Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit obstruksi kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas karena penyakit

bronchitis kronis dan atau emfisema paru. Hambatan pada aliran udara saluran nafas bersifat progresif, bisa disertai hiper-reaktifitas bronkus dan bersifat ireversibel atau reversible parsial (2003, Asril Babar). PPOK merupakan penyakit dengan tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi baik dinegara-negara industri maupun yang sedang berkembang. Di Eropa pada tahun 1990 mortalitasnya ada diperingkat 12 dan diperkirakan tahun 2020 mortalitas berada di peringkat 5 (2003, Asril Babar). Di Indonesia belum ada data yang jelas tentang PPOK, tetapi Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI 1992 menyebutkan bahwa angka kematian karena penyakit bronkitis kronik, emfisema paru serta asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari sebab kematian terbanyak diIndonesia (2003, Asril Babar). .Karena PPOK dihubungkan dengan beberapa faktor resiko yang cukup banyak dan makin meningkat di Indonesia, seperti asap rokok, polusi udara yang ada dikota-kota besar, daerah industri, pertambangan, kebakaran hutan dll, makadiperkirakan jumlah kasus PPOK pun akan meningkat tajam di masa-masa yang akan datang (2003, Asril Babar).

B. PREVALENSI DAN INSIDENSI meskipun bronkitis dan emfisema merupakan dua proses yang berbeda, tetapi kedua penyakit ini sering ditemukan bersama pada penderita PPOK. Diperkirakan 12 juta orang amerika menderita PPOK. PPOK merupakan sebab terbanyak kelima penybab kematian pada orang berusia 45-64 tahun, dan merupakan sebab tersering keempat dari kematian dibawah usia 65 tahun.PPOK menyerang pria dua kali lebih banyak dari pada wanita, diperkirakan karena pria merupakan perokok yang lebih berat dibandingkan wanita, akan tetapi insidensi pada wanita semakin meningkan dan stabil pada pria (Lorraine, 1995). Walaupun perokok merupakan faktor etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan sekarang ini mendapat perhatian cukup banyak, terutama sebagai unsure penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok (Roland H, 2000). Walaupun pemindaian CT dapat mendeteksi emfisema, alat ini tidak dapat digunakan untuk skrining populasi. Oleh karena itu data insidensi hanya diperoleah dari survey pasca meninggal. Sangat jarang sekali paru orang dewasa terbebas seluruhnya dari emfisema. Ada peningkatan perluasan emfisema yang jelas pada decade kelima, dengan peningkatan yang lebih jauh lagi sewaktu mencapai dekade ketujuh, dan meningkat sedikit setelah dekade tersebut. Kurang lebih dua pertiga laki-laki dewasa dan seperempat perempuan (sebagian besar tanpa disertai disfungsi) akan menderita emfisema yang berat, yang sering terbatas luasnya.oleh karena itu, mayoritas pasien emfisema tidak akanmengalami kecacatan atau bahkan gejala yang yang berhubungan dengan

emfisema. Keadaan ini analog dengan ateroskelrosis, yaitu perubahan morfologi jauh lebih sering dari pada gejala klinis yang berhubungan dengan perubahan tersebut.

C. TUJUAN PENULISAN Tujuan referat ini dimaksudkan untuk mengetahui atau menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, dan gejala klinis pada umunya, serta diagnosis dan penatalaksanaan pada khususnya, dari penyakit paru obstruksi kronis. .

BAB II PEMBAHASAN

A. DEFINISI Perkembangan Definisi: PPOK merupakan kelainan yang ditandai dengan uji aliran udara ekspirasi abnormal yang tidak berubah secara bermakna dalam pengamatan dalam beberapa bulan. (ATS 1987) PPOK merupakan penyakit saluran nafas kronik yang disertai batuk-batuk, sputum produktif, sesak nafas, dan terdapat perlambatan saluran jalan udara pernafasan serta gagalnya pertukaran gas. (Ferguson 1993) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas karena penyakit bronkitis kronis dan atau emfisema paru. hambatan pada aliran udara saluran nafas bersifat progresif, bisa disertai hipereaktifitas bronkus dan bersifat ireversibel atau reversibel parsial. (ATS 1995) PPOK merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. perlambatan aliran udara umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan. (GOLD 2001) Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2001 PPOK didefinisikan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Mangunnegoro H, 2001).

