Anda di halaman 1dari 7

Sinopsis Film Dokumenter “Tanah Para Terjanji”

Sejarah kolonial secara literer banyak kita temui. Namun wacana itu terkadang sangat
sulit kita pahami, pun kita tangkap, mengingat framming sejarah yang memang sengaja
dilekatkan kepada kita. Secara auditif maupun visual, karya ini berusaha menampilkan
beberapa kerangka penting yang turut mewarnai haru biru pergerakan Indonesia,
terutama kaitan antara kerja misionaris Katolik, setting manifestasi kebudayaan lokal,
dan sejarah sosial Indonesia.

Ganjuran, yang dijadikan sample, adalah wilayah kecil yang terletak di Selatan
Jogjakarta. Menarik karena ternyata di tempat itu berdiri “Candi Hati Kudus
Tuhan Yesus”, candi ‘Katholik’ pertama di Indonesia atau mungkin juga di Asia
dan bahkan di Dunia yang dibangun di luar kepentingan Hindu dan Budha. Banyak
orang mempercayai, dan fakta memang mengatakannya, pemrakarsa ide tersebut
adalah dua bersaudara asal Belanda, yakni Josep dan Julius Schmutzer.
Julius Schmutzer adalah pengusaha perkebunan gula di Ganjuran. Ia berhasil
menaikkan produksi pabrik dengan memperbaiki manajemen pabrik, terutama
karena kedekatan personalnya dengan Sultan Hamengku Buwono VIII dan Paku
Alam, dan usahanya merangkul masyarakat sekitar melalui jalur kesenian dan
kebudayaan. Pembangunan infrastruktur sosial meliputi: irigasi, poliklinik,
gereja, dan 12 sekolah setingkat sekolah dasar. Bahkan dengan keuntungan yang
berlimpah, Julius bersama istrinya berhasil membangun Zieken Huis Onder de
Bogen, kini lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Sementara itu, Josep, sang kakak, adalah seorang politisi, cendekia sekaligus
ilmuwan yang cukup berpengaruh pada jamannya. Ia anggota Volkstraad
pertama, 1918, yang diangkat langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
van Limburg Stirum. Joseph merupakan pendiri Indische Katholik Partij (IKP),
yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Partai Katolik Indonesia. Josep juga
sempat menjadi dosen di Bogor, melakukan penelitian tentang tebu dan gula,
menjadi guru besar mineralogi di Utrecht, aktif membantu pengungsi korban
Nazi—bahkan sempat di hukum karenanya—dan terakhir, sebelum wafatnya,
sempat memangku jabatan Menteri Daerah Jajahan Pemerintahan Kerajaan
Belanda pada Kabinet Gerbrandy, walaupun dalam waktu yang singkat.

Dua bersaudara ini, di bantu oleh isteri-isteri mereka, hingga saat ini terus
menjadi ‘pahlawan Ganjuran’. Kenyataannya ‘Ganjuran’ telah memangkas wajah
kolonial menjadi begitu humanis. Kita dibuat lupa bahwa Ganjuran pun
dibesarkan oleh ornamen kebudayaan lokal yang dipermak, ditambal sulam dari
nuansa yang kadang bertentangan: berdirinya Mataram Islam (Ganjuran banyak
memanfaatkan mitos Watu Gilang Panembahan Senopati, sebuah pesanggrahan
tapa yang digunakan Senopati sebelum ia menjadi Raja Mataram); sejarah
pembuangan manusia karena dalih kekuasaan (Ganjuran berasal dari nama Ki dan
Nyi Jo Ganjur, orang buangan Keraton Jogja. Nama pasangan itu diabadikan
menjadi Gending Kolo Ganjur oleh Sultan Hamengku Buwono VII); sementara
pemilihan bentuk, motif, relief candi maupun arca-arca di Ganjuran sepenuhnya
diambil dari karakter-karakter peninggalan Hindu-Budha yang tersisa: Candi
Sewoe, Panataran, Singosari dan Plaosan. Hari ini pun banyak peziarah datang ke
Ganjuran untuk meminta berkah penyembuhan, pengobatan terutama berkait
dengan kepercayaan terhadap air suci Tirta Perwitasari, sebuah konsep yang jika
kita ingat agak mirip dengan Lakon Dewaruci, yakni ketika Bima menemukan air
Perwitasari.

