Anda di halaman 1dari 49

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Salah satu penyakit utama pada ibu hamil yang dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas-mortalitas ibu dan bayi adalah preeklampsiaeklampsia. Angka ini lebih besar di Negara berkembang seperti Indonesia daripada Negara maju yakni berkisar antara 9,8% - 25,5% untuk kematian ibu, dan 42,2% - 48,9% untuk kematian bayi. Hal ini disebabkan karena di negaranegara maju pemeriksaan antenatal care lebih optimal (Cunningham et al, 2009). Preeklampsia merupakan komplikasi multisistem yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Kondisi ini merupakan kondisi yang kompleks ditandai dengan kurang optimalnya perfusi uteroplasenta yang berhubungan dengan respon inflamasi dan disfungsi endotel vascular. Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal setelah perdarahan dan infeksi (Cunningham et al, 2009). Preeklampsia dan eklampsia dikenal dengan nama toksemia gravidarum. Secara umum, preeklampsia ditandai dengan adanya hipertensi, oedema dan proteinuria. Sedangkan eklampsia ditambah dengan adanya kejang dan atau koma. Eklampsia merupakan kelanjutan dan komplikasi dari preeklamsi. Oleh sebab itu, diagnosis dini sangat penting, yakni untuk mengenali dan mengobati preeklampsia ringan agar tidak berlanjut menjadi preeklampsia berat dan mencegah preeklampsia berat menjadi eklampsia (Haram et al, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haram et al tahun 2000 hingga tahun 2008 menyebutkan bahwa sebanyak 70% kasus preeklampsia terjadi pada usia 27-37 minggu. Insiden preeklampsia sangat dipengaruhi oleh paritas, berkaitan dengan ras dan etnis. Disamping itu juga dipengaruhi oleh predisposisi genetik dan juga faktor lingkungan. Angka kejadian eklampsia di Negara

berkembang lebih banyak sampai 4 kali lipat dibandingkan Negara maju. Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu (1,1%) dan penyebab kematian perinatal (10-60%) (Haram et al, 2009). B. Tujuan Tujuan dari penyusunan presentasi kasus ini adalah :
1.

Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan preeklampsiaeklampsia. Mengetahui mengenai diagnosis dan penatalaksanaan fetal distress.

2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Preeklamsi dan Eklamsi 1. Definisi Berdasarkan National Institutes of Health (NIH) Working Grouping on Blood Pleassure in Pregnancy, preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah kehamilan. Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi), pembengkakan jaringan (edema) dan ditemukan protein dalam urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Namun sekarang ini adanya oedema pada wanita hamil sudah dianggap biasa dan tidak spesifik untuk mendiagnosis preeklampsia (Wiknjosastro, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah 140/90 mmHg dengan pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan antara lain : a. Preeklampsia-eklampsia Preeklampsia adalah hipertensi yang muncul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklamsia yang disertai kejang dan atau koma. b. Hipertensi kronik Hipertensi yang muncul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap sampai 12 minggu setelah persalinan. c. Hipertensi gestasional (transient hypertension) Hipertensi yang muncul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 12 minggu setelah persalinan. d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia 3

