Anda di halaman 1dari 14

Konflik yang Muncul Akibat Keanekaragaman dan Pemecahannya Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa keragaman suku bangsa

yang dimiliki Indonesia adalah letak kekuatan bangsa Indonesia itu sendiri. Selain itu, keadaan ini menjadikan Indonesia memiliki nilai tambah di mata dunia. Namun, di sisi lain realitas keanekaragaman Indonesia berpotensi besar menimbulkan konflik sosial berbau sara (suku, agama, ras, dan adat). Oleh karena itu, kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa diperlukan guna mencegah terjadinya perpecahan yang mengganggu kesatuan bangsa. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik antaretnis yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain. Di Kalimantan Barat adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Akhirnya, perasaan ini meledak dalam bentuk konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan di Poso, Sulawesi Tengah konflik bernuansa sara mula-mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkan terbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan balasan. Dari dua kasus tersebut terlihat betapa perbedaan mampu memicu munculnya konflik sosial. Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan antisipasi justru akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Oleh karena itu, bagaimana kita bersikap dalam keanekaragaman benar-benar perlu diperhatikan. Pemecahan Masalah Keanekaragaman Sungguh cerdas pujangga Mpu Tantular. Sesaat setelah melihat keanekaragaman masyarakat yang ada di dalam masyarakat Kerajaan Majapahit, ia membuat sebuah rumus sosial yang bisa mempersatukan seluruh perbedaan yang ada di masyarakat. Bahkan, rumus yang ia kemukakan itu bisa dijadikan acuan dalam menghadapi permasalahan yang muncul sebagai akibat keanekaragaman. Ia kemudian kita ketahui menulis sebuah kitab Sutasoma, yang di dalamnya tertulis Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kamu tentu mengetahui apa arti dari kalimat ini. Tetapi pelajaran yang terpenting dari potongan sejarah ini adalah bahwa keanekaragaman bukanlah merupakan penghambat bagi tercapainya persatuan, kesatuan, dan kerukunan masyarakat. Fakta sejarah memang membuktikan bahwa kehidupan agama di Kerajaan Majapahit berjalan dengan sangat harmonis antara agama Hindu Siwa, Buddha, dan lainnya, bahkan hingga masuknya pengaruh agama Islam. Sebagai bukti adalah adanya kebijakan dari raja Majapahit saat membebaskan raja-raja bawahan di pesisir pantai utara Jawa untuk menganut agama Islam. Itu terjadi pada abad-abad yang silam. Bagaimana cara mengatasi permasalahan yang muncul sebagai akibat dari keanekaragaman dan perubahan kebudayaan yang ada di masyarakat? Setidaknya ada dua potensi yang bisa dijadikan dasar pijakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat yang multicultural seperti Indonesia. 1. Menggunakan Kearifan Lokal Ada sisi positif dan negatif dari kehadiran ratusan suku bangsa di Indonesia. Selain bisa memperkaya khazanah kebudayaan nasional, juga menjadi pemicu munculnya disintegrasi sosial. Sering kita dengar terjadinya perang antarsuku atau konflik sosial antaretnis di Indonesia. Ada banyak alasan yang mendasarinya. Tetapi, yang menarik adalah ternyata banyak suku bangsa yang mempunyai mekanisme atau cara di dalam menyelesaikan permasalahan itu. Kisah tentang kehidupan masyarakat di Lembah Baliem, bisa jadi merupakan contoh kearifan lokal yang dapat kita jadikan referensi dalam upaya mencarikan solusi atas permasalahan antaretnis atau antarsuku bangsa di Indonesia. 2. Menggunakan Kearifan Nasional Pada saat kita dihadapkan pada beragam konflik dan sengketa yang terjadi di antara etnis atau suku bangsa yang ada di Indonesia, belajar dari sejarah adalah cara yang paling tepat. Pada masa penjajahan Belanda kita merasakan betapa sulit merangkai nilai persatuan untuk sama-sama menghadapi bangsa penjajah. Hingga ketika kita mulai menyadarinya di tahun 1928. Saat itu kita mengakui Indonesia sebagai identitas bersama, yang mampu mengatasi sejumlah perbedaan kebudayaan di antara suku bangsa yang ada. Nasionalisme Indonesia pun terbentuk dalam wujud pengakuan bahasa, tanah air, dan kebangsaan. Dampaknya adalah perjuangan menghadapi kolonialisme Belanda semakin menampakkan hasilnya. Puncak dari pencarian identitas itu ditemukan pada saat Pancasila disepakati sebagai dasar negara dan petunjuk/arah kehidupan bangsa. Kompleksitas keragaman masyarakat dan budaya di Indonesia pun bisa diakomodasi bersama. Dasar negara inilah yang digunakan oleh para founding fathers kita pada saat mendirikan sebuah Negara nasional baru. Disebut negara nasional karena negara Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang bisa hidup berdampingan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konflik adalah proses social disosiatif yang dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat karena ketidakselarasan dan ketidakseimbangan dalam suatu hubungan masyarakat. Berdasarkan tingkatannya konflik dapat dibagi menjadi konflik horizontal dan vertical. 