Anda di halaman 1dari 9

Paralisis: Etiologi, Klasifikasi, Patofisiologi, dan Tata Laksana

28 12 2010

A. Gejala Klinis Tabel 1 Diagnosis Etiologi Kelumpuhan Berdasarkan Gejala Klinisnya B. Epidemiologi Kelemahan tungkai adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus gangguan neuromuskular1. Guillain-Barre syndrome (GBS) merupakan penyebab utama nontraumatic, non-stroke paralisis flaksid akut di negara-negara Barat , dengan angka kejadian 0,75-2,0 kasus per 100.000 orang1. Myasthenia gravis (MG) adalah penyebab paling umum transmisi penyakit neuromuskuler, dengan prevalensi sebesar 14,2 kasus per 100.000 orang1. Botulisme terjadi lebih jarang, di AS yang dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dari tahun 1973 sampai 1996. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus West Nile juga dapat menyebabkan paralisis flaksid1, , . Penyebab paralisis flaksid akut lainnya termasuk poliomyelitis paralitik dan myelitis transversal; etiologi yang jarang terjadi berupa neuritis traumatis, ensefalitis, meningitis dan tumor . Tabel 2 Perbedaan gejala klinis pada Lesi UMN dan LMN LMN UMN Atrofi Ada (atrofi neurogenik) Hanya atrofi karena tidak digunakan (disuse) Fasikulasi Mungkin ada Tidak ada Tonus Normal atau menurun (flaksiditas) Meningkat (spastisitas) Kekuatan Kelemahan fokal, misalnya pada distribusi nervus/radiks saraf Berdasar gerakan Postur - Penyimpangan gerakan tangan yang diluruskan (mata tertutup) Refleks tendon Menurun atau tidak ada Meningkat Klonus Tidak ada Mungkin ada Respons plantar Ke bawah (plantarfleksi) atau tidak ada Ke atas (Babinski positif) Respons abdomen superfisial Ada Mungkin tidak ada Pola berjalan Mungkin melangkah tinggi-tinggi Spastik, langkah menggunting, sirkumduksi C. Sindrom Klinis Lesi Sistem Motorik 1. Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Sentral Patogenesis paresis spastik sentral. Pada fase akut suatu lesi di traktus kortikospinalis, refleks tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan terdapat kelemahan flaksid pada otot . Refleks muncul kembali beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif, karena spindel otot berespons lebih sensitif terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan normal, terutama fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor (neuron motor ) yang mempersarafi spindel otot. Dengan demikian, serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara permanen (prestretched) dan lebih mudah berespons terhadap peregangan otot lebih lanjut dibandingkan normal. Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medula spinalis) dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial

sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum dipahami, tetapiyaros motorik tambahan jelas memiliki peran penting, karena lesi kortikal murni dan terisolasi tidak menyebabkan spastisitas. Sindrom paresis spastik sentral. Sindrom ini terdiri dari: Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus Peningkatan tonus spastik Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh klonus Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks abdominal, refleks plantar, dan refleks kremaster) Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan Mendel-Bekhterev, serta diinhibisi respons hindar (flight), dan (awalnya) Massa otot tetap baik 1.1. Lesi di korteks serebri Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor, infark, atau cedera traumatik, menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontra-lateral. Temuan klinis khas yang berkaitan dengan lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas atas bagian distal yang dominan, konsekuensi fungsional yang terberat adalah gangguan kontrol motorik halus. Kelemahan tersebut tidak total (paresis, bukan plegia), dan lebih berupa gangguan flaksid, bukan bentuk spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal) sebagian besar tidak terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut (a) dapat menimbulkan kejang fokal. 1.2. Lesi di kapsula interna Jika kapsula interna terlibat (misalnya, oleh perdarahan atau iskemia), akan terjadi hemiplegia spastik kontralaterallesi pada level ini mengenai serabut piramidal dan serabut non piramidal, karena serabut kedua jaras tersebut terletak berdekatan. Paresis pada sisi kontralateral awalnya berbentuk flaksid (pada fase syok) tetapi menjadi spastik dalam beberapa jam atau hari akibat kerusakan pada serabut-serabut nonpiramidal yang terjadi bersamaan. 1.3. Lesi setingkat pedunkulus serebri Lesi setingkat pedunkulus serebri, seperti proses vaskular, perdarahan, atau tumor, menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh kelumpuhan nervus okulomotorius. 1.4. Lesi pons Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (contohnya pada tumor, iskemia batang otak, perdarahan) menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin bilateral. Serabut-serabut yang mempersarafi nukleus fasialis dan nukleus hipoglosalis telah berjalan ke daerah yang lebih dorsal sebelum mencapai tingkat ini; dengan demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan nervus fasialis tipe sentral jarang terjadi, 1.5. Lesi pada piramid medula Lesi pada piramid medula dapat merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut nonpiramidal terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya, dapat terjadi hemiparesis flaksid kontralateral. Kelemahan tidak bersifat total (paresis, bukan plegia), karena jaras desendenss lain tidak terganggu. 1.6. Lesi traktus piramidalis di medula spinalis Lesi traktus piramidalis di medula spinalis. Suatu lesi yang mengenai traktus piramidalis pada level servikal (misalnya, akibat tumor, mielitis, trauma) menyebabkan hemiplegia spastik ipsilateral; ipsilateral karena traktus tersebut telah menyilang pada level yang lebih tinggi, dan spastik karena traktus tersebut mengandung serabut-serabut piramidalis dan non piramidalis pada

level ini. Lesi bilateral di medula spinalis servikalis bagian atas dapat menyebabkan kuadriparesis atau kuadriplegia. 2. Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Perifer Paralisis flaksid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat di kornu anterius, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunter maupun refleks. Otototot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonus otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya refleks (arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik terputus. Atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara perlahan-lahan digantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya atrofi yang progresif, penggantian ini akan selesai. Sindrom paralisis flaksid terdiri dari: Penurunan kekuatan kasar Hipotonia atau atonia otot Hiporefleksia atau arefleksia Atrofi otot Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius, radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi dan elektroneurografi. Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas disertai oleh defisit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di distal radiks saraf dan dengan demikian terletak di pleksus saraf atau di saraf tepi. 2.1. Sindrom ganglion radiks dorsalis7 Infeksi pada satu atau beberapa ganglia spinalia oleh virus neurotropik paling sering terjadi di regio torakal dan menyebabkan eritema yang nyeri pada dermatom yang sesuai, diikuti oleh pembentukan sejumlah vesikel kulit. Gambaran klinis ini, disebut herpes zoster, berkaitan dengan rasa sangat tidak nyaman, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan parestesia di area yang terkena. Infeksi dapat melewati ganglia spinalia ke medula spinalis itu sendiri, tetapi, jika hal tersebut terjadi, biasanya tetap terbatas pada area kecil di medula spinalis Keterlibatan komu anterius yang menyebabkan paresis flaksid jarang ditemukan, hemiparesis atau paraparesis bahkan lebih jarang lagi. Elektromiografi dapat nunjukkan defisit motorik segmental pada hingga 2/3 kasus, tetapi karena herpes zoster biasanya ditemukan di area torakal, defisitnya cenderung tidak bermakna secg fungsional, dan dapat luput dari perhatian pasien. Pada beberapa kasus, tidak terdapat lesi kulit (herpes sine herpete). Herpes zoster relatif sering, dengan insidens 3-5 kasus per 1000 orang per tahun; individu dengan penurunan kekebalan tubuh (misal, pas AIDS, keganasan, atau dalam imunosupresi) berisiko lebih tinggi. Terapi dengan pengobatan kulit topikal serta asiklovir, atau agen virustatik lainnya, dianjurkan untuk diberikan. Bahkan dengan terapi yang sesuai, neuralgia pasca-herpes di area yang terkena bukan merupakan komplikasi yang jarang. Keadaan ini dapat diobati secara simptomatik dengan berbagai terapi, termasuk karbamazepin dan gabapentin. 2.2. Sindrom substansia grisea7 Kerusakan pada substansia grisea sentral medula spinalis akibat siringomielia, hematomielia, tumor medula spinalis intra-medular, atau proses-proses lain mengganggu semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling terpengaruh adalah serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar, nyeri, dan suhu; serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior.

Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi-cairan di medula spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini, disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdisitribusi dengan pola karakteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya.Siringomielia paling sering mengenai medula spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan ekstremitas atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak traktus medula spinalis yang panjang, menyebabkan (para) paresis spastik, dan gangguan pada proses berkemih, defekasi, dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah, dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan lokasi dan konfigurasi siring. 2.3. Sindrom kornu anterius. Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik memengaruhi selsel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikalis dan lumbalis medula spinalis. Pada poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan ireversibel, terutama di regio lumbalis, menyebabkan paresis flaksid pada otot-otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh daripada otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada kasus yang berat, dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. poliomielitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius tersusun di kolumna vertikal yang panjang di dalam medula spinalis. 2.4. Sindrom transeksi medula spinalis Ketika sindroma transeksi medula spinalis muncul perlahan-lahan bukan dengan tiba-tiba, misalnya, karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom transeksi pada kasus seperti ini biasanya parsial, dan bukan total. Paraparesis spastik yang berat dan progresif terjadi di bawah tingkat lesi, disertai oleh defisit sensorik, disfungsi miksi, defekasi, dan seksual, serta manifestasi otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang abnormal, kecenderungan untuk terjadi ulkus dekubitus). Sindrom Transeksi Medula Spinalis pada Berbagai Tingkat 2.4.1. Sindrom transeksi medula spinalis servikalis. Transeksi medula spinalis di atas vertebra servikalis III fatal, karena dapat menghentikan pernapasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien tersebut hanya dapat ber-tahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal bawah menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal; pernapasan dapat sangat terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi tergantung pada tingkat lesi. Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari defisit sensorik yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. 2.4.2. Sindrom transeksi medula spinalis torasika. Transeksi medula spinalis torasika bagian atas tidak menggangu ekstremitas atas, tetapi mengganggu pernapasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralisis melalui keterlibatan nervus splankhnikus. Transeksi medula spinalis torasika bagian bawah tidak mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu pernapasan. 2.5. Sindrom radikular. Radiks terutama sangat rentan terhadap kerusakan pada atau di dekat jalan keluarnya melalui foramina intervertebra. Penyebab tersering meliputi proses stenosis (penyempitan foramina, misalnya akibat pertumbuhan tulang yang berlebihan), protrusio diskus, dan herniasi diskus yang