Hipertensi

kronik

disertai

tanda-tanda

preeklampsia

atau

hipertensi kronik disertai proteinuria (Haram, 2010). Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan 1+ dipstick. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari pada hipertensi dan kenaikan berat badan (Wiknjosastro, 2007). Oedema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, umumnya diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan pada kaki, jari tangan dan wajah. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa sehingga tidak seberapa berarti dalam penentuan diagnosis preeklampsia (Wiknjosastro, 2007). Eklampsia adalah preeklamsia yang disertai kejang dan atau koma. Eklampsia didefinisikan sebagai munculnya kejang umum dan/atau koma yang didahului oleh manifestasi preeklampsia baik selama kehamilan, persalinan sampai 7 hari post partum dan bukan disebabkan oleh epilepsi atau penyebab kejang lainnya. Apabila kejang terjadi setelah lebih dari 7 hari post partum atau tanpa adanya hipertensi, maka disebut eklampsia atipikal. Diagnosis eklampsia adalah diagnosis klinis. Untuk diagnosis eklampsia harus dapat menyingkirkan keadaan-keadaan lain dengan kejang dan koma seperti uremia, keracunan, epilepsi, encepalitis, meningitis, tumor otak, perdarahan intra kranial dan histeria konvulsi. Sekitar 50% kejang terjadi saat antepartum, 25% saat intrapartum dan 25% terjadi dalam 48 jam post partum. Sekitar 90% kasus eklampsia terjadi pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu, sekitar 7,5 % kasus terjadi pada usia kehamilan 21-27 minggu, dan sekitar 2,5% terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Eklampsia yang terjadi sebelum usia kehamilan 20% berkaitan dengan kejadian mola atau degenerasi hidrofik dari plasenta (Sibai, 2005). 2. Faktor resiko
a. b. c.

Nulipara Kehamilan ganda Hidramion 4

d. e. f. g. h.

Mola hidatidosa Usia < 20 tahun atau > 35 tahun Riwayat preeklampsia-eklampsia pada kehamilan sebelumnya Riwayat preeklampsia-eklampsia pada keluarga Memiliki penyakit ginjal/hipertensi/diabetes mellitus sebelum kehamilan (Benzion, 2004).

3. Etiologi Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab dari preeklampsia. a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan (Iskemia Plasenta) Pada preeklampsia-eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang sedangkan pada kehamilan normal prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah banyak sehingga menimbulkan vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron yang menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan berkurangnya perfusi dari plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma. Invasi trofoblas yang tidak normal ini menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta (Sibai, 2005).

Gambar 1. Patogenesis preeclampsia-eklampsia. b. Faktor Imunologis Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi komplek imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria (Sibai, 2005). c. Faktor Genetik Preeklampsia preeklampsia.
d.

meningkat

pada

anak

dari

ibu

yang

menderita

Disfungsi dan aktivasi dari endothelial Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan (RCOG, 2006).

4. Klasifikasi Preeklampsia Preeklampsia dibagi menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan berat. Preeklampsia ringan adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 140<160 mmHg atau tekanan darah distolik 90-<110 mmHg dan proteinuria disptick +1 sampai +3 (Wiknyosastro, 2008). Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg, proteinuria > 5 gr/jumlah urin selama 24 jam atau dipstick +4 (Cunningham et al., 2009). 5. Gambaran Klinik Apabila peningkatan tekanan darah terjadi pada waktu trimester pertama 6

atau kedua awal, berarti penderita mengalami hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeclampsia (Ogah, 2005). Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan, pertambahan berat badan berlebihan, oedema, hipertensi dan akhirnya proteinuria. Pada preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada preeklampsia berat bisa didapatkan sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah, hiperefleks (klonus). Gejala-gejala tersebut sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eclampsia). Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum dan proteinuria bertambah banyak. Kejang pada eklampsia termasuk kejang grand mal tonik-klonik yang biasanya tidak didahului aura. Pasien tidak sadar saat kejang dan mengalami hiperventilasi setelah kejang sebagai mekanisme kompensasi respirasi dan asidosis laktat yang terjadi pada fase apneu kejang (Wiknjosastro, 2007). 6. Alur penilaian klinis

Gambar 2. Alur penilaian klinis hipertensi pada kehamilan. 7. Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Preeklampsia-Eklampsia a. Plasenta Pada preeklampsia terdapat konstriksi dan aterosis pada arteria spiralis disertai necrotizing arteriopathy sehingga menyebabkan spasme arteriola spiralis desidua yang pada akhirnya menurunkan aliran darah ke plasenta. Selain itu, perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan, seperti menipisnya sensitium, menebalnya dinding pembuluh darah dalam villi karena fibrosis dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik juga dipercepat prosesnya pada preeclampsia (Sibai, 2005).

