Anda di halaman 1dari 42

RESPONSI

PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PADA MULTPARA HAMIL ... DENGAN MIOMA UTERI

Oleh:

Risang Galih Elisa Gunawan Khumaidi

G0006 G0007192 G00070

Pembimbing : dr. Heru Priyanto, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2011

ABSTRAK

Tujuan: Penanganan ketuban pecah dini pada hamil aterm. Tempat: Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. Moewardi Bahan dan Cara Kerja: Laporan kasus, seorang G1P0A0, 20 tahun, umur kehamilan 40 minggu, janin I, hidup, intra uterin, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan ketuban pecah dini, dikirim bidan dengan keterangan kala I tak maju. Dilakukan terminasi kehamilan pervaginam dengan induksi menggunakan drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL. Hasil: Persalinan spontan, lahir bayi perempuan, BB= 3500 gram, PB= 47 cm, LK= 32 cm, LD= 33 cm, Apgar Score 8-10-10. Kesimpulan: Pada kasus ini, induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin terbukti efektif. __________________________________________________________________ Kata Kunci: ketuban pecah dini, primigravida, belum inpartu, induksi oksitosin

BAB I STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS 1. Pasien Nama Umur : Ny. YI : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan Status paritas : G1P0A0 Alamat Status Pendidikan Pekerjaan Suku Agama Tgl masuk No. RM : Gondang Panjen RT11/00, Jono, Tanon, Sragen : Kawin : SLTP : Ibu rumah tangga : Jawa : Islam : 20 Maret 2011 : 308833

2. Suami Nama Umur Pendidikan Pekerjaan : Tn.D : 22 tahun : SLTP : Buruh bangunan

B. ANAMNESIS Tanggal 20 Maret 2011, pukul 08.15 WIB 1. Keadaan Sekarang dan Alasan Dirawat Seorang G1P0A0, hamil 40 minggu Tanggal 20-3-2011 jam 08.15 datang ke kamar bersalin RSUD Sragen, rujukan dari bidan dengan keterangan kala I tak maju.

Tanggal 16-3-2011 jam 07.00 kenceng-kenceng 1x, gerak janin (+). Tanggal 20-3-2010 jam 08.15 kenceng-kenceng sering belum dirasakan, gerak janin (+). Tanggal 19-3-2010 jam 22.00 air ketuban merembes.

2. Riwayat Menstruasi Menarche Siklus menstruasi Lama menstruasi HPMT : 15 tahun : 28 hari : 7 hari : 13 Juni 2010

3. Riwayat Perkawinan Menikah 1 kali. Dengan suami sekarang 9 bulan.

4. Riwayat Obstetrik Kehamilan I : sekarang

5. Penyakit dan Operasi yang Pernah Dialami Tidak ada.

6. Kehamilan Sekarang Taksiran tanggal persalinan: 20 Maret 2011. Pengawasan kehamilan di bidan : tidak teratur, 4x Hal-hal penting selama kehamilan/ nasehat selama ANC: tidak ada.

7. Riwayat Kontrasepsi Pasien tidak menggunakan kontrasepsi sebelum kehamilan ini. Pasien dan suami ingin memiliki 2 orang anak. Setelah kehamilan ini, pasien ingin menggunakan KB IUD.

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Pasien KU : Baik

Kesadaran : Compos mentis Vital Sign : T : 110/80 mmHg Nadi Suhu : 78x/ menit : 36,80C

RR : 18x/ menit TB/BB Gizi Kepala Jantung : 151 cm / 54 kg : Kesan cukup

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-)

Paru-paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-) Hati : Tidak teraba Anggota gerak : Odema (-), varices (-), refleks (+)

2. Status Obstetrik a. Inspeksi Perut membuncit membujur, mengkilat (-), venetasi (-), striae gravidarum (+), bundle ring (-) b. Palpasi Dilakukan menggunakan pemeriksaan Leopold dengan hasil sebagai berikut: LI : Teraba bagian besar lunak

LII : Teraba bagian keras panjang sebelah kanan, teraba bagian kecil-kecil sebelah kiri LIII : Teraba bagian besar keras, ballotmen (-) LIV : Sejajar His (+), osborn tes (-) Fundus uteri 30 cm c. Auskultasi DJJ (+), reguler, 12-12-11

d. Perkusi Pekak alih (-), pekak sisi (-), reflek patella (+) e. Vaginal toucher 1) Belum ada pembukaan, KK (-), eff 40% Bagian bawah: kepala, turun di H II, Muller Munrokeer <900 Penunjuk belum dapat dinilai 2) Septum vagina (-), kondoliloma akuminata (-), myoma servikalis (-), kista bartolini (-), kista gardner (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium: Hb 11,5 gr%, golongan darah O, Nitrazin test (+) USG: tampak janin tunggal intra uterin, presentasi kepala, puka, DJJ (+), EFBW= 3100, plasenta insersi di corpus kiri grade II, air ketuban kesan cukup, tak tampak kelainan kongenital mayor. NST: baseline= 145, variabilitas= 75, akselerasi (+), deselerasi (-), fetal movement (+), NST reaktif.

E. DIAGNOSIS SEMENTARA G1P0A0, 20 tahun, hamil 40 minggu Janin 1 hidup intra uterin Presentasi kepala, , puka

Ketuban pecah dini 10 jam, Belum inpartu

F. LAPORAN PERSALINAN Tanggal/ Jam Nadi/ Tensi/ Suhu 12-12-11 VT: = -cm, KK (-), eff 40% Bagian bawah (kepala), H II+ Penunjuk belum dapat dinilai Dx: G1P0A0, 20 tahun, uk 40 minggu Janin 1 hidup intra uterin Preskep, , puka N: 78x/1 RR: 18x/1 S: 36,8 0C His DJJ Keadaan umum, dll

20-3-2011 T: 110/80 10.00

Ketuban pecah dini 12 jam, belum inpartu S: Observasi 10 Akhiri kehamilan dengan induksi persalinan menggunakan drip

oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, 8 tpm Evaluasi 4 jam lagi 10.15 Idem 12-12-11 drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, 12 tpm 10.30 idem 12-12-11 drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, 16 tpm 10.45 idem 12-11-12 drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, 20 tpm 11.00 idem 12-11-12 drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, 24 tpm 11.15 idem 12-11-12 drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, 28 tpm

