Anda di halaman 1dari 7

PERMASALAHAN RUU PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN 1.

Keliru dalam Defenisi Pada Pasal 1 angka 8, Perumahan negara adalah perumahan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian. Sedangkan pada Pasal 1 angka 9, Rumah dinas adalah perumahan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian untuk menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Pengertian Rumah Negara dalam RUU tidak sesuai dengan pengertian Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2005 tentang Rumah Negara. Pengertian Rumah Negara menurut PP Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Dalam RUU terdapat pemisahan antara Rumah Negara dan Rumah Dinas, padahal sejatinya rumah dinas juga merupakan Rumah Negara. Hal tersebut dapat terlihat jika pengertian Rumah Negara dan Rumah Dinas dalam RUU digabungkan, maka pengertiannya sesuai dengan pengertian Rumah Negara sesuai PP Rumah Negara. Pengertian Rumah Negara telah diredusir menjadi Rumah Dinas. Jika dibiarkan maka akan terdapat kekacauan dalam penegakan hukum karena berdasarkan PP Rumah Negara, Rumah Negara dapat dimiliki oleh penghuni yang memenuhi syarat. Tidak terdapat ketentuan bahwa Rumah Dinas dapat dimiliki oleh penghuni sebagaimana peraturan perundang-undangan sebelumnya. Pada Pasal 1 angka 10 pengertian Rumah adalah bangunan tempat tinggal yang layak huni. Hal ini dapat diartikan bahwa jika terdapat rumah yang dihuni yang tidak layak maka bukanlah rumah.

2. Tidak ada pengakuan bahwa perumahan merupakan hak asasi setiap warga negara Dalam RUU Perumahan dan Pemukiman ini tidak disebutkan bahwa perumahan merupakan hak asasi setiap warga negara. UU No. 4 Tahun 1992 memiliki perspektif hak asasi lebih baik dengan mencantumkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992). 3. Pengertian layak seharusnya mengacu kepada General Comment Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992: Rumah yang layak adalah bangunan memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 3 huruf f RUU Perumahan dan Pemukiman, yang dimaksud dengan rumah yang layak huni dan terjangkau adalah bangunan rumah yang

sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan luas bangunan serta kesehatan penghuninya dan dari biaya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Pasca diratifikasinya kovenan internasional hak-hak ekonomi social dan budaya seharusnya RUU Perumahan dan Pemukiman mengatur kriteria layak lebih maju sebagaimana yang tertuang dalam Komentar Umum No. 4 pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengenai Hak Atas Tempat Tinggal yang layak. Dalam komentar umum tersebut didapat criteria layak adalah sebagai berikut; a. Jaminan perlindungan hukum. Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk, diantaranya penyewaan akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif, kredit, perumahan darurat, pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara Pihak harus secara bertanggung jawab, segera mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan mengkonsultasikan jaminan perlindungan hukum terhadap orangorang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum memiliki perlindungan, konsultasi secara benar dengan orang-orang atau kelompok yang terkena. b. Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infra struktur. Tempat tinggal yang layak harus memiliki fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air minum yang aman, energi untuk memasak, suhu dan cahaya, alat-alat untuk menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat. c. Keterjangkauan. Biaya pengeluaran seseorang atau rumah tangga yang bertempat tinggal harus pada tingkat tertentu dimana pencapaian dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar lainnya tidak terancam atau terganggu. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat tinggal, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu memiliki tempat tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa. Di masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam merupakan sumber daya utama bahan baku pembuatan rumah, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut.. d. Layak huni. Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancamanancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang

disusun oleh WHO yang menggolongkan tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketidaksehatan. e. Aksesibilitas. Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak-anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, dan lain-lain harus diyakinkan mengenai standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka. f. Lokasi. Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya. g. Kelayakan budaya. Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang digunakan, dan kebijakankebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas-fasilitas berteknologi modern, juga telah dilengkapkan dengan semestinya. 4. Rancangan Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman lebih berorientasi kepada bisnis properti. Jika melihat kerangka kerangka dan persepektif RUU terlihat bahwa nyawa RUU ini sebenarnya adalah untuk memperlancar bisnis property. Hal tersebut terlihat dari adanya ketentuan zonasi perumahan, perencanaan, insentif bagi pengembang, pemasaran rumah, dan lain-lain. Dapat dilihat tidak proposionalnya pasal yang mengatur mengenai hak atas perumahan dengan pasal-pasal yang memuluskan kepentingan pengembangan. Pemenuhan hak atas perumahan bukan merupakan suatu yang sederhana dan memiliki aspek yang kompleks. Merupakan suatu kesalahpahaman jika mewujudkan hak atas perumahan bagi warga negara dapat direalisasikan dengan mempermudah bisnis properti. Pembangunan rumah dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. 5. Kriminalisasi RUU ini merupakan ancaman bagi kelompok marjinal, warga miskin kota yang tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli/menyewa tanah tanah ataupun rumah sehingga terpaksa membangun rumah di lahan yang d. Ketidakmampuan tersebut merupakan kegagalan negara menyediakan