B. ETIOLOGI 1. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari pada factor penyebab yang lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan: a. Riwayat merokok b. Perokok aktif Perokok pasif Bekas perokok Derajat berat merokok dengan indeks brigman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun: Ringan : 1-200 Sedang: 201-600 Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara dilingkungan dan tempat kerja 3. Hiperaktifitas bronkus 4. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang 5. Defisiensi anti tripsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (Mangunnegoro H, 2001).

D. PATOFISIOLOGI Penyempitan saluran nafas terjadi pada bronkitis kronik ataupun pada emfisema paru, bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah bisa dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Pada bronkitis kronik sesak nafas terutama disebabkan karena perubahan pada saluran nafas kecil yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang terjadi obliterasi. . Selain itu penyempitan terjadi karena metaplasia sel globet. Saluran safas besar juga berubah, terutama karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus, sehingga saluran nafas lebih menyempit (Soemantri, 2001). Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru-paru yang berkurang. Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam, yaitu elastisitas paru. Jika terjadi ketidakseimbangan (elastisitas paru berkurang) maka volume residu (VR) dan kapasitas total paru bertambah tetapi kapasitas vital menurun (Soemantri, 2001). Pada penderita emfisema paru dan bronkitis kronik pada saat ekspirasi maksimal saluran pernafasan akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang (Anonim, 1985). Pada orang yang normal paa waktu ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran nafas paru bagian bawah

akan tertutup, sedangkan pada penderita bronchitis kronik dan emfisema paru, saluran nafas itu akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakanya dapat terjadi dengan alveoli dengan ventilasi kurang atau tidak ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan tidak merata. Atau dapat dikatakan juga tidak terdapat keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). Timbul hipoksia dan sesak nafas. Lebih jauh lagi hipoksia dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal, yang dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan korpulmonal (Soemantri, 2001).

E. PATOLOGI 1. Bronkitis kronis Kelainan utama pada bronkus adalah hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mukus bronkus. Terjadi sekresi mukus yang berlebihan dan lebih kental. Secara histologis dapat dibuktikan dengan membandingkan tebalnya kelenjar mucus dan dinding bronkus. Angka ini dinamakan indeks Reid. Pada orangorang tanpa riwayat bronkitis kronik rata-rata ratio adalah 0,44 0,09, sedangkan pada bronkitis kronis rata-rata ratio adalah 0,52 0,08. disamping itu terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mono nuclear di sub mukosa trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Pada

pasien yang sering mengalami bronkospasme otot polos saluran nafas bertambah dan timbul fibrosis peribronkial. Yang penting juga perubahan pada saluran nafas kecil (small airways) yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa, edema fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intra luminal dan penambahan otot polos (Soemantri, 2001). 2. Emfisema paru Pada emfisema paru terdapat pelebaran paru secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal yang disertai kerusakan dinding alveolus. Menurut The American Thoracic Society (1962) emfisema paru dibagi atas: a. Paracicatrial : terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus ditepi suatu lesi fibrotik paru. b. Lobular: pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di asinus atau lobulus sekunder. Emfisema paru dibagi lagi menurut tempat proses terjadinya yaitu: a. Sentrolobular : kerusakan terjadi didaerah sentral asinus. Daerah distalnya tetap normal. b. Panlobular : kerusakan terjadi diseluruh asinus. c. Tak dapat ditentukan : kerusakan terdapat diseluruh asinus, tetapi tidak dapat ditentukan dari mana mulainya. Emfisema sentrolobular sering ditemukan pada pasien perokok, biasanya pada lobus atas paru dan menyertai pasien bronkitis kronis, sedangkan emfisema panlobular terdapat pada pasien defisiensi alfa-1 anti tripsin dan sering

menyertai proses degeneratif atau pasien bronkitis kronik. Timbul pada lobus bawah paru (Soemantri, 2001).

E. MANIFESTASI KLINIS Bronkitis kronik dan emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang pasien perokok berumur 15-25 tahun kemampuan kerja beratnya mulai menurun dan timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru mulai pula berubah antara lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif dan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa 1 detik) atau FEV1 (Forced

Expiratory Volume 1 second) menurun. Sesak nafas, hipoksemia, dan perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien sering berulang-ulang terkena infeksi saluran nafas sehingga sering atau sama sekali tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada kor pulmonum, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia (Soemantri, 2001).

