantasannya terutama di daerah. Kasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih disertai demam 38C (WHO,1996).

Penyakit campak disebabkan oleh virus golongan paramyxoviridae. Cara penularannya air borne berupa percikan batuk, bersin penderita; penderita dapat menularkan penyakit ini meskipun belum demam (biasanya 3 hari sebelum demam). Masa inkubasi penyakit ini 8-13 hari, rata- rata 10 hari

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, lemas, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan bintik merah di kulit (ruam kulit). Virus ini terdapat dalam darah dan sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara tenggorokan dan hidung) pada masa gejala awal (prodromal) hingga 24 jam setelah timbulnya bercak merah di kulit dan selaput lendir.

Cara penularan melalui droplet dan kontak, yakni karena menghirup percikan ludah (droplet) dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita morbili/campak. Artinya, seseorang dapat tertular Campak bila menghirup virus morbili, bisa di tempat umum, di kendaraan atau di mana saja. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.

Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun).

B. Epidemiologi Penyakit ini terutama menyerang anak-anak usia 5-9 tahun. Dinegara berkembang menyerang pada usia lebih muda daripada negara maju. Biasanya penyakit ini timbul pada masa aanak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester pertama, kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

Sejak bulan Juli tahun 2008, Propinsi DIY telah melaksanakan Program Case Based Measles Surveillance (CBMS) atau Program Surveilans Campak Berbasis Kasus. Inti kegiatan program tersebut adalah dimana setiap kasus klinis Campak didata, dilakukan penyelidikan epidemiologi dan diambil spesimen darah untuk dibuktikan kasus tersebut benar-benar disebabkan oleh virus Campak atau bukan. Kegiatan CBMS ini sementara baru dilakukan di 2 Propinsi di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan Bali. Data kasus Campak Klinis dan Hasil Pemeriksaan Spesimen pada bulan Juli hingga Desember 2008 di Propinsi DIY adalah sebagai berikut : Kasus Juli Agt Sept Okt Nov Des Klinis Campak 10 57 60 80 89 54 Positif Campak 0 0 1 1 0 0 Positif Rubela 1 21 30 43 42 27

C. Penyebab Campak, rubeola, atau measles Adalah penyakit infeksi yang sangat mudah menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari pertama sejak munculnya ruam. Campak disebabkan oleh paramiksovirus ( virus campak). Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (air borne disease ). Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah: - bayi berumur lebih dari 1 tahun - bayi yang tidak mendapatkan imunisasi - remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua. Virus ini sangat sensitif terhadap panas dan dingin, sinar ultraviolet dan ether.

D. Gejala Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa: - Panas badan - nyeri tenggorokan - hidung meler ( Coryza ) - batuk ( Cough ) - Bercak Koplik - nyeri otot - mata merah ( conjuctivitis ) 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar.

Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40 Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang. Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.

E. Patofisiologi Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala

panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.

Manusia merupakan satu- stunya inang alamiah untuk virus campak, walaupun banyak spesies lain, termasuk kera, anjing, tikus, dapat terinfeksi secara percobaan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui system pernafasan, dimana mereka membelah diri secara setempat; kemudian infeksi menyebar ke jaringan limfoid regional, dimana terjadi pembelahan diri selanjutnya. Viremia primer menyebabkan virus, yang kemudian bereplikasi dalam system retikuloendotelial. Akhirnya, viremia sekunder bersemai pada permukaan epitel tubuh, termasuk kulit, saluran pernafasan, dan konjungtiva, dimana terjadi replikaksi fokal. Campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu, yang membantu penyebarannya di seluruh tubuh. Sel datia berinti banyak dengan inklusi intranuklir ditemukan dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (limfonodus, tonsil, apendiks).

Peristiwa tersebut di atas terjadi selama masa inkubasi, yang secara khas berlangsung 9- 11 hari tetapi dapat diperpanjang hingga 3 minggu pada orang yang lebih tua. Mula timbul penyakit biasanya mendadak dan ditandai dengan koriza (pilek), batuk, konjungtivitis, demam, dan bercak koplik dalam mulut. Bercak koplik- patognomonik untuk campak- merupakan ulkus kecil, putih kebiruan pada mukosa mulut, berlawanan dengan molar bawah. Bercak ini mengandung sel datia, antigen virus, dan nukleokapsid virus yang dapat dikenali.

Selama fase prodromal, yang berlangsung 2- 14 hari, virus ditemukan dalam air mata, sekresi hidung dan tenggorokan, urin, dan darah. Ruam makulopopuler yang khas timbul setelah 14 hari tepat saat antibody yang beredar dapat dideteksi, viremia hilang, dan demam turun. Ruam timbul sebagai hasil interaksi sel T imun dengan sel terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan berlangsung sekitar seminggu. Pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel, tidak timbul ruam.