perumahan yang layak. Dengan RUU ini negara justru ingin mengkriminalisasi mereka. Dapat disimpulkan negara kemudian mengkriminalkan warga bukan karena kesalahan dari warga tapi karena kegagalan negara sendiri. Pasal-pasal kriminalisasi yang sangat mengancam kelompok marjinal dalam RUU ini adalah: LARANGAN Pasal 108 (1) Setiap orang dilarang membangun rumah, perumahan, dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman. (2) Setiap orang dilarang membangun rumah, perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pasal 123 (1) Setiap orang yang dengan sengaja membangun rumah, perumahan, dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta). (2) Setiap orang yang dengan sengaja membangun rumah, perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang sebagaiman dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta). Pasal 124 Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan lahan yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 126 Setiap orang yang dengan sengaja menolak atau menghalang-halangi kegiatan relokasi rumah, perumahan, atau permukiman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah bertentangan dengan undang undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dipidana dengan pidana kurungan paling KETENTUAN PIDANA

Pasal 109 Setiap orang dilarang mengubah peruntukan lahan yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman.

Pasal 111 Setiap orang dilarang menolak dan/atau menghalang-halangi kegiatan relokasi rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta). Pasal 112 Setiap orang dilarang memberikan fasilitas dan identitas kepada penghuni dan/atau pemilik rumah, perumahan, dan/atau perumahan yang dibangun di luar fungsi dan pemanfaatan ruang serta di luar kawasan perumahan dan permukiman. Pasal 127 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan fasilitas dan identitas kepada penghuni atau pemilik rumah, perumahan, dan/atau perumahan yang dibangun di luar fungsi dan pemanfaatan ruang serta di luar kawasan perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta).

Pasal 111 RUU ini merupakan ancaman serius dalam kasus hak atas perumahan. Sebagaimana kita ketahui terdapat banyak penggusuran paksa yang dilakukan oleh aparatur pemerintah maupun swasta yang melanggar general comment Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang menyebabkan banyak warga dilanggar hak atas perumannya. Ke depan jika RUU ini disahkan maka tidak ada peluang bagi kelompok marjinal atau warga miskin kota untuk melawan penggusuran paksa dan justru dipidanakan. Hal ini mengindikasikan bahwa RUU ini benar-benar tidak berpihak kepada warga miskin melainkan lebih berpihak kepada pengembang perumahan. 6. Pelanggaran terhadap Hak Atas Identitas Dalam RUU Perumahan dan Pemukiman ini pada Pasal 112 diatur bahwa setiap orang dilarang memberikan fasilitas dan identitas kepada penghuni dan/atau pemilik rumah, perumahan, dan/atau perumahan yang dibangun di luar fungsi dan pemanfaatan ruang serta di luar kawasan perumahan dan permukiman. Setiap orang yang melanggar Pasal tersebut dapat dikenai hukuman satu tahun kurungan dan denda Rp. 50.000.000. Dengan adanya ketentuan ini, maka kelurahan tidak akan berani mengeluarkan identitas kepada warga-warga yang yang dianggap liar, bersengketa atau tinggal di luar kawasan yang diperbolehkan oleh UU. Akibatnya banyak warga yang tidak mendapatkan identitas atau mencatatkan kelahiran anaknya. Hal tersebut di atas merupakan pelanggaran terhadap hak atas identitas warga negara, karena hak atas identitas merupakan hak asasi warga negara yang seharusnya tidak dapat disangkut pautkan dengan kepemilikan tanah atau lokasi rumah. Ketentuan tersebut melanggar Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2006 berbunyi Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen Kependudukan dan pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Negara atau pemerintah wajib memberikan identitas kepada setiap warga negaranya karena hak atas identitas merupakan kunci untuk mendapatkan hak-hak asasi yang lainnya seperti Hak atas pekerjaan, Hak atas kesehatan, Hak atas jaminan social, Hak atas pendidikan, Hak atas kewarganegaraan, Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan

dan pemilihan umum yang bebas, Hak untuk menikah dan berkeluarga, Hak atas informasi, dan lain-lain. Contoh kasus yang riil seperti yang saat ini terjadi pada ratusan warga Kebun Sayur Ciracas, warga yang memanfaatkan lahan yang puluhan tahun terlantar tidak bisa mendapatkan identitas oleh Lurah sehingga akhirnya mengalami kesulitan dalam jaminan kesehatan, mengurus keringanan biaya pendidikan, tidak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai, tidak mencatatkan kelahiran anak, dan lain sebagainya. Dapat disimpulkan ketentuan mengenai identitas ini merupakan ketentuan yang membuat warga semakin miskin karena tidak bisa mendapatkan hak-hak nya. 7. RUU Berpotensi Melanggar Hak Atas Perumahan dengan Penggusuran Paksa RUU mengatur secara tegas setiap orang dilarang menolak dan/atau menghalang-halangi kegiatan relokasi rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat dipidana maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp. 50.000.000. Hal tersebut merupakan legitimasi untuk menggusur paksa masyarakat yang dianggap pemerintah tidak patut tinggal di lokasi rumah yang ditempatinya. Akhirnya banyak masyarakat akan dilanggar hak atas perumahannya. RUU ini juga tidak mengatur mengenai penggusuran rumah dalam hal untuk kepentingan publik, bagaimana hak warga dan bagaimana caranya yang sesuai dan tidak melanggar hak asasi manusia. Seharusnya RUU ini mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan Komentar Umum No. 7 tahun 1997 Kovenan Intenasional HakHak Ekonomi Sosial dan Budaya mengenai penggusuran paksa. Hal tersebut dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 sehingga segala ketentuan yang terkait dengan hak-hak ekonomi, social dan budaya dalam hal ini hak atas perumahan (Pasal 11 ayat (1) Kovenan) harus mengacu kepada kovenan dan komentar umumnya. Dalam komentar umum No. 7 pasal 11 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dinyatakan bahwa pengusiran atau penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Pengusiran paksa berakibat pada dilanggarnya hak-hak sipil dan politik, misalnya hak untuk hidup, hak untuk dilindungi, hak untuk tidak diusiknya privasi, keluarga, dan rumah, dan hak untuk menikmati kepemilikan secara tenteram. Komentar umum dalam poin 9 mewajibkan undang-undang yang terkait dengan pengusiran mesti meliputi ukuran-ukuran yang (a) memberikan peluang rasa aman bagi para pemilik rumah dan tanah, (b) sejalan dengan kovenan, dan (c) dirancang untuk secara ketat mengendalikan berbagai keadaan dimana pengusiran dapat saja terjadi. Dalam kasus-kasus dimana pengusiran dinilai dapat dibenarkan, pengusiran harus dilaksanakan sejalan dengan ketetapan-ketetapan dari hukum hak asasi manusia internasional yang relevan dan dengan prinsip-prinsip umum kerasionalan dan keproporsionalan. Komite mempertimbangkan bahwa perlindungan prosedural yang harus diterapkan berkaitan dengan pengusiran paksa meliputi: (a) sebuah peluang atas pembicaraan yang tulus dengan orang-orang yang terimbas;

(b) pemberitahuan yang memadai dan rasional kepada semua orang yang terimbas mengenai jadwal pelaksanaan pengusiran; (c) informasi mengenai pengusiran-pengusiran yang diajukan, dan, bilamana memungkinkan, mengenai fungsi alternatif dari tanah atau rumah itu, yang harus tersedia dalam waktu singkat bagi semua orang yang terimbas; (d) khususnya jika melibatkan kelompok-kelompok masyarakat, para pejabat pemerintah atau wakil-wakil mereka harus hadir selama pelaksanaan pengusiran; (e) semua orang yang melaksanakan pengusiran itu harus diidentifikasi secara tepat; (f) pengusiran tidak boleh dilaksanakan dalam cuaca buruk atau pada malam hari kecuali memang dikehendaki oleh orang-orang yang terimbas; (g) ketetapan atas pemulihan oleh hukum; dan (h) ketetapan, sejauh memungkinkan, atas bantuan hukum bagi orang-orang yang membutuhkannya untuk menuntut kompensasi melalui pengadilan. Selain itu Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang yang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, Negara harus menerapkan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif tersedia.

Anda mungkin juga menyukai