11.30

idem

2x/10/20 dtk 12-11-12 His mulai sering sedang VT: = 2cm, KK (-), eff 50% Bagian bawah (kepala), H II+ Penunjuk belum dapat dinilai Dx: idem, ketuban pecah dini 13.5 jam, inpartu kala I fase laten S: Observasi 10 Melanjutkan drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL flb I, 28 tpm Evaluasi 4 jam lagi 2x/10/20 dtk 11-12-11 sedang

11.45

idem

12.00

T: 120/70 2x/10/20 dtk 11-12-11 N: 84x/1 sedang RR: 18x/1 S: 36,5 0C 2x/10/20 dtk 11-12-11 sedang 2x/10/20 dtk 11-11-12 sedang 2x/10/20 dtk 11-11-12 sedang 3x/10/20 dtk 11-12-11 sedang 3x/10/20 dtk 11-12-11 sedang 3x/10/20 dtk 11-11-12 sedang

12.15

Idem

12.30

idem

12.45

idem

13.00

idem

13.15

idem

13.30

idem

13.45

idem

3x/10/20 dtk 11-11-12 sedang

14.00

T: 120/80 3x/10/20 dtk 11-11-12 N: 82x/1 sedang RR: 20x/1 S: 36,50C 3x/10/20 dtk 11-11-12 sedang 3x/10/20 dtk 12-11-12 sedang 3x/10/20 dtk 12-11-12 sedang 3x/10/20 dtk 12-12-11 Melanjutkan drip oksitosin 5 IU sedang dalam 500 ml RL flb II, 28 tpm 3x/10/20 dtk 12-12-11 sedang 3x/10/20 dtk 12-12-11 VT: sedang = 6cm, KK (-), eff 70% Bagian bawah (kepala), H III UUK kiri depan Dx: idem, ketuban pecah dini 17,5 jam, inpartu kala I fase aktif 2,5 jam S: Observasi 10 Melanjutkan drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL flb II, 28 tpm Evaluasi 2,5 jam lagi 3x/10/30 dtk 12-12-11 kuat

14.15

Idem

14.30

Idem

14.45

Idem

15.00

Idem

15.15

Idem

15.30

Idem

15.45

idem

16.00

T: 120/70 3x/10/30 dtk 11-12-11 N: 82x/1 kuat RR: 20x/1 T: 36,7 0C 3x/10/30 dtk 11-12-11 kuat 3x/10/30 dtk 12-11-11 kuat 3x/10/30 dtk 12-11-11 kuat 3x/10/30 dtk 11-12-11 kuat 3x/10/30 dtk 11-12-11 kuat 3x/10/30 dtk 12-11-11 kuat 3x/10/30 dtk 12-11-11 kuat

16.15

Idem

16.30

Idem

16.45

Idem

17.00

Idem

17.15

Idem

17.30

Idem

17.45

Idem

18.00

T: 110/70 3x/10/30 dtk 11-11-12 VT: N: 84x/1 kuat RR: 18x/1 S: 36,8 0C = 9cm, KK (+), eff 90% Bagian bawah (kepala), H III+ UUK kiri depan

Dx: idem, ketuban pecah dini 20 jam, inpartu kala I fase aktif 5,5 jam

S: Observasi 10 Melanjutkan drip oksitosin 5 IU

10

dalam 500 ml RL botol II flb II, 28 tpm Evaluasi 1 jam lagi 18.15 idem 3x/10/40 dtk 11-11-12 kuat 18.30 idem 3x/10/40 dtk 12-12-11 kuat 18.45 Idem 3x/10/40 dtk 12-12-11 kuat 19.00 idem 3x/10/40 dtk 11-11-12 VT: kuat = 10cm, KK (-), eff 100% Bagian bawah (kepala), H IV UUK kiri depan Dx: idem,ketuban pecah dini 21 jam, inpartu kala II S: Observasi 10 pimpin persalinan saat ada His Siapkan resusitasi neonatus 19.15 idem 4x/10/40 dtk 11-11-12 Pasien ingin mengejan kuat Vulva anus terbuka Perineum menonjol Dx: idem,ketuban pecah dini 21 jam, inpartu kala II, 15 menit S: Observasi 9 pimpin persalinan saat ada His Siapkan resusitasi neonatus

11

19.35

idem

4x/10/40 dtk 12-11-11 Lahir bayi perempuan spontan, kuat BB= 3500 gram, PB= 47 cm, LK= 32 cm, LD= 33cm, APGAR skor 8-10-10

19.45

idem

Lahir plasenta lengkap bentuk cakram, letak parasentral, ukuran 15x15x2 cm

Jumlah perdarahan:

Kala II Kala III Kala IV Jumlah

= = = =

50 cc 30 cc 20 cc 100 cc

Lama persalinan:

Kala I

: jam 11.30 - jam 19.00 =

7 jam30 menit 35 menit 10 menit 8 jam 15 menit

Kala II : jam 19.00 - jam 19.35 = Kala III : jam 19.35 - jam 19.45 = Jumlah =

Evaluasi 2 jam post partum KU VS : baik, compos mentis : T: 110/80 mmHg RR: 18x/ menit Mata Thoraks N: 78x/ menit S: 36,80C

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : dalam batas normal

Abdomen : supel, NT (-), kontraksi (+), TFU teraba 2 jari bawah pusat Genital : darah (+), lokia rubra (+)

Diagnosis : post partus spontan pada primigravida hamil aterm

12

Terapi

: infus RL Cefadroxil tab Metilergometrin tab Vitamin C tab SF tab 2x1 3x1 2x1 2x1

13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketuban Pecah Dini 1. Definisi Ketuban pecah dini (KPD) masih merupakan suatu teka-teki di bidang obstetrik, hal ini dapat dilihat dari etiologi yang belum jelas, kesulitan dalam mendiagnosis, berhubungan dengan resiko pada ibu dan janin dan juga karena panatalaksanaannya yang bermacam-macam dan masih merupakan kontroversi. KPD dapat diartikan sebagai pecahnya ketuban pada saat fase laten sebelum adanya his. KPD juga dapat diartikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan yang sebenarnya mulai.1,2,3 KPD merupakan faktor resiko yang berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas janin dan ibu. Meningkatnya resiko tersebut ada hubungannya dengan lamanya periode laten dan lamanya ketuban pecah sampai jalan lahir. 1,2,3 Pada persalinan yang normal, ketuban pecah pada fase aktif. Pada KPD kantung ketuban pecah sebelum fase aktif. 4 KPD terjadi pada 10 % kehamilan, dimana sebagian besar terjadi pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu dan juga terjadi spontan tanpa sebab yang jelas.4

14

Gambar 1. Ketuban Pecah Dini

2.