Situs maupun ritus yang agak tak biasa itu—termasuk adanya perhentian ke-15
dalam panel Jalan Salib (dalam Gereja Katolik biasanya hanya ada 14
perhentian), upacara Malam Jumat Kliwon dan Sadranan Agung, membuat kita
bertanya-tanya tentang wajah Ganjuran sesungguhnya. Kini selain
mengembangkan Panti Asuhan “Santa Maria”, rumah bagi kehamilan tidak
diinginkan, Ganjuran juga mengembangkan pertanian organik, sebuah konsep
ekologi yang humanistik dan mengedepankan penghormatan terhadap alam:
sebuah kerja yang mengedepankan ide progresif-dan agak revital.

Namun, sekali lagi, kenyataan ini membuat kita semakin bertanya-tanya: dalam
konteks sejarah sosial Indonesia, apakah Ganjuran adalah wajah keberhasilan
ataukah kekalahan kita sebagai bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan?

Dengan term yang lebih positif dan optimis, tentu kita akan menyebut bahwa
Ganjuran adalah wajah inkulturatif yang ramah. Meski demikian kita juga masih
harus mencatat, bahwa beberapa kalangan menganggap inkulturasi adalah
sebuah kesimpulan yang terburu-buru. Jangan-jangan, sesunguhnya bukan
inkulturasi, melainkan sebuah adaptasi sistem besar ketika ia berusaha untuk
masuk dan dapat diterima sebagai wacana yang tak asing oleh masyarakat
sekitar. Dan jangan-jangan pula, perjuangan kelas memang tak pernah dikenal
dalam kebudayaan lokal priyayi kita, atau jangan-jangan Ganjuran—dan bahkan
Nusantara—merupakan tanah terjanji yang akan selalu diperebutkan para
pendatang? Inikah waktu bagi kita untuk bicara kebetulan dalam jaman? Dan
jangan-jangan Ganjuran adalah…

Film ini dibuat dengan teknik yang begitu sederhana. Selain dana yang teramat minim,
pengerjaan film ini ditangani oleh orang-orang yang tidak memiliki basis pendidikan
formal di bidang film dan bahkan sejarah. Dengan bermodalkan intuisi, film ini digarap
dengan pertanyaan-pertanyaan yang begitu liar yang keluar dari eksplorasi baik yang
bersifat individu maupun kelompok. Banyak orang memuji, terutama karena dandang gulo
penutupnya, berhasil mengetengahkan kontradiksi paradigma antara agama lokal dan
agama impor. Walau banyak juga orang yang mencela, justru karena film ini memberikan
refleksi kritis akan sejarah agama dalam menciptakan sintesa kebudayaan adaptatif.

Jogjakarta, 2005
Komunitas Tusing Kandha Peripheral Documentary
MENCARI LUPA YANG TERCECER

Peter Johan
(Komunitas Tusing kandha)

Arus balik mulai nampak. Orang mulai menyadari, bahwa sejarah bukanlah
sekedar titian menuju pengetahuan. Mengetahui adalah menyadari, sebuah
proses bijak dari keinginan untuk menemukan Sang Kemanusiaan Yang Hakiki.
Atau boleh saya katakan: menghancurkan ke-Diri-an hari ini untuk berjumpa
dengan ke-Diri-an yang baru. Untuk itu dibutuhkan kebesaran hati.