1. Konflik Horizontal Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok social yang sifatnya sederajat. Konflik social horizontal dapat berupa konflik antar suku, antar ras, agama, maupun konflik antar golongan. a. Konflik antar suku, konflik antar suku pada umumnya disebabkan oleh primordialisme yang berkembang menjadi etnosentrisme. Contoh : konflik antara suku Dayak dan suku Madura yang terjadi di Sampit, konflik antara suku-suku kecil di Papua. b. Konflik antar ras, konflik antar ras pada umumnya disebabkan oleh primordialisme yang berkembang menjadi stereotipe. Contoh : sistem politik Apartheid di Afrika, segregasi di Amerika. c. Konflik agama, konflik maslaah agama pada umumnya disebabkan oleh primordialisme yang berkembang menjadi fanatisme. Konflik agama dapat berupa konflik intern umat beragama misalnya konflik antar golongan pemeluk Islam murni dengan golongan Ahmadiyah, maupun konflik antar umat beragama (ekstern) misalnya konflik masyarakat Ambon pemeluk Islam dengan masyarakat Ambon pemeluk Kristen. d. Konflik antar golongan, konflik antar golongan pada umumnya disebabkan oleh semangat in group yang kuat sehingga dengan kelompok out group akan menimbilkan antipati. Contoh : konflik antar pendukung partai Demokrat dengan simpatisan PDIP. 2. Konflik Vertikal Konflik vertical adalah konflik yang terjadi diantara lapisan-lapisan di dalam masyarakat. Contoh konflik vertical : a. Konflik antar kelas atas dengan kelas bawah, konflik antar kelas atas dengan kelas bawah dapat berupa konflik kolektif dan individual. Konflik kolektif misalnya konflik antara buruh dengan pipminan perusahaan untuk menuntut kenaikan gaji. Konflik individual misalnya konflik antara pembantu dengan majikan yang berakibat pada kekerasan. b. Konflik antara pemerintah pusat dengan daerah, misalnya pemberontakan dan gerakan seporadis seperti OPM, GAM, dan gerakan Papua merdeka. c. Konflik antara orang tua dan anak, konflik antara orang tua dan anak akan menimbulkan hambatan dalam sosialisasi nilai dan norma dan terkadang menimbulkan kenakalan remaja. B. INTEGRASI KARENA KETERPAKSAAN (COERSIF) Integrasi karena keterpaksaan terjadi karena suatu ketergantungan dan mau tidak mau antar lapisan masyarakat harus saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan. Namun dalam integrasi yang terjadi karena paksaan biasanya ada upaya antar kelompok untuk mendominasi satu sama lain. Indonesia merupakan negara multicultural yang terdiri dari bermacam-macam etnis, ras, agama, dan suku bangsa yang masing-masing membawa bendera primordialismenya masing-masing. Apabila masing-masing kelompok tidak bisa saling menghargai dan mengurangi etnosentrisme, stereotype, dan fanatisme maka akan menimbulkan konflik SARA. Integrasi karena keterpaksaan dilihat dari segi historis juga dapat dicontohkan pada masa feodal. Dimana antara golongan pemerintah kolonial, golongan Asia Timur Asing, golongan kerabat kerajaan, dan bumiputera hidup dalam satu wilayah namun tidak dapat membaur. Terdapat batas-batas yang tegas dan adanya upaya dari pemerintah kolonial untuk terus menerus mendominasi dan menjajah. Contoh lain integrasi coersif dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat terjadi demonstrasi atau unjuk rasa yang ricuh lalu polisi akan memberikan peringatan dengan gas air mata dengan tujuan mengatur para demonstran untuk menyampaikan aspirasi secara tertib dan sesuai hukum. C. DISINTEGRASI Disintegrasi adalah suatu keadaan dimana tidak ada keserasian pada bagian-bagian dari suatu kesatuan masyarakat. Disintegrasi atau kesenjangan merupakan akibat dari adanya pembangunan dimana kelas atas menguasai pembangunan yang berperan sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, namun disisi lain kelas tengah dan bawah hanya berperan sebagai objek pembangunan. Akibatnya kelas tengah dan bawah akan mengalamai eksploitasi dan diskriminasi di bidang social, ekonomi, dan politik. Kesenjangan inilah yang akan mempengaruhi pola hidup dan pola hubungan antar kelompok. 1. Pola Hidup Pola hidup adalah cara-cara dan kebiasaan mesyarakat dalam memenugi kebutuhan.