Keterlibatan system saraf pusat lazim terjadi pada campak. Ensefalitis simptomatik timbul pada sekitar 1:1000 kasus. Karena virus penular jarang ditemukan di otak, maka diduga reaksi autoimun merupakan mekanisme yang menyebabkan komplikasi ini.

Sebaliknya, ensefalitis menular yang progresif akut dapat timbul pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel. Ditemukan virus yang bereplikasi secara katif dalam otakdan hal ini biasanya bentuk fatal dari penyakit.

Komplikasi lanjut yang jarang dari campak adalah peneesefalitis sklerotikkans subakut. Penyakit fatal ini timbul bertahun- tahun setelah infeksi campak awal dan disebabkan oleh virus yang masih menetap dalam tubuh setelah infeksi campak akut. Jumlah antigen campak yang besar ditemukan dalam badan inklusi pada sel otak yang terinfeksi, tetapi paartikel virus tidak menjadi matang. Replikasi virus yang cacat adalah akibat tidak adanya pembentukan satu atau lebih produk gen virus, sering kali protein maatriks. Tidak diketahui mekanisme apa yang bertanggung jawab untuk pemilihan virus patogenik cacat ini.

Adanya virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan panensefalitis sklerotikans subakut menunjukkan kegagalan system imun untuk membasmi infeksi virus. Ekspresi antigen virus pasa permukaan sel dimodulasi oleh penambahan antibosi campak terhadap sel yang terinfeksi dengan virus campak. Dengan menngekspresikan lebih sedikit antigen virus pada permukaan, sel- sel dapat menghindarkan diri agar tidak terbunuh oleh reaksi sitotoksik berperantara sel atau berperantara antibody tetapi dapat tetap mempertahankan informasi genetic virus.

Anak- anak yang diimunisasi dengan vaksi campak yang diinaktivasi kemudian dipaparkan dengan virus campak alamiah, dapat mengalami sindroma yang disebut campak atipik. Prosedur inaktivasi yang digunakan dalam produksi vaksin akan merusak imunogenisitas protein F virus; walaupun vaksin mengembangkan respon antibody yang baik terhadap protein H, tanpa adanya infeksi antibody F dapat dimulai dan virus dapat menyebar dari sel ke sel melalui penyatuan. Keadaan ini akan cocok untuk reaksi patologik imun yang dapat memperantarai campak atipik. Vaksin virus campak yang diinaktifkan tampak digunakan lagi.

F. Antibody yang berperan Ig terdiri atas Ig M yang memiliki sifat berada di serum permukaan sel B, paling primitif, besar, pentamer, berperan pada respon primer, paling efisien dlm aglutinasi dan fiksasi komplemen. IgG ada di cairan interstisium, paling banyak dalam darah, mampu menembus plasenta,monomer,berperan dalam respon sekunder, menghasilkan imunitas pasif bagi bayi baru lahir, penting pada opsonisasi, prepitasi, aglutinasi.

Ketiga IgA. IgA merupakan Ig utama dalam sekresi termasuk dalam ASI, bentuk molekul dimer, menetralisasi toksin dalam darah, pertahanan primer thdp invasi di selaput lendir. Keempat IgD berada di serum permukaan sel B, monomer, fungsi belum jelas.Terakhir IgE ada di serum berikatan dengan reseptor sel mast dan basofil. Limfosit B jenis terakhir adalah limfosit B memori yang berguna untuk mengingat antigen yang sudah pernah diikat.

Imunisasi adalah penyediaan perlindungan yang spesifik untuk melawan patogen yang umum dan mematikan. Mekanisme dari imunitas bergantung dari bentuk patogen dan patogenesis dari patogen

tersebut. Contohnya, jika mekanisme dari patogennya melibatkan exotoxins, maka reaksi imun yang efektif melawan itu adalah mengeluarkan antibodi yang mencegah keterikatannya dengan reseptor yang tepat dan menunjukkan patogen tersebut kepada sel-sel fagosit.(Male,et. al). Dengan imunisasi diharapkan limfosit dapat melihat antigen yang ada pada virus dan dapat membuat antibodi yang tepat, serta dapat mengingatnya dengan bantuan sel B memori. Ada dua jenis imunisasi , yaitu imunisasi pasif dan aktif.

