Anda di halaman 1dari 58

Posttraumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan oleh orang tua VICTORY SUPRABANDARI Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma Abstraksi Kekerasan pada anak anak adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu atau perdata. Bentuk bentuk kekerasan menurut lawson (dalam kaplan & Saddock,1997) dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan sexual, pengabaian atau neglect, dan komersialisasi. Dampak dari kekerasan yang dilakukan pada anak menyebabkan anak mengalami posttraumatic stress disorder. Posttraumatic stress disorder menurut Harvey (2002) adalah suatu reaksi traumatis yang melibatkan hilangnya konsentrasi, kesulitan tidur dan makan, mengingat kembali, dan mimpi buruk. Gejala yang akan timbul dari posttraumatic stress disorder menurut Herman dalam (William & Poijulla,2002) adalah seseorang akan menjadi lebih impulsive, mengalami halusinasi, mengalami gangguan kecemasan, mengalami kesedihan yang berlarut larut, merasa dirinya mengalami kegagalan total. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui gambaran kekerasan yang dialami anak, gambaran posttraumatic stress disoerder pada anak yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, faktor yang menyebabkan terjadi posttraumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan oleh orang tua. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi Subjek dalam penelitian ini adalah anak perempuan berumur 11 tahun yang mengalami posttraumatic stress disorder akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Hasil penelitian diperoleh bahwa subjek mengalami kekerasan fisik berupa dicubit, disetrika, dipukul. Kekerasan emosional berupa umpatan atau cacian celaan dengan kata-kata kasar. Subjek saat tinggal dengan ibunya merasa diabaikan dimana subjek tidak mendapatkan haknya sebagai anak. Gejala gejala posttraumatic stress disorder yang ada pada diri subjek seperti menjadi lebih impulsive, mengalami kesedihan yang berlarut larut, merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan total, menjadi menyalahkan diri sendiri, mendadak menjadi penakut, mengalami perubahan selera makan, subjek menjadi tidak mampu untuk percaya pada orang lain. Penyebab posttraumatic stress disorder pada subjek yang telah mengalami kekerasan oleh orangtua ada 3 yaitu pre event factors, event factors, post event factors. Pada pre event factors. Subjek sangat takut melihat ibunya marah. Sehingga subjek mengalami depresi awal subjek sempat berkeinginan untuk pergi meninggalkan ibunya bahkan tempat tinggalnya Subjek tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasi keadaan yang demikian karena subjek adalah seorang anak

kecil yang memiliki kemampuan terbatas. Pada event factors kekerasan dalam rumah tangga tersebut terjadi di tempat tinggal subjek, subjek telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibunya selama 6 bulan, sehingga subjek merasa bahwa kekerasan yang dialaminya akan berlanjut bila ibunya keluar dari rumah sakit jiwa. Pada post event factors Setelah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibunya, Subjek menjadi lebih pasif dibanding aktif setelah peristiwa traumatis kekerasan dalam rumah tangga tersebut, subjek menjadi mengasihani diri sendiri setelah peristiwa traumatis kekerasan dalam rumah tangga tersebut Sekarang subjek merasa sangat bahagia karena bisa tinggal dengan nenek dan pamannya yang sangat sayang pada subjek. Kata kunci : posttraumatic stress disorder, kekerasan pada anak

BAB I PENDAHULUAN

Seringkali kekerasan terhadap anak dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Oleh karena itu, banyak kasus yang tidak terungkap karena anak

A. Latar Belakang Masalah

merasa bahwa hak orang tua untuk melakukan tindakan itu pada mereka.

Hidup

berkeluarga

adalah

Mereka juga takut akan hukuman yang lebih berat lagi jika mereka

dambaan bagi setiap orang. Dengan berkeluarga setiap orang pasti merasa bahwa hidupnya akan menjadi lebih sempurna, apalagi mempunyai

membantah atau menceritakan hal tersebut kepada orang lain (Benard, 2008). Kekerasan dalam rumah tangga menurut Abbot dkk (dalam adalah

keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun terkadang hal itu hanya impian belaka. Seperti saat ini masih banyak konflik internal yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Seharusnya agar anak dapat tumbuh menjadi individu yang mampu bertahan hidup, anak membutuhkan perlindungan dan bimbingan dari orang tuanya. Sampai saat ini kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi momok yang

Sampurna,2000)

penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu. Penyalahgunaan kekerasan bukanlah suatu tindakan kesengajaan atau konsekwensi dari tindakan anak, melainkan pelaku penganiayaan secara sengaja melakukan tindakan kekerasan dan tidak perduli terhadap apa yang diperbuatnya serta apapun penyebab perbuatan anak. Fenomena kekerasan terjadi pada anak seperti kasus ibu tiri menyiksa anak tirinya. Pada tanggal 4 Mei 2007 sekitar jam 14.00 WIB,

menakutkan terutama bila terjadi pada anak-anak. Kekerasan pada anak adalah berbagai tindakan yang dapat melukai seorang anak. Bisa juga karena

pemahaman

yang

salah

mengenai

disiplin dan hukuman untuk anak.

bapak Nadir seorang relawan selaku pelapor melaporkan kejadian

seksual 10,42 %, kekerasan psikis 13,43 %, penelantaran ekonomi 17,54 %. Pada tahun 2007 telah terjadi penganiayaan pada anak berupa

kekerasan seorang anak yang tinggal bertetangga dengan rumah pelapor di Denpasar Bali. Tercatat pengaduan Hotline Service No. 30/KPAI/IV/2007, bahwa anak perempuan yang berusia 7 tahun yang duduk di kelas 3 SD mengalami dilakukan kekerasan oleh ibu fisik tirinya yang dan

kekerasan fisik 22,34 %, kekerasan seksual 4,55 %, kekerasan psikis 19,09 %, penelantaran ekonomi 17,53 %. Kekerasan anak dapat terjadi dalam beragam bentuk. Menurut

Lawson (dalam Kaplan & Saddock, 1997), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang

disaksikan oleh tetangga korban dan pelapor sendiri melihat korban dipaha kiri terdapat luka memar merah dan punggung telapak tangan kiri terdapat pembekakan sehingga dirasakan sakit oleh korban. (KPAI, 2007). Jumlah kasus kekerasan

kekerasan pada anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu physical abuse, Emotional Abuse, Neglect atau Pengabaian, Seksual, Komersialissasi. Bentuk pengabaian pemenuhan

terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data kasus penerimaan pengaduan perlindungan anak oleh KPAI (dalam KPAI, 2007) tercatat pada tahun 2005 telah terjadi penganiayaan pada anak berupa

kebutuhan dapat berupa penyedian kebutuhan makan, sandang dan papan serta pemeliharaan pelayanan medis, dan pemberian kasih sayang terhadap anak yang tidak terpenuhi sepenuhnya. Sedangkan kekerasan fisik dapat

kekerasan fisik 20,75 %, kekerasan seksual 12,76 %, kekerasan psikis 11,70 %, penelantaran ekonomi 14,37 %. Pada tahun 2006 telah terjadi penganiayaan pada anak berupa

berupa segala sesuatu yang melakukan luka fisik pada anak. Kekerasan verbal emosional dapat berupa ancaman, mempermalukan, anak, menghina, mengecilkan arti

kekerasan fisik 26,98 %, kekerasan

ketidakmampuan

memberikan pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa

stress disorder sebagai sindrom dari pengalaman seseorang yang bertahan terhadap traumanya dan hal tersebut disebabkan karena akibat dari tindakan kekerasan. Gejala yang akan timbul dari posttraumatic stress disorder menurut Herman dalam (Williams &

mencabuli anak dengan melakukan penyentuhan pada alat kelamin anak, tindakan masturbasi, seks oral,

penetrasi baik dengan tangan ataupun penis atau dengan objek lain ke vagina atau anus anak. Tindakan kekerasan yang

Poijula,2002) seperti seseorang akan menjadi lebih impulsive, mengalami halusinasi, kecemasan, mengalami mengalami gangguan kesedihan

dilakukan terhadap anak ini membawa dampak yang membahayakan terhadap kesejahteraan fisik maupun psikis anak secara fisik anak menderita patah tulang, lebam, sampai cacat permanen. Sedangkan secara psikis anak bisa menderita ketakutan, kemarahan,

yang berlarut larut, merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan total, halusinasi, sampai berguna dan lain lain. Tindakan kekerasan dalam merasa tidak

sedih, merasa bersalah, malu, bingung, serta penghindaran terhadap

rumah tangga dapat berakibat buruk bagi perkembangan psikologi anak. Anak yang mengalami peristiwa dapat stress atau

lingkungan sosial atau dapat lebih parah lagi menjadi posttraumatic strss disorder. Menurut Harvey (2002)

menyaksikan dalam

kekerasan menderita disorder.

keluarga

postraumatic

posttraumatic stress disorder adalah suatu reaksi traumatis yang melibatkan hilangnya konsentrasi, kesulitan tidur dan makan, mengingat kembali, dan mimpi buruk. Hoeksema (2002)

Mengingat sangat penting dan begitu luas dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini maka peneliti akan meneliti gambaran tentang

mengatakan

bahwa

posttraumatic

Posttraumatic stress disorder pada

anak yang mengalami kekerasan oleh orang tua.

dalam rumah tangga yang dialami anak, gambaran posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga

B. Pertanyaan Penelitian

oleh orang tua, dan Mengapa terjadi posttraumatic stress disorder pada

Berdasarkan

latar

belakang

anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua.

masalah tersebut di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan dan diharapkan didapatkan jawaban dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah gambaran

D. Manfaat Penelitian

kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak ? 2. Bagaimanakah gambaran

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khasanah dan ilmu memperkaya psikologi

posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua ? 3. Mengapa terjadi posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan

khususnya psikologi klinis dan, serta memberi kontribusi pada teori psikologi klinis yang dijadikan acuan di dalam penelitian lebih lanjut tentang posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi

dalam rumah tangga oleh orang tua

C. Tujuan Penelitian

korban kekerasan dalam rumah tangga.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran kekerasan

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat kepada memberikan orang tua, informasi anak,

atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan atau secara

sewenang-wenang

penekanan

secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga Korban tindak kekerasan

masyarakat, komisi perlindungan anak tentang posttraumatic stress disorder pada anak yang

yang terjadi saat ini khususnya di Indonesia kebanyakan adalah anakanak dan perempuan dan anak-anak merupakan produk struktur sosial dan

mengalami kekerasan dalam rumah tangga, agar hal tersebut tidak terjadi pada anak-anak. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki (Poerwandari, 2000). Carson dkk (1996)

mendefinisikan kekerasan pada anak A. Kekerasan Pada Anak adalah penderitaan fisik atau kekerasan secara psikologis pada seorang anak 1. Pengertian Kekerasan Pada yang dilakukan oleh orangtuanya atau orang dewasa lainnya. Menurut mendefinisikan Luhulima kekerasan (2000) dalam Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak

Anak

rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau

beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat kesengsaraan atau

(caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi Sugiartono (dalam Zimmin, 1986).

penderitaan secara fisik, sexual dan

Sedangkan Papalia, Olds & Feldsman (2001) mengatakan bahwa kekerasan penganiayaan pada pada anak anak adalah yang

a.