menekan radiks yang keluar. Proses lain, seperti penyakit infeksi pada korpus vertebrae, tumor, dan trauma, dapat juga merusak radiks nervus spina ketika keluar dari medula spinalis. Lesi radikular menimbulkan manifestasi karakteristik berikut: Nyeri dan defisit sensorik pada dermatom yang sesuai. Kerusakan sensasi nyeri lebih berat dibandingkan modalitas sensorik lainnya. Penurunan kekuatan otot-otot pengindikasi-segmen dan, pada kasus yang berat dan jarang, terjadi atrofi otot. Defisit refleks sesuai dengan radiks yang rusak Tidak adanya defisit otonom (berkeringat, piloereksi, dan fungsi vasomotor pada ekstremitas, karena serabut simpatis dan parasimpatis bergabung deng saraf perifer di distal radiks dan dengan demikian tidak dirusak oleh radikular. 3. Neuropati Transeksi beberapa saraf perifer menimbulkan paresis flaksid pada otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut, defisit sensorik pada distribusi serabut-serabut saraf aferen yang terkena, dan defisit otonom. Ketika kesinambungan suatu akson terganggu, degenerasi akson dan selubung mielinnya dimulai dalam beberapa jam atau hari di lokasi cedera, kemudian berjalan ke arah distal menuruni akson tersebut, dan biasanya selesai dalam 15-20 hari (disebut degenerasi sekunder atau degenerasi Walleriari). Penyebab kelumpuhan saraf perifer terisolasi yang lebih sering adalah: kompresi saraf di titik yang rentan secara anatomis atau daerah leher botol (sindrom skalenus, sindrom terowongan kubital, sindrom terowongan karpal, cedera n.peroneus pada kaput fibula, sindrom terowongan tarsal); cedera traumatik (termasuk lesi iatrogenik, misalnya cedera akibat tusukan atau injeksi); dan iskemia (misalnya, pada sindrom kompartemen dan, yang lebih jarang, proses infeksi/ inflamasi). 3.1. Mononeuropati Gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khususnya akibat tekanan, atau gangguan suplai darah (vasa nervorum). Gangguan sistemik yang secara umum dapat menyebabkan saraf sangat sensitif terhadap tekanan, misalnya diabetes melitus, atau penyakit lain yang menyebabkan gangguan perdarahan yang menyebar luas, misalnya vaskulitis, dapat menyebabkan neuropati multifokal (atau mononeuritis multipleks). 3.1.1. Carpal tunnel syndrome Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan saat saraf ini melalui terowongan karpal, yang dapat terjadi: Secara tersendiri, contohnya pasien dengan pekerjaan yang banyak menggunakan tangan, Pada gangguan yang menyebabkan saraf menjadi sensitif terhadap tekanan, misalnya diabetes melitus, Saat terowongan karpal penuh dengan jaringan lunak yang abnormal Gambaran klinis sindrom terowongan karpal adalah: Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari, atau saat bekerja, Pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar, Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus, Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan perkusi pada telapak tangan daerah terowongan karpal (tanda tinel),

Kondisi ini sering bilateral. Diagnosis dapat dipastikan secara elektrodiagnostik. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab, bila belum jelas, meliputi kadar glukosa darah, LED, dan fungsi tiroid. Tabel 3 Hubungan keadaan medis umum dengan sindrom terowongan karpal6 Kehamilan Diabetes melitus Deformitas lokal, misalnya sekunder akibat osteoartritis, fraktur Artritis reumatoid Miksedema Akromegali Amiloidosis Neurologi 3.1.2. Neuropati ulnaris Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa tempat di sepanjang perjalanannya, tetapi terutama pada siku. Gambaran klinis meliputi: Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku ke lengan sampai batas ulnaris tangan, Atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik tangan Hilangnya sensasi tangan pada distribusi nervus ulnaris, Deformitas tangan cakar (claw hand) yang khas pada lesi kronik Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang perjalanan nervus ulnaris. Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada malam hari, dengan posisi siku ekstensi untuk mengurangi tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih berat, dekompresi bedah atau transposisi nervus ulnaris, belum dapat dijamin keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan jika terdapat kerusakan nervus ulnaris terus-menerus, yang ditunjukkan dengan gejala nyeri persisten dan/atau gangguan motorik progresif. 3.2. Polineuropati Proses patologis yang mengenai beberapa saraf tepi disebut polineuropati, dan proses infeksi atau inflamasi yang mengenai beberapa saraf tepi disebut polineuritis. Polineuropati dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria struktur-histologis (aksonal, demielinasi, iskemia-vaskular), berdasarkan sistem yang terkena (sensorik, motorik, otonom), atau berdasarkan distribusi defisit neurologis (mononeuropati multipleks, distal-simetrik, proksimal). Polineuropati dan polineuritis memiliki banyak penyebab, sehingga diagnosis serta penatalaksanaannya sangat kompleks. Sering diakibatkan oleh proses peradangan, metabolik, atau toksik yang menyebabkan kerusakan dengan pola difus, distal, dan simetris yang biasanya mengenai ekstremitas bawah sebelum ekstremitas atas. Tabel 4 Diagnosis pada gangguan saraf perifer1 Tabel 5 Penyebab polineuropati6 Infeksi - Lepra - Difteri