Etiologi Dan Patogenesis KPD diduga terjadi karena adanya pengurangan kekuatan selaput ketuban, peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya. Sebagian besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya kekuatan selaput ketuban. Selaput ketuban dapat kehilangan

elastisitasnya karena bakteri maupun his. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa bakteri penyebab infeksi adalah bakteri yang merupakan flora normal vagina maupun servix. Mekanisme infeksi ini belum diketahui pasti. Namun diduga hal ini terjadi karena aktivitas uteri yang tidak diketahui yang menyebabkan perubahan servix yang dapat memfasilitasi terjadinya penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang membantu penyebaran infeksi adalah inkompetensi servix, vaginal toucher (VT) yang berulang-ulang dan koitus.4 Moegni, 1999, mengemukakan bahwa banyak teori yang menyebabkan KPD, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen sampai infeksi. Namun sebagian besar kasus disebabkan oleh infeksi. Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringan 15

retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion yang menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.4

3.

Diagnosis Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan beberapa cara :2,4 a. Air ketuban yang keluar dari vagina Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan mudah ketika ada cairan ketuban yang keluar dari vagina. Jika air ketuban tidak ada, tekanan ringan pada uterus dan gerakan janin dapat mengakibatkan keluarnya air ketuban. b. Nitrazine test pH vagina normal adalah 4,5 5,5 sedangkan air ketuban mempunyai pH 7,0 7,5, sehingga kertas nitrasin akan cepat berubah warna menjadi biru bila terkena air ketuban. Namun cairan antiseptik, urin, darah dan infeksi vagina dapat meningkatkan pH vagina dan hal ini menyebabkan hasil nitrazine test positif palsu. c. Fern test Test ini positif bila didapatkan gambaran pakis yang didapatkan pada air ketuban pada pemeriksaan secara mikroskopis. d. Evaporation test e. Intraamniotic fluorescein f. Amnioscopy g. Diamine oxidase test h. Fetal fibronectin i. Alfa-fetoprotein test

16

4.

Komplikasi KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin, diantaranya :4,5,6,7,8 a. Infeksi Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD. Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu

takikardi baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban yang berbau busuk, maupun leukositosis. b. Hyaline membrane disease Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline membrane disease sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat hubungan antara umur kehamilan dengan hyaline membrane disease dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran disease lebih banyak dibandingkan risiko infeksi. c. Hipoplasi pulmoner Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan membutuhkan bantuan ventilator. d. Abruptio placenta Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah perdarahan pervaginam. e. Fetal distress Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga untuk mengatasinya maka dilakukan

17

sectio cesaria, yang mengakibatkan tingginya angka section cesaria pada pasien dengan KPD. f. Cacat pada janin g. Kelainan kongenital

5.

Terapi Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung dari keadaan pasien.
2,3,4

Pada persoalan penanganan KPD terdapat dua

hal yang penting yakni penanganan secara aktif dan penanganan secara konservatif. Penanganan aktif adalah segera diterminasi kehamilannya, sedangkan penanganan konservatif adalah diterminasi kehamilannya jika terjadi infeksi, namun hal tersebut masih kontroversi.8 Beberapa ahli berpendapat bahwa resiko infeksi dapat terjadi setiap saat setelah ketuban pecah dan infeksi janin mungkin sudah terjadi walaupun belum ada tanda-tanda infesi pada ibu, sehingga atas dasar alasan tersebut, para ahli memilih penanganan aktif, yaitu melakukan induksi setela diagnosis KPD ditegakkan. 2,9 Selanjutnya, penanganan KPD dapat dibagi dalam keadan berikut: a. Pasien yang sedang dalam persalinan Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan proses persalinan dan memperlama kehamilan jika sudah ada his yang teratur dan pada pemeriksaan dalam didapatkan pendataran servix 100 % dan dilatasi servix lebih dari 4 cm. Penggunaan tokolitik tidak efektif dan akan mengakibatkan oedem pulmo. b. Pasien dengan paru-paru janin yang matur Maturitas paru janin dapat diketahui dari rasio lesitinspingomielin, phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan. Maturitas paru janin diperlukan untuk amniosintesis pada evaluasi awal pasien dengan ketuban pecah dini. c. Pasien dengan cacat janin

18

Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu dilakukan bila janin mempunyai kelainan yang membahayakan. Namun pada janin dengan kelainan yang tidak membahayakan harus diperlakukan sebagai janin normal, namun input yang tepat merupakan terapi yang sangat penting. d. Pasien dengan fetal distress Kompresi tali pusat dan prolaps tali pusat merupakan komplikasi tersering ketuban pecah dini, terutama pada presentasi bokong yang tidak maju (engaged), letak lintang dan

oligohidramnion berat. Jika DJJ menunjukkan pola deselerasi sedang atau berat maka pasien harus cepat diterminasi. Jika janin dalam presentasi belakang kepala, maka dapat dilakukan

amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan persalinan pervaginam. Namun bila janin tidak dalam presentasi kepala maka terapi yang dapat dilakukan adalah section cesaria. e. Pasien dengan infeksi Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum dalam persalinan. Bila ada kontraindikasi untuk persalinan pervaginam, maka dilakukan section cesaria setelah pemberian antibiotic yang dimaksudkan untuk menurunkan

komplikasi pada ibu dan janin. Beberapa penelitian menyebutkan section cesaria sebaiknya dilakukan bila persalinan pervaginam tidak dapat terjadi setelah 12 jam diagnosis chorioamnionitis ditegakkan. Menurut Mansjoer, 2002 terapi ketuban pecah dini adalah :3,4 a. Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. b. Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul lebih tinggi dari badannya. Kalau perlu