Faktor masyarakat: 1) Kemiskinan Menurut Newberger (dalam Fatah,

mengakibatkan luka secara fisik Berdasarkan uraian diatas,

http://www1.bpkpenabur.or.i d/charles/orasi6a.htm) faktor masyarakat mempengaruhi sangat terjadinya

maka kesimpulan kekerasan pada anak adalah kekerasan atau penganiayaan baik secara fisik yang maupun bertujuan secara untuk

psikologis

tindak kekerasan pada anak di mana masyarakat yang berekonomi sangat lemah

menyakiti anak dan dilakukan secara sengaja oleh orang tuanya.

akan lebih memiliki tingkat emosional yang tidak dapat 2. Faktor-faktor yang dikendalikan sehingga mudah marah, cepat tersinggung dan rentan melakukan

menyebabkan kekerasan terhadap anak Kekerasan pada anak sangatlah menjadi fenomenal akhir-akhir ini karena dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Menurut Fatah (dalam http://www1.bpkpenabur.or.id/charles/ orasi6a.htm) ada tiga faktor yang menjadi sebab kekerasan terhadap anak adalah :

penganiayaan. Dari sejumlah penelitian diperoleh bahwa kekerasan cenderung domestik terjadi pada

keluarga yang berada pada tingkat status sosial ekonomi yang rendah 2) Perubahan Hidup (Lifechange) Menurut Conger,

Burgess, Barret (dalam Fatah,

http://www1.bpkpenabur.or.i d/charles/orasi6a.htm) sejumlah perubahan dalam kehidupan memiliki korelasi yang erat dengan kekerasan pada anak, yaitu kematian pasangan, kehilangan perceraian, pekerjaan, dan

mental yang dialami oleh anak erat kaitannya dengan kekerasan Menurut pada Rogosch anak. (dalam

Berns, 1997) anak-anak yang "sulit diasuh" berpotensi

untuk mengalami kekerasan pada anak. Menurut Thomas dan Chess (dalam Santrock, 2003) anak bertemperamen sulit negatif, mengeluh cenderung dan atau bereaksi banyak rewel.

masalah keuangan yang hadir tanpa persiapan dalam

menghadapinya.

b.

Faktor keluarga: 1) Karakteristik Anak Caplan (dalam

kegiatan rutin kesehariannya.

2) Karakteristik Orang Tua Pada sisi orang tua faktor-faktor muncul yang dalam sering kasus

Sarwono, 2004) menyatakan terdapat faktor-faktor tertentu pada anak yang membuatnya lebih mungkin mengalami kekerasan. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran pada anak kebanyakan laki-laki dan

kekerasan dan penelantaran anak adalah usia orang tua yang masih terlalu muda, orang gangguan keadaan sosial tua mengalami emosional, ekonomi

berusia 4-15 tahun dan tidak menyandang cacat bawaan. Menurut Justice dan Justice (dalam Berns,1997) retardasi

orang tua rendah, pendidikan juga rendah dan biasanya pekerjaan orang tua hanya sebagai tenaga kasar

(unskilledjob), ada riwayat kriminal pada masa lalu

memaksakan kehendak pada anak tanpa melihat

orang tua dan ada konflik antar orang tua Caplan

compatibility dengan situasi, kebutuhan dan karakter anak. Sikap memaksakan ritual pola dan

(dalam Sarwono, 2004). Pengalaman menjadi

kebiasaan,

korban kekerasan pada orang tua juga mempengaruhi

peraturan tanpa memberikan ruang dan untuk pembaharuan dapat

perilaku kekerasan orang tua terhadap Menurutnya, penelitian anaknya. sejumlah membuktikan 4)

fleksibelitas

memicu ketegangan antara orang tua dengan anak. Karakter Immature Banyak dari pelaku tindakan kekerasan ini adalah orang tua yang kekanakkanakan. Meskipun umurnya tua tetapi pola pikir, sikap, tindakan masih anak-anak, seperti impulsive, tantrum, remaja reaktif, dsb.

bahwa seseorang yang pemah mengalami kekerasan pada masa kecilnya cenderung

melakukan kekerasan pada anak mereka daripada orang tua yang tidak memiliki di

pengalaman masa (1982). 3) Pola sehat asuh

kekerasan

kecilnya

Newberger

emosional, Seorang yang tidak

(bahkan

orang yang sudah cukup umur) berpotensi megalami

Orang sangat otoriter,

tua yang tidak peluang

masalah

seperti

ini

saat

membesarkan anaknya kalau dia sendiri masih ingin

memberikan

anaknya untuk berekspresi bahkan seringkali

menjadi pusat perhatian.

5)

Problem Emosional Problem berkepanjangan yang tidak selesai stress bisa hingga menyebabkan melampaui

terhadap anak. Pola asuh yang diterapkan seringkali berubah-ubah secara

konsisten dan tidak ada ruang bagi untuk perasaannya adanya anggota keluarganya

ambang batas daya tahan mental memicu orang tindak tua yang

mengekspresikan secara apa banyak

kekerasan

karena

maupun pegabaian. Apalagi jika ambang batas ketahanan mental orang tua rendah, maka gampang sekali emosi orang tua berubah hingga mereka kehilangan kendali diri. 6) Penggunaan terlarang Keluarga alkoholis Obat

batasan dan larangan untuk membahas keluarga. 7) Masalah Kejiwaan keburukan

Orang Tua Masalah kejiawaan yang menghinggapi salah

satu dari orang tua sudah tentu membawa dampak bagi

yang

pertumbuhan perkembangan jiwa

dan anak-

cenderung lebih

tidak stabil dan tidak dapat diramalkan perilakunya.

anaknya. Tidak hanya itu, masalah kejiwaan orang tua pasti mempengaruhi dan pola

Segala aturan main dapat saja berubah setiap waktu, dan seringkali mudah

interaksi yang

komunikasi di dalam tinjauan salah

terjalin

mengingkari janji-janji yang pernah dibuat. Demikian pula dengan pola asuh orang tua

keluarga. teori

Dalam jika

sistem,

seorang

anggota

keluarga

yang lain dan menyebabkan

perubahan-perubahan diberbagai segi kehidupan keluarga. Gangguan yang apalagi seringkali suasana kehidupan terutama dialami orang jiwa tua

harga barang naik, harga sewa naik, harga diri turun, tidak punya pekerjaan dan penghasilan, di PHK, dll yang menyebabkan banyak sekali terdorong untuk tindakan

bersifat

agresif

mendatangkan ancaman sang jika dalam anak,

melakukan emosional. (http://www.pikiranrakyat.com).

kekejaman

ataupun kekerasan tersebut terjadi secara random dan tidak dapat diprediksikan Akibatnya bagi anak Tahun 3. Bentuk-bentuk Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Dalam undang-undang No. 23 2004 tentang penghapusan tangga

kemunculannya. tentu saja sulit

untuk bisa mengembangkan rasa peraya diri dan

kekerasan dijelaskan

dalam tentang

rumah

bentuk-bentuk

kepercayaan pada orang lain karena mereka sulit

kekerasan dalam rumah tangga. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,

menemukan lingkungan yang dapat memberikan rasa aman. 8) Problem Pribadi lainnya Jaman sekarang ini banyak masalah yang bisa dijadikan emosional seseorang, ekonomi, alasan dan seperti terlilit tindakan irasional krisis hutang,

dengan cara (UU No. 23, 2004) : a. Kekerasan fisik sebagaimana

dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, sakit, atau luka berat. b. Kekerasan psikis sebagaimana jatuh

dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya hilangnya

rasa

percaya

diri, untuk

berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ekonomi

kemampuan

bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. d. Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud meliputi : 1). pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

ketergantungan

dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Menurut. Lawson (dalam Kaplan & Saddock, 1997), psikiater internasional yang merumuskan

orang yang menetap dalam lingkup tersebut; 2). pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup dengan rumah orang tangganya lain untuk rumah tangga

definisi tentang kekerasan pada anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu : a. Physical Abuse. physical abuse, terjadi ketika

tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. 3). Setiap orang dilarang

orang tua atau pengasuh dan pelindung anak memukul (ketika anak memerlukan perhatian).

menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,

Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. b. Emotional Abuse. emotional abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak setelah

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 4). Penelantaran dimaksud ayat sebagaimana (1) juga

mengetahui

anaknya

meminta

orang

dilingkungan bisa

sekitarnya. baik

perhatian mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu

Pengabaian

terjadi

sengaja maupun tidak sengaja. d. Seksual Dalam kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual

yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup

rumah tangga tersebut (seperti isteri, anak, dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kekerasan seksual adalah berupa seksual, setiap perbuatan yang

berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu. Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi penghinaan, yang ataupun berisi kata-kata

pemaksaan pemaksaan

hubungan hubungan

seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. e. Komersialisasi Kekerasan tipe ini merupakan kekerasan dimana adanya unsur pengambilan keuntungan materi secara sepihak oleh pelaku

yang melecehkan anak. Pelaku biasanya mental melakukan abuse, tindakan

menyalahkan,

melabeli, atau juga mengkambing hitamkan. c. Neglect atau Pengabaian Pengabaian disini dalam artian anak tidak mendapatkan

kekerasan terhadap korban baik secara sengaja ataupun tidak

perlindungan ataupun perhatian dari orang-orang terdekat maupun

sengaja. Komersialisasi ini bisa berupa perlakuan menjadi buruh

anak,

prostitusi,

perdagangan.

tepat,

rendahnya

self

esteem,

(http://www.pikiran-rakyat.com).

kecenderungan untuk menggunakan obal-obatan, dan

4.

Dampak Kekerasan pada Anak. Menurut WHO (dalam

kesulitan untuk menjalin hubungan yang intim. Menurut Hoeksema, remaja 2001) Terr (dalam dan PTSD

http://www.bpkpenabur.or.id/charles/o rasi6a.htm) dari penelitian yang

dilakukan terhadap 3998 pelajar, dua puluh antaranya persen pernah di mengalami

anak-anak

dapat

mengalami

(Posttraumatic Stress Disorder) saat mereka mengalami kejadian yang

kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Beberapa permasalahan perilaku dan emosi

sangat stressful, beberapa peristiwa tersebut antara lain kekerasan fisik dan kekerasan seksual, menjadi korban karena menyaksikan kekerasan, atau hidup dalam kekacauan, seperti

berkaitan erat dengan remaja dan berkaitan erat dengan sejarah kekerasan yang pemah dialami (terutama usaha untuk bunuh diri, melarikan diri, menggunakan obat pencahar dan memuntahkan makanan untuk mengurangi berat badan atau Bulimia Hibbard (dalam Paul,1984). Sedangkan menurut Browne & Finkelhor dampak jangka panjang dari kekerasan (dalam Paul 1984),

pemboman atau angin topan. Anak anak yang pernah mengalami PTSD akan mengalami kejadian demi

kejadian melalui ingatan yang sangat kuat seputar kejadian tersebut,

mengingat kembali kejadian, atau pikiran yang terganggu lainnya. Traumatic stress dihasilkan dari pengalaman akibat kejadian yang

sangat ekstrim, berat, atau mengancam yang menuntut usaha untuk coping. Mereka mengancam perasaan nyaman dan aman seseorang. Traumatic stress

terhadap anak meliputi ketakutan, kecemasan, hostility, perilaku seksual yang tidak

itu sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe pertama meliputi kejadian yang singkat dan tunggal, seperti perkosaan tipe atau II

keterbatasan dalam mengekspresikan perasaan Menurut mereka Slade secara dkk. verbal. (dalam

Paul,1984), anak-anak yang pernah mengalami kekerasan pada anak

penyerangan.