F. DIAGNOSIS Diagnosis PPOK harus didasari faktor resiko dan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, dengan atau tanpa gejala. Pasien yang mempunyai keluhan batuk kronik dan sputum produktif harus dilakukan pemeriksaan spirometri walaupun tidak ada keluhan sesak (Anna Uyanaiyah, 2002).

Keluhan yang didapat pada PPOK pada umumnya adalah sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, yang berkaitan dengan factor resiko. Pada PPOK ringan sering tidak menunjukkan keluhan atau gejala sama sekali sehingga penyakit stadium ini sering luput dari perhatian dokter (Anna Uyanaiyah, 2002). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan pernafasan pursed lips, takipnea, dada emfisematous atau barel chest, diameter anteroposterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah dengan tampilan bentuk fisik pink puffer atau blue bloater (tabel 1). Pada auskultasi didapatkan bunyi nafas vesikuler melemah, ekspirasi memanjang, rongki kering kadang mengi (wheezing), dan bunyi jantung yang jauh (Anna Uyanaiyah, 2002).

Perbandingan dan gambaran yang penting antara blue bloaters dan pink puffer (Roland, 2000).
Gambaran
Usia saat didiagnosis Dispnea Batuk Sputum Infeksi bronkial Episode insufisiensi respirasi Foto thorak

Pink puffer (emifisematosa)


60 tahun Berat Setelah dispnea dimulai Jarang, mukoid Lebih jarang Sering terminal Hiperinflasi perubahan bulosa, Jantung kecil

Blue bloater (bronkitis)


50 tahun, ditegakkan Ringan Sebelum dispnea dimulai Banyak, purulen Lebih sering Berulang-ulang Peningkatan corakan bronco vaskuler pada basis paru, jantung besar. 50-60

PaCO2 kronik,mmHg

35-40

PaO2 kronik,mmHg Nilai hematokrit % Hipertensi Pulmonalis: Istirahat Latihan jasmani (exercise)

65-75 35-45

45-60 50-55

Tidak ada hingga hipertensi ringan Sedang Jarang, kecuali keadaan terminal

Hipertensi sedang hingga berat Memburuk Sering

Kor pulmonal

Recoil elastic (Elastic Recoil) Resistensi meningkat Kapasitas difusi

Sangat menurun Normal hingga sedikit menurun

Normal Tinggi Normal hingga sedikit menurun

Diagnosis PPOK dipastikan dengan uji spirometri dimana didapatkan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama = VEP1 ( Forced Expiratory Volume in one second = FEV1) paska bronkodilator adalah < 80% prediksi, serta VEP 1/ KVP (FEV1/FVC) < 70%. Pemeriksaan analisis gas darah harus dilakukan pada semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi atau secara klinis diperkirakan gagal nafas atau payah jantung kanan (Anna Uyanaiyah, 2002). Berdasarkan nilai VEP1% prediksi, National heart, Lung, and Blood Institut dan WHO membagi PPOK dalam tiga derajat (table 2).
Stadium 0 I Derajad Beresiko PPOK PPOK ringan karakteristik Spirometri normal Kelainan kronik (batuk, sputum produktif) VEP1/KVP < 70% VEP1 > 80%prediksi dengan / tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif) VEP1/KVP < 70% 30% < VEP1 <80% prediksi IIA : 50% < VEP1 <80% prediksi IIB : 30% < VEP1 <50% prediksi Dengan atau tanpa keluhan batu klinis (batuk, sputum produktif, sesak) VEP1/KVP < 70% VEP1 < 30% prediksi / VEP1 < 50% prediksi + gagal nafas

II

PPOK sedang

III

PPOK berat

G. PENATALAKSANAAN PPOK Ada 4 komponen penting dalam penatalaksanaan PPOK: 1. Pengkajian dan pemantauan penyakit 2. Usaha mengurangi factor resiko 3. Terapi PPOK stabil 4. Terapi PPOK stabil

1.

Pengkajian dan Pemantauan Penyakit Pada pasien yang baru didiagnosis PPOK perlu dilakukan anamnesis yang lebih rinci mengenai: Riwayat paparan dengan factor resiko (intensitas dan lamanya) Riwayat penyakit sebelumnya Riwayat keluarga PPOK Riwayat eksaserbasi dan perawatan di R.S sebelumnya akibat gangguan pernafasan Komorbiditas dengan penyakit lain Dampak penyakit dengan kehidupan pasien misalnya keterbatasan aktifitas, ketidakmampuan bekerja, perasaan depresi, dan ansietas. Kemungkinan mengurangi factor ekonomi.