Ini jelas bukan pekerjaan mudah. Betapa tidak, operasi sosial kapitalisme telah
sampai pada tingkat metamorfosa terbaiknya: globalisasi dan kerendahan hati
teknologi. Pertemuan sehari-hari dengan metamorfosa itu melemahkan cara
pandang kita akan dunia dan segala permasalahannya. Akhirnya, kita hanya akan
berkata tentang kewajaran, kemanusiawian, dan hal-hal pelarian lain yang
membawa seluruh kesadaran kita pada penyerahan diri atasnya.

Orang menjadi lupa, bahwa sejarah adalah bagian dari dirinya. Apapun
bentuknya. Baik mitos, literasi, atau ‘yang sayup-sayup terdengar’, tidak
seharusnya kita lekatkan kidung kebenaran mutlak pada salah satunya.
Obyektifitas telah jatuh dari singgasananya, dan kepercayaan mulai berserak
hingga ke sudut-sudut tergelap. Bahwa kepercayaan inilah yang beranasir dengan
sejarah, dengan pengetahuan, dengan kesadaran. Tak ada metode untuk itu,
kecuali kembali lagi pada kebesaran hati. Atau mengutip kata Isa: berbahagialah
orang yang tidak melihat namun percaya.

Ini bukan pesimisme yang lahir dari teriakan-teriakan tak tentu arah. Ada jalan
menuju itu, mencapai sebuah kebulatan tekad akan kemanusiaan yang lebih
proporsif. Ini bisa dilalui dengan jalan memutar, melewati dakian gunung dan
haluan-haluan lain yang begitu memberatkan. Retrorefleksi, atau situasi
membengkong ke arah belakang, mungkin itu kata yang bisa diajukan. Mencari
ceceran-ceceran yang telah dilemparkan dari jalur produksi gagasan dominan,
mempelajari segala kesalahan kultural, dan yang terpenting, mempercayai
perjalanan memutar itu, segelap apapun dan seberat apapun. Di titik inilah
optimisme akan terungkap, termanifestasikan pada simpul-simpul perjumpaan
ruang-waktu yang begitu membuncahkan hati.

Kalau kemudian optimisme bisa digarisbawahi, kita bisa mengatakan: teranglah


mata hati. Segalanya tercerahkan, dan rumusan-rumusan kebudayaan akan
menemukan segenggam keniscayaannya, bahwa hari esok adalah kiamat tanpa
kematian.
MENENGOK GANJURAN DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

Silverio RL Aji Sampurno


(Kepala indonesiana, Pusat Studi Sejarah Indonesia, Universitas Sanata Dharma)

Setelah melihat film dokumenter “Tanah Para Terjanji” ini, saya yang pernah
belajar sejarah, antropologi yang berkonsentrasi pada ekologi, dan kemudian
menjadi peneliti lingkungan serta beragama Katolik, menjadi terperanggah.
Bagaimana tidak? Saya seperti disadarkan kembali untuk melihat sesuatu secara
komprehensif, sehingga kita dapat menentukan hitam putihnya sesuatu.

Film ini telah mengajarkan semuanya. Ia melihat fenomena yang terjadi di


Ganjuran secara komprehensif, mulai dari masa kolonial hingga sekarang ini (saat
film ini dibuat). Saya menjadi semakin paham mengapa buruh di Pabrik Gula
Gondang Lipoero tidak melakukan pemogokan seperti yang dilakukan teman-
temannya di pabrik gula yang lainnya pada periode 1920-an.

Untuk itu, saya sarankan kepada anda yang berminat pada bidang Sejarah
Gereja, Antropologi, Arkeologi, Ekologi, Teologi dan pemerhati masalah sosial
ekonomi untuk mengapresiasi film ini. Karena dengan menonton film ini kita bisa
belajar banyak tentang segala hal.

Jika mau ditelisik satu persatu, para antropolog misalnya, dengan menonton film
ini, dapat melihat terjadinya enkulturasi yang terjadi di Gereja Ganjutan yang
merupakan salah satui bentuk dari imbas Revolusi Perancis (liberte, egalite, dan
fraternite).

