Anda di halaman 1dari 19

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT, Karena dengan segala nikmat dan
rahmat yang telah diberikan-Nya, berupa rahmat kesehatan dan kesempatan akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makala dengan judul EUTHANASIA DALAM KACA
MATA ISLAM ini sebagaimana mestinya.

Makalah ini di susun sebagai tugas dari dosen mata kuliah pendidikan agama Islam
sebagai pelengkap materi dalam pembelajaran pendidikan agama Islam. Penulis menyadari
sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan, dan kekurangan dalam penyusunan makala
ini, baik dari segi isi maupun penulisannya.

Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun senantiasa di
harapkan demi penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
bantuan semua pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan.


17 November 2009
Penulis








2


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . 1
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
BAB I : PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
I.1 LATAR BELAKANG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
I.2 RUMUSAN MASALAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
I.3 TUJUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
I.4 MANFAAT PENULISAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . 4

BAB II : PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
II.1 PENGERTIAN EUTHANASIA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
II.2 BENTUK-BENTUK EUTHANASIA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
II.3 HUKUM EUTHANASIA DALAM SYARIAH . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . 8

BAB III : PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
III.1 KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18
III.2 SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19








3

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kematian atau ajal seseorang adalah sesuatu yang telah di gariskan ALLAH
SWT sebelum manusia itu lahir ke dunia oleh sebab itu ajal seseorang merupakan
takdir mubram yakni ketentuan mutlak ALLAH SWT yang tidak dapat di undurkan
atau dimajukan oleh siapapun. Kematian, pada umumnya di anggap suatu hal yang
sangat menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang, kebanyakan orang
berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya ngeri
dengan kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi
keadaan setelah kematian terjadi.

Tidak demikian halnya dengan orang yang telah putus asa dalam menghadapi
penderitaan hidup karena penyakit kronis yang di deritanya. Mereka ingin segera
mendapatkan kematian, di mana bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal
yang di harapkan, namun merupakan juga suatu hal yang dicari dan di idamkan.
Terlepas dari siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, segera
tiba.

Kematian yang diidamkan oleh para penderita, sudah barang tentu adalah
kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian
dengan cara inilah dalam istilah medis di sebut EUTHANASIA yang dewasa ini di
artikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya sembuh.
Euthanasia bukanlah sesuatu yang baru, bahkan euthanasia telah ada sejak jaman
yunani purba. Dari yunanilah euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa
Negara di dunia, baik di benua Eropa, Amerika maupun Asia. Di Negara-negara barat
seperti swiss, euthanasia sudah dianggap bukan pembunuhan lagi, bahkan euthanasia
sudah di legalisasi dan diatur dalam hukum pidana.
1

Euthansia merupakan sesuatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter,
praktisi hukum, maupun dalam kalangan agamawan.Di Indonesia masalah ini sudah
pernah dibicarakn, seperti yang di lakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam
seminarnya yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli agama,
adapun hasilnya belum ada kesepakatan yang bulat terhadap masalah tersebut.
2

1
Hardinah, euthanasia dan Persentuhannya dengan hukum Kewarisan Islam, dalam Mimbar hukum No 6
Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam , 1996, hal 7-8.
2
Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam dalam
Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz
Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hal. 51
4



B. RUMUSAN MASALAH

Pada makala ini akan dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Sebenarnya apa itu euthanasia ?
2. Ada beberapa pembagian Euthanasia ?
3. Bagaimana hukum islam bagi pasien maupun dokter yang melakukan euthanasia?

C. TUJUAN PENULISAN
Untuk memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana hukum euthanasia dalam
pandangan islam serta semua hal yang berkaitan dengan euthanasia.
D. MANFAAT PENULISAN

1. Menambah referensi baru dalam hukum pidana islam
2. Sebagai sumbangsih pemikiran kepada para pembaca
3. Bagi peniliti,dengan melakukan penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan
pemahaman dalam hal kedudukan pelaku euthanasia dalam pandangan hukum
pidana islam.























5

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 PENGERTIAN EUTHANASIA

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan
thanatos, yang berarti kematian
3
.Dalam bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan
istilah qatl ar-rahma atau taysr al-mawt. Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal; juga berarti mempercepat kematian seseorang yang
ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya
4.


Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati.
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam . tersebut dalam sebuah
ayat yang menyiratkan hal tersebut :
W-Og^4 O) O):Ec *.-
4 W-OU> 7CguC) O)
gOUg+- O W-EONLO;O4 O
Ep) -.- OUg47 4-gLO^-
^_)
"Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.( QS Al Baqarah : 195).

dan dalam ayat lain disebutkan :
E_GC^4C -g~-.- W-ON44`-47
W-EOU> 74O^`
e:E4uO4 gC4:^) ) p
]O7> E4OO_g` }4N -4O>
7Lg)` _ 4 W-EOU+^>
7=O^ _ Ep) -.- 4p~E
7) V1gO4O ^g_
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu( QS An Nisaa : 29 ).



6

3.
( Utomo, 2003: 177 )
4.
( Hasan, 1995: 145 )



Yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

II.2 BENTUK BENTUK EUTHANASIA

Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau
sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah
tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan
dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang
penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.

Dalam praktek real euthanasia dikenal dengan dua macam: euthanasia aktif dan
euthanasia pasif.

A) EUTHANASIA AKTIF ( POSITIF )

adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan
suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan
lama.

Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang
diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi
sakit yang memang sudah parah. serta Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena
keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya
pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi.
Beberapa contoh kasus euthanasia aktif diantaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga
penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan
meningggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.

7

2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian
otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat
keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan
mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa
penderita tidak akan dapat disembuhkan.

Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan
menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut
dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan
pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.

B) EUTHANASIA PASIF ( NEGATIF )

adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi,
yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi
Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam euthanasia pasif, yaitu upaya
dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis
masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien
dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi.
Beberapa contoh kasus dalam hal ini diantaranya:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang
yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat
mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan
dapat mempercepat kematiaannya.

2. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan
tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan
kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini
senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan
pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium beragam yang biasanya
penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan
8

bantuan khusus selama hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan
tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.



Dalam contoh tersebut, penghentian pengobatan merupakan salah satu bentuk
eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu
terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si
anakatau kedua orang tuanya.

Untuk memperluas wacana tentang Euthanasia selain ada yang pasif dan aktif
ada juga istilah bahwa Eutanasia yang disebut Autoeuthanasia. Artinya Seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk tidak menerima perawatan medis dan
ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

Euthanasia pasif maupun autoeuthanasia dipandang sebagai hal yang ambigu
(bermakna ganda). Pada satu sisi dipandang sebagai suatu perbuatan amoral sebab
seorang dokter telah membiarkan orang lain menderita dengan penyakitnya. Pada sisi
yang lain, tindakan tersebut justru dapat dianggap sebagai perbuatan mulia, karena
dengan membiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah hingga ajal
menjemputnya (letting die naturally), berarti tidak memperpanjang penderitaan
pasien. Tergantung dari sisi mana memandangnya, permasalahan ini bukan
merupakan masalah medis semata sehingga perlu kerja sama yang erat dan koordinasi
yang baik antara dokter dan keluarga pasien.

II.3 HUKUM EUTHANASIA DALAM SYARIAH
Tindakan euthanasia dalam hukum islam belum ada penjelasan dalam hal
pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah(tindak pidana).
Seperti diketahui suatu perbuatan di golongkan sebagai jarimah apabila mengandung
unsur-unsur jarimah.
Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan
khusus.Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat
pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis
jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang
termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:
5

1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai
jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak
terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
9


2. Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah
dilakukan.


5
Ahmad Azar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam , Yogyakarta: UII Press, 2001, hal. 8.


3. Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur
ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas
orang mukallaf dalamkeadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran
penuh.

Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah
yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan
berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya,dalam hukum Islam
pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
6

1. Pembunuhan sengaja (Al-qathl alamd), yaitu suatu perbuatan yang
direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud
menghilangkan nyawa

2. Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-amd), yaitu suatu perbuatan
penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi
mengakibatkan kematian.

3. Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang
terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.