Selain spirometri maka pada pasien PPOK pada stadium I dan II perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain, yaitu:

a. Uji bronkodilator Dilakukan cukup satu kali, saat diagnosis PPOK pertama kali ditegakkan yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan asma bronchial, mentukan fungsi paru maksimal yang dapat dicapai pasien, menentukan prognosis dan memutuskan pedoman pengobatan. Uji bronkodilator ini dilakukan pada PPOK yang stabil (Anna Uyanaiyah, 2002). b. Uji coba kortiko steroid Bertujuan untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin menunjukkan respon dengan pemberian steroid jangka panjang. Dilakukan dengan pemberian steroid inhalasi selama 6 minggu atau 3 bulan.

Dikatakanreversible dengan uji coba steroid didapatkan peningkatan VEP1 minimal 200 ml atau > 15% nilai basal. Uji coba kortikosteroid dilakukan setelah pemberian bronkodilator. Jika tidak didapatkan manfaat secara obyektif maka pemakaian kortiko steroid inhalasi jangka panjang tidak dianjurkan (Anna Uyanaiyah, 2002). c. Foto toraks Dapat membantu dalam menegakkan diagnosis terutama pada PPOK yang lanjut, serta membatu dalam menyingkirkan diagnosis banding (Anna Uyanaiyah, 2002). d. Pemeriksaan analisis gas darah Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan nilai VEP1 < 40% prediksi, pasien dengan gagal jangtung kanan, serta pasien yang

secara klinis dicurigai adanya gagal nafas. Dikatakan adanya gagal nafas bila dari analisis gas darah didapatkan nilai PaO2 < 60 mmHg, dengan atau tanpa adanya peningkatan PaCo2 > 45 mmHg (Anna Uyanaiyah, 2002). e. Uji saring adanya defisiensi antitripsin 1 Dilakukan pada pasien yang mengalami PPOK dimana usianya < 45 tahun atau pasien dengan riwayat keluarga PPOK (Anna Uyanaiyah, 2002).. 2. Usaha Mengurangi Faktor Resiko Terapi bronkodilator dan steroid walaupun dapat menghilangkan atau mengurangi gejalaklinis namun tidak dapat menghambat penurunan VEP1 yang terjadi dalam jangka panjang. Karena itu usaha mengurangi faktor resiko harus menjadi prioritas utama dalam menghambat progresifitas dalam menghambat PPOK Edukasi dan motifasi harus diberikan tiap kali kunjungan pada tiap pasien PPOK yang merokok. Bila dengan edukasi dan motifasi tersebut pasien belum dapat berhenti merokok maka dianjurkan untuk pemberian farmakoterapi (Anna Uyanaiyah, 2002). 3. Terapi PPOK Stabil

3.1. Terapi farmakologis Terapi farmakologis digunakan untuk mengontrol gejala klinis, mencegah eksaserbasi, mengurangi frekwensi dan beratnya eksaserbasi serta memperbaiki status kesehatan pasien (Anna Uyanaiyah, 2002).

3.1.1. Brokodilator Terapi utama PPOK adalah dengan obat bronkodilator pemberian bronkodilator dapat berdasarkan keperluan atau secar teratur (terus menerus) dengan tujuan mencegah atau mengurangi keluhan dan gejala. bronkodilator yang utama yang sering dipakai adalah: agonis-, anti kolinergik, methylxanthin, obat-obat tersebut dapat diberikan secara monoterapi ataupun kombinasi. pemberian secara inhalasi (metered dose inhaler) lebih

menguntungkan dari cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal. pemberian MDI lebih disarankan dari pada pemberian cara nebulizer sesuai rekomendasi dari ATS ( American Thoracic Society), ERS (European Respiratory Society), dan BTS (British Thoracic Society). pilihan obat yang diberikan tergantung pada respon obat pada tiap-tiap pasien. untuk terapi awal PPOK ATS lebih merekomendasikan pemberian anti kolinergik sedangkan ERS dan BTS memakai keduanya baik anti kolinergik maupun agonis-. Bronkodilator kerja cepat (fenoterol, salbutamol, tarbutalin) lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat (salmeterol, formeterol) terutama pada kasus-kasus eksaserbasi akut karena efek bronkodilatornya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya terjadi setela 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. sedangkan bronkodilator kerja lambat banyak dipakai secara teratur dan lama pada PPOK stabil terutama pada derajat berat karena dosisnya lebih sederhana. antikolinergik (ipratropium bromide) mempunyai