19

kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin. c. Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi atau ketuban pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik. d. Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan konservatif yaitu tirah baring dan berikan sedative, antibiotic selama 5 hari, glukokortikosteroid dan tokolisis, namun bila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan. e. Pada kehamilan 33-35 minggu, lakukan terapi konservatif selama 24 jam lalu induksi persalinan. Bila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan. f. Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin persalinan dan lakukan akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan bila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan bishop score kuran dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam dan bishop score lebih dari 5, section cesaria bila ketuban pecah kurang dari 5 jam dan bishop score kurang dari 5. Terapi ketuban pecah dini adalah :2,3,4 a. Terapi konservatif Rawat di Rumah sakit. Antibiotika jika ketuban pecah lebih dari 6 jam. Pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi Bila umur kehamilan sudah 32-34 minggu masih keluar, maka pada usia kehamilan 35 minggu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan. Nilai tanda-tanda infeksi. Pada umur kahamilan 32-34 minggu berikan steroid selama 7 hari untuk memacu kematangan paru janin dan bila

20

memungkinkan perikasa kadar lesitin dan spingomyelin tiap minggu. b. Terapi Aktif Kehamilan lebih dari 36 minggu, bila 6 jam belum terjadi persalinan maka induksi dengan oksitosin, bila gagal lakukan section cesaria. Pada keadaan DKP, letak lintang terminasi kehamilan dengan section cesaria. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan terminasi persalinan. a. Bila bishop score kurang dari 5, akhiri persalinan dengan section cesaria. b. Bila bishop score lebih dari 5, induksi persalinan dan partus pervaginam. c. Bila ada infeksi berat maka lakukan section cesaria.

B. Mioma Uteri 1. Definisi Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal
4

juga istilah

fibromioma, leimioma, ataupun fibroid. Neoplasma ini berbatas tegas, memiliki kapsul, terbentuk dari otot polos dan elemen jaringan penyambung
5

fibrosa. Mioma uteri terdiri dari serabut-serabut otot polos yang diselingi dengan untaian jaringan ikat, dikelilingi kapsul yang tipis. Tumor ini dapat berasal dari setiap bagian duktus Muller, tetapi paling sering terjadi pada miometrium. Disini beberapa tumor dapat timbul secara serentak. Ukuran tumor dapat bervariasi dari sebesar kacang polong sampai sebesar bola kaki.
6,7

21

2.

Epidemiologi Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi pada wanita sebelum menarche. Setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih tumbuh. Penelitian di Amerika Serikat yang pernah dilakukan Scwartz menunjukkan angka kejadian mioma uteri adalah 2-12,8 orang per 1000 wanita tiap tahunnya. Angka kejadian mioma uteri 2-3 kali lebih tinggi
8

pada wanita kulit hitam dibanding kulit putih. Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,4%-11,7% dari semua penderita ginekologi yang dirawat. Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita berkulit hitam ditemukan
4

paling banyak. Mioma terjadi pada kira-kira 5% wanita selama masa reproduksi. Tumor ini tumbuh dengan lambat dan mungkin baru dideteksi secara klinis pada kehidupan dekade keempat. Mioma lebih sering terjadi pada pasien
9

nullipara atau wanita yang hanya mempunyai satu anak. Faktor keturunan memegang peran dalam angka kejadian mioma uteri. Wanita dari garis keturunan tingkat pertama seorang penderita mioma uteri mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar menderita mioma uteri.
10

3.

Etiologi Etiologi pasti mioma uteri tidak diketahui. Tumor ini mungkin berasal dari sel otot yang normal, dari otot imatur yang ada dalam miometrium atau dari sel embrional pada dinding pembuluh darah uterus. Apapun asalnya, tumor mulai dari benih-benih multipel yang sangat kecil dan teratur pada miometrium. Benih-benih ini tumbuh sangat lambat tetapi progresif (bertahun-tahun bukan dalam hitungan bulan) di bawah pengaruh estrogen sirkulasi, dan jika tidak terdeteksi dan diobati dapat membentuk tumor dengan berat 10 kg atau lebih, namun sekarang jarang karena cepat terdeteksi. Mula-mula tumor berada intramural, tetapi ketika tumbuh dapat

22

berkembang ke berbagai arah. Setelah menopouse, ketika estrogen tidak lagi disekresi dalam jumlah yang banyak, mioma cenderung mengalami
6

atrofi.

4.

KLASIFIKASI
6

Menurut letaknya, mioma uteri dapat di klasifikasikan sebagai : a. Mioma submukosum: mioma berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai, kemudian dilahirkan melalui saluran servik (mioma geburt). b. Mioma intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. c. Mioma subserosum: mioma yang tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intra ligamenter, selain itu mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid. d. Mioma pedunkulata : mioma yang melekat ke dinding uterus dengan tangkai yang bisa masuk ke peritoneal atau cavum uteri.

Jumlah kasus mioma uteri berdasarkan jenis mioma uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010.11 Jenis Mioma Uteri Mioma Subserosa Mioma Submukosa Mioma Intramural Multiple Mioma Jumlah Jumlah Kasus 25 24 51 14 114 Persentase (%) 21,93% 21,05% 44,73% 12,28% 100%

23

12.28% 21.93% 21.05%


subserosa submukosa

44.73%

intramural multipel

5.

Perubahan Sekunder
4

a. Atrofi: sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi kecil. b. Degenerasi hialin: Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dengan serabut otot
4

lainnya. c. Degenerasi kistik: dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tak teratur berisi seperti agar-agar. Dengan konsistensi lunak ini
4

tumor sukar dibedakan dengan kista ovarium ataupun kehamilan. d. Degenerasi membatu (calcireous degeneration): terutama pada wanita usia lanjut oleh gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan
4

memberikan bayangan pada foto Rontgen. e. Degenerasi merah (carneous degeneration): biasanya terjadi pada
4

kehamilan atau nifas. f. Degenerasi lemak: jarang terjadi, merupakan kelanjutan dari degenerasi
4

hialin.