- Penyakit Lyme - HIV Inflamasi - Sindrom Guillain-Barre - Polineuropati demielinasi inflamasi kronik - Sarkoidosis - Sindrom Sjorgen - Vaskulitis-lupus, poliarteritis Neoplastik - Paraneoplastik - Paraproteinemik Metabolik - Diabetes melitus - Uremia - Miksedema - Amiloidosis Nutrisi Defisiensi vitamin, terutama tiamin, niasin, dan B12 Toksik Contohnya alkohol, timbal, arsen, emas, merkuri, talium, insektisida, heksana Obat-obatan Contohnya isoniazid, vinkristin, sisplatin, metronidazol, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron 3.2.1. Diagnosis Penyakit difus saraf perifer dapat disubklasifikasikan menurut ada tidaknya keterlibatan sensorik atau motorik atau keduanya. Secara patofisiologis, dapat dibagi menjadi subdivisi lagi, tergantung apakah lokasi penyakit pada selubung mielin atau sarafnya sendiri (neuropati demielinasi dan neuropati aksonal, yang dapat dibedakan dari pemeriksaan konduksi saraf). Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan/atau parestesia atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan dan distal atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan deformitas pada kaki dan tangan (pes cavus, tangan cakar) dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala otonom. Tanda-tanda klinisnya adalah keterlibatan luas LMN distal dengan atrofi, kelemahan otot, serta arefleksia tendon. Hilangnya sensasi posisi distal dapat menyebabkan ataksia sensorik. Dapat terjadi hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan raba dengan distribusi glove and stocking . 3.2.2. Tatalaksana Terapi polineuropati tergantung dari penyebabnya. Neuropati akibat inflamasi umumnya harus ditangani di pusat spe-sialistik. Polineuropati demielinasi inflamasi akut (sindrom GuillainBarre) merupakan keadaan neurologis yang berpotensi gawat darurat. Polineuropati demielinasi inflamasi kronik dan neuropati vaskulitis membutuhkan terapi kortikosteroid dan/atau imunomodulator yang meliputi obat-obat imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid, atau siklosporin), imunoglobulin intravena, atau pertukaran plasma. Terapi simtomatik dapat mengurangi komplikasi neuropatik seperti gambaran otonom dan nyeri. Sangat penting untuk membedakan antara sindrom Guillain-Barre dan polineuropati demielinasi inflamasi kronik,

karena keduanya merupakan gangguan pada saraf perifer, akibat demielinasi pada SSP. Tabel 6 Pemeriksaan penunjang polineuropati6 Pemeriksaan darah Darah perifer lengkap, LED, glukosa, ureum, elektrolit, fungsi hati dan tiroid, vitamin B]2, elektroforesis protein serum, autoantibodi Urin Mikroskopik untuk mencari bukti vaskulitis, glukosa, porfirin, protein Bence-Jones Cairan serebrospinal Peningkatan protein, terutama pada neuropati inflamasi Neurofisiologi Pemeriksaan konduksi saraf dan EMG Foto toraks Untuk sarkoidosis, karsinoma Pemeriksaan penunjang khusus untuk pasien tertentu Biopsi saraf, bila penyebab perburukan neuropati belum diketahui dengan pemeriksaan lengkap, juga untuk mengkonfirmasi vaskulitis, lepra, dan polineuropati demielinasi inflamasi kronik Biopsi sumsum tulang, survei tulang bila ada kecurigaan myeloma Tes darah spesifik untuk kecurigaan kondisi tertentu, misalnya analisis DNA untuk neu-ropati herediter, enzim sel darah putih untuk inborn error of metabolism, antibodi Borrelia untuk penyakit Lyme 4. Sindrom pada Taut Neuromuskular dan Otot6 4.1. Miastenia Kelelahan abnormal pada otot-otot rangka merupakan manifestasi utama gangguan taut neuromuskular. Kelemahan yang bergantung-latihan awalnya sering mengenai; otot-otot ekstraokular, menimbulkan ptosis atau diplopia, karena unit motorik otot-otot tersebut hanya mengandung sedikit serabut otot. Pasien dengan miastenia generalisata juga mengalami disfagia dan kelemahan otot rangka yang timbul setelah melakukan latihan, terutama pada bagian proksimal. Penyebab sindrom miastenik tersering adalah miastenia gravis (istilah sebelumnya: miastenia gravis pseudopara- litika), suatu penyakit autoimun ketika tubuh membentuk antibodi terhadap reseptor asetilkolin di motor end plate. Reseptor yang tersisa untuk transmisi sinyal yang adekuat terlalu sedikit, sehingga otot tidak lagi tereksitasi secara adekuat oleh saraf yang mempersarafinya. Elektromiografi menunjukkan penurunan ukuran (decrement) potensial aksi otot pada stimulasi elektrik berulang pada otot yang terkena. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas, penurunan elektromiografi, adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin di sirkulasi, dan perbaikan kelemahan setelah pemberian penghambat asetilkolinesterase kerja cepat, seperti edrofonium klorida7. Gangguan ini dapat diobati secara efektif dengan penghambat asetilkolinesterase kerjapanjang, supresi imun, dan sebagai tambahan, dengan timektomi (pada pasien muda). 4.2. Miopati Kebalikan dengan miastenia, miopati (gangguan primer otot) biasanya menimbulkan kelemahan dengan progresivitas lambat dan tidak bergantung latihan. Atrofi otot aki-bat miopati lebih ringan dibandingkan atrofi otot neurogenik dan sebagian disamarkan oleh pergantian jaringan otot oleh lemak (liposis, disebut juga lipomatosis), sehingga terdapat ketidaksesuaian antara