Sedangkan

meliputi kejadian yang terjadi dalam waktu yang lama dan berulang,

digambarkan seseorang yang menarik diri dan depresi, kehilangan

meliputi menjadi korban terus menerus dari kekerasan seksual dan

kepercayaan diri, kehilangan inisiatif dan perilaku mandiri, memiliki rasa takut akan kegagalan, dan terdapat defisiensi sehubungan akan dengan pengetahuan penyebab

penganiayaan Terr (dalam Hoeksema, 2001). Menurut Volpe (dalam

Paul,1984), lebih dari separuh anak usia sekolah yang mengalami menunjukkan Tanpa

kejadian. Selanjutnya, kekerasan pada anak dapat menyebabkan citra diri yang buruk, ketidakmampuan

kekerasan kecemasan

domestik dan

PTSD.

penanganan yang efektif anak-anak ini memiliki resiko yang signifikan untuk delinkuensi, kecanduan narkoba,

mempercayai orang lain, perilaku yang agresif dan merusak, kemarahan,

perilaku yang merusak diri, melukai diri sendiri, pemikiran untuk bunuh diri, perilaku menarik diri, kecemasan dan ketakutan, masalah-masalah di sekolah, perasaan sedih dan depresi, mengingat peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu (flashbacks), mimpi buruk, dan

dikeluarkan dari sekolah, dan kesulitan untuk menjalin hubungan. Anak-anak yang lebih muda akan merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang salah saat ia menerima kekerasan. Proses menyalahkan diri sendiri akan menghadirkan rasa

bersalah, kekhawatiran dan rasa cemas pada mereka. Oleh karena menjadi satu hal yang penting untuk menyadari bahwa anak-anak memiliki

penggunaan akohol dan obat-obatan pada anak. Menurut Hjorth dan

Harway (dalam Zimrin, 1986) anak yang pernah mengalami kekerasan

akan percaya bahwa dirinya buruk, bodoh, dan lemah.

seseorang

mengalami

atau

menyaksikan trauma yang parah lalu menjadikannya suatu ancaman ke

dalam kehidupan yang normal pada B. Posttraumatic Stress Disorder diri seseorang atau orang lain. Hoeksema 1. Pengertian Posttraumatic Stress (2001)

mendefinisikan posttraumatic stress disorder sebagai suatu kondisi yang berkembang pada beberapa orang yang mengalami persitiwa traumatis yang sangat luar biasa yang terkadang dapat mengancam hidupnya. Definisi lainnya menurut

Disorder Beberapa orang yang terluka, sangat menderita dan mengalami

peristiwa yang penuh dengan stres. Pengalamannya tersebut menimbulkan akibat yang serius dalam beberapa bulan atau tahun setelah kejadian (Diniatteo, 2002). Menurut Harvey (2002)

Dinatteo (2002) yang mengartikan posttaumatic stress disorder sebagai suatu kondisi kejiwaan yang

posttraumatic stress disorder adalah suatu reaksi traumatis yang melibatkan hilangnya konsentrasi, kesulitan tidur dan makan, mengingat kembali, dan mimpi buruk. Hoeksema (2002)

menimbulkan suatu gejala khas seperti merasakan kembali peristiwa traumatis tersebut. Adanya penghindaran

terhadap peristiwa traumatis tersebut dan memiliki kewaspadaan akibat yang dari yang

mengatakan bahwa posttaumatic stress disorder sebagai sindrom dari

berlebihan peristiwa

merupakan trauma

psikologis

pengalaman seseorang yang bertahan terhadap traumanya. Gore (dalam Paul,2008)

berada di luar batas kemampuan daya tahan manusia. Williams dan Poijula (2002) mengatakan bahwa posttraumatic

mendefinisikan posttraumatic stress disorder sebagai gangguan kecemasan yang seringkali terjadi seteiah

stress disorder lebih kepada suatu reaksi dari pengalaman trauma seperti

kekerasan

seksual,

bencana

alam,

sesungguhnya

atau

cedera

kecelakaan mobil yang serius. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan stress bahwa disorder

yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2) Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa yang tidak berdaya atau

posttraumatic

merupakan suatu gangguan kecemasan yang terjadi setelah atau traumatis seseorang menyaksikan yang ditandai

mengalami peristiwa

horor. Cat : pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi. b. Kejadian traumatik secara mantap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut : 1) Rekoleksi yang menderitakan,

dengan gejala seperti mudah terkejut, mimpi buruk, gangguan tidur, respon yang kaku terhadap konsentrasi, dunia luar,

hilangnya makan.

gangguan

2.

Kriteria

Posttraumatic

Stress

rekuren

dan

mengganggu

Disorder Kriteria posttraumatic stress disorder menurut Kaplan dan Sadock (1997) sebagai berikut : a. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana dari kedua ini terdapat: 1) Orang menyaksikan, dihadapkan dengan mengalami, atau suatu yang kematian yang

tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran atau

persepsi. Cat : pada anak kecil dapat permainan menunjukkan berulang-ulang

tema atau aspek trauma. 2) Mimpi berulang Cat: mungkin menakutkan tentang pada yang

kejadian. anak-anak, mimpi

terdapat

kejadian-kejadian berupa atau ancaman kematian

menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.

3) Berkelakuan seakan-akan

atau

merasa kejadian kembali perasaan kembali

ditemukan

sebelum

trauma),

seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1) Usaha pikiran, percakapan untuk menghindari atau yang

traumatik terjadi (termasuk penghidupan

perasaan

pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode kilas balik

berhubungan dengan trauma 2) Usaha untuk menghindari

disasosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Cat pada anak kecil, dapat terjadi

aktivitas, tempat atau orangorang yang dapat rekoleksi

menyadarkan dengan trauma 3) Tidak mampu

penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma. 4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yanng menyimbolkan suatu atau aspek

untuk

menggingat aspek penting dari trauma 4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam

menyerupai

aktivitas yang bermakna 5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain 6) Rentang afek yang terbatas (mis, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta) 7) Perasaan bawa masa depan menjadi pendek (misalnya :

kejadian traumatik. 5) Reaksivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang atau suatu aspek

menyimbolkan menyerupai

kejadian traumatik. c. Penghindaran persisten stimulus yang

tidak karir,

berharap menikah,

memiliki anak-anak

yang

berhubungan

dengan trauma dan kaku karena respon sivitas umum (tidak

atau kehidupan yang normal)

d. Gejala-gejala kambuhan yang ada diindikasikan oleh hal-hal sebagai berikut: 1) Kesulitan mengantuk atau

2) Adanya perilaku merusak diri sendiri seperti berkeinginan untuk bunuh diri, menjadi suka minum-minum memakai atau obat-

sulit untuk tidur 2) 3) 4) 5) e. Sifat mudah tersinggung Kesulitan berkonsentrasi Sikap sangat waspada Respon yang berlebihan

alkoholik, obatan

secara

berlebihan,

melakukan kegiatan seksual yang dapat mengakibatkan kehamilan, penyakit kelamin dan HIV/AIDS. 3) Kesulitan mengatur kegiatan seksual gangguan seperti mengalami orgasme,

Lama gangguan ( gejala dalam kritria b, c, dan d) adalah lebih dari satu bulan.

f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

dispareunia, timbul keinginan untuk seksual melakukan yang kegiatan dapat

mengganggu konsentrasi 4) Kesedihan yang berlarut-larut

3.

Gejala Posttraumatic Stress b.

5) Tidak mau diajak bicara. Adanya perubahan dalam

Disorder Herman (dalam Williams & Poijula, 2002) menambahkan beberapa gejala posttraumatic stress disorder yang kompleks, seperti: a. Adanya perubahan dalam

kesadaran 1) Amnesia 2) Depersonalisasi seperti

menampakkan perilaku yang kasar, bersikap sinis dengan semua idealisme. 3) Halusinasi orang, hilangnya

peraturan, mempengaruhi emosi dan dorongan 1) Menjadi lebih impulsive

c. diri

Adanya perubahan dalam persepsi

f.

Mengalami gangguan fisik 1) Perubahan selera makan

1)

Adanya perasaan malu atau

2) Mudah lelah 3) Keinginan untuk buang air kecil terus menerus 4) Sakit kepala g. Mengalami gangguan kognitif 1) 2) Suka melamun Linglung

menyalahkan diri sendiri 2) Merasa tidak berguna 3) Merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan total 4) Merasa bahwa tidak seorangpun yang perduli 5) Merasa bersalah d. Mengalami somatization 1) Masalah sistim pencernaan

3) Disorientasi 4) Mengingkari kenyataan 5) Tidak mampu mengambil keputusan 6) Tidak mampu menganalisa 7) Tidak dapat merencanakan hal-hal yang sederhana h. Mengalami perubahan dalam

seperti diare, sembelit, sakit perut 2) Gejala cardiopulmonory seperti sesak napas, jantung berdebar-debar, sakit kepala 3) Mengalami hipokondriasis 4) Mengalami gangguan kecemasan 5) Mengalami gangguan obsesive kompulsive e. Mengalami perubahan hubungan

reaksi kejiwaan 1) Menjadi tidak sabaran 2) Mendadak menjadi penakut 3) Suka mengomel 4) Menjadikan suasana hidup menjadi kurang nyaman 5) Depresi

dengan sesama 1) Tidak mampu untuk percaya pada orang lain selain diri sendiri 2) Tidak menyalahkan diri sendiri 3) Menyalahkan orang lain 4) Agresif

4.

Faktor-Faktor Mempengaruhi Stress Disorder

yang Posttraumatic

William (2002) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya posttraumatic stress disorder menjadi tiga bagian, yaitu: a. Pre Event Factors Walaupun terdapat beberapa situasi yang dapat membuat trauma menjadi lebih besar, faktor-faktor kurang dibawah lebih ini dapat

5) Tidak adanya dukungan sosial untuk membantu keluar dari masalah yang buruk 6) Jenis lebih kelamin. mudah Wanita terkena stress

posttaumatic

disorder dibanding pria 7) Usia muda dibawah 20 tahun lebih mudah gangguan stress

mengalami posttraumatic disorder b. Event Factors

menimbulkan

posttraumatic

stress disorder, diantaranya: 1) Depresi awal atau

kecemasan yang bukan sesaat dapat

Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan korban selama peristiwa yang untuk timbulnya

mengakibatkan gangguan otak 2) Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu hal 3) Keluarga yang kurang

mengkonstribusi memperkuat

posttraumatic stress disorder diantaranya: 1) Kondisi geografis yang berdekatan dengan peristiwa 2) Durasi dari trauma 3) Merasakan adanya ancaman bahwa trauma akan berlanjut 4) Partisipasi dari korban pada saat terjadi peristiwa traumatis

harmonis, adanya riwayat perceraian di masa kecil, kekerasan dalam keluarga ataupun ekonomi 4) Riwayat keluarga yang meiakukan tindakan kriminal masalah

(menyaksikan kekejian pelaku) c. Post Event Factors Kategori terakhir dari faktor resiko posttraumatic stress disorder yang termasuk hal-hal ada setelah 1.