24

6.

Diagnosis

1.) Anamnesis Dari anamnesis dapat ditemukan antara lain : a. Faktor-faktor risiko terjadinya mioma uteri. Seperti:10 - Umur: Kebanyakan wanita mulai didiagnosis mioma uteri pada usia diatas 40 tahun. - Menarche dini: Menarche dini ( < 10 tahun) meningkatkan resiko kejadian mioma 1,24 kali. - Ras: Dari hasil penelitian didapatkan bahwa wanita keturunan AfrikaAmerika memiliki resiko 2,9 kali lebih besar untuk menderita mioma uteri dibandingkan dengan wanita Caucasian. - Riwayat keluarga: jika memiliki riwayat keturunan yang menderita mioma uteri, akan meningkatkan resiko 2,5 kali lebih besar. - Kehamilan: semakin besar jumlah paritas, maka akan menurunkan angka kejadian mioma uteri. - Makanan: Dari beberapa penelitian yang dilakukan menerangkan hubungan antara makanan dengan prevalensi atau pertumbuhan mioma uteri. Dilaporkan bahwa daging sapi, daging setengah matang (red meat), dan daging babi menigkatkan insiden mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma uteri. Tidak diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat atau phytoestrogen berhubungan dengan mioma uteri - Kebiasaan merokok: Merokok dapat mengurangi insiden mioma uteri. Diterangkan dengan penurunan bioaviabilitas esterogen dan penurunan konversi androgen menjadi estrogen dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin. b. Gejala dan tanda, seperti: Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada, besarnya

25

tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang mungkin timbul
4

yaitu : Perdarahan abnormal yaitu dapat berupa hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia merupakan yang paling banyak terjadi. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah: 1) Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai adenokarsinoma endometrium 2) Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa 3) Atrofi endometrium di atas mioma submukosum 4) Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada mioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore. Namun gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas pada mioma uteri. Gejala dan tanda penekanan (Pressure Effects) yang tergantung pada besar dan tempat mioma uteri. Gejala yang timbul dapat berupa poliuri, retention urine, obstipasi serta edema tungkai dan nyeri panggul. Pada penderita dengan uterus fibroid tidak dapat dipastikan apakah akan mempengaruhi tingkat kesuburan atau tidak. Fibroid hanya akan mempengaruhi fertilitas hanya berkisar 2-3% kasus. Seberapa besar pengaruh fibroid terhadap kehamilan atau kejadian abortus tergantung dari luasnya fibroid menyebabkab distorsi dinding uterus. Dengan adanya fibroid akan mencegah proses implamantasi pada dinding
2

uterus.

26

Berikut ini hasil penelitian retrospektif terhadap data rekam medik penderita yang dirawat di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010 didapatkan 114 penderita mioma uteri.11 Jumlah kasus mioma uteri menurut usia penderita di RSUD Dr.Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010
Usia Penderita (tahun) 20 30 31 40 41 50 51 60 > 60 Total Jumlah Kasus 3 20 70 20 1 114 Persentase (%) 2,63% 17,54% 61,40% 17,54% 0,88% 100%

70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 20-30 31-40 41-50 51-60 usia penderita > 60
jumlah penderita mioma

Jumlah kasus penderita mioma uteri menurut jumlah paritas di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010 Jumlah Paritas 0 ( nullipara ) 1 ( primipara ) 2 ( multipara ) 3 ( multipara ) 4 ( multipara ) Jumlah Kasus 28 24 23 22 10 Persentase (%) 24,56% 21,05% 20,18% 19,30% 8,77%

27

5 ( multipara ) > 5 ( multigrande ) Total


25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% nullipara paritas 3 jumlah paritas

6 1 114

5,26% 0,88% 100%

jumlah penderita mioma uteri

multigrande

Jumlah kasus penderita mioma uteri berdasarkan keluhan utama di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010 Keluhan Utama Perdarahan Gangguan Defekasi Gangguan Miksi Nyeri perut dan pinggang Dismenorhe Infertilitas Jumlah Jumlah Kasus 65 12 10 6 5 2 114 Persentase (%) 57,02% 10,53% 8,77% 5,26% 4,39% 1,75% 100%

28

8.77% 1.75% 12.28% 10.53% 4.39% 5.26%

benjolan perut bawah perdarahan nyeri perut&pinggang dismenorhe

57.02%

gangguan defekasi gangguan miksi infertilitas

2.) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif. Mioma lebih terpalpasi pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan pada abdomen yang disertai nyeri lepas dapat disebabkan oleh perdarahan
9

intraperitoneal dari ruptur vena pada permukaan tumor.

Dari hasil
10

penelitian didapatkan bahwa resiko mioma meningkat pada wanita yang memiliki berat badan lebih atau obesitas berdasarkan indeks massa tubuh. Pada pemeriksaan pelvis serviks biasanya normal. Namun pada keadaan tertentu, mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat pada osteum servikalis. Kalau serviks digerakkan, seluruh massa yang padat bergerak. Mioma uteri mudah

ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus. Pada kasus yang lain pembesaran yang licin
6

mungkin disebabkan oleh kehamilan atau massa ovarium.

29

Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan uterus. Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang ditegakkan dengan pemeriksaan menggunakan sonde uterus. Mioma submukosum kadang- kala dapat teraba dengan jari yang masuk kedalam kanalis servikalis, dan terasanya benjolan pada pada permukaan
4

kavum uteri .