penampakan otot yang normal atau pseudohipertofik dan derajat kelemahan sesungguhnya. Tidak ada defisit sensorik atau otonom, atau fasikulasi, yang menunjukkan lesi neurogenik. Mialgia dan spasme otot lebih sering terjadi pada miopati metabolik dibandingkan pada miopati kongenital. Berbagai jenis miopati meliputi distrofi muskular (resesif terkait-X, autosomal dorninan, dan resesif), miopati metabolik, distrofi miotonik (dengan manifestasi tambahan seperti katarak, kebotakan di bagian frontal, dan abnormalitas sistemik lain, seperti pada distrofi Steinert-BattenCurschmann), dan miositis. adekuat terlalu sedikit, sehingga otot tidak lagi tereksitasi secara adekuat oleh saraf yang mempersaraflnya. Elektromiografi menunjukkan penurunan ukuran (decrement) potensial aksi otot pada stimulasi elektrik berulang pada otot yang terkena. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas, penurunan elektromiografi, adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin di sirkulasi, dan perbaikan kelemahan setelah pemberian penghambat asetilkolinesterase kerja-cepat, seperti edrofonium klorida. Gangguan ini dapat diobati secara efektif dengan penghambat asetilkolinesterase kerjapanjang, supresi imun, dan sebagai tambahan, dengan timektomi (pada pasien muda). Informasi terpenting untuk diagnosis banding miopati didapatkan dari riwayat keluarga secara rinci, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium (terutama kreatin kinase), dan elektromiografi, serta analisis genetik molekular, yang telah menjadi pemeriksaan yang sangat canggih dalam beberapa tahun terakhir dan dapat memberikan diagnosis pasti pada banyak kasus. Akibatnya, hal ini memungkinkan prognosis yang lebih sesuai dan konseling genetik yang baik. Kaitan dengan pemicu Gejala yang dialami pasien pada pemicu, yakni berupa paralisis flaksid secara umum dapat ditemukan pada lesi LMN dan NMJ. Kejadian yang hanya 3 hari (akut) umumnya ditemukan pada polineuropati dan NMJ. Walaupun gejala teraparesis umumnya ditemukan pada lesi UMN, namun juga khas ditemukan pada polineuropati, yaitu sindrom Guillain-Barre, dan biasanya menjalar asendens. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan analisis cairan serebrospinal. Pada pasien paralasis flasid juga sering disertai dengan ketidakmapuan mempertahankan jalan nafas tetap terbuka, karena paralisis otot-otot pernapasan dan diafragma. Oleh karena itu, diperlukan intubasi secepat mungkin terutama pada penyakit yang onsetnya progresif, seperti sindrom Guillain-Barre.

Anda mungkin juga menyukai