Bagi para arkeolog yang selama ini melihat bahwa bangun candi hanya bagi
mereka yang memeluk agama Hindu atau Buddha, kini melihat bentuk
sinktetisme antara budaya Jawa, Hindu, dan Katolik. Bagi para ekolog, film ini
telah menuntun untuk melihat keterpaduan alam yang terjadi di Ganjuran. Bagi
para Teolog Katolik, paling tidak film ini telah memperlihatkan bentuk
pemberontakan umat Katolik kepada Gereja yang akhirnya disetujui oleh Gereja
lewat Konsili Vatikan II. Bagi pemerhati masalah sosial, film ini telah
mengajarkan tentang bagaimana seharusnya pengelolaan sosial seharusnya
dilakukan, sehingga tidak perlu terjadi pemogokan atau pun pemberontakan.

Akhirnya, kepada tim Tusing Kandha, Selamat!


SEKEDAR UJAR-UJAR UNTUK VIDEO DOKUMENTER
“TANAH PARA TERJANJI”

Agung Budyawan
(Kelompok belajar “Citralekha”)

Inkulturasi merupakan warna yang kental dalam dinamika sejarah Gereja di


Indonesia, tanpa terkecuali di Tanah Jawa. Dengan semangat inkulturasi
tersebut, katolisitas yang hadir bersama rombongan kolonial Belanda mampu
berdiri bersanding dengan tradisi masyarakat yang telah ada. Paling tidak
inkulturasi gereja menunjukkan ada warna lain yang dapat dimunculkan dari
kecenderungan-kecenderungan kolonial. Berbagai bentuk inkulturasi dapat
dicontohkan, misalnya mulai dari penggunaan bahasa daerah dalam tata-
peribadatan Gereja sampai pada bangunan fisik gerejanya yang disesuaikan
dengan corak arsitektektur lokal. Hal-hal tersebut disadari sebagai bentuk
pengungkapan iman yang lebih membumi sesuai dengan kultur masyarakatnya.

Pada awal kegiatan misi di Jawa, kebutuhan untuk mengungkapakan iman melalui
tradisi lokal tersebut tidak selamanya berjalan dengan peran hierarki sebagai
lembaga yang ‘paling bertanggungjawab’ atas misi Gereja semata. “Tanah Para
Terjanji” menunujukkan kenyataan bahwa keterlibatan awam dalam misi Katolik
yang inkulturatif di Ganjuran, sangat besar. Schmutzer bersaudara, pengusaha
Pabrik Gula Gondang Lipoera merupakan aktor penting yang membantu
pengungkapan iman Katolik pribumi. Di sini, terlihat hubungan erat antara
tindakan para pengusaha dan kebijakan Gereja. Bisa dipastikan, berbagai langkah
inkulturatif di Ganjuran tidak akan terlaksana jika tidak ada dukungan
pengusaha Belanda yang mau ‘sedikit berbagi’ keuntungan. Sebuah keuntungan
besar yang direnggutnya dari industri gula, yang pola kerjanya dibangun berdasar
inspirasi ensiklik rerum novarum dari Paus Leo XIII.

Bentuk paling nyata dari inkulturasi di Ganjuran adalah dibangunnya Candi Hati
Kudus Yesus yang terkesan sinkretik antara tradisi Jawa dan Hindu-Syiwa dengan
kekuatan simbol Katolik; dimana arca Shri Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa
mengenakan mahkota sebagai pusatnya. Kehadiran candi ini menjadi menarik
karena di sisi selatan Yogyakarta hampir tidak ditemukan candi Hindu maupun
Buddha. Kiranya, pemilihan membangun candi oleh Schmutzer dan tokoh-tokoh
Katolik awal (seperti Yusuf Purwodiwiryo) bukan tanpa alasan. Kehendak untuk
mengakomodir religi kaum tani dalam masyarakat agraris mungkin menjadi alasan
yang kuat. Begitu juga dengan simbol-simbol yang ditampilkan sebagai ornamen-
ornamen di dalam dan seputar Gereja (panel jalan salib, arca maria, malaikat).