C. Anak

Pengertian Anak Menurut UU RI No. 23 tahun

2002 (dalam UU No 23, 2002) tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Gagne (dalam Gunarsa, 2003) mengatakan bahwa batasan usia

tetap

peristiwa traumatis ini adalah: 1) Ketiadaan dukungan sosial yang baik 2) Menjadi tidak dapat melakukan sesuatu karena terjadi peristiwa tersebut 3) Mengembangkan acute stress disorder 4) Ketidakmampuan dalam menemukan arti dari penderitaan 5) Menjadi lebih pasif dibanding aktif (membiarkan apa yang terjadi pada diri kita) 6) Menuruti kata hati untuk mengasihani diri saat

seseorang anak adalah individu yang mengalami pertumbuhan dan

perkembangan verbal dan non verbal sebagai hasil proses mempelajari

sesuatu yang diperoleh dari luar. Seorang tugas-tugas anak mengalami

perkembangan

(developmental task), yaitu tugas-tugas yang timbul pada atau kira-kira pada masa perkembangan tertentu yang bilamana berhasil akan menimbulkan kebahagiaan dan akan diharapkan berhasil pada tugas perkembangan berikutnya Havinghurst (dalam

melalaikan diri sendiri

Gunarsa, 2003)

Hurlock (1993) menambahkan bahwa tahapan dalam masa kanak kanak itu dimulai dari masa bayi yaitu akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua, awal masa kanak-kanak yaitu usia 2 tahun sampai 6 tahun. Dan akhir masa kanak-kanak yaitu usia 6 tahun sampai 12 tahun. Memasuki masa usia sekolah, disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapatkan pengetahuan dan

2.

Karakteristik Anak Menurut Turner dan Helms

(dalam Damayanti, 2000) karakteristik anak usia sekolah dapat dilihat dari empat aspek yaitu : a. Perkembangan Fisik Dibandingkan perkembangan perkembangn fisik dengan sebelumnya, anak usia

sekolah tergolong lambat. Anak laki-laki sedikit lebih besar pada masa awal ini. Tetapi pada masa akhir usia masa sekolah ini, anak perempuan terlihat memiliki

pengalaman. Munandar (1992). Pada masa ini anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa yang akan datang. Anak adalah individu yang mengalami pertumbuhan dan

badan yang lebih daripada anak laki-laki, Papalia dan Olds

(dalam Damayanti, 2000). Karena perubahan jasmani tidak begitu terlihat dan ukuran fsik tumbuh secara perlaan-pelahan,anak-anak dapat melakukan control dan

perkembangan sebagai hasil proses mempelajari sesuatu yang diperoleh dari luar sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, dengan rentang

menguasai kemampuan motorik yang sebelumnya tidak mampu meraka lakukan, sebagai hasilnya keseluruhan koordinasi,

usia 6 tahun sampai 12 tahun.

keseimbangan, dan kesempurnaan dalam aktivtas fisik menunjukkan peningkatan pada masa ini.

b.

Perkembangan Mental Menurut Piaget (dalam

sehingga berkomunikasi

mereka secara

dapat lebih

Damayanti, 2000) perkembangan ada kognitif pada anak pada usia tahap

efektif, Papalia dan Olds (dalam Damayanti, 2000). Bagaimanapun juga, anak usia sekolah masih memiliki keterbatasan kognitif. Mereka belum dapat berfikir

sekolah

berada

concrete operation pada masa ini anak dapat berfikir secara logis mengenai lingkungannya, mereka dapat melakukan operasi mental atau menggunakan simbol-simbol, dimana pada tahap sebelumnya mereka harus melakukannya c.

secara abstrak, menguji hipotesa dan memahami berbagai

kemungkinan yang dapat terjadi. Perkembangan Kepribadian Pada masa ini interaksi anak dan masyarakat semakin meluas dan lebih kompleks. Interaksi tersebut terjadi dalam hubngan teman Sosial dan

secara fisik. Pada masa ini anakanak dapat memberikan alasan secara konsisten, mereka sudah dapat melakukan klasifikasi, angka,

mengoperasikan

sebaya, kegiatan sekolah, olahraga maupun acara keluarga. Pada saat anak berada pada masa usia sekolah ini, anak ingin

memahami konsep ruang dan waktu, serta membedakan ruang dan fantasi. Pada masa ini pemikiran sudah lebih jauh dapat

membuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Keberhasilan akan membawa dampak positif bagi harga diri anak, anak merasa dirinya berharga dan memiliki kemampuan sebaliknya bila anak mengalami kegagalan, anak akan merasa inferior dan tidak berharga Erickson dkk (dalam Damayanti,

egosentris berkurang

anak maka

memahami berbagai aspek dari suatu situasi daripada memusatkan pada satu aspek, seperti pada tahap sebelumnya. Kemampuan mereka memahami sudut pandang orang lain semakin tinggi

2000). Dalam pencarian harga diri yang positif ini dukungan anak dan c.

yang

sedang

tumbuh

dan

berkembang. Belajar bergaul dengan temanteman seumurnya. d. Mengembangkan kemampuan kemampuandasar dalam

membutuhkan

bimbingan dari orang dewasa termasuk orang tua. d. Perkembangan Bahasa Dalam komunikasi kemampuan anak usia sekolah sudah semakin meningkat. Anak mampu e.

membaca, menulis, dan berhitung. Mengembangkan nurani,

moralitas dan skala nilai-nilai untuk pribadi. f. Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok atau institusi. Tugas perkembangan anak usia anak sekolah diatas pada masa ini anak mempelajari berbagai memperoleh kebebasan

memahami atau mengerti arti yang dikatakan orang lain kepadanya. Pembicaraan anak menjadi

terkendali dan terseleksi. Anak tidak lagi bicara sekedar bicara tanpa ada yang memperhatikan Hurlock (dalam Damayanti,2000)

keterampilan fisik, keterampilan dan 3. Tugas Perkembangan Anak Tugas-tugas perkembangnan anak kelompok umtuk 6 tahun sampai 12 tahun menurut Havinghurst (dalam Damayanti,2000), sebagai berikut: a. Belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar konsep yang baru dalam anak dapat sosialnya,

kehidupannya. Sehingga diterima dilingkungan

sorang anak harus mampu melakukan tugas-tugas perkembangan yang oleh masyarakat diharapkan ia laksanakan pada masa perkembangan tersebut, dan agar ia tidak mengalami ksulitan dalam melaksanakan pada tugas-tugas tahap selanjutnya

bisa melaksanakan permainan atau olah raga yang biasa. b. Membentuk sikap-sikap tertentu terhadap dirinya sebagi pribadi

perkembangan perkembangan

Havinghurst (dalam Damayanti, 2000)

Menurut

Lawson

(dalam

Kaplan & Saddock, 2000), psikiater D. Posttraumatic Stress Disorder Pada Anak yang Mengalami Kekerasan Oleh Orang Tua internasional yang merumuskan

definisi tentang kekerasan pada anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu

Tindak kekerasan terhadap anak telah terjadi dari zaman dahulu hingga sekarang, namun baru beberapa tahun belakangan ini mendapat

physical abuse, Emotional Abuse, Neglect atau Pengabaian, Seksual, dan Komersialisasi. mengalami Anak-anak kekerasan yang seperti

perhatian besar dari masyarakat. Fakta yang ada dalam masyarakat dan dari data data yang tersedia pada lembaga lembaga masyarakat isu yang

kekerasan fisik yakni di pukul atau dianiaya sehingga menyebabkan luka pada anggota tubuhnya, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan

menangani

kekerasan

menunjukkan kekerasan terhadap anak ternyata banyak dilakukan oleh orang orang terdekat, seperti orang tua. Menurut Poerwandari (2000) korban kekerasan kebanyakan adalah perempuan dan anak anak Pada kasus kekerasan terhadap anak, sang anak sebagai korban berada dalam posisi yang benar benar tidak berdaya. Dari segi fisik mereka jelas tidak dapat berbuat apa apa

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada

seseorang, kekerasan verbal yakni kekerasan pada kata-kata yang

menyebabkan anak merasa dihina atau dilecehkan, dan kekerasan seksual yakni pemaksaan kepada anak untuk melakukan hubungan seksual. Menurut Slade dkk.

menghadapi manusia dewasa yang seolah olah raksasa baginya.

(dalam Paul,1984), anak-anak yang pernah mengalami kekerasan pada anak digambarkan seseorang yang

menarik diri dan depresi, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan inisiatif dan perilaku mandiri, memiliki rasa takut akan kegagalan, dan terdapat defisiensi sehubungan akan dengan pengetahuan penyebab

disebabkan karena akibat dari tindakan kekerasan. Gejala yang akan timbul dari posttraumatic stress disorder menurut Kaplan & Saddock (1997) bisa berupa perasaan seolah olah mengalami kembali peristiwa

kejadian. Selanjutnya, kekerasan pada anak dapat menyebabkan citra diri yang buruk, ketidakmampuan

traumatik, mengalami mimpi buruk, kacaunya mengalami gangguan gangguan ingatan, tidur atau

mempercayai orang lain, perilaku yang agresif dan merusak, kemarahan,

insomnia, dam penghindaran persistem dari pikiran pikiran, orang, atau apapun yang dapat mengakibatkan ingatan akan peristiwa traumatik akan kembali.

perilaku yang merusak diri, melukai diri sendiri, pemikiran untuk bunuh diri, perilaku menarik diri, kecemasan dan ketakutan, masalah-masalah di sekolah, perasaan sedih dan depresi, mengingat peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu (flashbacks), mimpi buruk, dan anak yang mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan dalam keluarga dapat menderita postraumatic stress disorder. Hoeksema mengatakan bahwa (2002) posttraumatic

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Dalam

penelitian

ini,

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif berupa studi kasus. Menurut Moleong (2004) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau

stress disorder sebagai sindrom dari pengalaman seseorang yang bertahan terhadap traumanya dan hal tersebut

objek

dan

dapat

memperluas

seperti sebuah

seseorang, kantor, satu

keluarga, keluarga,

pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal

sebuah perusahaan, sesuatu kelas atau bangunan apartemen. 2. Naturalistik: studi kasus

melalui hasil penelitian yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa studi kasus menekankan pada rincian

mempersoalkan orang-orang dan situasi yang sebenarnya. Proses pengumpulan data dilakukan

analisis kontekstual tentang sejumlah kecil kejadian atau kondisi yang dan ada 3.

hubungan-hubungan padanya..

dalam situasi yang sebenarnya. Data uraian rinci: sumber studi kasus termasuk pengamat

Studi kasus ditujukan untuk meneliti satu kasus atau lebih secara mendetail, memahami mendalam, kompleksitasnya guna dalam

berperan serta atau tidak berperan serta, wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis seperti jurnal dan buku harian, sumber data kuantitatif termasuk tes dan apa saja yang dupat dikumpulkan. 4. Induktif: sebagian besar studi kasus bergantung pada alasan induktif. hipotesis Konsep, yang generalisasi, muncul dari

konteks alamiah. Studi kasus dapat dilakukan secara kuantitatif dan

gabungan dari keduanya. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa studi ialah suatu penelitian mendalam yang dilakukan untuk memberikan gambaran mendalam mengenai suatu kasus yang mempunyai karakteristik tertentu (Moleong, 2004) Moleong menyebutkan studi kasus (2004) memiliki 5.