a. b. c. d. e. 2.

a.

b. c.

d.

e.

D.

Konsumtif Materialistis Hedonisme Westernisasi Sekulerisasi Pola Hubungan antar Kelompok Pola hubungan antar kelompok adalah suatu bentuk dan sistem hubungan dalam interaksi diantara anggota masyarakat. Aksi protes/demonstrasi (anarkis), yaitu aksi penyampaian pendapat dengan cara-cara yang melanggar hukum dan menyebabkan kerusuhan. Contoh : kerusuhan Mei 1998 yang disertai aksi anarkis saling tembak-menembak antara aparat dan mahasiswa juga diwarnai aksi penyanderaan dan pembunuhan terhadap etnis Tionghoa. Kenakalan remaja, kenakalan remaja yang disebabkan karena pertengkaran dengan orang tua akan membuat pelarian anak kepada hal-hal yang negative bahkan melanggar hukum contohnya minuman keras, narkoba, dll. Kriminalitas, kriminalitas merupakan suatu bentuk penyimpangan social akibat dari tekanan social dari keadaan lingkungan sekitarnya. Kurangnya skill dan ketrampilan merupakan factor utama semakin tingginya angka kriminalitas di kota-kota. Contoh : urbanisasi dari desa ke kota tanpa mempersiapkan ketrampillan akan menambah pengangguran akhirnya akan memilih melakukan tindakan criminal. Gejolak daerah, merupakan suatu bentuk reaksi masyarakat yang semakin kritis menuntut hak-haknya kepada pemerintah. Rasa ketertindasan oleh kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada masyarakat menyebabkan masyarakat melakukan pemberontakan. Adanya gangguan stabilitas disetiap daerah sekarang ini apabila tidak segera diatasi akan menyebabkan perpecahan bangsa Indonesia. Contoh : konflik yang terjadi di Mesuji merupakan suatu bentuk upaya pembelaan masyarakat terhadap hak-haknya akibat dari monopoli atas tanah dan pengelolaan sumber daya agraria. Terorisme, merupakan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror terhadap sekelompok masyarakat. Namun sekarang terorisme sering dikaitkan dengan masalah agama. Padahal agama manapun tidak ada yang mengajarkan untuk saling membunuh. Terorisme merupakan salah satu upaya adu domba dan penyudutan terhadap kelompok atau agama tertentu kepada kelompok atau agama lain untuk memecahkan integrasi bangsa dengan cara-cara yang separatis. Contoh : penabrakan pesawat komersil dengan sengaja oleh sekelompok teroris di gedung WTC dan Pentagon AS, bom Bali, bom hotel JW Marriot, dan bom GBIS Kepunton Solo. REINTEGRASI Reintegrasi adalah suatu proses pembentukan nilai-nilai dan norma-norma baru agar serasi dengan lembagalembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan. Reintegrasi bertujuan untuk membangun kembali integrasi dengan nilai dan norma baru yang lebih relevan dengan masyarakat sehingga akan tercipta keharmonisan dan keserasian diantara para kelompok masyarakat yang bersifat multikultural. Contoh reintegrasi adalah proses reintegrasi Aceh pasca pemberontakan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pemerintah membentuk badan resmi BRA (Badan Reintegrasi Aceh) yang bertugas mengurusi masalah reintegrasi dalam proses perdamaian di Aceh. Dalam BRA terdapat susunan kepengurusan yang terdari dari wakil pemerintahan, perwakilan GAM, masyarakat sipil, dan cendikiawan yang diharapkan mampu membangun kembali integrasi antara Aceh dengan Indonesia.

Dalam proses reintegrasi maka diperlukan cara-cara mengatasi konflik yang pernah terjadi dan upaya untuk mencegah kembali terjadinya konflik, yaitu :
1. a. b. c. d. e. f. g. 2. Secara Preventif Memberikan pendidikan multikultural. Menetapkan kurikulum pendidikan. Menjaga keharmonisan yang dapat digali dari kearifan budaya yang dimiliki tiap budaya. Mengembangkan kesadaran social dan peranan individu. Menyikapi perbedaan secara lebih terbuka. Menanamkan semangat kebersamaan sebagai satu kesatuan bangsa yang multicultural. Mau dan bersedia untuk hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat atau kelompok lain. Secara Represif

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.

Membuat undang-undang kesamaan derajat. Mengembangkan multikulturalisme. Meninggalkan sikap primordialisme. Saling menghargai dan toleransi. Meneguhkan penggunaan alat-alat pemersatu bangsa. Mengembangkan nasionalisme. Menyelesaikan konflik secara akomodatif. Menegakkan supremasi hukum. Menetapkan otonomi daerah. Memperkuat semangat in group namun juga tidak antipati terhadap out group. Menerima perubahan kondisi social secara tenang dan kritis. Mengakui identitas budaya lain.

PENYEBAB RAPUHNYA KONSTRUKSI KEBANGSAAN BERBASIS MULTIKULTURALISME


HARUS jujur diakui, multikulturalitas kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang given, takdir Tuhan; bukan faktor bentukan manusia. Bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan berbeda satu sama lain, membawa sejumlah karakter fisik maupun nonfisik berbeda, merupakan pemahaman yang lumrah dijumpai di masyarakat. Akan tetapi, bahwa setiap individu atau kelompok individu tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual (occultism) yang berbeda, belum sepenuhnya bisa diterima nalar kolektif masyarakat. Nalar kolektif masyarakat tentang multikulturalitas kebangsaan masih terkooptasi logosentrisme tafsir hegemonik yang sarat akan prasangka, kecurigaan, bias, kebencian, dan reduksi terhadap kelompok yang ada di luar dirinya ( the other). Kondisi multikulturalitas kebangsaan bisa diibaratkan sebagai pedang bermata ganda; di satu sisi ia merupakan modalitas yang bisa menghasilkan energi positif, di sisi lain bisa menjadi ledakan destruktif yang menghancurkan struktur dan pilarpilar kebangsaan manakala keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan baik. Sejarah peradaban bangsa-bangsa besar adalah sejarah mengelola multikulturalitas yang dimilikinya. Konsep melting pot society, yang di dalamnya mengandaikan terjadinya peleburan berbagai elemen sosial budaya ke dalam sebuah "campuran homogen" (homogenous amalgam), tampaknya menjadi alternatif pijakan konseptual-praksis dalam membangun masyarakat multikulturalistik itu. Sebaliknya, sejarah kehancuran bangsa-bangsa besar adalah sejarah kegagalan dalam mengelola multikulturalitas kebangsaannya. Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah bangsa, semakin tinggi pula tingkat tantangan yang dimiliki. Meski demikian, tingkat keberhasilan menjadi bangsa besar semakin terbuka seiring keberhasilannya mengatasi problemproblem yang muncul dari heterogenitas itu. Berbasis multikulturalisme Paradigma multikulturalisme tidak saja mengandaikan hadirnya anekaragam elemen sosial budaya, tetapi juga proses amalgamisasi atau peleburan antara elemen yang satu dengan elemen lain ke dalam sebuah bejana sosial budaya yang bersifat fluid dan melting. Proses amalgamasi ini bukan dalam pengertian penciptaan identitas tunggal melalui penyeragaman yang represif, tetapi kerelaan saling melebur tanpa harus menghilangkan identitas-identitas lokal. Salah satu faktor kegagalan rezim Orde Baru (Orba) dalam mengelola multikulturalisme adalah karena selain menggunakan cara-cara represif, mereka juga amat terobsesi melakukan penyatuan dan penyeragaman sosial budaya melalui-meminjam istilah Bennedict Anderson-imagined community, dengan serangkaian kampanye ideologis yang terstruktur di berbagai lembaga pemerintahan, tidak terkecuali jalur pendidikan. Paradigma pendidikan berbasis penyeragaman identitas sosial budaya ala Orde Baru terbukti tidak mampu menyangga multikulturalitas kebangsaan yang genuine dan otentik. Ibarat sebuah perahu, kehidupan bangsa yang multikultural itu terancam tenggelam seiring retaknya perahu Indonesia.

