Universitas Gunadarma Abstraksi Kekerasan pada anak anak adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu atau perdata. Bentuk bentuk kekerasan menurut lawson (dalam kaplan & Saddock,1997) dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan sexual, pengabaian atau neglect, dan komersialisasi. Dampak dari kekerasan yang dilakukan pada anak menyebabkan anak mengalami posttraumatic stress disorder. Posttraumatic stress disorder menurut Harvey (2002) adalah suatu reaksi traumatis yang melibatkan hilangnya konsentrasi, kesulitan tidur dan makan, mengingat kembali, dan mimpi buruk. Gejala yang akan timbul dari posttraumatic stress disorder menurut Herman dalam (William & Poijulla,2002) adalah seseorang akan menjadi lebih impulsive, mengalami halusinasi, mengalami gangguan kecemasan, mengalami kesedihan yang berlarut larut, merasa dirinya mengalami kegagalan total. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui gambaran kekerasan yang dialami anak, gambaran posttraumatic stress disoerder pada anak yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, faktor yang menyebabkan terjadi posttraumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan oleh orang tua. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi Subjek dalam penelitian ini adalah anak perempuan berumur 11 tahun yang mengalami posttraumatic stress disorder akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Hasil penelitian diperoleh bahwa subjek mengalami kekerasan fisik berupa dicubit, disetrika, dipukul. Kekerasan emosional berupa umpatan atau cacian celaan dengan kata-kata kasar. Subjek saat tinggal dengan ibunya merasa diabaikan dimana subjek tidak mendapatkan haknya sebagai anak. Gejala gejala posttraumatic stress disorder yang ada pada diri subjek seperti menjadi lebih impulsive, mengalami kesedihan yang berlarut larut, merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan total, menjadi menyalahkan diri sendiri, mendadak menjadi penakut, mengalami perubahan selera makan, subjek menjadi tidak mampu untuk percaya pada orang lain. Penyebab posttraumatic stress disorder pada subjek yang telah mengalami kekerasan oleh orangtua ada 3 yaitu pre event factors, event factors, post event factors. Pada pre event factors. Subjek sangat takut melihat ibunya marah. Sehingga subjek mengalami depresi awal subjek sempat berkeinginan untuk pergi meninggalkan ibunya bahkan tempat tinggalnya Subjek tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasi keadaan yang demikian karena subjek adalah seorang anak
kecil yang memiliki kemampuan terbatas. Pada event factors kekerasan dalam rumah tangga tersebut terjadi di tempat tinggal subjek, subjek telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibunya selama 6 bulan, sehingga subjek merasa bahwa kekerasan yang dialaminya akan berlanjut bila ibunya keluar dari rumah sakit jiwa. Pada post event factors Setelah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ibunya, Subjek menjadi lebih pasif dibanding aktif setelah peristiwa traumatis kekerasan dalam rumah tangga tersebut, subjek menjadi mengasihani diri sendiri setelah peristiwa traumatis kekerasan dalam rumah tangga tersebut Sekarang subjek merasa sangat bahagia karena bisa tinggal dengan nenek dan pamannya yang sangat sayang pada subjek. Kata kunci : posttraumatic stress disorder, kekerasan pada anak
BAB I PENDAHULUAN
Seringkali kekerasan terhadap anak dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Oleh karena itu, banyak kasus yang tidak terungkap karena anak
merasa bahwa hak orang tua untuk melakukan tindakan itu pada mereka.
Hidup
berkeluarga
adalah
Mereka juga takut akan hukuman yang lebih berat lagi jika mereka
dambaan bagi setiap orang. Dengan berkeluarga setiap orang pasti merasa bahwa hidupnya akan menjadi lebih sempurna, apalagi mempunyai
membantah atau menceritakan hal tersebut kepada orang lain (Benard, 2008). Kekerasan dalam rumah tangga menurut Abbot dkk (dalam adalah
keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun terkadang hal itu hanya impian belaka. Seperti saat ini masih banyak konflik internal yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Seharusnya agar anak dapat tumbuh menjadi individu yang mampu bertahan hidup, anak membutuhkan perlindungan dan bimbingan dari orang tuanya. Sampai saat ini kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi momok yang
Sampurna,2000)
penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya yang melanggar hak individu. Penyalahgunaan kekerasan bukanlah suatu tindakan kesengajaan atau konsekwensi dari tindakan anak, melainkan pelaku penganiayaan secara sengaja melakukan tindakan kekerasan dan tidak perduli terhadap apa yang diperbuatnya serta apapun penyebab perbuatan anak. Fenomena kekerasan terjadi pada anak seperti kasus ibu tiri menyiksa anak tirinya. Pada tanggal 4 Mei 2007 sekitar jam 14.00 WIB,
menakutkan terutama bila terjadi pada anak-anak. Kekerasan pada anak adalah berbagai tindakan yang dapat melukai seorang anak. Bisa juga karena
pemahaman
yang
salah
mengenai
seksual 10,42 %, kekerasan psikis 13,43 %, penelantaran ekonomi 17,54 %. Pada tahun 2007 telah terjadi penganiayaan pada anak berupa
kekerasan seorang anak yang tinggal bertetangga dengan rumah pelapor di Denpasar Bali. Tercatat pengaduan Hotline Service No. 30/KPAI/IV/2007, bahwa anak perempuan yang berusia 7 tahun yang duduk di kelas 3 SD mengalami dilakukan kekerasan oleh ibu fisik tirinya yang dan
kekerasan fisik 22,34 %, kekerasan seksual 4,55 %, kekerasan psikis 19,09 %, penelantaran ekonomi 17,53 %. Kekerasan anak dapat terjadi dalam beragam bentuk. Menurut
Lawson (dalam Kaplan & Saddock, 1997), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang
disaksikan oleh tetangga korban dan pelapor sendiri melihat korban dipaha kiri terdapat luka memar merah dan punggung telapak tangan kiri terdapat pembekakan sehingga dirasakan sakit oleh korban. (KPAI, 2007). Jumlah kasus kekerasan
kekerasan pada anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu physical abuse, Emotional Abuse, Neglect atau Pengabaian, Seksual, Komersialissasi. Bentuk pengabaian pemenuhan
terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data kasus penerimaan pengaduan perlindungan anak oleh KPAI (dalam KPAI, 2007) tercatat pada tahun 2005 telah terjadi penganiayaan pada anak berupa
kebutuhan dapat berupa penyedian kebutuhan makan, sandang dan papan serta pemeliharaan pelayanan medis, dan pemberian kasih sayang terhadap anak yang tidak terpenuhi sepenuhnya. Sedangkan kekerasan fisik dapat
kekerasan fisik 20,75 %, kekerasan seksual 12,76 %, kekerasan psikis 11,70 %, penelantaran ekonomi 14,37 %. Pada tahun 2006 telah terjadi penganiayaan pada anak berupa
berupa segala sesuatu yang melakukan luka fisik pada anak. Kekerasan verbal emosional dapat berupa ancaman, mempermalukan, anak, menghina, mengecilkan arti
ketidakmampuan
memberikan pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa
stress disorder sebagai sindrom dari pengalaman seseorang yang bertahan terhadap traumanya dan hal tersebut disebabkan karena akibat dari tindakan kekerasan. Gejala yang akan timbul dari posttraumatic stress disorder menurut Herman dalam (Williams &
mencabuli anak dengan melakukan penyentuhan pada alat kelamin anak, tindakan masturbasi, seks oral,
penetrasi baik dengan tangan ataupun penis atau dengan objek lain ke vagina atau anus anak. Tindakan kekerasan yang
Poijula,2002) seperti seseorang akan menjadi lebih impulsive, mengalami halusinasi, kecemasan, mengalami mengalami gangguan kesedihan
dilakukan terhadap anak ini membawa dampak yang membahayakan terhadap kesejahteraan fisik maupun psikis anak secara fisik anak menderita patah tulang, lebam, sampai cacat permanen. Sedangkan secara psikis anak bisa menderita ketakutan, kemarahan,
yang berlarut larut, merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan total, halusinasi, sampai berguna dan lain lain. Tindakan kekerasan dalam merasa tidak
rumah tangga dapat berakibat buruk bagi perkembangan psikologi anak. Anak yang mengalami peristiwa dapat stress atau
lingkungan sosial atau dapat lebih parah lagi menjadi posttraumatic strss disorder. Menurut Harvey (2002)
menyaksikan dalam
keluarga
postraumatic
posttraumatic stress disorder adalah suatu reaksi traumatis yang melibatkan hilangnya konsentrasi, kesulitan tidur dan makan, mengingat kembali, dan mimpi buruk. Hoeksema (2002)
Mengingat sangat penting dan begitu luas dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini maka peneliti akan meneliti gambaran tentang
mengatakan
bahwa
posttraumatic
dalam rumah tangga yang dialami anak, gambaran posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
B. Pertanyaan Penelitian
oleh orang tua, dan Mengapa terjadi posttraumatic stress disorder pada
Berdasarkan
latar
belakang
anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua.
masalah tersebut di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan dan diharapkan didapatkan jawaban dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah gambaran
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khasanah dan ilmu memperkaya psikologi
posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh orang tua ? 3. Mengapa terjadi posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi korban kekerasan
khususnya psikologi klinis dan, serta memberi kontribusi pada teori psikologi klinis yang dijadikan acuan di dalam penelitian lebih lanjut tentang posttraumatic stress disorder pada anak yang menjadi
C. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat kepada memberikan orang tua, informasi anak,
atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan atau secara
sewenang-wenang
penekanan
secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga Korban tindak kekerasan
masyarakat, komisi perlindungan anak tentang posttraumatic stress disorder pada anak yang
yang terjadi saat ini khususnya di Indonesia kebanyakan adalah anakanak dan perempuan dan anak-anak merupakan produk struktur sosial dan
mengalami kekerasan dalam rumah tangga, agar hal tersebut tidak terjadi pada anak-anak. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki (Poerwandari, 2000). Carson dkk (1996)
mendefinisikan kekerasan pada anak A. Kekerasan Pada Anak adalah penderitaan fisik atau kekerasan secara psikologis pada seorang anak 1. Pengertian Kekerasan Pada yang dilakukan oleh orangtuanya atau orang dewasa lainnya. Menurut mendefinisikan Luhulima kekerasan (2000) dalam Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak
Anak
(caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi Sugiartono (dalam Zimmin, 1986).