pengujian data-data berasal dari sesuatu konteks tertentu. Heuristik: studi kasus membawa pembaca pada pemahaman

ciri-ciri sebagai berikut: 1. Partikularistik: studi ini berfokus pada situasi khusus, sesuatu

tentang fenomena yang diteliti. Studi kasus dapat membawa pada pemahaman pengalaman baru, memperluas dan

program atau sesuatu fenomena,

pembaca

mengkonflrmasikan

apa

yang

waktu dan keadaan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan

telah diketahui sebelumnya.

pendapat di atas, maka jumlah subjek dalam penelitian ini adalah B. Subjek Penelitian 1 (satu) orang anak usia 10 tahun yang mengalami kekerasan dalam Pengambilan subjek dalam penelitian kualitatif tidak mengarah pada jumlah besar, dapat terjadi perubahan karakteristik dalam jumlah dan sesuai Tahap-tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa C. Tahap-Tahap Penelitian rumah tangga.

subjek

perkembangan yang terjadi selama penelitian berlangsung dan diarahkan pada kecocokan konteks Sarantokos (dalam Poerwandari, 1998). 1. Karakteristik Subjek Subjek dalam penelitian ini

tahapan, yaitu : 1. Tahapan persiapan penelitian Sebelum penelitian ini

berlangsung, peneliti terlebih dahulu mempersiapkan digunakan pedoman dalam alat yang akan yaitu

seorang anak usia 10 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 2. Jumlah Subjek Menurut Sarantokos (dalam

penelitian

wawancara,

pedoman

observasi, dan tape recorder. Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori yang relevan dengan masalah

Poerwandari,1998) tidak memiliki aturan pasti jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek

penelitian yaitu post traumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara dan

tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, apa yang dianggap paling bermanfaat dalam

pedoman observasi yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli, dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan pedoman observsi. Tape recorder digunakan dalam

Pemberitahuan ini bertujuan untuk membina kedekatan dan

menumbuhkan rasa percaya subjek dan significant other kepada peneliti

3. Tahap analis Setelah wawancara dan

observasi selesai, selanjutnya data yang berupa rekaman hasil wawancara lalu disalin dalam bentuk verbatim kemudian peneliti melakukan analisis data, interpretasi data sesuai dengan teori-teori yang digunakan lalu peneliti membuat kesimpulan dari hasil

penelitian untuk merekam jalannya wawancara agar semua informasi

akurat dan tidak ada yang terlupakan. Kemudian peneliti mencari subjek yang memenuhi karakteristik untuk dijadikan subjek penelitian. Setelah mendapatkan others subjek yang dan

penelitian. Dari hasil kesimpulan yang telah diperoleh, peneliti mengajukan saran-saran kepada subjek dan untuk penelitian selanjutnya.

significant

sesuai,

kemudian peneliti membuat perjanjian mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara dan observasi berdasarkan dibuat. pedoman yang telah

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam 2. Tahapan pelaksanaan penelitian Sebelum wawancara dimulai, peneliti terlebih dahulu menjalankan identitas dan tujuan diadakannya digunakan data

penelitian

ini

metode

pengumpulan

yaitu wawancara dan observasi,

berikut adalah penjabaran lengkap mengenai dua metode yang digunakan dalam penelitian.

wawancara dan diberitahukan kepada subjek dan significant other wawancara ini bersifat bahwa rahasia.

1. a.

Wawancara Jenis-jenis Wawancara Menurut Moleong (2004)

penelitian dengan cara tanya jawab dengan bertatap muka antara

interviewer dengan responden dengan menggunakan panduan wawancara. Hasil wawancara merupakan hal

wawancara adalah percakapan dengan maksud dilakukan tertentu. oleh Percakapan dua pihak, itu yaitu yang yang yang

penting dalam suatu penelitian, teknik wawancara perlu dikuasai oleh

pewawancara mengajukan diwawancarai

(interviewer) pertanyaan (interviewee)

peneliti. Demikian juga peneliti perlu memahami kapan menggunakan

memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Interview atau wawancara

wawancara terbuka atau wawancara tertutup. Wawancara merupakan dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan dan kemudian dianalisis suatu Ada untuk

merupakan metode pengumpulan data yang menghendaki komunikasi

langsung antara penyelidik dengan subjek atau responden. Dalam

memperoleh (Prabowo,1998).

kesimpulan tiga jenis

interview biasanya terjadi tanya jawab sepihak yang dilakukan secara

wawancara yang dapat digunakan dalam suatu studi kasus, yailu tidak

sistematis dan berpijak pada tujuan penelitian (Riyanto, 1996) Menurut Riyanto,1992) metode dilakukan Haddar wawancara data kontak (dalam adalah yang atau

wawancara

berstruktur,

berstruktur dan wawancara mendalam. Sementara Poerwandari, 1998) Patton secara (dalam umum

pengumpulan melalui

membedakan wawancara menjadi tiga jenis yaitu ; 1) Wawancara Konversasional yang Informal Proses wawancara ini didasarkan penuh pada perkembangan

hubungan pribadi dalam bentuk tatap muka antara interviewer dengan

responden, sedangkan menurut Nazir (1999) wawancara adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan

pertanyaan secara spontan dalam interaksi demikian oleh alamiah. umumnya peneliti Tipe ini

kalimat

tanya,

sekaligus

menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. 3) Wawancara Dengan Pedoman Terstandar Terbuka Dalam bentuk ini pedoman

dilakukan dengan metode Dalam

menggunakan observasi partisipatif.

situasi seperti itu, orang-orang yang diajak bicara mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang

wawancara ditulis secara lengkap. Lengkap dengan item pertanyaan dan penjabaran dalam bentuk kalimat tanya. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai dengan sekuensi yang

diwawancarai. 2) Wawancara Dengan Pedoman Umum Dalam proses wawancara ini, peneliti pedoman dilengkapi wawancara dengan dengan

tercantum,

serta

menanyakan

dengan cara yang sama dengan responden. berlangsung Keluwesan dalam dapat respon

mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman yang ada hanya digunakan pada untuk peneliti

jawaban. Channel & Kahn (dalam Prabowo, 1998) menyarankan ada 5 tahap dalam wawancara, yaitu: a) Menciptakan atau menyeleksi jadwal wawancara dan

mengingatkan

mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar untuk memeriksa apakah aspekaspek relevan tersebut telah

seperangkat aturan main atau prosedur dalam menggunakan jadwal tersebut b) Memimpin wawancara tersebut c) Merekam respon-respon atau mencatat jalannya

dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan pertanyaan bagaimana tersebut akan

dijabarkan secara konkrit dalam

d)

Menciptakan kode angka (skala)

3) Wawancara Riwayat Secara Lisan Jenis ini adalah wawancara

e)

Mengkoding respon-respon wawancara Menurut Guba & Lincoln

terhadap orang-orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan

(dalam Moleong, 2004) pembagian wawancara adalah sebagai berikut : 1) Wawancara Oleh Tim atau Panel Wawancara oleh tim berarti

sebagainya. Maksud wawancara ini ialah riwayat untuk hidup, mengungkapkan pekerjaannya, pergaulanannya

wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang atau lebih terhadap seorang yang diwawancarai. Jika cara ini digunakan, awalnya hendaknya sudah pada

kesenangannya, dan lain-lain. 4) Wawancara

Tersetruktur

dan

Wawancara Tak Terstruktur Wawancara tersetruktur adalah

dimintakan

wawancara yang pewawancaranya mentapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sedangkan wawancara tidak tersetruktur merupakan

kesepakan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak berkeberatan diwawancarai oleh dua orang atau lebih. 2) Wawancara Tertutup dan Wawancara Terbuka (covert dan overt) Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak

wawancara yang berbeda dengan yang terstruktur. Cirinya kurang diinterupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk

menemukan informasi yang bukan baku atau tunggal.

mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka di wawancarai. Wawancara terbuka yaitu subjek mengetahui bahwa mereka sedang diwawancara.

b. Kelebihan

dan

Kelemahan

7) Merupakan

suatu

teknik

yang

Metode Wawancara. Menurut Riyanto (1996),

efektif untuk menggali gejalagejala psychis, terutama yang

wawancara memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari wawancara tersebut adalah sebagai berikut : 1) Dapat memperoleh informasi yang lebih kompleks. 2) Tidak terikat dengan umur dan pendidikan. 3) Dapat untuk menggali data pribadi seseorang. 4) Metode ini tidak akan menemui kesulitan meskipun respondennya buta huruf sekalipun, atau pada lapisan karena masyarakan alat manapun, adalah

berada di bawah sadar. 8) Dari pengalaman para peneliti, metode ini sangat cocok untuk dipergunakandidalam pengumpulan data-data sosial. Sedangkan kelemahan dari wawancara itu sendiri adalah sebagai berikut : 1) Kurang efisien, dilihat dari waktu, tenaga, dan biaya. 2) Menuntut interviewer menguasai bahasa interviewer. 3) Dapat menyulitkan dalam

pengolahan dan analisis data yang diperoleh. 4) Menekan responden untuk segera memberikan jawaban dari

utamanya

bahasa verbal. 5) Karena keluwesan dan

pertanyaan yang diajukan oleh interviewer. 5) Diperlukan adanya keahlian atau penguasaan interviewer. 6) Memberi kemungkinan interviewer dengan sengaja memutar balikkan jawaban. 7) Apabila interviewer dan bahasa dari

fleksibilitasnya ini, maka metode wawancara dapat dipakai sebagai verifikasi data, terhadap data yang diperoleh dengan cara observasi ataupun angket. 6) Kecuali untuk menggali informasi, sekaligus dipakai untuk

mengadakan observasi terhadap perilaku pribadi.

interviewee mempunyai perbedaan

yang

sangat

mencolok

sulit

pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Dalam

mengadakan

komunikasi

interpersonal sehingga data yang diperoleh kurang akurat. 8) Jalannya dipengaruhi kondisi interview oleh situasi yang sangat dan akan

interview atau wawancara ini, peneliti memakai wawancara tidak berstruktur.

2. a.