Strategi pertahanan virus Virus adalah mikroorganisme yang mengadakan replikasi di dalam sel dan kadang- kadang memakaiasam nukleat atau protein pejamu. Sifat virus yang sangat khusus adalah: 1. Dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulakn respon inflamasi 2. Dapat berkembang biak dalam sel pejamu merusak 3. Mengganggu sel khusus tanpa merusak. Virus yang tidak menyebabkan kerusakan sel, maka hal ini akibat reaksi antigen antibody. Virus dapat menjadi persisten dan akhirnya menjadi kronik, sebagai contoh adalah virus hepatitis B 4. Virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh, dan virus seperti ini disebut virus sitopatik, sebagai contoh infeksi HIV, infeksi hepatitis virus lain, dan sebagainya.

Dalam melawan system imun, virus secara kontinu mengganti struktur permukaan antigennya melalui mekanisme antigenic drift dan antigenic shift, seperti yang dilakukan oleh jenis virus influenza. Permukaan virus influenza terdiri dari hemaglutinin, yang diperlukan, yang diperlukan untuk adesi ke sel saat infeksi, dan neuramidase, yang diperlukan untuk menghasilkan bentuk virus baru dari permuakaan asam sialik dari sel yang terinfeksi. Hemaglutinin lebih penting dalam hal pembentukan imunitas pelindung. Perubahan minor dari antigen hemaglutinin terjadi melalui titik mutasi di genom virus (drift), namun perubahan mayor terjadi melalui perubahan seluruh material genetic (shift).

Virus hepatitis B dapat menunjukkan variasi epitop yang berfungsi sebagai antagonis TCR yang mampu mengahmbat antivirus sel T sitostotik. Beberapa virus juga dapat mempengaruhi proses olahan dan presentasi antigen. Virus dapat mempengaruhi mekanisme efektor imun karena mempunyai reseptor Fc-gamma sehingga mengahmbat fungsi efektor yang diperantarai Fc. Virus dapat menghambat komplemen dalam induksi respon inflamasi sehingga juga menghambat pemusnahan virus. Beberapa virus juga menggunakan reseptor komplemen untuk masuk ke dalam sel dan virus lainnya dapat memanipulasi imunitas seluler, seperti menghambat sel T sitostatik.

Mekanisme pertahanan tubuh

Respon imun non spesifik terhadap infeksi virus Secara jelas terlihat bahwa respon imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel natural killer (NK) dan antibody yang spesifik terhadap virus tersebut. Pengenalan dan pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu. Permukaan sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur karbohidrat, menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai 2 jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killer activating reseptor, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang di ekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory reseptor, yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi. Oleh karena itu, sensitifitas sel target tergantung pad ekspresi MHC kelas I. sel yang sensitive atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-alfa selama infeksi virus akan mengaktifasi sel NK dan meragulasi ekspresi MHC pada sle terdekat sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibody terhadap protein virus terikat pada sel yang terinfeksi.

Oleh karena itu 2 mekanisme utama respon nonspesifik terhadap virus, yaitu: 1. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel- sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus. 2. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC kelas I. IFN tipe I akan meningkatkan kemampuan sel NK untuk memusnahkan virus yang berada di dalam sel. Selain itu, aktivasi komplemen dan fagositosis akan menghilangkan virus yang dating dari ekstraseluler dan sirkulasi.

Respon imun spesifik terhadap infeksi virus Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respon imunitas humoral dan selular. Respon imun spesifik ini mempunyai peranan penting, yaitu: 1. Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga virus tidak dapat menembus membrane sel, dan dengan cara mengaktifkan komplemen yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis. 2. Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.

Molekul antibody dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibody dapat menghambat kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga memecah penetrasi dan multipikasi intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibody juga dapat menghancurkan partikel virus bebas melalui aktifasi jalur klasik komplemen atau produksi agregasi, meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler.

Kadar konsentrasi antibody yang relative rendah juga dapat bermanfaat khususnya pada infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu sebelum memasuki organ target, seperti virus poliomyelitis yang masuk melalui saluran cerna, melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oelh antibody spesifik dengan kadar yang rendah, member waktu tubuh untuk membentuk respon imun sekunder sebelum virus mencapai organ target.

Infeksi virus lain seperti influenza dan common cold, mmempunyai masa inkubsai yang pendek, dan organ target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respon antibody primer untuk mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibody berfungsi sebagai bantuan tambahan pada faase lambat pada proses penyembuhan. Namun, kadar antibody dapat meningkat pada cairan local yang terdapat dipermukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan antibody antiviral, khususnya IgA, secara local menjadi penting untuk pencegahan infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan antigen virus.