Sedangkan Papalia, Olds & Feldsman (2001) mengatakan bahwa kekerasan penganiayaan pada pada anak anak adalah yang
a.
maka kesimpulan kekerasan pada anak adalah kekerasan atau penganiayaan baik secara fisik yang maupun bertujuan secara untuk
psikologis
tindak kekerasan pada anak di mana masyarakat yang berekonomi sangat lemah
akan lebih memiliki tingkat emosional yang tidak dapat 2. Faktor-faktor yang dikendalikan sehingga mudah marah, cepat tersinggung dan rentan melakukan
menyebabkan kekerasan terhadap anak Kekerasan pada anak sangatlah menjadi fenomenal akhir-akhir ini karena dampak yang ditimbulkannya sangatlah besar. Menurut Fatah (dalam http://www1.bpkpenabur.or.id/charles/ orasi6a.htm) ada tiga faktor yang menjadi sebab kekerasan terhadap anak adalah :
penganiayaan. Dari sejumlah penelitian diperoleh bahwa kekerasan cenderung domestik terjadi pada
keluarga yang berada pada tingkat status sosial ekonomi yang rendah 2) Perubahan Hidup (Lifechange) Menurut Conger,
http://www1.bpkpenabur.or.i d/charles/orasi6a.htm) sejumlah perubahan dalam kehidupan memiliki korelasi yang erat dengan kekerasan pada anak, yaitu kematian pasangan, kehilangan perceraian, pekerjaan, dan
mental yang dialami oleh anak erat kaitannya dengan kekerasan Menurut pada Rogosch anak. (dalam
untuk mengalami kekerasan pada anak. Menurut Thomas dan Chess (dalam Santrock, 2003) anak bertemperamen sulit negatif, mengeluh cenderung dan atau bereaksi banyak rewel.
menghadapinya.
b.
2) Karakteristik Orang Tua Pada sisi orang tua faktor-faktor muncul yang dalam sering kasus
Sarwono, 2004) menyatakan terdapat faktor-faktor tertentu pada anak yang membuatnya lebih mungkin mengalami kekerasan. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran pada anak kebanyakan laki-laki dan
kekerasan dan penelantaran anak adalah usia orang tua yang masih terlalu muda, orang gangguan keadaan sosial tua mengalami emosional, ekonomi
berusia 4-15 tahun dan tidak menyandang cacat bawaan. Menurut Justice dan Justice (dalam Berns,1997) retardasi
orang tua rendah, pendidikan juga rendah dan biasanya pekerjaan orang tua hanya sebagai tenaga kasar
compatibility dengan situasi, kebutuhan dan karakter anak. Sikap memaksakan ritual pola dan
kebiasaan,
perilaku kekerasan orang tua terhadap Menurutnya, penelitian anaknya. sejumlah membuktikan 4)
fleksibelitas
memicu ketegangan antara orang tua dengan anak. Karakter Immature Banyak dari pelaku tindakan kekerasan ini adalah orang tua yang kekanakkanakan. Meskipun umurnya tua tetapi pola pikir, sikap, tindakan masih anak-anak, seperti impulsive, tantrum, remaja reaktif, dsb.
bahwa seseorang yang pemah mengalami kekerasan pada masa kecilnya cenderung
melakukan kekerasan pada anak mereka daripada orang tua yang tidak memiliki di
kekerasan
kecilnya
Newberger
(bahkan
masalah
seperti
ini
saat
memberikan
5)
Problem Emosional Problem berkepanjangan yang tidak selesai stress bisa hingga menyebabkan melampaui
konsisten dan tidak ada ruang bagi untuk perasaannya adanya anggota keluarganya
ambang batas daya tahan mental memicu orang tindak tua yang
kekerasan
karena
maupun pegabaian. Apalagi jika ambang batas ketahanan mental orang tua rendah, maka gampang sekali emosi orang tua berubah hingga mereka kehilangan kendali diri. 6) Penggunaan terlarang Keluarga alkoholis Obat
yang
dan anak-
cenderung lebih
anaknya. Tidak hanya itu, masalah kejiwaan orang tua pasti mempengaruhi dan pola
Segala aturan main dapat saja berubah setiap waktu, dan seringkali mudah
interaksi yang
terjalin
mengingkari janji-janji yang pernah dibuat. Demikian pula dengan pola asuh orang tua
keluarga. teori
Dalam jika
sistem,
seorang
anggota
keluarga
perubahan-perubahan diberbagai segi kehidupan keluarga. Gangguan yang apalagi seringkali suasana kehidupan terutama dialami orang jiwa tua
harga barang naik, harga sewa naik, harga diri turun, tidak punya pekerjaan dan penghasilan, di PHK, dll yang menyebabkan banyak sekali terdorong untuk tindakan
bersifat
agresif
kekejaman
ataupun kekerasan tersebut terjadi secara random dan tidak dapat diprediksikan Akibatnya bagi anak Tahun 3. Bentuk-bentuk Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dalam undang-undang No. 23 2004 tentang penghapusan tangga
kekerasan dijelaskan
dalam tentang
rumah
bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
menemukan lingkungan yang dapat memberikan rasa aman. 8) Problem Pribadi lainnya Jaman sekarang ini banyak masalah yang bisa dijadikan emosional seseorang, ekonomi, alasan dan seperti terlilit tindakan irasional krisis hutang,
dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, sakit, atau luka berat. b. Kekerasan psikis sebagaimana jatuh
hilangnya hilangnya
rasa
percaya
diri, untuk
kemampuan
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. d. Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud meliputi : 1). pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
ketergantungan
dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Menurut. Lawson (dalam Kaplan & Saddock, 1997), psikiater internasional yang merumuskan
orang yang menetap dalam lingkup tersebut; 2). pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup dengan rumah orang tangganya lain untuk rumah tangga
definisi tentang kekerasan pada anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu : a. Physical Abuse. physical abuse, terjadi ketika
tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. 3). Setiap orang dilarang
orang tua atau pengasuh dan pelindung anak memukul (ketika anak memerlukan perhatian).
Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. b. Emotional Abuse. emotional abuse terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak setelah
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 4). Penelantaran dimaksud ayat sebagaimana (1) juga
mengetahui
anaknya
meminta
orang
dilingkungan bisa
sekitarnya. baik
perhatian mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu
Pengabaian
terjadi
sengaja maupun tidak sengaja. d. Seksual Dalam kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual
rumah tangga tersebut (seperti isteri, anak, dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kekerasan seksual adalah berupa seksual, setiap perbuatan yang
berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu. Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi penghinaan, yang ataupun berisi kata-kata
pemaksaan pemaksaan
hubungan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. e. Komersialisasi Kekerasan tipe ini merupakan kekerasan dimana adanya unsur pengambilan keuntungan materi secara sepihak oleh pelaku
menyalahkan,
melabeli, atau juga mengkambing hitamkan. c. Neglect atau Pengabaian Pengabaian disini dalam artian anak tidak mendapatkan
anak,
prostitusi,
perdagangan.
tepat,
rendahnya
self
esteem,
(http://www.pikiran-rakyat.com).