Gambar 3. Perbedaan struktur a. spiralis pada preeclampsia. Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi dapat terjadi gawat janin, gangguan 8

pertumbuhan

sampai

dengan

kematian

janin

karena

kekurangan

oksigenisasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering didapatkan pada preeklampsia dan eklampsia sehingga mudah terjadi partus prematurus (Sibai, 2005). b. Ginjal Pada penyelidikan oleh Altchek (1968) menunjukan pada preeklampsia terjadi kelainan berupa : 1) Kelaianan glomerulus yang tampak sedikit membengkak dan terjadi perubahan perubahan berupa sel-sel diantara kapiler bertambah. Selain itu juga terdapat penimbunan zat protein dalam kapsul bowman. 2) Sel-sel jukstaglomeruler tampak membesar dan bertambah dengan pembengkakan sitoplasma sel dan bervakuolisasi. 3) Epitel tubulus-tubulus henle berdeskuamasi hebat, tampak jelas fragmen inti sel terpecah-pecah. Pembengkakan sitoplasma dan vakuolisasi nyata sekali. Pada tempat lain tampak regenerasi (Ogah, 2005). Perubahan pada ginjal menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang penting adalah terjadinya proteinuria serta retensi air dan garam. Mekanisme retensi air dan garam diduga terjadi akibat perubahan dalam perbandingan antara tingkat filtrasi glomerulus dan tingkat penyerapannya kembali ke tubulus. Pada kehamilan normal penyerapan ini meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi glomerulus (Ogah, 2005). Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasme arteriolus ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun. Hal ini yang menyebabkan retensi garam dan dengan demikian retensi air. Fungsi ginjal pada preeklampsia agak menurun sekitar 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis turun yang pada keadaan lanjut menjadi oliguria atau anuria (Ogah, 2005). c. Kelenjar adrenal Kelenjar adrenal dapat menunjukan kelainan berupa perdarahan 9

dan nekrosis dalam berbagai tingkat (Lindsay, 2010). d. Hati Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis pada tepi lobulus disertai trombosis pada pembuluh darah kecil terutama disekitar vena porta. Walaupun umumnya lokasi ialah periportal namun perubahan tersebut dapat ditemukan di tempat lain (Lindsay, 2010). e. Paru-paru Paru-paru menunjukan adanya oedema dan bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru (Lindsay, 2010). f. Jantung Jantung dapat mengalami perubahan degeneratif pada

miokardium, nekrosis serta perdarahan (Lindsay, 2010). g. Retina Kelainan yang ditemukan ialah spasme pada arteriola-arteriola terutama yang dekat dengan diskus optikus, oedema pada diskus optikus dan retina. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina. Ablasio retina juga dapat terjadi namun komplikasi ini prognosisnya masih baik karena retina akan melekat lagi beberapa minggu post partum (Sibai, 2005). h. Otak Aliran darah dan pemakaian oksigen pada preeklampsia tetap dalam batas normal. Pemakaian oksigen oleh otak hanya menurun pada eklampsia. Pada penyakit yang belum lanjut hanya ditemukan oedema dan anemia pada korteks serebri dan pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan. Eklampsia terjadi akibat thrombus platelet, vasospasme 10

pembuluh darah otak sehingga menurunkan aliran darah ke otak, hipoksia otak, oedema otak dan pembentukan ptekia perdarahan di otak. Hasil otopsi menunjukkan bahwa terdapat patologi sererbal di substansia lba bagian kortex dan sub kortex. Kerusakan tersebut berupa edema, infark dan perdarahan (microhaemorrhagic dan perdarahan parenkim otak) (Wiknjosastro, 2007). i. Metabolisme air, elektrolit dan profil kimia klinik Hemokonsentrasi yang menyertai preeklampsia dan eklampsia disebabkan oleh pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang intersisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, bertambahnya oedema sehingga volume darah berkurang. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan viskositas darah, sehingga aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh berkurang dan terjadi hipoksia. Turunnya hematokrit dapat dipakai sebagai tolak ukur perbaikan penyakit dan keberhasilan pengobatan (Sibai, 2005). Elektrolit, kristaloid dan protein dalam serum tidak menunjukan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, kalsium dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal. Selain itu gula darah, pH dan bikarbonas juga dalam kadar normal (Sibaim 2005). Pada eklampsia, kejang-kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk sementara. Kadar asam urat dalam darah digunakan sebagai parameter untuk menentukan proses preeklampsia menjadi baik atau tidak. Pada keadaan normal asam urat melewati glomerulus dengan sempurna untuk diserap kembali dengan sempurna oleh tubulus kontortus proksimal dan akhirnya dikeluarkan oleh tubulus kontortus distal. Tampaknya perubahan pada glomerulus menyebabkan filtrasi asam urat berkurang sehingga kadarnya dalam darah meningkat walaupun tidak selalu ditemukan (Sibai, 2005). Kadar kreatinin dan ureum pada preeklampsia tidak meningkat kecuali terjadi oliguri dan anuria. Protein serum total, perbandingan 11