Jumlah kasus penderita mioma uteri menurut indeks massa tubuh di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010.11 Indeks Massa Tubuh 17 18,5 18,5 25 25 27 > 27 Jumlah Jumlah Kasus 25 36 25 28 114 Persentase (%) 21,93% 31,58% 21,93% 24,56% 100%

35.00% 30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% 17-18.5 18.5-25 25-27 >27
jumlah penderita mioma uteri

indeks massa tubuh

3.) Pemeriksaan Penunjang a. Temuan Laboratorium Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat 30

besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.12

Jumlah kasus mioma uteri menurut kadar hemoglobin (Hb) penderita di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2009 Januari 2010.11 Kadar Hemoglobin (gr%) <5 57 7,1 11,9 12 Jumlah Jumlah 0 25 60 29 114 Persentase 0% 21,93% 52,63% 25,44% 100%

60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Hb <5 Hb 5-7 Hb 7.1- Hb >12 11.9 kadar hemoglobin
jumlah penderita mioma uteri

b. Imaging USG ( Ultrasonografi ) Untuk menghindari kesalahan sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG pada wanita dengan gangguan perdarahan atau dengan nyeri perut bawah yang hebat. Pemeriksaan transvaginal sonography dapat dilakukan untuk lebih memastikan gambaran uterus fibroid. Untuk lebih 31

memperjelas pemeriksaan terhadap dinding dalam uterus dapat dilakukan dengan sonohisterography yaitu dengan mengisi cavum uteri dengan larutan saline selama pemeriksaan. Uterus fibroid ini biasa didiagnosa banding dengan adenomiosis. Pada adenomiosis akan mengilfitrasi lapisan dinding uterus yang akan menyebabkan dinding uterus menebal dan terjadi pembesaran uterus. Dari pemeriksaan USG akan tampak sebagai penebalan dinding uterus yang homogen, sementara fibroid dilihat sebagai area bula dengan batas yang tegas. Adenomiosis merupakan proses yang difus sehingga biasanya pengelolaan dilakukan
2

histerektomi. Histeroskopi Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.12 MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah dan ukuran mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma.12 Diagnosis banding perlu kita pikirkan tumor abdomen di bagian bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma submukosum yang dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma intramural harus dibedakan dengan adenomiosis, khoriokarsinoma,
4

karsinoma korporis uteri atau suatu sarkoma uteri. USG abdominal dan transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis.

7.

Penatalaksanaan Penanganan mioma uteri tergantung pada usia, paritas, lokasi dan

ukuran tumor, dan terbagi atas :

32

a. Konservatif
4,7,9

Cara penanganan konservatif dapat dilakukan sebagai berikut

1) Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan 2) Monitor keadaan Hb 3) Pemberian zat besi 4) Penggunaan agonis GnRH b. Penanganan operatif Intervensi operasi atau pembedahan pada penderita mioma uteri adalah: 1) Perdarahan uterus abnormal yang menyebabkan penderita anemia 2) Nyeri pelvis yang hebat 3) Ketidakmampuan untuk mengevaluasi adneksa (biasanya karena mioma berukuran kehamilan 12 minggu atau sebesar tinju dewasa) 4) Gangguan buang air kecil (retensi urin) 5) Pertumbuhan mioma setelah menopause 6) Infertilitas
13

7) Meningkatnya pertumbuhan mioma. Jenis operasi yang dilakukan pada mioma uteri dapat berupa : 1) Miomektomi Miomektomi adalah pengambilan
1

sarang

mioma

tanpa

pengangkatan rahim/uterus. 2) Histerektomi Adalah tindakan yang dilakukan bila kesuburan tidak lagi perlu dipertahankan. Kriteria menurut American College of Obstetricians Gynecologists (ACOG) untuk histerektomi adalah sebagai berikut : a) Terdapatnya 1 sampai 3 mioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar dan dikeluhkan oleh pasien. b) Perdarahan uterus berlebihan, meliputi perdarahan yang banyak dan bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari dan anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis.

33

c) Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma uteri meliputi nyeri hebat dan akut, rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis dan penekanan pada vesika urinaria
14

mengakibatkan frekuensi miksi yang sering. c. Radioterapi Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga penderita mengalami menopause. Radioterapi ini umumnya hanya dikerjakan kalau terdapat kontraindikasi untuk tindakan operatif. Akhirakhir ini kontraindikasi tersebut makin berkurang. Radioterapi
4

hendaknya hanya digunakan apabila tidak ada keganasan pada uterus.

8.

Komplikasi

a. Degenerasi ganas Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma
4

dalam menopause. b. Torsi (putaran tangkai) Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gamgguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut
4

tidak terjadi. c. Komplikasi lain Perdarahan, anemia, perlekatan paca miomektomi, dapat terjadinya
4

ruptur uteri (apabila pasien hamil post miomektomi).

C. Primigravida Primigravida adalah seorang wanita yang hamil pertama kali.10 34

D. Kehamilan Aterm Kehamilan aterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada seorang wanita dengan usia kehamilan antara 37 minggu sampai 40 minggu, sedangkan persalinan aterm atau cukup bulan didefinisikan sebagai masa persalinan yang terjadi sesudah 37 minggu dan sebelum genap 40 minggu.10 WHO (1979) membagi umur kehamilan dalam tiga kelompok, yaitu:10 1. Pre term 2. Aterm : kurang dari 37 minggu lengkap (kurang dari 259 hari) : mulai dari 37 minggu sampai kurang dari 42 minggu lengkap (259 hari sampai 293 hari). 3. Post term : 42 minggu lengkap atau lebih (294 hari atau lebih).

E. Belum Dalam Persalinan Belum dalam persalinan adalah belum didapatkannya tanda-tanda dalam persalinan. Tanda-tanda dalam persalinan (in partu) yaitu:10 1. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur. 2. Keluar lendir bercampur darah (blody show) yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks. 3. Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya. 4. Pada pemeriksaan dalam: seviks mendatar dan pembukaan telah ada.