4.
kesulitan untuk menjalin hubungan yang intim. Menurut Hoeksema, remaja 2001) Terr (dalam dan PTSD
dilakukan terhadap 3998 pelajar, dua puluh antaranya persen pernah di mengalami
anak-anak
dapat
mengalami
kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Beberapa permasalahan perilaku dan emosi
sangat stressful, beberapa peristiwa tersebut antara lain kekerasan fisik dan kekerasan seksual, menjadi korban karena menyaksikan kekerasan, atau hidup dalam kekacauan, seperti
berkaitan erat dengan remaja dan berkaitan erat dengan sejarah kekerasan yang pemah dialami (terutama usaha untuk bunuh diri, melarikan diri, menggunakan obat pencahar dan memuntahkan makanan untuk mengurangi berat badan atau Bulimia Hibbard (dalam Paul,1984). Sedangkan menurut Browne & Finkelhor dampak jangka panjang dari kekerasan (dalam Paul 1984),
pemboman atau angin topan. Anak anak yang pernah mengalami PTSD akan mengalami kejadian demi
mengingat kembali kejadian, atau pikiran yang terganggu lainnya. Traumatic stress dihasilkan dari pengalaman akibat kejadian yang
sangat ekstrim, berat, atau mengancam yang menuntut usaha untuk coping. Mereka mengancam perasaan nyaman dan aman seseorang. Traumatic stress
terhadap anak meliputi ketakutan, kecemasan, hostility, perilaku seksual yang tidak
itu sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe pertama meliputi kejadian yang singkat dan tunggal, seperti perkosaan tipe atau II
keterbatasan dalam mengekspresikan perasaan Menurut mereka Slade secara dkk. verbal. (dalam
penyerangan.
Sedangkan
meliputi kejadian yang terjadi dalam waktu yang lama dan berulang,
kepercayaan diri, kehilangan inisiatif dan perilaku mandiri, memiliki rasa takut akan kegagalan, dan terdapat defisiensi sehubungan akan dengan pengetahuan penyebab
Paul,1984), lebih dari separuh anak usia sekolah yang mengalami menunjukkan Tanpa
kejadian. Selanjutnya, kekerasan pada anak dapat menyebabkan citra diri yang buruk, ketidakmampuan
kekerasan kecemasan
domestik dan
PTSD.
penanganan yang efektif anak-anak ini memiliki resiko yang signifikan untuk delinkuensi, kecanduan narkoba,
perilaku yang merusak diri, melukai diri sendiri, pemikiran untuk bunuh diri, perilaku menarik diri, kecemasan dan ketakutan, masalah-masalah di sekolah, perasaan sedih dan depresi, mengingat peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu (flashbacks), mimpi buruk, dan
dikeluarkan dari sekolah, dan kesulitan untuk menjalin hubungan. Anak-anak yang lebih muda akan merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang salah saat ia menerima kekerasan. Proses menyalahkan diri sendiri akan menghadirkan rasa
bersalah, kekhawatiran dan rasa cemas pada mereka. Oleh karena menjadi satu hal yang penting untuk menyadari bahwa anak-anak memiliki
seseorang
mengalami
atau
dalam kehidupan yang normal pada B. Posttraumatic Stress Disorder diri seseorang atau orang lain. Hoeksema 1. Pengertian Posttraumatic Stress (2001)
mendefinisikan posttraumatic stress disorder sebagai suatu kondisi yang berkembang pada beberapa orang yang mengalami persitiwa traumatis yang sangat luar biasa yang terkadang dapat mengancam hidupnya. Definisi lainnya menurut
peristiwa yang penuh dengan stres. Pengalamannya tersebut menimbulkan akibat yang serius dalam beberapa bulan atau tahun setelah kejadian (Diniatteo, 2002). Menurut Harvey (2002)
Dinatteo (2002) yang mengartikan posttaumatic stress disorder sebagai suatu kondisi kejiwaan yang
posttraumatic stress disorder adalah suatu reaksi traumatis yang melibatkan hilangnya konsentrasi, kesulitan tidur dan makan, mengingat kembali, dan mimpi buruk. Hoeksema (2002)
menimbulkan suatu gejala khas seperti merasakan kembali peristiwa traumatis tersebut. Adanya penghindaran
terhadap peristiwa traumatis tersebut dan memiliki kewaspadaan akibat yang dari yang
berlebihan peristiwa
merupakan trauma
psikologis
berada di luar batas kemampuan daya tahan manusia. Williams dan Poijula (2002) mengatakan bahwa posttraumatic
mendefinisikan posttraumatic stress disorder sebagai gangguan kecemasan yang seringkali terjadi seteiah
stress disorder lebih kepada suatu reaksi dari pengalaman trauma seperti
kekerasan
seksual,
bencana
alam,
sesungguhnya
atau
cedera
kecelakaan mobil yang serius. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan stress bahwa disorder
yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2) Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa yang tidak berdaya atau
posttraumatic
merupakan suatu gangguan kecemasan yang terjadi setelah atau traumatis seseorang menyaksikan yang ditandai
mengalami peristiwa
horor. Cat : pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi. b. Kejadian traumatik secara mantap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut : 1) Rekoleksi yang menderitakan,
dengan gejala seperti mudah terkejut, mimpi buruk, gangguan tidur, respon yang kaku terhadap konsentrasi, dunia luar,
hilangnya makan.
gangguan
2.
Kriteria
Posttraumatic
Stress
rekuren
dan
mengganggu
Disorder Kriteria posttraumatic stress disorder menurut Kaplan dan Sadock (1997) sebagai berikut : a. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana dari kedua ini terdapat: 1) Orang menyaksikan, dihadapkan dengan mengalami, atau suatu yang kematian yang
tema atau aspek trauma. 2) Mimpi berulang Cat: mungkin menakutkan tentang pada yang
terdapat
3) Berkelakuan seakan-akan
atau
ditemukan
sebelum
trauma),
seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1) Usaha pikiran, percakapan untuk menghindari atau yang
perasaan
disasosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Cat pada anak kecil, dapat terjadi
penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma. 4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yanng menyimbolkan suatu atau aspek
untuk
menggingat aspek penting dari trauma 4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam
menyerupai
aktivitas yang bermakna 5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain 6) Rentang afek yang terbatas (mis, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta) 7) Perasaan bawa masa depan menjadi pendek (misalnya :
kejadian traumatik. 5) Reaksivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang atau suatu aspek
menyimbolkan menyerupai
tidak karir,
berharap menikah,
memiliki anak-anak
yang
berhubungan
d. Gejala-gejala kambuhan yang ada diindikasikan oleh hal-hal sebagai berikut: 1) Kesulitan mengantuk atau
2) Adanya perilaku merusak diri sendiri seperti berkeinginan untuk bunuh diri, menjadi suka minum-minum memakai atau obat-
sulit untuk tidur 2) 3) 4) 5) e. Sifat mudah tersinggung Kesulitan berkonsentrasi Sikap sangat waspada Respon yang berlebihan
alkoholik, obatan
secara
berlebihan,
melakukan kegiatan seksual yang dapat mengakibatkan kehamilan, penyakit kelamin dan HIV/AIDS. 3) Kesulitan mengatur kegiatan seksual gangguan seperti mengalami orgasme,
Lama gangguan ( gejala dalam kritria b, c, dan d) adalah lebih dari satu bulan.
f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
3.
Disorder Herman (dalam Williams & Poijula, 2002) menambahkan beberapa gejala posttraumatic stress disorder yang kompleks, seperti: a. Adanya perubahan dalam
menampakkan perilaku yang kasar, bersikap sinis dengan semua idealisme. 3) Halusinasi orang, hilangnya
c. diri
f.
1)
2) Mudah lelah 3) Keinginan untuk buang air kecil terus menerus 4) Sakit kepala g. Mengalami gangguan kognitif 1) 2) Suka melamun Linglung
menyalahkan diri sendiri 2) Merasa tidak berguna 3) Merasa bahwa dirinya mengalami kegagalan total 4) Merasa bahwa tidak seorangpun yang perduli 5) Merasa bersalah d. Mengalami somatization 1) Masalah sistim pencernaan
3) Disorientasi 4) Mengingkari kenyataan 5) Tidak mampu mengambil keputusan 6) Tidak mampu menganalisa 7) Tidak dapat merencanakan hal-hal yang sederhana h. Mengalami perubahan dalam
seperti diare, sembelit, sakit perut 2) Gejala cardiopulmonory seperti sesak napas, jantung berdebar-debar, sakit kepala 3) Mengalami hipokondriasis 4) Mengalami gangguan kecemasan 5) Mengalami gangguan obsesive kompulsive e. Mengalami perubahan hubungan
reaksi kejiwaan 1) Menjadi tidak sabaran 2) Mendadak menjadi penakut 3) Suka mengomel 4) Menjadikan suasana hidup menjadi kurang nyaman 5) Depresi
dengan sesama 1) Tidak mampu untuk percaya pada orang lain selain diri sendiri 2) Tidak menyalahkan diri sendiri 3) Menyalahkan orang lain 4) Agresif
4.
yang Posttraumatic
William (2002) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya posttraumatic stress disorder menjadi tiga bagian, yaitu: a. Pre Event Factors Walaupun terdapat beberapa situasi yang dapat membuat trauma menjadi lebih besar, faktor-faktor kurang dibawah lebih ini dapat
5) Tidak adanya dukungan sosial untuk membantu keluar dari masalah yang buruk 6) Jenis lebih kelamin. mudah Wanita terkena stress
posttaumatic
disorder dibanding pria 7) Usia muda dibawah 20 tahun lebih mudah gangguan stress
menimbulkan
posttraumatic
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan korban selama peristiwa yang untuk timbulnya
mengakibatkan gangguan otak 2) Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu hal 3) Keluarga yang kurang
mengkonstribusi memperkuat
posttraumatic stress disorder diantaranya: 1) Kondisi geografis yang berdekatan dengan peristiwa 2) Durasi dari trauma 3) Merasakan adanya ancaman bahwa trauma akan berlanjut 4) Partisipasi dari korban pada saat terjadi peristiwa traumatis
harmonis, adanya riwayat perceraian di masa kecil, kekerasan dalam keluarga ataupun ekonomi 4) Riwayat keluarga yang meiakukan tindakan kriminal masalah
(menyaksikan kekejian pelaku) c. Post Event Factors Kategori terakhir dari faktor resiko posttraumatic stress disorder yang termasuk hal-hal ada setelah 1.