Virus menghindari antibody dengan cara hidup intraseluler. Antibody local atau sistemik dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel penjamu yang terbunuh, namun antibody sendiri tidak dapat mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan sel sebagai partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh antibody, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler.

Respon imunitas sseluler juga merupakan respon yang penting terutama pada infeksi virus non sitopatik. Respon ini melibatkan sel T sitostoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respon infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN yang akan membantu terjadinya respon imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-alfa dan IFN-beta. Kerja IFn sebagai antivirus adalah: 1. Meningkatkan ekspresi MHC kelas 1 2. Aktivasi sel NK dan makrofag 3. Menghambat replikasi virus 4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.

Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel yang terinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh reseptor alfa- beta spesifik di limfosit. Semakin cepat sel T sitostosik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus akan semakin cepat dihambat.

Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptide antigen virus pada permukaan yang terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T sitostosik alfa- beta mencegah multiplikasi virus.

Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN- gamma dan kemokin makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuclear dan teraktifasi untuk mengeluarkan TNF. Sitokinin TNF bersama IFN- gamma akan menyebabkan sel menjadi vonpermissive, sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluller. Oleh karena itu, lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN- alfa, IFN- gamma meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.

Antibosi dapat menghambat sel T sitotoksik melalui reaksi dengan antigen permukaan pada budding virus yang baru dimulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC. Antibody juga berguna dalam mencegah reinfeksi.

Beberapa virus dapat menginfeksi sel- sel system imun sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza, dan HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi dir (self limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Pengenalan sel target oleh sel T sitotooksik spesifik virus dapat melisis sel target yang mengekspresikan peptide antigen yang homolog dengan region berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivaasi oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan daari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang.

G. Pencegahan Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin dibeirkan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. Selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat. H. Tahapan pemberantasan Campak Pemberantasan campak meliputi beberapa tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbedabeda. a. Tahap Reduksi. Tahap reduksi campak dibagi dalam 2 tahap: Tahap pengendalian campak. Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi >80%, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4

8 tahun. Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relative lebih panjang. b. Tahap Eliminasi Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95%), dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah ternadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi tambahan. C. Tahap Eradikasi Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi. Pada TCG Meeting, Dakka, 1999, menetapkan Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan terjadinya KLB.

I. Penatalaksanaan Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari : o Pemberian cairan yang cukup o Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi o Suplemen nutrisi o Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder o Anti konvulsi apabila terjadi kejang o Pemberian vitamin A. Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.

Campak tanpa komplikasi : o Hindari penularan o Tirah baring di tempat tidur o Vitamin A 100.000 IU, apabila disetai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari o Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi

Campak dengan komplikasi :

o Ensefalopati/ensefalitis Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PDT ensefalitis Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit o Bronkopneumonia : Antibiotika sesuai dengan PDT pneumonia Oksigen nasal atau dengan masker Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dn elektrolit o Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi (lihat Bab enteritis dehidrasi). o Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan. o Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk.

J. Komplikasi Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius. Beberapa komplikasi yang bisa menyertai campak: 1. Infeksi bakteri : Pneumonia dan Infeksi telinga tengah 2. Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga pendeita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan 3. Ensefalitis (inteksi otak) terjadi pada 1 dari 1,000-2.000 kasus.

BAB III RINGKASAN

Campak adalah endemik pada sebagian besar dunia. Campak sangat menular, sekitar 90% kontak keluarga yang rentan mendapat penyakit. Campak jarang subklinis. Sebelum penggunaan vaksin campak, puncak insiden pada umur 5-10 tahun, kebanyakan orang dewasa imun.Sekarang di Amerika Serikat, campak terjadi paling sering pada anak umur sekolah yang belum di imunisasi dan pada remaja dan orang dewasa muda yang telah di imunisasi

Biasanya penyakit ini timbul pada masa aanak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester pertama, kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

Biasanya campak bisa sembuh dengan sendirinya apabila gizi penderita tersebut baik. Jika pasien dengan gizi yang buruk dan tanpa pengobatan sangat ditakutkan terjadinya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA Brooks. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit buku kedokteran ECG: 1996 http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=Tips+Praktis+Mengatasi+Campak&dn=20080921 170024 Matondang dalam Akib dkk. Alergi Imunologi Anak. Balai Penerbit IDAI : 2008 Parwati SB. Campak dalam perspektif perkembangan imunisasi dan diagnosis Pediatri pencegahan mutakhir I, CE IKA Unair, 2000 : 73-92. Poorwo Soedarmo, SS., dkk. (Ed.). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta. 2008;109-121. Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi 2. EGC. Jakarta. 2008;4;79-87.

Anda mungkin juga menyukai