F. Pematangan Serviks dan Manajemen Intrapartum Sekitar 80% pasien dengan usia kehamilan 42 minggu memiliki hasil pemeriksaan serviks yang kurang baik (misal, skor Bishop <7).(11) Skor Bishop untuk penilaian kematangan serviks dihitung sebagai berikut:

1. Dilatasi a. Untuk 0 cm, diberi poin 0. b. Untuk 1-2 cm, diberi poin 1. c. Untuk 3-4 cm, diberi poin 2.

35

d. Untuk 5-6 cm, diberi poin 3. 2. Effacement a. Untuk 0-30%, diberi poin 0. b. Untuk 40-50%, diberi poin 1. c. Untuk 60-70%, diberi poin 2. d. Untuk 80%, diberi poin 3. 3. Station a. Untuk station -3, diberi poin 0. b. Untuk station -2, diberi poin 1. c. Untuk station -1 dan 0, diberi poin 2. d. Untuk station +1 sampai +2, diberi poin 3. 4. Konsistensi a. Untuk konsistensi kenyal, diberi poin 0. b. Untuk konsistensi sedang, diberi poin 1. c. Untuk konsistensi lunak, diberi poin 2. 5. Posisi a. Untuk posisi posterior , diberi poin 0. b. Untuk posisi pertengahan, diberi poin 1. c. Untuk posisi anterior, diberi poin 2. Skor Bishop <5 menandakan bahwa serviks belum matang sehingga diperlukan pematangan serviks terlebih dahulu. Pada skor Bishop 5 menandakan bahwa kematangan serviks sudah cukup.(13) Banyak pilihan untuk mematangkan serviks. Tanpa memandang cara yang digunakan, dokter harus berhati-hati terhadap efek berbahaya yang ditimbulkan oleh penggunaannya terutama pada pasien dengan scar pada uterus.(11) Kontraindikasi untuk induksi pematangan serviks antara lain sebagai berikut:(13) 1. Kontraindikasi induksi persalinan dan persalinan pervaginam adalah sebagai berikut: a. Herpes aktif b. Malpresentasi janin

36

c. Hasil monitoring fetal well-being yang tidak meyakinkan d. Riwayat persalinan yang susah atau trauma pada persalinan e. Kontraksi reguler f. Perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan g. Plasenta previa h. Vasa previa 2. Kontraksi reguler 3. Demam pada maternal 4. Riwayat sectio cesaria atau operasi mayor pada uterus, karena meningkatkan resiko ruptur uterus 5. Kontraindikasi relatif untuk pematangan serviks adalah pecahnya selaput ketuban. Pada kondisi ini, tidak ada bukti tindakan pematangan serviks diikuti induksi persalinan mengurangi kemungkinan dilakukannya sectio cesaria. Preparat kimiawi yang tersedia antara lain tablet prostaglandin E1 untuk penggunaan oral atau per vaginal (misoprostol), gel prostaglandin E2 untuk penggunaan intraservikal [dinoprostone cervical (Prepidil)], dan prostaglandin E2 vaginal insert [dinoprostone (Cervidil)].(11,12,13) Preparat lainnya adalah infus oksitosin dosis rendah, antiprogesteron (Mifepristone), dan nitric oxide (isosorbide mononitrate dan glyceryl trinitrate).(13) Oksitosin, dengan atau tanpa amniotomi dan prostaglandin dapat dipakai untuk induksi persalinan.(12) Ketika induksi telah dimulai, perhatikan

kemungkinan komplikasi yang berhubungan penanganan ketuban pecah dini dan mempersiapkan penanganannya. Monitoring denyut jantung janin diperlukan untuk mencari adanya intoleransi janin terhadap persalinan. Jika dokter tidak dapat memastikan toleransi janin terhadap persalinan, sectio cesaria lebih direkomendasikan.(11)

37

PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang pasien G1P0A0, 20 tahun, datang ke RSUD Sragen, tanggal 20 Maret 2011, rujukan dari bidan dengan keterangan G1P0A0, kala I tidak maju, belum dalam persalinan. Berdasarkan anamnesis, HPMT pasien adalah 13 Juni 2010 dengan siklus menstruasi teratur 28 hari, pasien juga menyatakan belum pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya. Penentuan tanggal taksiran persalinan pasien ini berdasarkan rumus Naegle, jatuh pada tanggal 20 Maret 2011. Pada perjalanan penyakitnya, air ketuban sudah merembes sejak tanggal 19 maret 2011 jam 22.00. Pada pemeriksaan fisik (vaginal toucher), didapatkan bishop score 5 dan pasien dipantau kesejahteraan janinnya dengan pemeriksaan CTG dan USG. Berdasarkan pemeriiksaan USG didapatkan air ketuban kesan cukup. Pemeriksaan nitrazin test (+). Penanganan selanjutnya adalah dilakukan induksi dengan

menggunakan drip oksitosin 5 IU dalam 500ml RL. Pemberian flabot pertama dilakukan jam 10.00 dan flabot kedua pada jam 15.00. VT dilakukan pada jam 10.00, 11.30. 15.30, 18.00 , dan 19.00. Waktu pemeriksaan ini didasarkan pada phantoom, yaitu pada fase laten, evaluasi dilakukan tiap 4 jam. Sedangkan pada fase aktif, waktu evaluasi dihitung berdasar rumus menunggu untuk primigravida = (9-n) x + 1 jam. Pada jam 19.15 ditemukan tanda-tanda kala II, yaitu pasien ingin mengejan, vulva anus terbuka, dan perineum menonjol. Kemudian dilakukan menejemen kala II yaitu observasi 9, pasien dipimpin mengejan ketika ada his, dan menyiapkan resusitasi neonatus. Jam 19.35 lahir bayi perempuan lewat persalinan spontan, BB= 3500 gram, PB= 47 cm, LK= 32 cm, LD= 33cm, APGAR skor 8-10-10 Penanganan ketuban pecah dini pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin persalinan. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan. Bila bishop score kurang dari 5 maka induksi persalinan dilakukan dengan misoprostol. Bila lebih dari itu induksi dilakukan dengan oksitosin. Pada kasus ini didapatkan adanya his lemah dan bishop score 5, sehingga terminasi persalinan pada kasus ini dilakukan dengan induksi oksitosin.