C. Anak
2002 (dalam UU No 23, 2002) tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Gagne (dalam Gunarsa, 2003) mengatakan bahwa batasan usia
tetap
peristiwa traumatis ini adalah: 1) Ketiadaan dukungan sosial yang baik 2) Menjadi tidak dapat melakukan sesuatu karena terjadi peristiwa tersebut 3) Mengembangkan acute stress disorder 4) Ketidakmampuan dalam menemukan arti dari penderitaan 5) Menjadi lebih pasif dibanding aktif (membiarkan apa yang terjadi pada diri kita) 6) Menuruti kata hati untuk mengasihani diri saat
perkembangan
(developmental task), yaitu tugas-tugas yang timbul pada atau kira-kira pada masa perkembangan tertentu yang bilamana berhasil akan menimbulkan kebahagiaan dan akan diharapkan berhasil pada tugas perkembangan berikutnya Havinghurst (dalam
Gunarsa, 2003)
Hurlock (1993) menambahkan bahwa tahapan dalam masa kanak kanak itu dimulai dari masa bayi yaitu akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua, awal masa kanak-kanak yaitu usia 2 tahun sampai 6 tahun. Dan akhir masa kanak-kanak yaitu usia 6 tahun sampai 12 tahun. Memasuki masa usia sekolah, disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapatkan pengetahuan dan
2.
(dalam Damayanti, 2000) karakteristik anak usia sekolah dapat dilihat dari empat aspek yaitu : a. Perkembangan Fisik Dibandingkan perkembangan perkembangn fisik dengan sebelumnya, anak usia
sekolah tergolong lambat. Anak laki-laki sedikit lebih besar pada masa awal ini. Tetapi pada masa akhir usia masa sekolah ini, anak perempuan terlihat memiliki
pengalaman. Munandar (1992). Pada masa ini anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa yang akan datang. Anak adalah individu yang mengalami pertumbuhan dan
(dalam Damayanti, 2000). Karena perubahan jasmani tidak begitu terlihat dan ukuran fsik tumbuh secara perlaan-pelahan,anak-anak dapat melakukan control dan
perkembangan sebagai hasil proses mempelajari sesuatu yang diperoleh dari luar sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, dengan rentang
menguasai kemampuan motorik yang sebelumnya tidak mampu meraka lakukan, sebagai hasilnya keseluruhan koordinasi,
keseimbangan, dan kesempurnaan dalam aktivtas fisik menunjukkan peningkatan pada masa ini.
b.
sehingga berkomunikasi
mereka secara
dapat lebih
Damayanti, 2000) perkembangan ada kognitif pada anak pada usia tahap
efektif, Papalia dan Olds (dalam Damayanti, 2000). Bagaimanapun juga, anak usia sekolah masih memiliki keterbatasan kognitif. Mereka belum dapat berfikir
sekolah
berada
concrete operation pada masa ini anak dapat berfikir secara logis mengenai lingkungannya, mereka dapat melakukan operasi mental atau menggunakan simbol-simbol, dimana pada tahap sebelumnya mereka harus melakukannya c.
kemungkinan yang dapat terjadi. Perkembangan Kepribadian Pada masa ini interaksi anak dan masyarakat semakin meluas dan lebih kompleks. Interaksi tersebut terjadi dalam hubngan teman Sosial dan
secara fisik. Pada masa ini anakanak dapat memberikan alasan secara konsisten, mereka sudah dapat melakukan klasifikasi, angka,
mengoperasikan
sebaya, kegiatan sekolah, olahraga maupun acara keluarga. Pada saat anak berada pada masa usia sekolah ini, anak ingin
memahami konsep ruang dan waktu, serta membedakan ruang dan fantasi. Pada masa ini pemikiran sudah lebih jauh dapat
membuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Keberhasilan akan membawa dampak positif bagi harga diri anak, anak merasa dirinya berharga dan memiliki kemampuan sebaliknya bila anak mengalami kegagalan, anak akan merasa inferior dan tidak berharga Erickson dkk (dalam Damayanti,
egosentris berkurang
anak maka
memahami berbagai aspek dari suatu situasi daripada memusatkan pada satu aspek, seperti pada tahap sebelumnya. Kemampuan mereka memahami sudut pandang orang lain semakin tinggi
2000). Dalam pencarian harga diri yang positif ini dukungan anak dan c.
yang
sedang
tumbuh
dan
berkembang. Belajar bergaul dengan temanteman seumurnya. d. Mengembangkan kemampuan kemampuandasar dalam
membutuhkan
bimbingan dari orang dewasa termasuk orang tua. d. Perkembangan Bahasa Dalam komunikasi kemampuan anak usia sekolah sudah semakin meningkat. Anak mampu e.
moralitas dan skala nilai-nilai untuk pribadi. f. Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok atau institusi. Tugas perkembangan anak usia anak sekolah diatas pada masa ini anak mempelajari berbagai memperoleh kebebasan
memahami atau mengerti arti yang dikatakan orang lain kepadanya. Pembicaraan anak menjadi
terkendali dan terseleksi. Anak tidak lagi bicara sekedar bicara tanpa ada yang memperhatikan Hurlock (dalam Damayanti,2000)
keterampilan fisik, keterampilan dan 3. Tugas Perkembangan Anak Tugas-tugas perkembangnan anak kelompok umtuk 6 tahun sampai 12 tahun menurut Havinghurst (dalam Damayanti,2000), sebagai berikut: a. Belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar konsep yang baru dalam anak dapat sosialnya,
sorang anak harus mampu melakukan tugas-tugas perkembangan yang oleh masyarakat diharapkan ia laksanakan pada masa perkembangan tersebut, dan agar ia tidak mengalami ksulitan dalam melaksanakan pada tugas-tugas tahap selanjutnya
bisa melaksanakan permainan atau olah raga yang biasa. b. Membentuk sikap-sikap tertentu terhadap dirinya sebagi pribadi
perkembangan perkembangan
Menurut
Lawson
(dalam
Kaplan & Saddock, 2000), psikiater D. Posttraumatic Stress Disorder Pada Anak yang Mengalami Kekerasan Oleh Orang Tua internasional yang merumuskan
definisi tentang kekerasan pada anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu
Tindak kekerasan terhadap anak telah terjadi dari zaman dahulu hingga sekarang, namun baru beberapa tahun belakangan ini mendapat
physical abuse, Emotional Abuse, Neglect atau Pengabaian, Seksual, dan Komersialisasi. mengalami Anak-anak kekerasan yang seperti
perhatian besar dari masyarakat. Fakta yang ada dalam masyarakat dan dari data data yang tersedia pada lembaga lembaga masyarakat isu yang
kekerasan fisik yakni di pukul atau dianiaya sehingga menyebabkan luka pada anggota tubuhnya, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan
menangani
kekerasan
menunjukkan kekerasan terhadap anak ternyata banyak dilakukan oleh orang orang terdekat, seperti orang tua. Menurut Poerwandari (2000) korban kekerasan kebanyakan adalah perempuan dan anak anak Pada kasus kekerasan terhadap anak, sang anak sebagai korban berada dalam posisi yang benar benar tidak berdaya. Dari segi fisik mereka jelas tidak dapat berbuat apa apa
bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada
menyebabkan anak merasa dihina atau dilecehkan, dan kekerasan seksual yakni pemaksaan kepada anak untuk melakukan hubungan seksual. Menurut Slade dkk.