Tumbangnya rezim Orde Baru ditandai berbagai gejolak sosial yang mengobarkan primordialisme identitas lokal masingmasing. Konflik antaretnik (di Sambas dan Sampit) dan antaragama (di Maluku dan Poso), lepasnya Timor Timur dari pangkuan RI, dan gejolak sosial yang tiada henti di Aceh dan Papua, menjadi bukti paling sahih betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme yang dibangun Orba di negeri ini. Pendidikan memang bukan satusatuya "terdakwa" yang menyebabkan tercabiknya multikulturalisme di Indonesia, tetapi ia memiliki tanggung jawab moral terhadap upaya membangun kembali fundamental multikulturalisme negeri ini. Sampai di sini barangkali kita sepakat, luka lama akibat rapuhnya pilar-pilar multikulturalisme harus segera disembuhkan. Dalam konteks ini, dunia pendidikan menempati garda depan dalam mendekonstruksi teologi pluralisme Orde Baru yang sudah sedemikian berurat berakar dalam jantung kesadaran kolektif masyarakat kita. Karena itu, upaya menggagas paradigma pendidikan berbasis multikulturalisme yang lebih genuine dan otentik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Basis epistemologis Pembenahan pertama menyangkut basis epistemologis multikulturalisme yang hingga kini belum banyak dipahami khalayak secara proporsional. Harus diakui, pemahaman masyarakat tentang multikulturalisme masih sebatas pada keanekaragaman kondisi sosial budaya yang dimiliki bangsa kita. Tidak lebih dari itu. Dalam konteks ini, mari kita renungkan kembali falsafah hidup yang sering didengung-dengungkan Orde Baru, yakni "sepakat dalam ketidaksepakatan" (agreement in disagreement). Sepintas, semboyan ini memiliki nilai falsafah yang agung dalam menghargai perbedaan pendapat orang lain. Namun, kita tidak menyadari betapa falsafah hidup semacam ini merupakan simbol kematian bagi proses dialektika sosial budaya, sekaligus pengakhiran diskursus multikulturalisme. Padahal, paradigma multikulturalisme meniscayakan pemahaman bahwa elemen-elemen sosial budaya bangsa harus bersifat inklusif, membuka diri terhadap elemen-elemen lain dari luar, dan berani berdialog satu sama lain. Masyarakat harus membiarkan elemen-elemen sosial budaya saling berdialog, bahkan "bertikai", di tingkat epistemologis dalam diskursus yang fluid, melting, dan tidak represif. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu memerankan dirinya sebatas sebagai "arbiter", penengah bagi proses rekonsiliasi, ketika proses dialektika itu menemui titik jenuh. Untuk keperluan ini, masyarakat dituntut selalu meningkatkan "kecerdasan emosional" agar mereka memiliki sensitivitas, sensibilitas, apresiasi, simpati, dan empati terhadap kelompok lain. Basis teologis Tidak bisa dimungkiri, sistem teologi yang dikembangkan di lembaga pendidikan kita belum memungkinkan terjadinya pemahaman paradigma multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi. Distorsi pertama, doktrin agama sering dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama. Fenomena eksklusivisme masih amat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui "pencucian otak" anak didik secara sistematis. Kedua, pendidikan kita cenderung mengedepankan truth claim ketimbang truth exchange. Materi yang diajarkan di sekolah hanya membenarkan apa yang diyakini benar, dan menghakimi apa yang diyakini salah. Kebenaran yang diyakini kemudian diabsolutkan. Anak didik kurang diberi ruang cukup untuk menguji kebenaran lainnya. Materi pendidikan yang bersifat perbandingan, seperti perbandingan agama, masih berjalan sebatas penghadiran fakta-fakta agama tertentu menurut kacamata sistem keyakinannya (system of belief) sendiri. Ketiga, ranah yang dikembangkan masih sebatas kognitif, belum afektif dan psikomotorik. Artinya, materi yang ditransmisikan kepada anak didik hanya berimbas pada penambahan pengetahuan belaka, belum mampu diinternalisasikan ke dalam sistem kesadaran terdalam untuk selanjutnya diobyektifikasikan ke dalam perilaku nyata. Oleh karena itu, meski banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu perbandingan agama, hal itu hanya sampai pada pemahaman kognitif atas masing-masing agama. Tetapi, mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap kelompok agama lain. Karena itu, harus dilakukan dekonstruksi teologis terhadap sistem keyakinan yang selama ini dipegang masyarakat. Hal ini berkonsekuensi pada pendekonstruksian pemahaman mereka atas ketentuan teks suci yang sering menimbulkan perpecahan dan kebencian, menuju pemahaman, pembacaan dan tafsir teologis yang lebih inklusif, dialogis, dan manusiawi. Dalam hal ini, lagi-lagi pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk memelopori proses pendekonstruksian itu.