albumin

globulin

dan

tekanan

osmotik

plasma

menurun

pada

preeklampsia. Pada kehamilan cukup bulan kadar fibrinogen meningkat dengan nyata. Kadar tersebut lebih meningkat lagi pada preeklampsia. Waktu pembekuan menjadi lebih pendek dan kadang-kadang kurang dari 1 menit pada eklampsia (Wiknjosastro, 2007).

Gambar 4. Patofisiologi preeklampsia-eklampsia. 8. Pencegahan Timbulnya Preeklampsia dan Berkembangnya Preeklampsia Menjadi Eklampsia Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat mendeteksi terjadinya preeklampsia. Timbulnya preeklampsia tidak dapat dicegah, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian edukasi dan 12

pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil. Edukasi tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring ditempat tidur namun pekerjaan sehari-hari juga perlu dikurangi dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring (RCOG, 2006). Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan segera merawat penderita tanpa memberikan diuretik dan obat anti hipertensi merupakan kemajuan yang penting dari pemeriksaan antenatal yang baik (Wiknjosastro, 2007). 9. Outcome Maternal dan Perinatal Akibat Eklampsia Eklampsia meningkatkan mortalitas dan morbiditas ibu. Hal ini disebabkan oleh berbagai kondisi yang menyertai dan menjadi komplikasi eklampsia pada tubuh ibu. Angka kematian ibu akibat eklampsia semakin bertambah apabila fasilitas intensive care unit tidak tersedia pada saat pengelolaan pasien eklampsia dan apabila usia ibu lebih dari 30 tahun. Beberapa morbiditas pada ibu seperti abrupsio plasenta, DIC, oedema pulmo, gagal ginjal akut, pneumoni aspirasi dan cardiopulmonary arrest juga meningkat akibat timbulnya eklampsia (RCOG, 2005). Mortalitas dan morbiditas perinatal juga tinggi pada pasien eklampsia. Angka kematian perinatal yakni sekitar 5,6-11,8%%. Hal ini disebabkan oleh prematuritas, abrupsio plasenta dan restriksi pertumbuhan janin akibat penurunan aliran uteroplasenta pada ibu eklampsia (RCOG, 2006). 10. Pengobatan Pengobatan preeklampsia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus. Pada penderita dengan preeklampsia ringan, istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama yang digunakan untuk pengobatan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan 13

pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal menjadi lebih banyak, tekanan vena pada ekstrimitas bawah turun dan resorbsi cairan dari daerah tersebut bertambah (Ogah, 2005). Pada penderita yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda-tanda dan gejala-gejala preeklampsia berat harus segera diberikan sedatif yang kuat untuk mencegah terjadinya kejang-kejang. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan larutan MgSO4 40%. Obat tersebut selain menenangkan juga menurunkan tekanan darah dan dapat meningkatkan dieresis (Ogah, 2005). Penggunaan obat antihipertensi pada preeklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah maka kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oliguria sebaiknya penderita diberikan glukosa 20% secara intravena. Penderita dengan pengobatan tersebut kadang-kadang berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi sebaiknya pada preeklampsia berat sesudah bahaya akut berakhir langsung dipertimbangkan untuk menghentikan kehamilan oleh karena harapan dalam keadaan ini harapan bahwa janin akan hidup terus tidak besar dan adanya janin dalam uterus menghambat sembuhnya penderita dari penyakitnya (Wiknjosastro, 2007). Tujuan utama pengobatan eklampsi ialah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan. Tatalaksana dalam keadaan akut yakni berupa memposisikan pasien miring kiri untuk mencegah aspirasi dan mempertahankan jalan nafas. Selain itu juga harus segera diberikan oksigenasi (RCOG, 2006). Penanggulangan eklampsi umum lainnya meliputi : 1. Penderita dirawat di ruang yang tenang dan tidur miring ke kiri. 2. Pemberian oksigenasi, pemasangan gudel/intubasi/ventilasi 3. Diet cukup protein 100 mg/hari, dan kurang garam sampai 0,5 gram/hari. 4. Infus dextrose 5% yang tiap liternya diselingi infus RL 60-125 ml/jam atau (jumlah urin dalam 1 jam ditambah 30 cc), jika cairan menurun, diberikan larutan koloid. 14

5. Magnesium sulfat yang berfungsi untuk mengatasi vasospasme pembuluh darah serebral : Diberikan dengan syarat : Reflek patella (+) Respirasi > 16 x/menit Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam terakhir Harus tersedia antidotum, yaitu kalsium glukonas 10% dalam 15 menit b. Maintenance : inj 6 gr (15 cc) MgSO4 40% + 500 cc RL drip 20 tpm. Apabila kejang berulang, selain diberi MgSO4 40%, juga dapat diberikan diazepam (10 mg iv) atau tiopenton (50 mg iv). Tanda toksisitas MgSO 4 ialah hilangnya refleks patella, gagal ginjal, somnolenm sulit bicara, paralisis otot, kesulitan bernafas dan cardiac arrest. Antidotum Ca glukonas 10% sebanyak 10 cc harus segera diberikan iv. 6. Antihipertensi diberikan 1 jenis, apabila TD 160/110 atau MAP 125 mmHg guna menurunkan risiko pecahnya pembuluh darah serebral. Pemberian obat antihipertensi harus disertai dengan monitoring berkala pada kesejahteraan janin karena memicu terjadinya fetal distress. a. Hidralizin : 10 mg iv 4-6 jam sesuai respon, 5 mg iv tunggu 25 mg. 5 menit bila tidak ada respon ulangi 5 mg iv sampai dosis total Hidralazin memiliki efek vasodilator arteriol. b. Labetalol : merupakan golongan beta bloker non selektif dapat diberikan 2x100 mg. c. Nifedipin : merupakan golongan ca channel blocker, dengan pemberian sublingual 10 mg dapat menyebabkan rebound hipotensi shingga harus dihindari pada kasus IUGR dan abnormlaitas denyut jantung janin. 7. Diuretik : untuk sekarang tidak boleh diberikan lagi dikhawatirkan adanya intoksikasi ginjal. Indikasi pemberian diuretik adanya edema paru-paru dan kegagalan ginjal. 8. Tindakan obstetrik : terapi definitif untuk eklampsia adalah berakhirnya kehamilan. a. Konservatif : Kehamilan dipertahankan, ditunggu sampai persalinan spontan (jarang dilakukan karena kondisi ibu yang harus 15