(dalam Paul,1984), anak-anak yang pernah mengalami kekerasan pada anak digambarkan seseorang yang
menarik diri dan depresi, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan inisiatif dan perilaku mandiri, memiliki rasa takut akan kegagalan, dan terdapat defisiensi sehubungan akan dengan pengetahuan penyebab
disebabkan karena akibat dari tindakan kekerasan. Gejala yang akan timbul dari posttraumatic stress disorder menurut Kaplan & Saddock (1997) bisa berupa perasaan seolah olah mengalami kembali peristiwa
kejadian. Selanjutnya, kekerasan pada anak dapat menyebabkan citra diri yang buruk, ketidakmampuan
traumatik, mengalami mimpi buruk, kacaunya mengalami gangguan gangguan ingatan, tidur atau
insomnia, dam penghindaran persistem dari pikiran pikiran, orang, atau apapun yang dapat mengakibatkan ingatan akan peristiwa traumatik akan kembali.
perilaku yang merusak diri, melukai diri sendiri, pemikiran untuk bunuh diri, perilaku menarik diri, kecemasan dan ketakutan, masalah-masalah di sekolah, perasaan sedih dan depresi, mengingat peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu (flashbacks), mimpi buruk, dan anak yang mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan dalam keluarga dapat menderita postraumatic stress disorder. Hoeksema mengatakan bahwa (2002) posttraumatic
A. Pendekatan Penelitian
Dalam
penelitian
ini,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif berupa studi kasus. Menurut Moleong (2004) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau
stress disorder sebagai sindrom dari pengalaman seseorang yang bertahan terhadap traumanya dan hal tersebut
objek
dan
dapat
memperluas
seperti sebuah
keluarga, keluarga,
sebuah perusahaan, sesuatu kelas atau bangunan apartemen. 2. Naturalistik: studi kasus
melalui hasil penelitian yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa studi kasus menekankan pada rincian
mempersoalkan orang-orang dan situasi yang sebenarnya. Proses pengumpulan data dilakukan
analisis kontekstual tentang sejumlah kecil kejadian atau kondisi yang dan ada 3.
hubungan-hubungan padanya..
dalam situasi yang sebenarnya. Data uraian rinci: sumber studi kasus termasuk pengamat
Studi kasus ditujukan untuk meneliti satu kasus atau lebih secara mendetail, memahami mendalam, kompleksitasnya guna dalam
berperan serta atau tidak berperan serta, wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis seperti jurnal dan buku harian, sumber data kuantitatif termasuk tes dan apa saja yang dupat dikumpulkan. 4. Induktif: sebagian besar studi kasus bergantung pada alasan induktif. hipotesis Konsep, yang generalisasi, muncul dari
gabungan dari keduanya. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa studi ialah suatu penelitian mendalam yang dilakukan untuk memberikan gambaran mendalam mengenai suatu kasus yang mempunyai karakteristik tertentu (Moleong, 2004) Moleong menyebutkan studi kasus (2004) memiliki 5.
pengujian data-data berasal dari sesuatu konteks tertentu. Heuristik: studi kasus membawa pembaca pada pemahaman
ciri-ciri sebagai berikut: 1. Partikularistik: studi ini berfokus pada situasi khusus, sesuatu
tentang fenomena yang diteliti. Studi kasus dapat membawa pada pemahaman pengalaman baru, memperluas dan
pembaca
mengkonflrmasikan
apa
yang
pendapat di atas, maka jumlah subjek dalam penelitian ini adalah B. Subjek Penelitian 1 (satu) orang anak usia 10 tahun yang mengalami kekerasan dalam Pengambilan subjek dalam penelitian kualitatif tidak mengarah pada jumlah besar, dapat terjadi perubahan karakteristik dalam jumlah dan sesuai Tahap-tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa C. Tahap-Tahap Penelitian rumah tangga.
subjek
perkembangan yang terjadi selama penelitian berlangsung dan diarahkan pada kecocokan konteks Sarantokos (dalam Poerwandari, 1998). 1. Karakteristik Subjek Subjek dalam penelitian ini
berlangsung, peneliti terlebih dahulu mempersiapkan digunakan pedoman dalam alat yang akan yaitu
seorang anak usia 10 tahun yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 2. Jumlah Subjek Menurut Sarantokos (dalam
penelitian
wawancara,
pedoman
observasi, dan tape recorder. Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori yang relevan dengan masalah
Poerwandari,1998) tidak memiliki aturan pasti jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek
penelitian yaitu post traumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara dan
tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, apa yang dianggap paling bermanfaat dalam
pedoman observasi yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli, dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan pedoman observsi. Tape recorder digunakan dalam
observasi selesai, selanjutnya data yang berupa rekaman hasil wawancara lalu disalin dalam bentuk verbatim kemudian peneliti melakukan analisis data, interpretasi data sesuai dengan teori-teori yang digunakan lalu peneliti membuat kesimpulan dari hasil
akurat dan tidak ada yang terlupakan. Kemudian peneliti mencari subjek yang memenuhi karakteristik untuk dijadikan subjek penelitian. Setelah mendapatkan others subjek yang dan
penelitian. Dari hasil kesimpulan yang telah diperoleh, peneliti mengajukan saran-saran kepada subjek dan untuk penelitian selanjutnya.
significant
sesuai,
kemudian peneliti membuat perjanjian mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara dan observasi berdasarkan dibuat. pedoman yang telah
Dalam 2. Tahapan pelaksanaan penelitian Sebelum wawancara dimulai, peneliti terlebih dahulu menjalankan identitas dan tujuan diadakannya digunakan data
penelitian
ini
metode
pengumpulan
berikut adalah penjabaran lengkap mengenai dua metode yang digunakan dalam penelitian.
wawancara dan diberitahukan kepada subjek dan significant other wawancara ini bersifat bahwa rahasia.
1. a.
interviewer dengan responden dengan menggunakan panduan wawancara. Hasil wawancara merupakan hal
wawancara adalah percakapan dengan maksud dilakukan tertentu. oleh Percakapan dua pihak, itu yaitu yang yang yang
wawancara terbuka atau wawancara tertutup. Wawancara merupakan dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan dan kemudian dianalisis suatu Ada untuk
memperoleh (Prabowo,1998).
wawancara yang dapat digunakan dalam suatu studi kasus, yailu tidak
sistematis dan berpijak pada tujuan penelitian (Riyanto, 1996) Menurut Riyanto,1992) metode dilakukan Haddar wawancara data kontak (dalam adalah yang atau
wawancara
berstruktur,
berstruktur dan wawancara mendalam. Sementara Poerwandari, 1998) Patton secara (dalam umum
pengumpulan melalui
membedakan wawancara menjadi tiga jenis yaitu ; 1) Wawancara Konversasional yang Informal Proses wawancara ini didasarkan penuh pada perkembangan
pertanyaan secara spontan dalam interaksi demikian oleh alamiah. umumnya peneliti Tipe ini
kalimat
tanya,
sekaligus
menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. 3) Wawancara Dengan Pedoman Terstandar Terbuka Dalam bentuk ini pedoman
situasi seperti itu, orang-orang yang diajak bicara mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang
wawancara ditulis secara lengkap. Lengkap dengan item pertanyaan dan penjabaran dalam bentuk kalimat tanya. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai dengan sekuensi yang
diwawancarai. 2) Wawancara Dengan Pedoman Umum Dalam proses wawancara ini, peneliti pedoman dilengkapi wawancara dengan dengan
tercantum,
serta
menanyakan
dengan cara yang sama dengan responden. berlangsung Keluwesan dalam dapat respon
mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman yang ada hanya digunakan pada untuk peneliti
jawaban. Channel & Kahn (dalam Prabowo, 1998) menyarankan ada 5 tahap dalam wawancara, yaitu: a) Menciptakan atau menyeleksi jadwal wawancara dan
mengingatkan
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar untuk memeriksa apakah aspekaspek relevan tersebut telah
seperangkat aturan main atau prosedur dalam menggunakan jadwal tersebut b) Memimpin wawancara tersebut c) Merekam respon-respon atau mencatat jalannya
dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan pertanyaan bagaimana tersebut akan
d)
e)
terhadap orang-orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan
(dalam Moleong, 2004) pembagian wawancara adalah sebagai berikut : 1) Wawancara Oleh Tim atau Panel Wawancara oleh tim berarti
sebagainya. Maksud wawancara ini ialah riwayat untuk hidup, mengungkapkan pekerjaannya, pergaulanannya
wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang atau lebih terhadap seorang yang diwawancarai. Jika cara ini digunakan, awalnya hendaknya sudah pada
Tersetruktur
dan
dimintakan
wawancara yang pewawancaranya mentapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sedangkan wawancara tidak tersetruktur merupakan
kesepakan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak berkeberatan diwawancarai oleh dua orang atau lebih. 2) Wawancara Tertutup dan Wawancara Terbuka (covert dan overt) Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak
wawancara yang berbeda dengan yang terstruktur. Cirinya kurang diinterupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk
mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka di wawancarai. Wawancara terbuka yaitu subjek mengetahui bahwa mereka sedang diwawancara.
b. Kelebihan
dan
Kelemahan
7) Merupakan
suatu
teknik
yang
wawancara memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari wawancara tersebut adalah sebagai berikut : 1) Dapat memperoleh informasi yang lebih kompleks. 2) Tidak terikat dengan umur dan pendidikan. 3) Dapat untuk menggali data pribadi seseorang. 4) Metode ini tidak akan menemui kesulitan meskipun respondennya buta huruf sekalipun, atau pada lapisan karena masyarakan alat manapun, adalah
berada di bawah sadar. 8) Dari pengalaman para peneliti, metode ini sangat cocok untuk dipergunakandidalam pengumpulan data-data sosial. Sedangkan kelemahan dari wawancara itu sendiri adalah sebagai berikut : 1) Kurang efisien, dilihat dari waktu, tenaga, dan biaya. 2) Menuntut interviewer menguasai bahasa interviewer. 3) Dapat menyulitkan dalam
pengolahan dan analisis data yang diperoleh. 4) Menekan responden untuk segera memberikan jawaban dari
utamanya
pertanyaan yang diajukan oleh interviewer. 5) Diperlukan adanya keahlian atau penguasaan interviewer. 6) Memberi kemungkinan interviewer dengan sengaja memutar balikkan jawaban. 7) Apabila interviewer dan bahasa dari
fleksibilitasnya ini, maka metode wawancara dapat dipakai sebagai verifikasi data, terhadap data yang diperoleh dengan cara observasi ataupun angket. 6) Kecuali untuk menggali informasi, sekaligus dipakai untuk
yang
sangat
mencolok
sulit
mengadakan
komunikasi
interpersonal sehingga data yang diperoleh kurang akurat. 8) Jalannya dipengaruhi kondisi interview oleh situasi yang sangat dan akan
2. a.