Observasi Jenis-jenis Observasi Istilah observasi diturunkan

sekitar

menghambat dan mempengaruhi jawaban dan data yang diperoleh. Pada peneliti penelitian ini,

dari bahasa latin yang berarti melihat dan memperhatikan. Istilah observasi diarah kan pada secara kegiatan actual,

menggunakan

wawancara

dengan pedoman umum dimana dalam proses wawancara ini, peneliti

memperlahatkan

mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.

dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang hanya

mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998) observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks

pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman yang ada hanya digunakan untuk mcngingatkan aspek-aspek peneliti yang harus mengenai dibahas,

laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah Banister Poerwandari,1998) bahwa observasi (dalam mengemukakan adalah secara kegiatan akurat,

sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam

mamperhatikan

mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.

kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan

Observasi selalu menjadi bagian dalam

penelitian berlangsung

psikologis dalam

dapat konteks

1) Observasi Partisipan Observer dalam hal ini menjadi anggota penuh dari kelompok yang diamatinya. Dengan

laboratarium maupun dalam konteks alamiah. Nazir (1998) mengatakan

demikian ia dapat memperoleh informasi apa saja termasuk yang yang

bahwa observasi cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut Sedangkan Nawawi (1991) menyebutkan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala-gejala dalam objek penelitian. Terakhir bahwa Suryabrata observasi mengatakan aktivitas secara 3)

dibutuhkannya,

dirahasiakannya sekalipun. 2) Observasi Non Partisipan Observasi dimana seorang

observer tidak ikut terlibat dalam kegiatan observasi. Observasi Terkontrol Observer dengan sengaja melakukan kontrol atau pemberian perlakuan yang sesuai dengan keperluan pemecahan masalah dalam penelitian. 4) Observasi Sistematik Observasi pengamatan sistematik, apabila

adalah lain

mengamati

individu

sengaja dan sistematis. Serta Crewell (dalam Nazir,1998) mengatakan dalam observasi, peneliti membuat catatan lapangan mengenai perilaku dan

aktivitas dari subjek. Menurut Banister (dalam

menggunakan sebagai instrument

pedoman

Poerwandari,1998) kegiatan observasi bertujuan untuk membuat deskripsi setting yang dipelajari, aktivitas yang berlangsung dan orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati. Observasi dibagi berdasarkan peran serta observer sebagai berikut:

pengamatan. Yang menjadi ciri utama jenis pengamatan ini adalah mempunyai kerangka atau struktur yang jelas, dimana didalamnya berisikan factor-faktor yang akan diobservasi, dan sudah

dikelompokkan kategori.

5) Observasi Non Sistematik: Observasi yang dilakukan oleh pengamatan dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan. 6) Observasi eksperimental:

dengan

teknik angket atau pun

wawancara, tetapi dengan metode ini mudah diperoleh 4) Dapat secara stimulant melakukan pencatatan kepada observee. Sedangkan kelemahan dari metode observasi adalah sebagai berikut : 1) Kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, sehingga membosankan karena tingkah laku/gejala yang diharapkan diamati tidak segera muncul. 2) Dapat menimbulkan bias, apabila observee bertingkah laku yang

Pengamatan ini dilakukan dengan cara observee dimasukkan

kedalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Kondisi dan situasi itu diciptakan oleh peneliti

sedemikian rupa sehingga gejala yang akan diamati akan timbul.

b. Kelebihan

dan

Kelemahan

dibuat-buat,

karena

observee

Metode Observasi Menurut observasi Riyanto (1996), dan

mengerti kalau sedanng diamati. 3) Kadang-kadang terjadi subjektifitas dari observer. Dalam dari metode peneliti pengamatan ini teknik

memiliki

kelebihan

kekurangan. Adapun kelebihan

menggunakan

observasi adalah sebagai berikut : 1) Tidak perlu biaya banyak, mudah dilakukan dan dapat digunakan untuk penelitian terhadap

pengamatan non partisipant, dimana peneliti tidak ikut terjun langsung ke dalam penelitian tersebut. . E. Alat Bantu Penelitian

berbagai macam gejala. 2) Tidak banyak mengganggu, subjek penelitian. 3) Gejala-gejala psychis yang penting dan tidak atau sukar diperoleh dalam peneliti

Menurut

Moleong

(2004) data-data

mengumpulkan membutuhkan

alat

bantu,

dalam penelitian ini digunakan bantu penelitian adalah: 1. Tape Recorder Alat bantu elektronik

alat

Pedoman

observasi

digunakan

untuk panduan dalam melakukan observasi, pedoman ini digunakan berupa untuk melihat perilaku apa saja yang muncul yang dalam yang teori-teori pada subjek kemudian catatan disusun yang

perekam menggunakan kaset, yang digunakan untuk merekam hasil wawancara, baik untuk subjek maupun untuk significant others. 2. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara merupakan pertanyaan-pertanyaan dikembangkan sesuai yang dengan

penelitian dimasukkan lapangan, berdasarkan

berkaitan dengan post traumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 4. Alat Tulis Menggunakan berupa alat bantu pensil tulis dan

tujuan penelitian berdasarkan teoriteori berkaitan dengan masalah yang diteliti, yang berguna agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan

pulpen,

penghapus. 5. Kamera Foto Penggunaan foto untuk melengkapi sumber data jelas besar sekali manfaatnya. diberi catatan hanva perlu khusus tentang

penelitian. Pedoman wawancara dikembangkan oleh peneliti untuk kepentingan bersangkutan, penelitian yang pedoman

wawancara yang sudah disusun terdiri dari identitas subjek dan pertanyaan wawancara sesuai

keadaan dalam foto yang biasanya, apabila diambil secara sengaja, sikap dan keadaan dalam foto menjadi dipoles sesuatu yang sudah tidak keadaan Peneliti harus

dengan teori-teori yang berkaitan dengan post traumaic stress

disorder anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pedoman Observasi

sehingga

menggambarkan sebenarnya.

menyadari

ini.

Seyogyanya

a) Membandingkan

data

hasil

pengambilan foto sudah diketahui oleh subjek, dan subjek tidak keberatan serta rela dirinya difoto (Moleong, 2004).

pengamatan dengan data hasil wawancara. b) Membandingkan dikatakan umum orang apa di apa yang depan yang

dengan

F. Keakuratan Penelitian

dikatakannya secara pribadi. c) Membandingkan apa yang

Salah memeriksa

satu

teknik data

untuk yaitu

dikatakan orang orang tentang situasi penelitian dengan apa yang waktu. d) Membandingkan dengan persfektif keadaan seseorang dikatakan sepanjang

keakuratan

triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, macam 2004), triangulasi yang membedakan sebagai 4

dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang

teknik

berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada orang pemerintahan. e) Membandingkan hasil

pemeriksaan

memanfaatkan

penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Yaitu : 1. Triangulasi sumber Adalah herarki membandingkan dan mengecek balik derajat

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan 2 Trianggulasi metode menurut Patton (dalam Moleong, 2004) terdapat dua strategi, yaitu : a) Pengecekan derajat penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data.

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode

kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan :

b) Pengecekan

derajat

Subjek adalah anak 1 dari 3 bersaudara. Subjek memiliki 2 orang adik laki-laki yang

kepercayaan beberapa sumber data sama. 3 Trianggulasi penyidik Ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat untuk keperluan lainnya dengan metode yang

semuanya

masih

kecil-kecil.

Subjek tinggal di daerah Depok. Ayah subjek adalah

seorang buruh bangunan dan sebelumnya pengangguran adalah sementara ibu

pengecekan

kembali derajat kepercayaan data. 4 Trianggulasi teori Adalah berdasarkan anggapan

subjek hanya seorang ibu rumah tangga. Subjek dengan ayahnya sang baik begitu dekat ayah dan karena suka

bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan dsatu atau lebih teori. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode, trianggulasi teori sumber, untuk

memperhatikan subjek, subjek kurang dekat dengan ibunya karena sang ibu suka marah tanpa alasan yang jelas

penyidik

mengecek keakuratan data.

kepadanya.

Subjek

sekarang

tinggal bersama dengan nenek dan pamannya. Ketika subjek BAB IV Hasil dan Analisis mengalami pengalaman buruk ini nenek subjek merasa sangat terpukul. Orangtua subjek sering 1. Biografi Subjek adalah seorang sekali bertengkar di depan anakanaknya. Hubungan subjek

anak-anak. Usia subjek sekarang 11 tahun. Pada waktu kejadian subjek berusia 11 tahun. Subjek masih kelas lima sekolah dasar.

dengan kedua orangtuanya sama seperti hubungan anak dengan orangtua namun, permasalahan muncul ketika orang tua subjek

bertengkar

hebat

dan

ayak

dan tidak bersahabat.. Katanya subjek main terus. Ibu subjek pergi meninggalkan subjek dan berkata bahwa ibu subjek mau cari ayah subjek dulu. Semalaman ibu subjek baru pulang dan menjeritjerit lagi. Subjek ketakutan karena

subjek pergi meninggalkan isteri dan anak-anaknya, ibu subjek menjadi histeris dan mulai

mengalami perubahan sikap dan perilaku sampai akhirnya subjek mengalami KDRT. Subjek dapat menjadi

adik subjek menangis dan subjek langsung keluar rumah nangis dengan kencang. Sejak kejadian tersebut, mulai subjek disiksa oleh ibunya. Subjek tidak mampu berbuat apa-apa karena subjek masih kecil. Subjek mengalami posttraumatic stress disorder. karena Beberapa halnya partisipasi

korban dari KDRT ini awalnya ketika ayah subjek pergi dan baru pulang dalam seminggu, ibu dan ayah subjek bertengkar. Ibu

subjek teriak-teriak dan menjerit sangat keras. Banyak tetangga datang kerumah subjek. Adik subjek menangis dan subjek juga ketakutan terus nangis. Setelah

disebabkan

ibu subjek terus menjerit dan ngomong kasar, terus ibu subjek pingsan. Setelah ibu subjek

langsung subjek terhadap suatu peristiwa yang menyebabkannya menjadi trauma, tidak adanya dukungan sosial yang baik yang diterima subjek dari orang-orang terdekat maupun dari para warga sekitarnya subjek untuk dari membantu masalah

bangun dari pingsan ibu subjek mulai jadi pendiam dan nggak banyak ngomong. Kerjanya bawa sapu. Kemana-mana bawa sapu. Waktu itu subjek dipanggil sama ibunya saat subjek main sama teman. Ketika subjek datang, Ibu subjek melototin subjek dengan menunjukkan sikap kurang suka

keluar

buruk, selain itu kepasifan din subjek dibanding aktifnya

dengan membiarkan apa yang terjadi pada dirinya.