aktifitas yang lebih lama dari pada agonis- dan efek puncaknya setelah 30-90 menit, tetapi ia mempunyai waktu kerja yang sedikit lebih lama, yaitu 6-8 jam. oleh sebab itu pada PPOK stabil, ipratropium bromida lebih efektif efek bronko dilatornya dibandingkan agonis- dan efeksampingnya pun lebih minimal. Derifat metilxantin (teofilin) dipakai bila hasil terapi dengan agonis- dan anti kolinergik masih belum memuaskan. Theofilin yang dipakai lebih banyak yang yang kerja lambat. Pemakaian theofilin tidak banyak, karena batas antara terapeutik dan dosis toksiknya terlalu dekat. Pemberian obat-obat bronkodilator diatas dimungkinkan secara kombinasi karena perbedaan mekanisme dan lama kerjanya, maka mereka dapat lebih meningkatkan efek bronko dilator, sedangkan efek samping lebih diperkecil, sehingga fungsi paru jadi lebih baik. Kombinasi yang terbanyak dipakai untuk PPOK adalah agonis- kerja cepat (fenoterol, salbutamol), dan anti kolinergik (ipratropium bromide), karena obat-obat tersebut memberikan efek

bronkodilator yang lebih baik dibandingkan pemberian secara sendiri-sendiri dan tidak memberikan efek samping walaupun diberikan secara teratur > 90 hari (Asril Bahar, 2001). 3.1.2. Steroid Terapi PPOK dengan steroid masih kontroversial. walaupun begitu steroid masih dipai secara terbatas dan biasanya diberikan setelah terapi brokodilator masih belum memberikan hasil yang optimal. Penambahan steroid oral 40 mg perhari selama dua minggupada paduan obat-obat bronkodilator yang sedang berjalan, hanya memberikan efek yang positif pada sekelopok kecil pasien.

Dalam satu studi metaanalisis, pemberian steroid oral pada terapi lanjutan PPOK (maintenace) hanya memberikan perbaikan sekitar 10-20%. Bila pemberian steroid tidak memberikan respon perbaikan, maka hendaknya obat tersebut langsung dihentikan. Bila terdapat perbaikan dengan terapi oral steroid, maka terapi inhalasi steroid dapat segera dimulai dan kemudian secara perlahan terapi steroid dihentikan (tapering off) (Asril Bahar, 2001). Pemberian steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti perbaikan dari pemberian steroid jangka panjang, malah terdapat efek samping steroid sistemik seperti miopati yang membuat kelemahan otot sehingga menurunkan fungsi paru dan bisa juga terjadi kegagalan pernafasan pada pasien PPOK lanjut (Asril Bahar, 2003). Inhalasi steroid pada beberapa penelitian dengan memakai fluticasone 500 mg 2 X sehari atau budesonide 400 mg 2 X sehari memberi efek perbaikan seperti mengurangi efek batuk-batuk dan berkurangnya sputum, meningkatnya arus puncak ekspirasi dan bertambahnya jarak berjalan dalam uji waktu 6 menit. Tetapi pemberian inhalasi steroid lebih dari 6 bulan pada PPOK hasilnya lebih kontroversial karena beberapa peneliti menyatakan masih ada manfaatnya sedang peneliti yang lain tidak melihat ada efek perbaikan lebih lanjut (Asril Bahar, 2001). Anggapan yang menyatakan bahwa steroid (terutama inhalasi) kurang efektif pada PPOK adalah karena secara patologi inflamasi pada PPOK disertai dominasi sel CD8, meningkatnya neutrofil dan tidak ada penebalan membran

basalis atau pada epitel saluran nafas (berbeda dengan asma bronkial), inflamasinya didominasi sel CD4, dan eosinofil, sehingga peran steroid disini cukup efektif (Asril Bahar, 2003). 3.1.3. Terapi Non farmakologis a. Rehabilitasi Program rehabilitasi bertujuan mengurangi keluhan dan gejala,