sekitar
menghambat dan mempengaruhi jawaban dan data yang diperoleh. Pada peneliti penelitian ini,
dari bahasa latin yang berarti melihat dan memperhatikan. Istilah observasi diarah kan pada secara kegiatan actual,
menggunakan
wawancara
memperlahatkan
mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998) observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks
pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman yang ada hanya digunakan untuk mcngingatkan aspek-aspek peneliti yang harus mengenai dibahas,
laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah Banister Poerwandari,1998) bahwa observasi (dalam mengemukakan adalah secara kegiatan akurat,
sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam
mamperhatikan
mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.
penelitian berlangsung
psikologis dalam
dapat konteks
1) Observasi Partisipan Observer dalam hal ini menjadi anggota penuh dari kelompok yang diamatinya. Dengan
bahwa observasi cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut Sedangkan Nawawi (1991) menyebutkan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala-gejala dalam objek penelitian. Terakhir bahwa Suryabrata observasi mengatakan aktivitas secara 3)
dibutuhkannya,
observer tidak ikut terlibat dalam kegiatan observasi. Observasi Terkontrol Observer dengan sengaja melakukan kontrol atau pemberian perlakuan yang sesuai dengan keperluan pemecahan masalah dalam penelitian. 4) Observasi Sistematik Observasi pengamatan sistematik, apabila
adalah lain
mengamati
individu
sengaja dan sistematis. Serta Crewell (dalam Nazir,1998) mengatakan dalam observasi, peneliti membuat catatan lapangan mengenai perilaku dan
pedoman
Poerwandari,1998) kegiatan observasi bertujuan untuk membuat deskripsi setting yang dipelajari, aktivitas yang berlangsung dan orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati. Observasi dibagi berdasarkan peran serta observer sebagai berikut:
pengamatan. Yang menjadi ciri utama jenis pengamatan ini adalah mempunyai kerangka atau struktur yang jelas, dimana didalamnya berisikan factor-faktor yang akan diobservasi, dan sudah
dikelompokkan kategori.
5) Observasi Non Sistematik: Observasi yang dilakukan oleh pengamatan dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan. 6) Observasi eksperimental:
dengan
wawancara, tetapi dengan metode ini mudah diperoleh 4) Dapat secara stimulant melakukan pencatatan kepada observee. Sedangkan kelemahan dari metode observasi adalah sebagai berikut : 1) Kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, sehingga membosankan karena tingkah laku/gejala yang diharapkan diamati tidak segera muncul. 2) Dapat menimbulkan bias, apabila observee bertingkah laku yang
kedalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Kondisi dan situasi itu diciptakan oleh peneliti
b. Kelebihan
dan
Kelemahan
dibuat-buat,
karena
observee
mengerti kalau sedanng diamati. 3) Kadang-kadang terjadi subjektifitas dari observer. Dalam dari metode peneliti pengamatan ini teknik
memiliki
kelebihan
menggunakan
observasi adalah sebagai berikut : 1) Tidak perlu biaya banyak, mudah dilakukan dan dapat digunakan untuk penelitian terhadap
pengamatan non partisipant, dimana peneliti tidak ikut terjun langsung ke dalam penelitian tersebut. . E. Alat Bantu Penelitian
berbagai macam gejala. 2) Tidak banyak mengganggu, subjek penelitian. 3) Gejala-gejala psychis yang penting dan tidak atau sukar diperoleh dalam peneliti
Menurut
Moleong
(2004) data-data
mengumpulkan membutuhkan
alat
bantu,
dalam penelitian ini digunakan bantu penelitian adalah: 1. Tape Recorder Alat bantu elektronik
alat
Pedoman
observasi
digunakan
untuk panduan dalam melakukan observasi, pedoman ini digunakan berupa untuk melihat perilaku apa saja yang muncul yang dalam yang teori-teori pada subjek kemudian catatan disusun yang
perekam menggunakan kaset, yang digunakan untuk merekam hasil wawancara, baik untuk subjek maupun untuk significant others. 2. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara merupakan pertanyaan-pertanyaan dikembangkan sesuai yang dengan
berkaitan dengan post traumatic stress disorder pada anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 4. Alat Tulis Menggunakan berupa alat bantu pensil tulis dan
tujuan penelitian berdasarkan teoriteori berkaitan dengan masalah yang diteliti, yang berguna agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan
pulpen,
penghapus. 5. Kamera Foto Penggunaan foto untuk melengkapi sumber data jelas besar sekali manfaatnya. diberi catatan hanva perlu khusus tentang
penelitian. Pedoman wawancara dikembangkan oleh peneliti untuk kepentingan bersangkutan, penelitian yang pedoman
wawancara yang sudah disusun terdiri dari identitas subjek dan pertanyaan wawancara sesuai
keadaan dalam foto yang biasanya, apabila diambil secara sengaja, sikap dan keadaan dalam foto menjadi dipoles sesuatu yang sudah tidak keadaan Peneliti harus
disorder anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 3. Pedoman Observasi
sehingga
menggambarkan sebenarnya.
menyadari
ini.
Seyogyanya
a) Membandingkan
data
hasil
pengambilan foto sudah diketahui oleh subjek, dan subjek tidak keberatan serta rela dirinya difoto (Moleong, 2004).
pengamatan dengan data hasil wawancara. b) Membandingkan dikatakan umum orang apa di apa yang depan yang
dengan
F. Keakuratan Penelitian
Salah memeriksa
satu
teknik data
untuk yaitu
dikatakan orang orang tentang situasi penelitian dengan apa yang waktu. d) Membandingkan dengan persfektif keadaan seseorang dikatakan sepanjang
keakuratan
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, macam 2004), triangulasi yang membedakan sebagai 4
dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
teknik
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada orang pemerintahan. e) Membandingkan hasil
pemeriksaan
memanfaatkan
penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Yaitu : 1. Triangulasi sumber Adalah herarki membandingkan dan mengecek balik derajat
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan 2 Trianggulasi metode menurut Patton (dalam Moleong, 2004) terdapat dua strategi, yaitu : a) Pengecekan derajat penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data.
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode
b) Pengecekan
derajat
Subjek adalah anak 1 dari 3 bersaudara. Subjek memiliki 2 orang adik laki-laki yang
kepercayaan beberapa sumber data sama. 3 Trianggulasi penyidik Ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat untuk keperluan lainnya dengan metode yang
semuanya
masih
kecil-kecil.
pengecekan
subjek hanya seorang ibu rumah tangga. Subjek dengan ayahnya sang baik begitu dekat ayah dan karena suka
bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan dsatu atau lebih teori. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode, trianggulasi teori sumber, untuk
memperhatikan subjek, subjek kurang dekat dengan ibunya karena sang ibu suka marah tanpa alasan yang jelas
penyidik
kepadanya.
Subjek
sekarang
tinggal bersama dengan nenek dan pamannya. Ketika subjek BAB IV Hasil dan Analisis mengalami pengalaman buruk ini nenek subjek merasa sangat terpukul. Orangtua subjek sering 1. Biografi Subjek adalah seorang sekali bertengkar di depan anakanaknya. Hubungan subjek
anak-anak. Usia subjek sekarang 11 tahun. Pada waktu kejadian subjek berusia 11 tahun. Subjek masih kelas lima sekolah dasar.