Akhirnya, upaya menggagas paradigma pendidikan berbasis multikulturalisme hanya sebatas angan-angan kosong ketika tidak ada itikad baik untuk memperbaiki bangunan multikulturalisme di Indonesia. Kuatnya ikatan-ikatan primordialisme di tengah masyarakat kita merupakan salah satu faktor beratnya mengonstruksi paradigma pendidikan berbasis multikulturalisme dimaksud. Kesadaran multikulturalisme tidak mesti menenggelamkan kesadaran primordialisme, karena setiap manusia terlahir dengan membawa primordialismenya sendiri-sendiri. Namun, yang tidak boleh terjadi adalah ketika kesadaran pertama terkalahkan oleh kesadaran yang kedua. Jika ini yang terjadi, jangan pernah berharap kita mampu membangun fundamental kehidupan bangsa yang multikultural melalui dunia pendidikan. MASDAR HILMY Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya

WAWASAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Oleh: Rohani, S.Pd.I A. Pendahuluan
Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang multi-suku, multi-etnik, multi-agama dan multibudaya.[1] Kemajemukan tersebut merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu sama lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk bahu-membahu dalam membangun bangsa dan negara. Namun disampingkemajemukan dan multikulturalitas mengisyaratkan adanya perbedaan,[2] keragaman tersebut juga amat potensial bagi munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan[3] yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa apabila masing-masing komponen mengedepankan ego dan kepentingan sendiri-sendiri.[4]Karena merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya. Hal itu juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikulturalisme[5] di negeri kita. Konflik dan kekerasan sosial yang sering terjadi antara kelompok masyarakat merupakan bagian dari kemajemukan dan multikulturalitas yang tidak dikelola dengan baik. Agama seringkali juga dapat menjadi pemicu timbulnya percikan-percikan api yang dapat menyebabkan konflik horizontal antarpemeluk agama. [6] Hal ini dapat terjadi - sebagaimana dikatakan KH. Abdurrahman Wahid- karena adanya campur tangan terlalu banyak terhadap kehidupan beragama. Agama terlalu banyak diklaim untuk semua hal.[7] Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus. Sudarto menjelaskan bahwa beberapa konflik agama antara kaum Muslim dan Nasrani, seperti di Maumere (1995), Surabaya, Situbondo dan Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Jakarta, Solo dan Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002), bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik gereja maupun masjid) terbakar dan hancur.[8]

Latar Belakang Pendidikan Multikultural


Secara garis besar multikulturalisme dapat dipahami sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya lain. Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an[9] oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.[10] Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank,[11]berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Sehingga pada awal tahun 1970-an bermunculan sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya ( cultural diversity). Begitu juga keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social class) dalam suatu masyarakat juga berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan[12] sehingga turut melatarbelakangi berkembangnya pendidikan multikultural. Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal ( lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi[13]. Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan). Dalam pandangan Ricardo L. Garcia[14] kemunculan pendidikan multikultural terpengaruh dengan adanya teori sosial cultural pluralism: mosaic analogy yang dikembangkan oleh Berkson. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas

budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari individu yang sangat pluralistik, sehingga masing-masing identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah. Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Sementara Donna M. Gollnick menyebutkan bahwa pentingnya pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh beberapa asumsi: (1) bahwa setiap budaya dapat berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda, dan bahkan dapat saling memberikan kontribusi; (2) keragaman budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat Amerika dewasa ini; (3) keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi semua orang merupakan hak bagi semua warga negara; (4) distribusi kekuasaan dapat dibagi secara sama kepada semua kelompok etnik; (5) sistem pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi kelangsungan masyarakat demokratis; serta (6) para guru dan para praktisi pendidikan dapat mengasumsikan sebuah peran kepemimpinan dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural.[15] Pendidikan berbasis multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda. Atau dengan kata yang lain, siswa diajak untuk menghargai bahkan menjunjung tinggi pluralitas dan heterogenitas. Paradigma pendidikan multikultural mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami.[16]

1. B.

Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia

Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh negara lain. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis budaya. Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan Pendidikan Multikultural di Indonesia ini. Problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di Indonesia antara lain: 1. Keragaman Identitas Budaya Daerah

Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Konflikkonflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan. Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masingmasing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi. 2. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah

Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan. Konsep putra daerah untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting

memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang. Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung. 3. Kurang Kokohnya Nasionalisme

Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini. 4. Fanatisme Sempit

Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan, namun yang salah yaitu fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini. Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperluka, namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. 5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural

Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini. Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.

6.

Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya

Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini. Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini. 7. Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa

Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat hukuman yang setimpal baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang meru sak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terusmenerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilainilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan. Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli. Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia dari puing -puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah. Tulisan berikut ingin menunjukkan bahwa upaya membangun masa depan bangsa Indonesia di atas pondasi multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: pertama, konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; serta kedua upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia. Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)? Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Bangsa Indonesia kaya raya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi pada masa sekarang ini, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang tingkat korupsinya paling tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Cita-cita reformasi yang sekarang ini tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional. Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap selanjutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan

pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum. Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional juga mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan. Hal-hal yang harus kita lakukan adalah: pertama, meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia. Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari sukusuku bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property danshared entitlement. Artinya upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan demikian pula sebaliknya. Kedua, setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grassroots, antar anggota masyarakat. Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhuwah) yang sekaligus dapat menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang pembangunan ekonomi dapat melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan ataupun desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud pembangunan ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi, yang sekaligus merupakan ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga perencanaan di tingkat nasional dan tingkat daerah sebagai bagian dari integritas bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan akan menjadi tujuan strategis karena perencanaan mendesain masa depan.

Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Pondasi Multikultural Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:

a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa. b) Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme c) Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian. Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatanmerupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati.Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi. Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana Bhineka Tunggal Ika perlu menjadi ruh atau spiritpenggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara. Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:

a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam konsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari. b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitimate) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.

c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi politik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.

Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan Bhinneka Tunggal Ika masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari. Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan kebijakan inilah kita dapat memaknai Bhinneka Tunggal Ika secara baik, seimbang dan proporsional. Dengan kebijakan ini pula kita dapat membangun masa depan bangsa melalui penerapan Persatuan Indonesia serta mengembangkan semangat nasionalisme sebagaimana diharapkan.

Indonesia Sebuah Negara multikultural atau Negara yang Krisis Budaya


Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar yang terletak di benua asia, tepatnya di bagian asia tenggara. Karena letaknya diantara dua samudra, yaitu samudra hindia dan samudra pasifik, serta terletak diantara dua benua, yaitu benua asia dan benua Australia, Indonesia memiliki berbagai banyak unsur unsur kebudayaan, seperti berbagai macam bahasa, suku bangsa, agama atau kepercayaan, adat istiadat, kesenian tradisional serta berbaga jenis mata pencaharian yang membentang dari sabang himgga merauke, oleh karena itu Negara Indonesia sering disebut sebagai Negara multikiltural atau Negara yang memiliki berbagai macam budaya. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia mempunyai banyak sekali budaya dan kesenian daerah, misalnya saja reog ponorogo dan kesenian angklung. Reog ponorogo merupakan salah satu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat jawa timur yang merupakan asal dari kesenian tersebut. Umumnya kesenian tersebut terdiri dari dua jenis kesenian yaitu seni tari dan seni musik yang tergabung menjadi sebuah kesenian baru. Pada jaman modern seperti sekarang ini, kesenian di Indonesia semakin berkembang, tak hanya kesenian tradisional, kini muncul istilah kesenian modern. Disebut demikian karena, dalam prakteknya menggunakan instrument atau alat modern seperti, gitar, bass, drum, piano serta alat musik modern lainnya. Musik tersebut banyak dimainkan oleh berbagai kalangan, mulai dari anak kecil, remaja, hinnga orang dewasa. Karena perkembangan teknologi semakin cepat, akhirnya juga mempercepat tumbuhnya industry musik di Negara Indonesia. Berbondong bondong orang membetuk grup musik atau band agar mereka dapat menjadi terkenal di kalangan masayarakat, tak hanya itu di beberapa stasiun telivisi swasta setiap hari menanyangkan acara musik tersebut, dengan mendatangakan artis artis terkenal. Selain itu, beberapa stasiun swasta tersebut juga membuat acara semacam pencarian bakat untuk mencetak para musisi musisi baru. Memang indusri musik tersebut banyak mendatangkan keuntungan bagi yang berkecimpung di industri tersebut, akan tetapi, di sisi lain industri musik modern sedikit banyak telah menggeser dan menghapus minat masyarakat Indonesia terhadap musik tradisional, yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak lama, sedangkan musik modern yang sedang mereka gandrungi adalah musik yang bukan berasal dari Negara mereka, melainkan dari luar. Hal yang lebih memprihatinkan lagi yaitu, di manapun tempatnya pasti kita menjumpai beberapa remaja atau orang dewasa sedang asyik bermain band atau dance dan sesekali mengadakan lomba atau festifal. Lantas jika hal ini semakin berkembang, maka bagaimana nasib dari para musisi dan penari tradisional yang kehidupannya semakin buruk akibat music mereka kian tergerus oleh perkembangan jaman. Selain itu juga, sekarang ini para generasi muda mayoritas sudah enggan lagi untuk mengembangkan budaya tradisional tersebut. Jangankan mengembangkan, melihatnya saja mereka sudah tidak mau, alasannya budaya itu sudah kolot atau mereka takut jika mereka tidak mengikuti perkembangan jaman, mereka di cap ketinggalan jaman atau gaptek ( gagap teknologi). Tentunya, jika setiap generasi muda memiliki pandangan demikian, lantas siapa yang kelak akan meneruskan kebudayaan tradisional tersebut. Selain itu di mana rasa nasionalisme bangsa kita, apakah hanya karena tidak ingin ketinggalan jaman, mereka rela melupakan identitas mereka dan beralih mengikuti dan menekuni budaya asing tersebut, yang jelas jelas tidak sesuai dengan kepribadian