38

Kontraindikasi terminasi kehamilan pervaginam dengan induksi adalah herpes aktif, malpresentasi janin, hasil monitoring fetal well-being yang tidak meyakinkan, riwayat persalinan yang susah atau trauma pada persalinan, kontraksi reguler, perdarahan pervaginam yang tidak dapat dijelaskan, plasenta previa, dan vasa previa. Pada pasien tidak didapatkan kontraindikasi tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maternal dengan kesan panggul tidak sempit, posisi janin dengan presentasi kepala, serta tidak didapatkannya herpes aktif, perdarahan, dan plasenta previa. Hasil pemeriksaan fetal well-being yang baik juga merupakan syarat untuk dilakukannya terminasi kehamilan pervaginam dengan induksi. Terdapat berbagai macam pemeriksaan untuk fetal well-being. Cara termudah adalah dengan menghitung gerakan janin yang dilakukan oleh ibu. Salah satu cara lainnya adalah dengan fetal biophysical profile yang terdiri dari gerakan napas, pergerakan janin, tonus otot, denyut jantung reaktif, dan volume cairan amnion. Hasil pemeriksaan fetal well-being pada kasus ini menunjukkan volume cairan amnion yang cukup dari pemeriksaan USG dan NST yang reaktif. Pada kasus ini didapatkan skor Bishop 5 dimana serviks pasien belum mulai membuka, efficement 40%, dan bagian bawah (kepala) turun di station -1, konsistensi portio sedang dan portio berada pada posisi pertengahan. Berdasar skor bishop tersebut maka induksi yang dipilih adalah dengan menggunakan drip oksitosin 5 IU dalam 500 ml RL, dimulai dari 8 tpm, kemudian dinaikkan 4 tpm tiap 15 menit sampai didapatkan his yang teratur. Pada kasus ini, his yang teratur didapatkan setelah pemberian 28 tpm. Pemilihan teknik ini terbukti tepat karena servik membuka 10 cm, efficement 100%, dan bag bawah bawah (kepala) turun di Hodge IV dalam waktu 7 jam 30 menit sejak induksi oksitosin flabot I dan bayi lahir 35 menit kemudian.

39

DAFTAR PUSTAKA

1.

Kappy, K.A; Certulo, C.L; Knuppel, R.A; Ingardia, C.J; Sbarra, A.J; Scerbo, J.C; et al. Premature Rupture 0f The Membrans: A Conservative Approach. AM J Obstetric Gynecology. 1979. 134: 61-65

2.

Siregar, Thomas, G.B; Curtis L. Effect of Bacterial Growth on The Bursting Pressure 0f Fetal Membranes In vitro. AM J Obstetric Gynecology. 1987. 70: 107.

3.

Sunardi; Lukman, A.A. Mortalitas dan Morbiditas Ibu dan Anak pada Ketuban Pecah Sebelum Waktunya di RS Hasan Sadikin Bandung. Kongres Obsetri Ginekologi Indonesia IV. Yokyakarta. 1979.

4.

Hariadi, R. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi Perdana Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Surabaya. 2004. Hal 364-382, 392-393, 426-443.

5.

Cunningham, F.G; Mac Donal P.C. William Obsetric Edisi 18. Appletion & Lange. 1998. Hal 881-903.

6.

Fernando Arias. Practicial Guide to Hight Risk Pregnancy and Delivery, 2 nd Edition. St. Louis Missiori. USA. 1993. Hal 213-223.

7.

Burchel, R.C. Premature Spontaneous Ruptur of The Membrans. AMJ Obstetric Gynecology. 1964. 88-251

8.

Varner, M.W; Galask, R.P. Conservative Menagement of Premature Of The Membrans. AM J Obstetric Gynecology. 1981. 39-45, 140

9.

Mardjuki, A.; Suharso; Praptohardjo, U. Penatalaksanaan Kulit Ketuban Pecah Dini. Kumpulan Naskah Lengkap Simposium Dan Seminar Perinatologi V. Palembang. 1985

40

10.

Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan. FK UI. Jakarta. 2008

11.

Caughey AB, Butler JR. Postterm Pregnancy. Updated: Sep 13, 2010. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/261369-print

12.

Mandruzzato, G.; Alfirevic, Z.; Chervenak, F.; Gruenebaum, A.; Heimstad, R. et al. Guidelines for the Management of Postterm Pregnancy. J Perinat Med 2010;38:111-119.

13.

Rai, J.; Schreiber, J.R; Cervical Ripening. Updated: Aug 12, 2008. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/263311-print Daftar pustaka mioma preskes dr.wuryatno

1. Rayburn, F,W., Carey, C, J. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Widya Medika. Jakarta. Hal 268, 270. 2. Mirza Iskandar, 2008. Pengelolaan Uterus Fibroid.

http://www.pogisemarang.org/index.php?option=com_content&task=blogcat egory&id=1&Itemid=6 3. Coronado GD, Marshall LM, Schwartz SM. Complications in pregnancy, labor, and delivery with uterine leiomiomas: a population based study. Obstet Gynecol. 2000;95;764-769 4. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi II. Jakarta : Bina Pustaka, 2005. 337345. 5. Taber BZ. Kapita selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Alih Bahasa: Supriyadi T, Gunawan J Edisi 2. Jakarta : EGC, 1994. 268-272. 6. Llewellyn, J, D. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Hipokrates, Jakarta. Hal 263-265. 7. Cunningham, Mc Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 2003. Williams Obstetrics. Prentice-Hall International.Inc

41

8. Victory R, Romano W, Bennett J, Diamond M. Clinical Gynecology. Churchill Livingstone, an imprint of Elsevier Inc. 2006. 179-205. 9. Muzakir. 2008. Profil Penderita Mioma Uteri di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau periode 1 Januari-31 Desember 2006. www.files_drsmed.com 10. Parker WH. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine miomas. Fertility and Sterility.Vol. 87, No. 4, April 2007. p725-3 11. Kurniasari T. 2010. Karakteristik Mioma Uteri di RSUD Dr.Moewardi periode Januari 2009 Januari 2010. Surakarta: FK UNS 12. Goodwin SC, Spies TB. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697. 13. Moore JG. Essensial Obstetri and Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : Hipokrates, 2001. 378-385 14. Chelmow,David,M,D., Lee,Susan., Evantash, E. 2005. Gynecologic

Myomectomy. www.emedicine.com

42

Anda mungkin juga menyukai