Dalam Hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang
eksistensi Euthanasia, apakah Euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Hal
tersebut berbeda dangan Hukum pidana Indonesia terkandung di dalam Pasal 344
KUHP, dimana dijelaskan bahwa melakukan Euthanasia merupakan suatu tindakan
pidana.
7
Pasal 344 KUHP tersebut menyatakan secara tegas: barang siapa merampas
nyawa orang lainatas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara, paling lama dua belas tahun
.8


Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini,
meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak
bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Akan tetapi dokter
tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan
pasien atau keluarganya tersebut
.9
Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena
adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri.

10

6


Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
2000, hal. 123.
7
Natangsa Surbakti, Euthanasia dalam Hukum Indonesia, Suatu Telaah Kefilsafatan Terhadap Eksistensi
dalam Konteks Masyarakat Indonesia Modern dalam Jurnal Hukum, Vol. I No. 1 Maret 1998, FH. UMS,
hal. 115.
8
Moeljanto, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Yogyakarta: UGM, 1978, hal. 124
9.
Deklarasi Lisboa 1981.

Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan
merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan
oleh Undang-undang.

Hukum Euthanasia Positif ( aktif )

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) jelas-jelas tidak
diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan
tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya
melalui pemberian obat secara overdosis.

Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara
pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan racun yang keras,
ataupun dengan menggunakan senjata tajam.Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas
dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si
sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah
lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri
sendiri, misalnya sepenggal dari firman Allah Swt ( QS. Al Anam : 151 ) yakni

W 4 W-OU+-^> w^EL- /--
4OEO +.- ) --E^) _ 7gO
7O4 gO) u7+UE 4pOUu> ^)
..dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).

Dari dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif, karena sengaja melakukan pembunuhan terhadap pasien, sekalipun
atas permintaan keluarga atau si pasien. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan
tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang
diharamkan.
Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita),
tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat
aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak
11

diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah saw.
bersabda:
Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan
musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat.hadis ini menjadi indikasi
(qarnah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandb), bukan wajib
10
.termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.

Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal
yang telah ditetapkan-Nya.
Hukum Euthanasia Negatif
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar
pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan.
Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu
tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunnatullah dan hukum sebab-akibat. Islam mengajarkan bahwa yang berhak
mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah. Manusia tidak diberi hak
atau wewenang untuk memberi hidup dan atau mematikannya, sebagaimana
dinyatakan dalam ( QS.Yunus : 56 ) dan ( QS.Al-Mulk:1-2). yakni :
4O- ^O^47 eOgNC4 gO^1)4
]ONE_O> ^)g
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan Hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan
( QS.Yunus : 56 )

Dan QS. Al- Mulk : 1 2 yang berbunyi :
E4O4:> Og~-.- jg4O)
lU^- 4O-4 _O>4N ]7
7/E* vOCg~ ^ Og~-.- 4-UE
=OE^- E_O4OO4^-4
74OUl4Og 7GC }=O;O
1E44N _ 4O-4 +OCjGE^-
+OO4^- ^g
12

1. Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu,
2. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,

10
(Zallum, 1998: 69)



Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup
dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang
berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan
dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat)
ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd, dan diat.

Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak ayat
Al-Quran maupun hadist Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia (hifz al-Nafs), sehingga seseorang tidak diperbolehkan
untuk menghilangkan nyawa tanpa alasan syari yang kuat. Allah berfirman dalam
( Al-Quran surat Al-Maidah : 32 )
;}g` ;_ ElgO E44 _O>4N
/j_4 Cg74O) +O^^ }4`
4~ -O^4^ )OO4) `^4^ u
l1=O O) ^O- E^^E:
4~ "EEL- 4OgE_ ;}4`4
E-41;O .4^^E: 41;O
"EE4- 4OgE_ _ ;4
_^>47.E_ 4LUc+O
ge4L)O4l^) O Ep)
-LOOg1E _u4g)` Eu4 CgO
O) ^O- ]O)O;O ^@g
Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan Karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya
dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-
rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi (
QS.Al-Maidah : 32 )
13

Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya
seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan
tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina
mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh
seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar
dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib
dan diasingkan dari tempat kediamannya (HR Abu Dawud dan An-Nasai).
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain
dimasukkan dalam kategori perbuatan jarimah/tindak pidana (jinayat), yang
mendapat sanksi hukum.

Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang
oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. selain
hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta
suaka (muahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit
berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan
mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang
diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya, Rasulullah
saw bersabda:
Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu. (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian melalui euthanasia aktif dan pasif berarti manusia mengambil
hak Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian
secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syariah. Sebab
yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh
si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau
cara lainnya.
Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya,
bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih
dan penyayang dari pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut
kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang
mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya.
14

Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah
pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha
atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus
asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada
kewajiban untuk berikhtiar.Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan betapapun
beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif, maka
semua itu termasuk dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan
oleh para ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah.Menurut jumhur ulama
mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun
segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafiiyah
dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat
ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak
berobat) itu lebih utama.
berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang
wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab: Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan
surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.
Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah
agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak
tersingkap ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabiin yang
tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit,
seperti Ubay bin Kaab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur
ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun generasi tabaiin lainnya
sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam satu bab tersendiri yang berjudul
Kitab at-Tawakal dalam kitab Ihya Ulumuddinnya.
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah
pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan
ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah
yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang
15

di kemukakan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Maad. Dan paling
tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan
sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli
seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat
apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian
berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern

lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada
perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah
sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa
Muashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang
wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini
dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma
(membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus
ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun
orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang
hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi
hukuman menurut syariah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh
dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syariah apabila
keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan
keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter
ahli ia sudah mati atau dikategorikan telah mati karena jaringan otak ataupun
fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan
dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak
memberikan pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya.
Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif
yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syariah dan tidak
terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien
16

sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi
saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah
seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan
apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu
telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya
dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga
dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa
itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita,
yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Beberapa Aspek Euthanasia :

A. Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat
dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya
euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu
sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak
hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang
sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang
terdapat dalam KUHP Pidana.

B. Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini
terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis
dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan
sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi
dari segala penderitaan yang hebat.

C. Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau
pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan,
apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi
17

hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

D. Aspek Agama. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak
ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas
melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan
melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan
kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa
tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang
satu ini.
BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

euthanasia dikenal dengan dua macam: euthanasia aktif dan euthanasia pasif.

Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.

Euthanasia Pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan.

Hukum Euthanasia aktif adalah HARAM sesuai dengan firman Allah SWT
dalam ( QS. Al Anam : 151 )

Hukum euthanasia pasif masih belum ada kejelasan yang pasti tentang haram
atau sunah

Euthanasia dapat ditinjau dari beberapa aspek yakni : Aspek Hukum,
Aspek Hak Asasi, Aspek,Ilmu Pengetahuan dan Aspek Agama



III.2 SARAN

18

Agar para dokter bisa memiliki pemahaman mengenai euthanasia sehingga
tidak melakukan hal2 yang melanggar agama

Kepada para keluarga dan pasien yang memiliki dilema seperti pada makala
tentang euthanasia ini, agar lebih bersabar dan tidak memilih untuk melakukan
euthanasia pada keluarganya maupun diri sendiri yang mungkin tidak
mempunyai harapan hidup.

Agar para calon dokter juga memahami masalah hukum euthanasia, sehingga
kedepannya tidak melakukan euthanasia yang di larang oleh Agama.







DAFTAR PUSTAKA


http://www.Khilafah 1.924.0rg
http://banumushtafa.multiply.com/journal/item/6
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam/
http://afandyna.blogspot.com/2009/06/euthanasia-dalam-islam.html
http://nursemuslimfikunpad.blogspot.com/2009/02/euthanasia-dalam-pandangan-
islam_05.html
http://74.125.153.132/search?q=cache%3AijL1YXSfV5wJ%3Aetd.eprints.ums.ac.id
%2F3675%2F1%2FC100000232.pdf+hukum+euthanasia+dalam+islam+beserta+dalil
&hl=id&gl=id
http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-euthanasia-dan-
kode-etik-kedokteran.htm
http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=160&start=0&sid=f256c7a2136886d619a
834ec1a36d6e7
http://swaramuslim.net/more.php?id=A2442_0_1_0_M
19

http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1190117266
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html
http://spotiklan.net/search/islam+dan+kesehatan+hukum+euthanasia
http://spotindo.com/search/fiqih+bunuh+diri+euthanasia

Anda mungkin juga menyukai