bangsa Indonesia. Jika hal ini terus dibiarkan, bagaimana nasip kesenian kesenian tradisional lain di Indonesia. Pada waktu lalu Indonesia dikejutkan dengan di klaimnya kesenian reog ponorogo dan kesenian angklung sebagai salah satu kesenian milik Negara Malaysia. Lantas dengan terjadinya hal ini siapa pihak yang disalahkan, apakah para seniman tradisional tersebut, atau Malaysia yang tiba tiba mengklaim kesenian tersebut sebagai kesenian mereka, ataukah para generasi muda yang enggan untuk melestarikan kembali kesenian tradisional tersebut?. Mungkin kejadian tersebut sebagai peringatan terhadap bangsa Indonesia sendiri yang telah melupakan identitasnya sendiri sebagai Negara multikultural. Di samping itu juga, kejadian tersebut sedikit banyak telah menghina para seniman seniman tradisional yang telah lama melestarikan kesenian tersebut turun menurun yang pada kenyataanya justru di lupakan oleh bangsanya sendiri dan pada akhirnya di klaim oleh Negara lain. Memang perkembangan teknologi maupun perkembangan budaya harus kita ikuti agar kita dapat beradaptasi dengan perkembngan jaman, akan tetapi jika tindakan yang kita lakukan adalah mengganti kebudayaan yang kita miliki dengan kebudayaan bangsa lain tentu hal itu jelas salah, karena walau bagaaimanapun budaya bangsa merupakan salah satu aset bangsa yang tidak ternilai harganya, selain itu budaya bangsa kita mrupakan salah satu alat pemersatu bangsa, dan jika budaya tersebut hilang atau punah maka apakah masyarakat Indonesia yang terkenal memiliki banyak suku bangsa masi dapat bersatu dan dapat dikatakan sebagi bangsa Indonesia?. Hal inilah yang sebenarnya yang menyebabkan permasalahan permasalahan sosial di Indonesia. Masyarakat seharusnya berintrospeksi atas apa yang sedang mereka alami sekarang ini dan melihat kembali ke dalam diri mereka, siapa sesungguhnya diri kita dan bukan bertanya apa yang kita lakukan. Rendahnya tingkat pengetahuan dan pendidikan di Indonesia adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap krisis budaya yang kita alami saat ini, bagaimana tidak, mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih menggunakan prinsip ikut ikutan dalam kehidupan kesehariannya, mereka tidak mempunyai pendirian yang pasti terhadap apa yang mereka lakukan dan apa yang sedang mereka alami sekarang ini, misalnya saja beberapa waktu lalu, Indonesia dikejutkan dengan munculnya boy band smash, yang dengan cepat terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, hal itulah yang kemudian menyebabkan boy band menjamur di Indonesia , sampai sampai salah satu telivisi swasta Indonesia membuat acara semacam pencarian bakat, yang tidak lain hanya sebagai motif untuk mencari keuntungan dengan jalan seperti itu, secara umum ajang tersebut memang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas para generasi muda akan seni, namun di sisi lain hal itu sebenarnya telah membodohi dan membutakan bangsa Indonesia sendiri, bagaimana tidak, berbagai remaja dengan susah payah mereka melungkan waktunya hanya untuk mengikuti audisi tersebut hanya demi sebuah keinginan sederhana yaitu ingin terkenal, padahal jika di liat secara intelektual, mereka merupakan generasi penerus bangsa yang kelak akan mewujidkan Negara Indonesia ini menjadi lebih, namun kenyataanya mereka hanya seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, yaitu hanya mencari keuntungan, tanpa memperdulikan hal lain yang tentunya lebih penting. Sikap lain yang dimiliki oleh para generasi kita adalah kebiasaan lebih suka menyalahkan daripada mencari penyebab dari masalah tersebut, misalnya saja ketika beberapa waktu lalu, kesenian reog ponorogo di klaim Malaysia sebagai kesenian mereka, sontak warga Indonesia marah marah dan ramai ramai mengklaim Malaysia tanpa berfikir mengapa hal tersebut bisa terjadi, seharusnya masyarakat sadar,dan bukan tergesa gesa mengecam dan menghujat. Mereka seharusnya juga mengerti bahwa melestarikan budaya bangsa merupakan kewajiban setiap warga Negara Indonesia, agar tidak terjadi hal hal memalukan seperti itu lagi, hal lain yang menyebabkan terjadinya krisis budaya di Indonesia adalah munculnya hedonisme dan konsumerisme, di Indonesia sekarang ini marak munculnya konser konser band dari luar, atau artis penyanyi dari luar negeri yang tiketnya relatif jauh lebih mahal daripada konser konser dalam negeri yang mayoritas tanpa biaya tiket alias gratis, jika hal ini terus dibiarkan maka pertunjukan pertunjukan kesenian tradisional lambat laun akan menghilang bahkan punah karena tergantikan dengan konser konser band tersebut, hal lain yang ditakutkan yaitu jika tidak ada lagi yang mau melestarikan kebudayaan bangsa Indonesia, lantas apa yang dapat menjadi identitas bangsa ini kalau melestarikan budayanya sendiri saja tidak mau. Melihat hal itu, sebaiknya segenap masyarakat harus turut serta melestarikan kebudayaan tersebut tak terkecuali generasi muda, yang seharusnya lebih aktif melestarikan daripada hanya sekedar ikut ikutan meniru gaya hidup orang barat. Masyarakat juga harus meningkatkan kembali minat terhadap kesenian dan budaya daerah agar budaya tersebut tidak punah dan malah berkembang. Selain itu meningkatkan minat terhadap kebudayaan daerah dapat meningkatkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang akhir akhir ini mulai menghilang. Memang bangsa Indonesia sejak dulu terkenal akan keaneragaman budayanya, tetapi akhir akhir ini Indonesia seperti hanya menjadi Negara plagiat, yang hanya bisa meniru, meniru, dan meniru trend yang ada di luar negeri tanpa meikirkan dampak dan akibat yang ditimbulkan. Masyarakat juga harus sadar bahwa pendidikan merupakan hal yang sanat penting bagi kelangsungan hidup mereka di masa depan daripada hanya mengikuti trend trend yang muncul dan kemudian akan