dengan kedua orangtuanya sama seperti hubungan anak dengan orangtua namun, permasalahan muncul ketika orang tua subjek
bertengkar
hebat
dan
ayak
dan tidak bersahabat.. Katanya subjek main terus. Ibu subjek pergi meninggalkan subjek dan berkata bahwa ibu subjek mau cari ayah subjek dulu. Semalaman ibu subjek baru pulang dan menjeritjerit lagi. Subjek ketakutan karena
subjek pergi meninggalkan isteri dan anak-anaknya, ibu subjek menjadi histeris dan mulai
mengalami perubahan sikap dan perilaku sampai akhirnya subjek mengalami KDRT. Subjek dapat menjadi
adik subjek menangis dan subjek langsung keluar rumah nangis dengan kencang. Sejak kejadian tersebut, mulai subjek disiksa oleh ibunya. Subjek tidak mampu berbuat apa-apa karena subjek masih kecil. Subjek mengalami posttraumatic stress disorder. karena Beberapa halnya partisipasi
korban dari KDRT ini awalnya ketika ayah subjek pergi dan baru pulang dalam seminggu, ibu dan ayah subjek bertengkar. Ibu
subjek teriak-teriak dan menjerit sangat keras. Banyak tetangga datang kerumah subjek. Adik subjek menangis dan subjek juga ketakutan terus nangis. Setelah
disebabkan
ibu subjek terus menjerit dan ngomong kasar, terus ibu subjek pingsan. Setelah ibu subjek
langsung subjek terhadap suatu peristiwa yang menyebabkannya menjadi trauma, tidak adanya dukungan sosial yang baik yang diterima subjek dari orang-orang terdekat maupun dari para warga sekitarnya subjek untuk dari membantu masalah
bangun dari pingsan ibu subjek mulai jadi pendiam dan nggak banyak ngomong. Kerjanya bawa sapu. Kemana-mana bawa sapu. Waktu itu subjek dipanggil sama ibunya saat subjek main sama teman. Ketika subjek datang, Ibu subjek melototin subjek dengan menunjukkan sikap kurang suka
keluar
lainya
cacian celaan dengan katakata kasar. Subjek sering dimaki oleh ibunya dengan sebutan binatang dan hal tersebut dilakukan hampir setiap hari. Subjek kadang bingung tidak karena subjek
kekerasan
sexual dan komersialisasi. Kekerasan fisik yang kerap dialami dilakukan seperti subjek oleh yang ibunya
merasa
melakukan
kesalahan tetapi tetap saja dimarahi atau dipukul oleh ibunya. Subjek saat tinggal dengan diabaikan ibunya dimana merasa subjek
dipukul dengan
tidak mendapatkan haknya sebagai dalam bersekolah anak belajar termasuk atau sehingga
menyebabkan subjek tidak naik kelas. Sekarang subjek memilih nenek karena tinggal dan dengan
pamannya sangat
mereka
pernah kekerasan
perasaan,
orang,
tempat
b. Gambaran
Posttraumatic
wawancara
diketahui
subjek mengalami gejalagejala posttraumatic stress disorder berdasarkan DSM IV sebagai berikut subjek
diungkapkan oleh Kaplan & Saddock (1997) gejalagejala posttraumatic stress disorder perasaan mengalami peristiwa dapat berupa
ibunya berupa perlakuan tindak kekerasan. Gejala posttraumatic disorder yang dari stress kedua
adalah. subjek mengalami mimpi buruk yang tanpa subjek sendiri tahu arti dari mimpinya tersebut. Subjek tidak penah menceritakan mimpi buruknya itu pada anggota keluarganya. Bila suasana di rumah subjek sepi, subjek merasakan seolah-olah
mengalami mimpi buruk, mengalami gangguan tidur atau insomnia, mengalami gangguan menjadi mendadak penakut, perubahan mudah dalam suka kecemasan, melamun, menjadi lelah, selera
kembali
masalahnya,
selain
itu
subjek juga merasa sebal, takut dan merasa kurang beruntung. berikutnya posttraumatic disorder adalah. mampu pengalamanpengalamannya selama ia disiksa oleh ibunya dan, subjek ingin dapat Subjek yang subjek dari Indikasi gejala stress ketiga masih
berada
sendirian
takut dan langsung teringat pada waktu subjek disiksa oleh subjek ibunya, selain itu
mengingat
mengalami
ketakutan bila ada yang mengajaknya untuk pulang. Hal tersebut sangat
melupakannya.
membuat subjek ketakutan pada teringat akan sisksaan ibunya. Gejala posttraumatic disorder ketiga. stress subjek .
gejala posttraumatic stress disorder berdasarkan DSM IV adalah. Subjek selalu gelisah bila matanya akan dipejam karena subjek
selalu teringat selama ia dirumah tanpa ada yang menemani dan selalu
juga
subjek meminta neneknya untuk menemaninya tidur. Subjekpun menjadi mudah tersinggung subjek orang menggunjingnya. apalagi bila ada yang dan
mendengar
Perubahan lainnya adalah melakukan tindakan yang dapat sendiri, merugikan diri
bersikap sangat waspada apalagi dengan orang yang baru ia kenal. Subjek respon terhadap yang seperti bila akan menimpa menjadi pergi
mengalami
kemana-mana dan selalu minta untuk ditemani bila akan rumah bepergian oleh ke luar
stress
disorder yang berikutnya adalah adanya perubahan persepsi diri seperti merasa malu, berguna, merasa tidak merasa
keluarganya,
subjek juga merasa takut bila diajak pergi karena subjek dengan masih kejadian teringat yang
mengalami kegagalan total, merasa tidak seorangpun yang perduli, rasa bersalah
menimpanya. Gejala posttraumatic disorder adalah yang Subjek stress kelima berubah
sendiri, dan menjadi selalu menyalahkan orang lain. Gejala posttraumatic disorder yang stress berikutnya
kepala dan sakit dibagian dadanya dan karena pukulan. benturan Subjek
mengaku kalau dirinya tidak mengalami masalah sistem pencernaan tidak hipokondriasis. dan mengaku mengalami Subjek
lelah, kepala.
lebih
buang air kecil tidak dialami subjek. Subjek mengalami perubahan makan. dalam Kadang selera dalam
sehari subjek tidak memiliki nafsu makan, tetapi bisa saja dalam sehari itu subjek dapat memiliki nafsu makan yang besar. Selain itu
menjadi tidak mempercayai orang lain yang belum ia kenal sebelumnya. Alasan subjek karena ia masih
subjek juga mudah merasa lelah, dan sampai sekarang mengalai sakit kepala. Gejala kesebelas posttraumatic disorder adalah dari yang gejala stress subjek
merasa takut kalau subjek akan dikembalikan kepada ibunya karena ia pernah mengalaminya. Subjek juga menjadi orang yang tidak mau menyalahkan dirinya
di
ruang
tamu
berkonsentrasi,
mengalami
kesulitan tidur, perubahan selera makan, dan berbagai aksi Adanya traumatis lainnya.
kenyataan
mengobrol tentang masalah yang menimpanya. Subjek juga menjadi tidak mampu mengambil menjadi tidak keputusan, mampu
penghindaran
kewaspadaan
berlebihan yang merupakan akibat dari peristiwa trauma psikologis yang berada di luar batas kemampuan daya tahan manusia.
penyebab
mengalami kekerasan dalam rumah keadaan keluarganya. Gejala terakhir dari gejala posttraumatic stress disorder adalah subjek tangga adalah ekonomi
c. Faktor-faktor
penyebab
posttaumatic stress disorder menjadi tiga bagian, yaitu: pre event factors, event
factors, post event factors. Pada pre event factors faktorfaktor yang dapat
menimbulkan
posttraumatic
bukan
sesaat
dapat gangguan
tempat
tinggalnya.
Subjek
mengakibatkan
otak, ketidakmampuan dalam mengatasi suatu hal dan tidak adanya dukungan sosial untuk meembantu keluar dari situasi yang buruk, wanita lebih
yang demikian karena subjek adalah seorang anak kecil yang memiliki kemampuan terbatas. Menurut Subjek,
mudah terkena posttaumatic stress disorder dibanding pria, keluarga yang kurang
banyak pihak yang terlibat namun terlalu takut untuk mengambil resiko karena ibu subjek mereka sering mengancam subjek
sehingga
mengalami
posttaumatic stress disorder. usia subjek masih 11 tahun pada waktu mengalami subjek
mengalami traumatis.
kejadian,
keluarga
memang tergolong keluarga yang keadaan ekonominya pas-pasan, terkadang ayah sehingga korban
berhubungan
melakukan pemukulan pada ibu subjek, jenis kelamin subjek wanita, Subjek sangat takut melihat ibunya marah, sehingga subjek mengalami depresi awal subjek sempat berkeinginan untuk pergi
peristiwa, durasi dari trauma, partisipasi dari korban pada saat terjadi peistiwa Subjek
traumatik.
subjek menjadi tidak dapat melakukan terjadi sesuatu karena traumatis rumah Subjek mampu arti dari traumatis dalam tersebut, rumah subjek
tersebut terjadi di
tinggal subjek, lama durasi peristiwa traumatis kekerasan dalam rumah tangga yang subjek alami adalah selama 6 bulan. Subjek merasa adanya ancaman bahwa kekerasan
apabila ibunya telah keluar dari rumah sakit tapi, nenek dan ayahnya meyakinkan
kekerasan
peristiwa dalam
traumatis
kekerasan
menjadi faktor ketiga adalah post event factors, katagori terakhir dari faktor-faktor
bahagia karena bisa tinggal dengan nenek dan pamannya yang subjek. Pengalaman traumatis dapat subjek membuat diatas subjek sangat sayang pada
posttraumatic stress disorder seperti ketiadaan dukungan sosial yang baik, menjadi lebih pasif dibanding aktif, menjadi melakukan terjadi tidak sesuatu dapat karena tersebut.