meningkatkan kualitas hidup, dan toleransi aktivitas fisik dan psikis. sebelum mengikuti program rehabilitasi, pasien hendaknya sudah mendapat terapi farmakologis yang optimal. Terdapat beberapa aktivitas rehabilitasi yaitu latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, dan rehabilitasi psikososial. b. Terapi Oksigen Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam per hari) pada pasien dengan gagal nafas kronik dapat meningkaykan kelangsungan hidup (vurvival), memperbaiki kelainan hemodinamik, hematologis, meningkatkan kapasitas latihan jasmani (exercise) dan memperbaiki status mental.Terapi oksigen jangka panjang umumnya diberikan pada PPOK stadium III (PPOK berat) dimana pada analisis gas darah terdapatkan: PaO2 < 55mmHg atau SaO2 88% dengan / tanpa hiperkapnea PaO2 < 55-60 mmHg atau SaO2 89% dimana terdapat juga hipertensi pulmonal, edema perifer akibat gagal jantung dan polisitemia (HT > 55%) target pemberian O2 adalah meningkatkan PaO2 sedikitnya menjadi

60mmHg dan / SaO2 sedikitnya menjadi 90% tanpa menurunkan pH < 7,25 atau meningkatkan PaCO2 > 10 mmHg. Efek pemberian terapi

oksigen jangka panjang ini secara bermakna dapat menurunkan tingkat mortalitas PPOK (Asril Bahar, 2003). 4. Terapi PPOK Eksaserbasi Akut Gejala eksaserbasi ditandai dengan bertambahnya sesak nafas, kadangkadang disertai mengi, bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau berubah warna. Terkadang terdapat gejala yang tidak spesifik seperti malaise, insomnia, fatique, dan depresi. Etiologi eksaserbasi akut yang terbanyak adalah infeksi pada mukosa trakeobronkial dan adanya pajanan dengan polusi udara. Pada sepertiga kasus etiologi eksaserbasi akut ini sulit ditemukan. Pemeriksaan spirometri pada keadaan eksaserbasi sering menunjukkan fungsi paru yang sangat menurun dankadang pasien sangat lemah untuk meniup spirometri. Umumnya bila arus puncak respirasi = APE < 100 L/det atau VEP < 1 L menunjukkan keadaan eksaserbasi yang berat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kuman yang serng didapat pada PPOK eksaserbasi akut adalah S.pneumonia, H.influenzae dan M.catarhalis (Anna Uyanaiyah, 2002). 4.1. Penatalaksanaan PPOK Ekssasersi Akut di Rumah Pemberian bronkodilator sama dengan PPOK stabil, tetapi pada keadaan eksaserbasi akut, dosis dan frekwensi pemberian MDI dapat ditingkatkan menjadi 4-6 kali 2-4 kali hirup sehari. Pada keadaan yang lebih berat bronkodilator dapat diberikan melalui nebulizer selama beberapa hari. Steroid sistemik (oral) misalnya prednisolon 40 mg juga dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila tanda infeksi cukup jelas diberikan anti biotik dengan spektrum luas

yang

bisa

membunuh

kuman-kuman

S.pneumonia,

H.influenzae

dan

M.catarhalis. Lama pemberian anti biotik tersebut bervariasi tergantung berat ringannya infeksi, umumnya 7-14 hari (Anna Uyanaiyah, 2002). 4.2. Penatalaksanaan PPOK Ekssasersi Akut di Rumah Sakit Indikasi rawat di rumah sakit pada eksaserbasi akut PPOK adalah keluhan makin berat, misalnya sesak nafas, riwayat PPOK berat, terdapat gejala sianosis, edema perifer, respon terapi awal eksaserbasi akut tidak adekuat, kormoboditas yang serius, aritmia, usia lanjut, tidak tesedia perawatan rumah yang memadai. Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah memberikan terapi oksigen yang terkontrol dan menentukana ada tidaknya indikasi untuk perawatan di unit perawatan intensif atau ICU. Indikasi perawatan di ICU pasien PPOK eksaserbasi akut adalah sebagai berikut. Dispneu hebat yang tidak menunjukkan respon yang adekuat terhadap penanganan di emergensi. 4.2.1. Delirium, letargi, koma. Hipoksemia yang persisten / semakin berat PaO2 < 50 mmHg Hiperkapnea yang berat (PaCo2 70 mmHg) Asidosis Respiratorik berat (pH < 7,3) Terapi Oksigen Terkontrol Terapi oksigen sangat penting dalam penanganan PPOK eksaserbasi akut di rumah sakit. Oksigen dapat diberikan melalui nasal kanule (1/2 L/m) atau dengan venturi mask untuk menghasilkan FiO2 24-28%secara lebih tepat.