Kekerasan 2. Pembahasan a. Gambaran kekerasan yang

lainya

yang dialami subjek adalah kekerasan berupa emosional umpatan atau

dalam rumah tangga dialami subjek Bentuk-bentuk

cacian celaan dengan katakata kasar. Subjek sering dimaki oleh ibunya dengan sebutan binatang dan hal tersebut dilakukan hampir setiap hari. Subjek kadang bingung tidak karena subjek

kekerasan menurut lawson (2000) ada lima, yaitu

kekerasan fisik, kekerasan emosional, pengabaian, neglect atau

kekerasan

sexual dan komersialisasi. Kekerasan fisik yang kerap dialami dilakukan seperti subjek oleh yang ibunya

merasa

melakukan

kesalahan tetapi tetap saja dimarahi atau dipukul oleh ibunya. Subjek saat tinggal dengan diabaikan ibunya dimana merasa subjek

dipukul dengan

sapu, ditendang, dijedotin ke tembok, dicubit, sampai disetrika. Bahkan akibat

tidak mendapatkan haknya sebagai dalam bersekolah anak belajar termasuk atau sehingga

kekerasan kekerasan yang dialaminya subjek pernah dibawa kepuskesmas

akibat kepalanya sakit dan subjek merasa pusing.

menyebabkan subjek tidak naik kelas. Sekarang subjek memilih nenek karena tinggal dan dengan

Ditubuh subjek juga ada bekas luka akibat

pamannya sangat

kekerasan yang dilakukan oleh ibunya.

mereka

perhatian dan sayang pada subjek. Subjek tidak

pernah kekerasan

mngalami sexual dan atau oleh

perasaan,

orang,

tempat

atau apapun yang dapat mengakibatkan ingatan

komersialisasi diperjual ibunya, belikan

akan peristiwa traumatik yang dialami subjek. Berdasarkan hasil

b. Gambaran

Posttraumatic

wawancara

diketahui

stress disorder pada anak yang menjadi korban

subjek mengalami gejalagejala posttraumatic stress disorder berdasarkan DSM IV sebagai berikut subjek

kekerasan dalam rumah tangga Seperti yang

menerima perlakuan yang tidak manusiawi dari

diungkapkan oleh Kaplan & Saddock (1997) gejalagejala posttraumatic stress disorder perasaan mengalami peristiwa dapat berupa

ibunya berupa perlakuan tindak kekerasan. Gejala posttraumatic disorder yang dari stress kedua

seolah-olah kembali traumatik,

adalah. subjek mengalami mimpi buruk yang tanpa subjek sendiri tahu arti dari mimpinya tersebut. Subjek tidak penah menceritakan mimpi buruknya itu pada anggota keluarganya. Bila suasana di rumah subjek sepi, subjek merasakan seolah-olah

mengalami mimpi buruk, mengalami gangguan tidur atau insomnia, mengalami gangguan menjadi mendadak penakut, perubahan mudah dalam suka kecemasan, melamun, menjadi lelah, selera

makan, dan penghindaran dari pikiran pikiran,

kembali

suasana selama ia disana

muncul kembali, Gejalagejala lainnya adalah

masalahnya,

selain

itu

subjek juga merasa sebal, takut dan merasa kurang beruntung. berikutnya posttraumatic disorder adalah. mampu pengalamanpengalamannya selama ia disiksa oleh ibunya dan, subjek ingin dapat Subjek yang subjek dari Indikasi gejala stress ketiga masih

subjek mengalami tekanan psikologi subjek seperti bila

berada

sendirian

dikamar dan pintu kamar tertutup, subjek merasa

takut dan langsung teringat pada waktu subjek disiksa oleh subjek ibunya, selain itu

mengingat

mengalami

ketakutan bila ada yang mengajaknya untuk pulang. Hal tersebut sangat

melupakannya.

membuat subjek ketakutan pada teringat akan sisksaan ibunya. Gejala posttraumatic disorder ketiga. stress subjek .

menjadi jarang berkumpul dengan teman-temannya

dan lebih banyak berdiam diri di rumah. Gejala berikutnya dari

gejala posttraumatic stress disorder berdasarkan DSM IV adalah. Subjek selalu gelisah bila matanya akan dipejam karena subjek

berusaha menjauhi pikiran atau percakapan yang dengan menjadi

berhubungan trauma dengan

jarang kumpul dengan para teman subjek dan tetangganya, selalu

selalu teringat selama ia dirumah tanpa ada yang menemani dan selalu

juga

menghindar jika ada orang yang membicarakan

mendapat perlakuan buruk dari ibunya. sehingga

subjek meminta neneknya untuk menemaninya tidur. Subjekpun menjadi mudah tersinggung subjek orang menggunjingnya. apalagi bila ada yang dan

menjadi impulsive. Subjek menjadi bersikap

melakukan tindakan tanpa dipikir terlebih dahulu.

mendengar

Perubahan lainnya adalah melakukan tindakan yang dapat sendiri, merugikan diri

bersikap sangat waspada apalagi dengan orang yang baru ia kenal. Subjek respon terhadap yang seperti bila akan menimpa menjadi pergi

mengalami

kesedihan yang berlarutlarut, serta tidak mau

memberikan berlebihan masalah dirinya takut

diajak bicara.Untuk gejala posttraumatic stress

disorder berikutnya yaitu Subjek tidak mengalami dan

halusinasi, depersonalisasi. Gejala posttraumatic

kemana-mana dan selalu minta untuk ditemani bila akan rumah bepergian oleh ke luar

stress

anggota selain itu

disorder yang berikutnya adalah adanya perubahan persepsi diri seperti merasa malu, berguna, merasa tidak merasa

keluarganya,

subjek juga merasa takut bila diajak pergi karena subjek dengan masih kejadian teringat yang

mengalami kegagalan total, merasa tidak seorangpun yang perduli, rasa bersalah

menimpanya. Gejala posttraumatic disorder adalah yang Subjek stress kelima berubah

pada diri subjek. Gejala posttraumatic stress

disorder berikutnya adalah. Subjek sering terkadang mengalami subjek sakit

sendiri, dan menjadi selalu menyalahkan orang lain. Gejala posttraumatic disorder yang stress berikutnya

kepala dan sakit dibagian dadanya dan karena pukulan. benturan Subjek

subjek mengalami gangguan fisik seperti selera mengalai makan,

mengaku kalau dirinya tidak mengalami masalah sistem pencernaan tidak hipokondriasis. dan mengaku mengalami Subjek

perubahan mudah sakit keinginan

lelah, kepala.

mengalami Untuk sering

lebih

selalu merasa gelisah bila akan tidur. Gejala posttraumatic stress

buang air kecil tidak dialami subjek. Subjek mengalami perubahan makan. dalam Kadang selera dalam

disorder yang kesembilan yaitu yang Semenjak kejadian menimpanya subjek

sehari subjek tidak memiliki nafsu makan, tetapi bisa saja dalam sehari itu subjek dapat memiliki nafsu makan yang besar. Selain itu

menjadi tidak mempercayai orang lain yang belum ia kenal sebelumnya. Alasan subjek karena ia masih

subjek juga mudah merasa lelah, dan sampai sekarang mengalai sakit kepala. Gejala kesebelas posttraumatic disorder adalah dari yang gejala stress subjek

merasa takut kalau subjek akan dikembalikan kepada ibunya karena ia pernah mengalaminya. Subjek juga menjadi orang yang tidak mau menyalahkan dirinya

menurut neneknya terlihat linglung, menjadi suka

melamun sehabis ramah,

di

ruang

tamu

berkonsentrasi,

mengalami

membersihkan dan mengingkari bila sedang

kesulitan tidur, perubahan selera makan, dan berbagai aksi Adanya traumatis lainnya.

kenyataan

mengobrol tentang masalah yang menimpanya. Subjek juga menjadi tidak mampu mengambil menjadi tidak keputusan, mampu

penghindaran

terhadap peristiwa traumatis tersebut dan memiliki yang

kewaspadaan

berlebihan yang merupakan akibat dari peristiwa trauma psikologis yang berada di luar batas kemampuan daya tahan manusia.

merencanakan hal-hal yang sederhana. menganalisa Subjek dapat ia

penyebab

mengalami kekerasan dalam rumah keadaan keluarganya. Gejala terakhir dari gejala posttraumatic stress disorder adalah subjek tangga adalah ekonomi

c. Faktor-faktor

penyebab

terbentuknya posttraumatic stress disorder William (2002)

membagi faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya

mengalami perubahan dalam reaksi menjadi kejiwaan tidak seperti sabaran,

posttaumatic stress disorder menjadi tiga bagian, yaitu: pre event factors, event

mendadak menjadi penakut, suka mengomel, menjadikan suasana hidup kurang

factors, post event factors. Pada pre event factors faktorfaktor yang dapat

nyaman, depresi. Subjek berbagai seperti reaksi mengalami traumatis susah

menimbulkan

posttraumatic

stress disorder adalah depresi awal atau kecemasan yang

bukan

sesaat

dapat gangguan

tempat

tinggalnya.

Subjek

mengakibatkan

tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasi keadaan

otak, ketidakmampuan dalam mengatasi suatu hal dan tidak adanya dukungan sosial untuk meembantu keluar dari situasi yang buruk, wanita lebih

yang demikian karena subjek adalah seorang anak kecil yang memiliki kemampuan terbatas. Menurut Subjek,

mudah terkena posttaumatic stress disorder dibanding pria, keluarga yang kurang

banyak pihak yang terlibat namun terlalu takut untuk mengambil resiko karena ibu subjek mereka sering mengancam subjek

harmonis, usia muda dibawah 20 tahun lebih mudah gangguan

sehingga

mengalami

kesulitan untuk bisa keluar dari masalah sebelum peristiwa

posttaumatic stress disorder. usia subjek masih 11 tahun pada waktu mengalami subjek

mengalami traumatis.

kejadian,

keluarga

Pada event factors memiliki yang beberapa faktor dengan

memang tergolong keluarga yang keadaan ekonominya pas-pasan, terkadang ayah sehingga korban

berhubungan

subjek selama peristiwa yang mengkonstruksikan memperkuat untuk timbulnya

melakukan pemukulan pada ibu subjek, jenis kelamin subjek wanita, Subjek sangat takut melihat ibunya marah, sehingga subjek mengalami depresi awal subjek sempat berkeinginan untuk pergi

posttraumatic stress disorder, diantaranya kondisi geografis yang berdekatan dengan

peristiwa, durasi dari trauma, partisipasi dari korban pada saat terjadi peistiwa Subjek

meninggalkan ibunya bahkan

traumatik.

mengalami kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan tempat

subjek menjadi tidak dapat melakukan terjadi sesuatu karena traumatis rumah Subjek mampu arti dari traumatis dalam tersebut, rumah subjek

tersebut terjadi di

peristiwa dalam tersebut. tidak

tinggal subjek, lama durasi peristiwa traumatis kekerasan dalam rumah tangga yang subjek alami adalah selama 6 bulan. Subjek merasa adanya ancaman bahwa kekerasan

kekerasan tangga merasa menemukan penderitaan kekerasan tangga

dalam rumah tangga tersebut akan berlanjut terutama

menjadi lebih pasif dibanding aktif traumatis setelah peristiwa dalam

apabila ibunya telah keluar dari rumah sakit tapi, nenek dan ayahnya meyakinkan

kekerasan

rumah tangga tersebut, subjek menjadi sendiri mengasihani setelah diri

bahwa ia akan aman dan terlindungi. Sedangkan yang

peristiwa dalam

traumatis

kekerasan

menjadi faktor ketiga adalah post event factors, katagori terakhir dari faktor-faktor

rumah tangga tersebut. Subjek sekarang merasa sangat

bahagia karena bisa tinggal dengan nenek dan pamannya yang subjek. Pengalaman traumatis dapat subjek membuat diatas subjek sangat sayang pada

posttraumatic stress disorder seperti ketiadaan dukungan sosial yang baik, menjadi lebih pasif dibanding aktif, menjadi melakukan terjadi tidak sesuatu dapat karena tersebut.

peristiwa

mengalami stress

posttraumatic seperti subjek

Setelah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibunya,

disorder

ketidakmampuan

dalam mengatasi masalah yang menimpanya, usia

disorder bagian factors

menjadi yaitu pre

tiga evevt awal,

subjek masih 11 tahun pada waktu mengalami kejadian, jenis kelamin subjek yang wanita, keadaan ekonomi

(depresi

ketidakmampuan mengatasi suatu hal, jenis kelamin, usia muda, tidak adanya dukungan sosial, keluarga yang masalah kurang harmonis, event

yang pas-pasan dan subjek tidak mendapat dukungan sosial baik dari keluarga maupun dari lingkungan

ekonomi),

factors (kondisi geografis, durasi dari trauma, korban, partisipasi merasakan

sekitar subjek. Faktor-faktor lainnya mendukung posttraumatic yang dapat

terbentuknya stress

adanya ancaman), post event factors ( ketiadaan

disorder pada subjek adalah durasi dari trauma. Kejadian buruk itu setahun berlalu. Beberapa hal yang dikemukakan diatas, yang dapat membuat subjek

dukungan sosial yang baik, menjadi dibanding tidak lebih aktif, pasif menjadi

dapat

melakukan

sesuatu, dan sebagainya).