peristiwa
mengalami stress
disorder
ketidakmampuan
subjek masih 11 tahun pada waktu mengalami kejadian, jenis kelamin subjek yang wanita, keadaan ekonomi
(depresi
ketidakmampuan mengatasi suatu hal, jenis kelamin, usia muda, tidak adanya dukungan sosial, keluarga yang masalah kurang harmonis, event
yang pas-pasan dan subjek tidak mendapat dukungan sosial baik dari keluarga maupun dari lingkungan
ekonomi),
terbentuknya stress
disorder pada subjek adalah durasi dari trauma. Kejadian buruk itu setahun berlalu. Beberapa hal yang dikemukakan diatas, yang dapat membuat subjek
dukungan sosial yang baik, menjadi dibanding tidak lebih aktif, pasif menjadi
dapat
melakukan
posttraumatic sesuai Kelemahan Penelitian Dalam penetapan diagnosis bahwa subjek stress mengalami disorder, posttraumatic peneliti hanya
disorder
berdasarkan atas kriteria DSM IV Kaplan & Saddock (1997) hanya berdasarkan hasil Observasi dan Wawancara tanpa menggunakan
faktor-faktor posttraumatic
Tidak
mendapatkan
haknya
sehingga menyebabkan subjek BAB V Kesimpulan dan Saran 2. Gambaran terbentuknya A. Kesimpulan dan proses posttraumatic tidak naik kelas.
dalam rumah tangga Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Gambaran kekerasan pada Gejala gejala post
traumatic stress disorder Subjek mengalami mimpi buruk yang tanpa subjek sendiri tahu apa artinya, sapu, ke subjek berusaha menjauhi pikiran atau percakapan
anak yang dialami subjek. a. Kekerasan fisik, Dipukul ditendang, tembok, disetrika. b. Kekerasan emosional, Umpatan atau cacian celaan dengan dikambing kata-kata kasar, hitamkan dengan dijedotin dicubit,
sampai
juga
disalahkan tanpa sebab oleh keluarga c. Kekerasan berupa pengabaian atau neglect
subjek juga merasa sebal, takut dan merasa kurang beruntung. Subjek masih
mampu
mengingat
yang menimpanya. subjek mengalami perubahan dalam reaksi menjadi kejiwaan tidak seperti sabaran,
ibunya dan, subjek ingin dapat melupakannya. Subjek menjadi jarang berkumpul dengan teman-temannya dan lebih banyak berdiam diri di rumah. Subjek pun menjadi mudah tersinggung apalagi bila subjek mendengar ada orang menggunjingnya. bersikap sangat yang dan waspada 3.
Faktor faktor penyebab posttraumatic stress disorder a) Pre event factors Usia tahun subjek pada masih 11
waktu kejadian,
mengalami
keluarga subjek memang tergolong keluarga yang keadaan ekonominya paspasan, subjek jenis wanita, kelamin Subjek
memberikan
seperti menjadi takut bila akan dan pergi selalu kemana-mana minta bila untuk akan
ditemani
mengalami depresi awal, subjek sempat berkeinginan untuk pergi meninggalkan ibunya bahkan tempat Menurut
bepergian ke luar rumah oleh anggota keluarganya, selain itu subjek juga
merasa takut bila diajak pergi karena subjek masih teringat dengan kejadian
tinggalnya.
untuk
mengambil
resiko
oleh menjadi
karena ibu subjek sering mengancam mereka. b) Event factors Kekerasan dalam rumah
dalam
rumah subjek
tersebut,
tangga, kekerasan tersebut terjadi di subjek, peristiwa kekerasan tempat tinggal lama durasi traumatis dalam rumah
bahagia karena bisa tinggal dengan pamannya nenek yang dan sangat
tangga yang subjek alami adalah selama 6 bulan. Subjek merasa adanya
B. Saran
ancaman bahwa kekerasan dalam tersebut terutama rumah akan apabila tangga berlanjut ibunya lebih kegiatan membantu kejadian subjek. untuk yang 1. Saran untuk subjek Subjek banyak diharapkan memiliki dapat
sehingga
ayahnya
meyakinkan
bahwa ia akan aman dan terlindungi. c) Post event factors Setelah mengalami
Diharapkan keluarganya
hal ini nenek subjek dan pamannya mendukung agar subjek selalu agar
dapat
melupakan
trauma
posttraumatic
disorder saja tetapi dari segi lainnya stress, seperti peran copying dukungan
penelitian, diketahui bahwa kekerasan pada anak dapat menyebabkan posttraumatic stress disorder, oleh karena itu dibutuhkan dan peran LSM dengan kekerasan tangga kecil
DAFTAR PUSTAKA Baron, R . A. & Bryne, R ( 2000) Social psychology united states of America: Allyn & Bacon Company Basuki, H. (2006) Penelitian kualitatif untuk ilmu - ilmu kemanusiaan dan budaya Jakarta: Universitas Gunadarma Bernard Poduska & Turman S. R. (2008). 4 Teori Kepribadian. Jakarta: Restu Agung Berns, R.M. (1997) Child, family, school, Community: Sozialization & Support 4ed. Boeree, C.G. (2008) General Psychology : Psikologi Kepribadian, Persepsi, Rognisi, Emosi dan Perialku Yogyakarta , Primashopie. Carson,C. B, Butcher, N.J dan Minera, S (1996) Abnormal pschichology modern life.
rumah anak
memberikan
KDRT. Sehingga siapapun akan takut bila melakukan hal tersebut 3. Saran untuk peneliti berikutnya Peneliti menyarankan jika akan lagi ini, dilakukan mengenai hendaknya selanjutnya
New York : Harper Collins Publisher.Inc Chaplin, J.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada Child abouse : The hidden bruishes (2004) www.aacp org.www.Pikiran rakyat Com. Damayanti,A. (2000). Hubungan sikap dan keterlibatan ibu pada pekerjaan rumah anak dengan sikap dan kebiasaan belajar anak. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas psikologi Universitas lindonesia Davidson, Gerald. C. (2002). Exploring Abnormal Psychology. United States of America Dinatteo, M. R & Martin, L. R. (2002) Health psychology Harjaningrum, Agnes Tri. (2007). Peranan Orang Tua dan Praktisi Dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Trend Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group Harvey, Jhon H & Pauwels, Brian G. (2002). Posttraumatic Stress Theory Research and Application. United States of America
Hoeksema,
Susan Nolen. (2001). Abnormal Psikology 9th ed. Universary of Michigan E.B. (2003) Psikologi perkembangan . edisi kelima. Jakarta : Erlangga
Hurlock,
Gunarsa, singgih D. (1997). Dasar Teori Perkembangan Anak. Jakarta Gunung Mulia Gunarsa, singgih D. (2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta : Gunung Mulya Kalibonso, R. S (2006) Cerita remaja Indonesia .situs informasi kesehatan sexual dan sosial remaja. (http:// www. Media Indonesia. Com) Kaplan & Saddock (1997) Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuanperilaku psikiatri klinis. Alih bahasa Widjaya Kusuma Jakarta : Binaputra Aksara Koentjaaningrat. (1977). Metode-metode Penelitian Masyarakat Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (2002) Peta kekerasan, pengalaman perempuan Indonesia. Jakarta : Ameepro
Luhulima,A.S,SH,MA.(2000) Pemahaman bentuk bentuk tindakkekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya Convention watch. Pusat kajian wanita dan gender . Universitas Indonesia. Jakarta : PT Alumni Moleong, L.J.(2004) Metode penelitian kualitatif. Depok. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Moleong, L.J (1998) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Monahan, C. (1993) Children & trauma : A Parents guide to helping children heal. USA : Lexington Books. Monks, F.J & Knoers, A.M.P. (2001). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai bagiannya. Gajah Mada University Press Munandar, A. (1992). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah : petunjuk bagi guru dan orangtua. Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana Ind Nasir (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nawawi, H. Hudari (1991) Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta : GMP UM Press
New Berger, E.A. (1992) Child abouse Boston : Little, Brown and Company.
Papalia, Diane olds, sally wendkos, Feldman, Rush Dushkin. (1998) Human development 7th ed. By Mc GrawHill Companies. Paul, Henry, A. (2008). Konseling Psikoterapi Anak. Sleman Yogyakarta: Idea Publishing
Pelzer.D. (2007). A Child Called It. Jakarta: Gramedia Prabowo, A. & Puspitawati, I. (1998). Psikologi pendidikan. Jakarta : Universitas Gunadarma. Poerwandari,E. (1998) Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Universitas Indonesia. Poerwandari,E.(2000). Kekerasan terhadap perempuan: tinjauan psikologi feministik Jakarta : PT. Alumni Rice, P.L. (1999) Stress and health. USA Brooks/Cole publishing company Riyanto, Y. (1996). Metodelogi Penelitian, Surabaya: SIC
terhadap perempuan. Tinjauan klinis dan forensik dalam Luhulima, A. S. (penyunting). Pemahaman bentuk bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternative pemecahannya. Jakarta: pusat kajian wanita dan gender UI Santrock, J.W. (2003). Adolescent : Perkembangan Remaja, Jakarta (terjemahan) : Penerbit Erlangga. Sarwono, S.W. (2004). Psikologi remaja Jakarta : Rajawali Press. Sjah, S. (1998). Perilaku coping stress pada istri yang mengalami kekerasan domestic skripsi (tidak diterbitkan) Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Subagyo. (1991). Metodologi penelitian untuk penelitian sosial. Jakarta:Rineka Cipta.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta: Visi Media Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Visi Media Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bandung: Fokus Media Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Visi Media William, Mary Beth & Poijula, Soili. (2002). The Posttraumatic Stress Disorder Workbook. Oakland: New Harbinger Publications, Inc Yusuf, Syamsu, LN. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya Zimmin, H. (1986) A profile of Survival. Child abuse and neglect