Pemberian FiO2 yang lebih tinggi harus dihindarkan karena dapat menurunkan ventilatory rate sehingga meningkatkan PaCO2. Analisis gas darah diperiksa sebelum dan 30 m3nit setelah terapi oksigen untuk dapat menentukan kadar oksigen yang adekuat tanpa disertai retensi CO 2. Target yangakan dicapai adalah PaO2 60-65 mmHg (Anna Uyanaiyah, 2002). 4.2.2. Brokodilator Terapi awal dengan inhalasi agonis- 2 dapat diberikan dengan meningkatkan dosis dan frekwensi pemberian. Bila respon awal tidak segera didapat maka dianjurkan ntuk menambahkan antikolinergik. Terapi lanjutan dengan inhalasi dapat dipertimabangkan bila sudah ada perbaikan klinis. Pemberian aminophilin (0,5 mg/kgBB/jam) walaupun masih kontroversi dapat dipertimbangkan pada eksaserbasi akut (Anna Uyanaiyah, 2002). 4.2.3. Steroid Prednison 30-40 mg peroral diberikan selama 10-14 hari. steroid sistemik intra vena dapat juga diberikan pada keadaan eksaserbasi akut yang berat, namun dosis yang tepat belum diketahui (Anna Uyanaiyah, 2002). 4.2.4. Anti biotik Antibiotik harus diberikan jika didapatkan peningkatan produksi sputum yang purulen. antibiotik yang diberikan harus dapat membunuh kuman-kuman penyebab infeksi yang sering ditemukan (S.pneumonia, H.influenzae dan M.catarhalis) (Anna Uyanaiyah, 2002).

4.2.5. Ventilasi Mekanik Indikasi penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK adalah bila terdapat gagal nafas akut dan atau kronik. Ventilasi mekanik tanpa intubasi (NIPPV: Non Invasife Positive Pressure Ventilation). Pemakaian NIPPV di rumah sakit dapat mengurangi penggunaan intubasi sebagai terapi awal gagal nafas pada PPOK hingga lebih dari 50%, jenis yang paling banyak dipakai saat ini adalah: 1. Bilevel Positive Airway Preasure (BIPAP) 2. Continuous Positive Airway Preasure (CPAP) Ventilasi mekanik dengan intubasi, indikasi pemakaian ventilasi mekanik dengan intubasi selain gagal nafas, bisa juga keadaan lain yang mengancam jiwa seperti: asidosis berat, hipoksemia berat, penurunan kesadaran, syock, septikemia, kegagalan pada pemakaian NIPPV (Anna Uyanaiyah, 2002).

BAB III KESIMPULAN 1. Definisi PPOK selalu berkembang dan definisi terakhir yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease . PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Perlambatan aliran udara umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partiker atau gas iritan. 2. Diagnosis PPOK harus didasari adanya faktor resiko dan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dengan atau tanpa gejala. diagnosis harus dipastikan dengan uji spirometri dimana didapatkan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama = VEP1 (FEV1) paska brokodilator adalah < 80% prediksi, serta VEP1/KVP (FEV1/FVC) < 70%. 3. Pengobatan farmakologis yang digunakan terutama bermanfaat untuk mengontrol gejala klinis dan mengurangi frekwensi dan beratnya eksaserbasi tanpa menghambat penurunan VEP1 yang terjadi secara progresif. terapi non farmakologis (menghentikan rokok) juga menjadi prioritas dalam penanganan PPOK. Pada penatalaksanaan PPOK secara farmakologis terdapat beberapa hal yang masih bersifat kontroversial menurut masing-masing peneliti berdasarkan bukti-bukti klinis yang mereka dapatkan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Asril Bahar, Pertemuan Ilmiah Nasional I, PB PAPDI, Jakarta, 2003 1. Mangunnegoro H, PPOK Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta, 2001 Hal 1-24. 2. Soemantri S, Bronkhilis Kronik dan Emfisema Paru dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1990; Hal 754-61. 3. Price S.A, Wilson L.M, Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Bagian 1, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,1993; Hal 688698.

Anda mungkin juga menyukai