mengalami stress dengan penyebab stress

posttraumatic sesuai Kelemahan Penelitian Dalam penetapan diagnosis bahwa subjek stress mengalami disorder, posttraumatic peneliti hanya

disorder

Faktor-faktor posttraumatic disorder yang

dikemukakan oleh William (2002) yang membagi terbentuknya stress

berdasarkan atas kriteria DSM IV Kaplan & Saddock (1997) hanya berdasarkan hasil Observasi dan Wawancara tanpa menggunakan

faktor-faktor posttraumatic

hasil tes psikologis yang diperlukan dalam penelitian

Tidak

mendapatkan

haknya

sebagai anak termasuk dalam belajar atau bersekolah

sehingga menyebabkan subjek BAB V Kesimpulan dan Saran 2. Gambaran terbentuknya A. Kesimpulan dan proses posttraumatic tidak naik kelas.

stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan

dalam rumah tangga Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Gambaran kekerasan pada Gejala gejala post

traumatic stress disorder Subjek mengalami mimpi buruk yang tanpa subjek sendiri tahu apa artinya, sapu, ke subjek berusaha menjauhi pikiran atau percakapan

anak yang dialami subjek. a. Kekerasan fisik, Dipukul ditendang, tembok, disetrika. b. Kekerasan emosional, Umpatan atau cacian celaan dengan dikambing kata-kata kasar, hitamkan dengan dijedotin dicubit,

sampai

yang berhubungan dengan trauma dengan menjadi

jarang kumpul dengan para teman subjek dan tetangganya, selalu

juga

menghindar jika ada orang yang masalahnya, membicarakan selain itu

disalahkan tanpa sebab oleh keluarga c. Kekerasan berupa pengabaian atau neglect

subjek juga merasa sebal, takut dan merasa kurang beruntung. Subjek masih

mampu

mengingat

yang menimpanya. subjek mengalami perubahan dalam reaksi menjadi kejiwaan tidak seperti sabaran,

pengalaman-pengalamannya selama ia disiksa oleh

ibunya dan, subjek ingin dapat melupakannya. Subjek menjadi jarang berkumpul dengan teman-temannya dan lebih banyak berdiam diri di rumah. Subjek pun menjadi mudah tersinggung apalagi bila subjek mendengar ada orang menggunjingnya. bersikap sangat yang dan waspada 3.

mendadak menjadi penakut, suka mengomel, menjadikan suasana hidup kurang

nyaman, dan depresi.

Faktor faktor penyebab posttraumatic stress disorder a) Pre event factors Usia tahun subjek pada masih 11

waktu kejadian,

apalagi dengan orang yang baru ia kenal. Subjek respon

mengalami

keluarga subjek memang tergolong keluarga yang keadaan ekonominya paspasan, subjek jenis wanita, kelamin Subjek

memberikan

berlebihan terhadap masalah yang menimpa dirinya

seperti menjadi takut bila akan dan pergi selalu kemana-mana minta bila untuk akan

sangat takut melihat ibunya marah, sehingga subjek

ditemani

mengalami depresi awal, subjek sempat berkeinginan untuk pergi meninggalkan ibunya bahkan tempat Menurut

bepergian ke luar rumah oleh anggota keluarganya, selain itu subjek juga

merasa takut bila diajak pergi karena subjek masih teringat dengan kejadian

tinggalnya.

Subjek, banyak pihak yang terlibat namun terlalu takut

untuk

mengambil

resiko

oleh menjadi

ibunya, lebih aktif

Subjek pasif setelah traumatis

karena ibu subjek sering mengancam mereka. b) Event factors Kekerasan dalam rumah

dibanding peristiwa kekerasan tangga

dalam

rumah subjek

tangga tersebut terjadi di tempat Subjek kekerasan tinggal subjek,

tersebut,

menjadi mengasihani diri sendiri setelah peristiwa

mengalami dalam rumah

traumatis kekerasan dalam rumah sekarang tangga. merasa Subjek sangat

tangga, kekerasan tersebut terjadi di subjek, peristiwa kekerasan tempat tinggal lama durasi traumatis dalam rumah

bahagia karena bisa tinggal dengan pamannya nenek yang dan sangat

tangga yang subjek alami adalah selama 6 bulan. Subjek merasa adanya

sayang pada subjek.

B. Saran

ancaman bahwa kekerasan dalam tersebut terutama rumah akan apabila tangga berlanjut ibunya lebih kegiatan membantu kejadian subjek. untuk yang 1. Saran untuk subjek Subjek banyak diharapkan memiliki dapat

telah keluar dari rumah sakit tapi, nenek dan

sehingga

melupakan menimpa pula dalam

ayahnya

meyakinkan

bahwa ia akan aman dan terlindungi. c) Post event factors Setelah mengalami

Diharapkan keluarganya

hal ini nenek subjek dan pamannya mendukung agar subjek selalu agar

kekerasan yang dilakukan

dapat

melupakan

trauma

anak-anak dapat dilakukan tidak hanya dari segi stress

yang diderita subjek. 2. Saran untuk pemerintah Berdasarkan hasil

posttraumatic

disorder saja tetapi dari segi lainnya stress, seperti peran copying dukungan

penelitian, diketahui bahwa kekerasan pada anak dapat menyebabkan posttraumatic stress disorder, oleh karena itu dibutuhkan dan peran LSM dengan kekerasan tangga kecil

sosial, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA Baron, R . A. & Bryne, R ( 2000) Social psychology united states of America: Allyn & Bacon Company Basuki, H. (2006) Penelitian kualitatif untuk ilmu - ilmu kemanusiaan dan budaya Jakarta: Universitas Gunadarma Bernard Poduska & Turman S. R. (2008). 4 Teori Kepribadian. Jakarta: Restu Agung Berns, R.M. (1997) Child, family, school, Community: Sozialization & Support 4ed. Boeree, C.G. (2008) General Psychology : Psikologi Kepribadian, Persepsi, Rognisi, Emosi dan Perialku Yogyakarta , Primashopie. Carson,C. B, Butcher, N.J dan Minera, S (1996) Abnormal pschichology modern life.

pemerintah berkaitan pencegahan dalam terhadap diantaranya

rumah anak

memberikan

penyuluhan dan sosialisasi tentang undang-undang

KDRT. Sehingga siapapun akan takut bila melakukan hal tersebut 3. Saran untuk peneliti berikutnya Peneliti menyarankan jika akan lagi ini, dilakukan mengenai hendaknya selanjutnya

penelitian gejala penelitian

mengenai kekerasan dalam rumah tangga terhadap

New York : Harper Collins Publisher.Inc Chaplin, J.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada Child abouse : The hidden bruishes (2004) www.aacp org.www.Pikiran rakyat Com. Damayanti,A. (2000). Hubungan sikap dan keterlibatan ibu pada pekerjaan rumah anak dengan sikap dan kebiasaan belajar anak. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas psikologi Universitas lindonesia Davidson, Gerald. C. (2002). Exploring Abnormal Psychology. United States of America Dinatteo, M. R & Martin, L. R. (2002) Health psychology Harjaningrum, Agnes Tri. (2007). Peranan Orang Tua dan Praktisi Dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Trend Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group Harvey, Jhon H & Pauwels, Brian G. (2002). Posttraumatic Stress Theory Research and Application. United States of America

Hoeksema,

Susan Nolen. (2001). Abnormal Psikology 9th ed. Universary of Michigan E.B. (2003) Psikologi perkembangan . edisi kelima. Jakarta : Erlangga

Hurlock,

Gunarsa, singgih D. (1997). Dasar Teori Perkembangan Anak. Jakarta Gunung Mulia Gunarsa, singgih D. (2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta : Gunung Mulya Kalibonso, R. S (2006) Cerita remaja Indonesia .situs informasi kesehatan sexual dan sosial remaja. (http:// www. Media Indonesia. Com) Kaplan & Saddock (1997) Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuanperilaku psikiatri klinis. Alih bahasa Widjaya Kusuma Jakarta : Binaputra Aksara Koentjaaningrat. (1977). Metode-metode Penelitian Masyarakat Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (2002) Peta kekerasan, pengalaman perempuan Indonesia. Jakarta : Ameepro

KPAI (2007) Jakarta : Ameepro

Luhulima,A.S,SH,MA.(2000) Pemahaman bentuk bentuk tindakkekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya Convention watch. Pusat kajian wanita dan gender . Universitas Indonesia. Jakarta : PT Alumni Moleong, L.J.(2004) Metode penelitian kualitatif. Depok. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Moleong, L.J (1998) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Monahan, C. (1993) Children & trauma : A Parents guide to helping children heal. USA : Lexington Books. Monks, F.J & Knoers, A.M.P. (2001). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai bagiannya. Gajah Mada University Press Munandar, A. (1992). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah : petunjuk bagi guru dan orangtua. Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana Ind Nasir (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nawawi, H. Hudari (1991) Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta : GMP UM Press

New Berger, E.A. (1992) Child abouse Boston : Little, Brown and Company.

Papalia, Diane olds, sally wendkos, Feldman, Rush Dushkin. (1998) Human development 7th ed. By Mc GrawHill Companies. Paul, Henry, A. (2008). Konseling Psikoterapi Anak. Sleman Yogyakarta: Idea Publishing

Pelzer.D. (2007). A Child Called It. Jakarta: Gramedia Prabowo, A. & Puspitawati, I. (1998). Psikologi pendidikan. Jakarta : Universitas Gunadarma. Poerwandari,E. (1998) Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Universitas Indonesia. Poerwandari,E.(2000). Kekerasan terhadap perempuan: tinjauan psikologi feministik Jakarta : PT. Alumni Rice, P.L. (1999) Stress and health. USA Brooks/Cole publishing company Riyanto, Y. (1996). Metodelogi Penelitian, Surabaya: SIC

Sampurna, B. (2000). Pembuktian dan pelaksanaan kekerasan

terhadap perempuan. Tinjauan klinis dan forensik dalam Luhulima, A. S. (penyunting). Pemahaman bentuk bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternative pemecahannya. Jakarta: pusat kajian wanita dan gender UI Santrock, J.W. (2003). Adolescent : Perkembangan Remaja, Jakarta (terjemahan) : Penerbit Erlangga. Sarwono, S.W. (2004). Psikologi remaja Jakarta : Rajawali Press. Sjah, S. (1998). Perilaku coping stress pada istri yang mengalami kekerasan domestic skripsi (tidak diterbitkan) Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Subagyo. (1991). Metodologi penelitian untuk penelitian sosial. Jakarta:Rineka Cipta.

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta: Visi Media Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Visi Media Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bandung: Fokus Media Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Visi Media William, Mary Beth & Poijula, Soili. (2002). The Posttraumatic Stress Disorder Workbook. Oakland: New Harbinger Publications, Inc Yusuf, Syamsu, LN. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya Zimmin, H. (1986) A profile of Survival. Child abuse and neglect

Anda mungkin juga menyukai