menghilang dan hanya menyisakan kesenangan belaka. Fenomena sepeti ini memang banyak dan sering terjadi di nrgara Negara berkembang seperti di Indonesia ini, permintaan akan kebutuhan dan kesenagan, membuat masyarakat berfikir dangkal dan berusaha dengan menghalalkan segala cara hanya untuk memperoleh kesenangan dengan cara cara seperti itu, yang kemudian hal tersebut akhirnya juga ikut menambah angka hedonisme di Indonesia ini. Masayarakat yang berbudaya, seharusnya tahu dan mengerti bagaimana ia bertindak dan menyikapi hal yang ada di sekelilingnya dengan berpedoman pada nilai nilai luhur bangsa Indonesia, dan bukan sebaliknya malah bersikap seeenaknya seperti tanpa memiliki pendirian, jika hal itu tidak segera di benahi, bagaimana bisa masyarakat Indonesia dapat memiliki daya saing terhadap dunia luar, sedangkan masyarakatnya sendiri minim kreativitas dan lebih suka menjiplak hasil karya orang lain, dan lebih parahnya lagi mereka bangga ketika memakai barang yang bukan buatan bangsa mereka sendiri, termasuk mempraktekan budaya asing di Negara kita, yang jelas jelas tidak sesuai derngan kepribadian bangsa Indonesia. Selain krisis budaya masyarakat Indonesia kini juga sedang mengalami krisi moral dalam kehidupan sehari hari, misalnya saja dapat kita lihat para remaja remaja kita lebih suka melakukan sex bebas dan mengosumsi narkoba tanpa sepengetahuan orang tua mereka, jelas jelas hal itu telah melanggar norma norma sosial. Mereka yang seharusnya serius mengenyam pendidikan di bangku smp atau sma, malah asyik melakukan pesta sex dan markoba yang berujung tindak kriminal yang akhirnya merugikan diri mereka sendiri. Kecanggihan teknologi namun tidak di imbangi dengan pengetahuan yang sepadan salah satu penyebab maraknya perilaku sex bebas di kalangan remaja kita, tak dapat dipungkiri di mana mana sekarang banyak tersedia warnet ( warung internet ) yang dapat mereka kunjungi kapan saja. Situ mereka dapat mengakses secara bebas dan leluasa apa saja yang mereka iginkan termasuk situs situs porno, yang sebenarnya belum saanya mereka untuk tahu dan menirunya. Hal lain yang menyebabkan maraknya sex bebas di kalangan remaja yaitu, rendahnya pengawasan orang tua terhadap anaknya, mereka menganggap anak mereka anak mereka sudah dewasa dan mengeti apa yang baik dan yang buruk, namun faktanya tidak demikian, dunia remaja adalah dunia yang paling labil terhadap dunia luar, mereka( para remaja) sangat mudah terombang ambing dalam sistem pergaulan yang mereka buat sendiri, tanpa dihindari mereka dapat dengan mudah terpengaruh oleh ajakan teman mereka dan akhirnya mereka juga melakukan hal yang sama kepada teman mereka yang lain untuk hal hal tersebut. Hal lain yang lebih memprihatinkan yaitu, orang tua mereka kebanyakan lebih suka sibuk dengan urusanya masing masing tanpa memperdulikan perilaku anaknya di luar rumah, akibatnya anak menjadi minim perhatian, dan mencari perhatian atau kesenangan dengan melakukan hal hal seperti sex bebas dan mengosumsi narkoba. Fenomena serupa kita jumpai di lingkungan intelektual yaitu kampus, kampus yang idealnya menjadi tempat untuk berdiskusi dan mengembangkan ilmu pengetahuan, kini berubah fungsi menjadi sarana untuk pamer kekayaan. Para mahasiswa yang idilai sebagai agent of change kini hanyalah berupa kalangan yang tak lain dan tidak bukan setelah lulus menjadi pencari kerja, para mahsiswa juga dikenal memiliki kebutuhan yang banyak, saking banyaknya kebutuhan yang ingin mereka penuhi, mereka rela menjual diri mereka demi mendapatkan uang, dengan kata lain mereka selain berprofesi sebagai mahasiswa, mereka juga berprofesi sebagai ayam kampus ( pekerja sex di lingkungan kampus ). Sungguh ironis memang, mendengar fakta seperti itu, munculnya para ayam kampus di lingkungan para intelektual kita menjadi bukti bahwa angka hedonisme di kalangan intelektual kita sangat tinggi. Fenomena lain hedonisme kita jumpai dikalangan pejabat DPR kita. Para pejabat yang seharusnya menjadi wadah aspirasi dan pengeksekusi keinginan rakyat, kini berbalik fungsi menjadi pengguna uang rakyat. Bagaimaana tidak, para pejabat tersebut dengan leluasa menggunakan uang rakyat hanya untuk merenovasi ruang kerja dan membeli mobil mobil mewah yang sebetulnya tidak perlu dilakukan. Selain bermewah mewahan mereka juga melakukan korupsi terhadap uang rakyat demi meningkatkan keuntungan mereka semata. Jika melihat banyak fakta seperti ini, apakah masih layak kita untuk berdiam diri dan menutup mata atas semua yang terjadi di Indonesia, apakah masih layak menyebut kita sebagai masyaraakat yang berbudaya?. Tentunya jika menjawab kita harus kembali kepada hati nurani kita sendiri, karena dengan hati nuranilah kita dapat mengerti apa yang sebenarnya yang kita inginkan, jika tidak maka kita hanya akan menuruti dan menuruti hawa nafsu kita dan terjerumus kedalam kehancuran. Maka dari sekarang kita harus segera berintrospeksi dan berbenah terhadap apa yang sudah kita lakukan, agar kita tidak menjadi slah satu dari generasi perusak bangsa, yang kini jumlahnya semakin hari semakin banyak, dan semakin merusak Negara tercinta kita Indonesia. Oleh karena itu jika bukan kita yang melakukan siapa lagi yang akan mengubah wajah Indonesia ini menjadi Negara yang lebih baik dan bermartabat dan bukan menjadikan Negara kita sebagai tempat bermukimnya para musuh yang sewaktu waktu bisa menghancurkan Indonesia, bahkan memec ah belah persatuan.

Anda mungkin juga menyukai