Kenyataan itu dapat disebut bahwa titik dimana inkulturasi terjadi merupakan
‘kelanjutan’ gerak historis dari proses yang telah terjadi dan tidak mendapat
tempat. Simbol-simbol yang ada, tidak sekedar mewakili keimanan Kristen
belaka, tetapi juga warisan semangat para leluhur yang tetap dihormati dalam
tradisi agraris di Jawa. Bukan tak mungkin, para tokoh Katolik pribumi di masa
itu membaca celah untuk mengupayakan terwakilinya ekspresi religi agraris
melalui Gereja Katolik.

Inkulturasi di Ganjuran ternyata tidak sebatas pada simbolisasi fisik dan ritual
belaka tetapi juga pada keterlibatan Gereja dalam dinamika sosial ekonomi dan
politik masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan misi, gereja dituntut untuk
terlibat dalam situasi real yang terjadi. Pada proses ini, Kekatolikan mendapat
tempat di hati umatnya; mengingat mencari suwarga pun tak dapat meninggalkan
sega. Peningkatan kesejahteraan bagi buruh Pabrik Gula Gondang Lipoera pada
masa Schmutzer hingga Pengorganisiran Tani Lestari oleh Rm. G. Utomo Pr.
merupakan gambaran yang jelas untuk itu.

Makin hari semakin tidak kontekstual jika inkulturasi hanya semata pada
ritualisme belaka (lebih celaka lagi jika disadari katolikisasi). Inkulturasi adalah
upaya bagi lembaga keimanan untuk semakin kontekstual dengan laju zaman dan
akar kulturalnya. Begitu pula kepekaan dalam menanggapi tantangan
keterlibatan Gereja dalam proses sosial kemasyarakatan. Lebih penting dari itu,
langkah kontekstual itu membutuhkan keberpihakan. Pada situasi di Ganjuran,
berpihak pada petani dengan pengembangan pertanian organik merupakan
pilihan awal untuk perubahan, (semoga) bukan membuat ritual-ritual baru dalam
tradisi agraris. Setelah itu, masih banyak langkah yang harus ditempuh di wilayah
lain yang lebih menunjukan karakter yang tegas bahkan di tingkat teologisnya
sendiri.

Keterlibatan dalam proses sosial Gereja sejak zaman para misionaris di awal abad
lalu dengan berbagai dinamikanya merupakan catatan yang penting dalam
historiografi Indonesia. Kiranya, ini merupakan sumbangsih dalam penulisan
sejarah sosial di Indonesia, meski upaya itu belum sepenuhnya tergambar dalam
“Tanah Para Terjanji”.

Film Dokumenter merupakan salah satu upaya kreatif untuk mengungkapkan


realitas. Sebagai kerja kreatif, tentu saja ada kekurangannya. Misalnya,
bagaimana membungkus kompleksitas historis dari sejarah alternatif agar dapat
tampil ke muka dan muncul sebagai fusi horizon baru. Kita masih bertanya apa
yang terjadi dengan Gereja Ganjuran pasca nasionalisasi 1950-an, bahkan saat
peristiwa `65: demikan tentramkah Ganjuran? Kendati demikian, terimakasih
kepada kepada kawan-kawan “Tusing Kandha Peripheral Documentery” untuk
kerja kretifnya yang keras dan cerdas untuk mengungkap realita sejarah dari
Ganjuran yang dapat membantu merekonstruksi peristiwa masa lalu dan
mengintepretasikannya secara lebih baru. Proficiat kepada kerja keras itu.

Anda mungkin juga menyukai