a. Loading dose : inj 4 gr (10 cc) MgSO 4 40% + 10 cc akuades bolus iv

segera diakhiri kehamilannya, kecuali kondisi ibu masih belum stabil, terminasi kehamilan dapat ditunda) b. Aktif. Indikasi bila satu atau lebih keadaan di bawah ini : a. Umur kehamilan lebih atau 37 minggu b. Terdapat gejala impending eklampsi c. Kegagalan terapi konservatif medika : 6 jam sejak pengobatan medisinal terjadi kenaikan tekanan darah, tidak terjadi perbaikan setelah 48 jam perawatan, dengan kriteria tekanan diastolik lebih dari 100 mmHg d. Terdapat tanda-tanda gawat janin e. Terdapat tanda-tanda IUGR yang kurang dari 10 persentil dari kurve normal f. Terdapat HELLP sindrom. Cara terminasi kehamilan a. Belum ada persalinan 1. Induksi setelah 30 menit terapi medisinal 2. Seksio caesaria apabila terdapat kontraindikasi terhadap oksitosin setelah 12 jam dalam induksi tidak termasuk fase aktif. b. Sudah dalam persalinan 1. Kala I fase laten dengan seksio caesarea (terutama pada primigravida) 2. Kala I fase aktif dengan amniotomi bila 6 jam setelah amniotomi tidak tercapai pembukaan lengkap lakukan seksio caesarea 3. Kala II dengan ekstraksi vakum atau forcep. 9. Perawatan high care unit/intensive care unit minimal 24 jam post partum disertai dengan monitoring komplikasi dengan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hepar, fungsi ginjal, saturasi oksigen dan pemeriksaan neuroimaging jika perlu (Ogah, 2005; RCOG, 2006; Wiknjosastro, 2007). 16

11. Komplikasi Komplikasi terberat ialah kematian ibu dan janin, solusio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis, peradrahan otak, kelainan mata, edema paruparu, nekrosis hati, sindrom HELLP, kelainan ginjal dan prematuritas merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada preeklampsi dan eklampsi. Komplikasi setelah terjadinya eklampsia dapat berupa koma, defisit neurologis, kebutaan dan perdarahan serebrovaskular.. B. Fetal Distress/Gawat Janin 1. Definisi Gawat janin adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin (kadar oksigen yang rendah dalam darah). Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada antepartum maupun intrapartum (Wiknjosastro et al, 2007). 2. Etiologi Beberapa penyebab yang sering terjadi: a) Kontraksi Kontraksi secara langsung mengurangi aliran darah ke plasenta dan dapat mengkompresi tali pusat sehingga penyaluran nutrisi terganggu. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : o persalinan yang lama (kala II lama) o penggunaan oksitosin o uterus yang hipertonik (otot-otot menjadi terlalu tegang dan tidak dapat berkontraksi ritmis dengan benar) b) Infeksi c) Perdarahan d) Abrupsi plasenta : plasenta terlalu dini memisahkan diri dari fetus e) Tali pusat prolaps f) Hipotensi Bila tekanan darah ibu menurun selama persalinan, jumlah aliran darah ke fetus akan berkurang. Hipotensi dapat disebabkan oleh: o anestesi epidural 17

o posisi supine Hal tersebut terjadi karena adanya pengurangan jumlah aliran darah dari vena cava ke jantung. g) Masalah pernafasan janin h) Kelainan posisi dan presentasi i) j) Kelahiran multipel Kehamilan prematur atau postmatur (Wiknjosastro et al, 2007) Penyebab yang paling utama dari gawat janin dalam masa antepartum adalah insufisiensi uteroplasental. Faktor yang menyebabkan gawat janin dalam persalinan/ intrapartum adalah kompleks, contohnya seperti: penyakit vaskular uteroplasental, perfusi uterus yang berkurang, sepsis pada janin, pengurangan cadangan janin, dan kompresi tali pusat. Pengurangan jumlah cairan ketuban, hipovolemia ibu dan pertumbuhan janin terhambat juga diketahui menjadi penyebab gawat janin pada saat persalinan (Wiknjosastro et al, 2007). 3. Faktor Risiko Ada beberapa faktor resiko yang diduga berhubungan dengan kejadian gawat janin, yakni : a) Wanita hamil usia > 35 tahun b) Wanita dengan riwayat: o Bayi lahir mati o Pertumbuhan janin terhambat o Oligohidramnion atau polihidramnion o Kehamilan ganda/ gemelli o Sensitasi rhesus o Hipertensi o Diabetes dan penyakit-penyakit kronis lainnya o Berkurangnya gerakan janin 18

k) Distosia bahu

o Kehamilan serotinus (Wiknjosastro et al, 2007) 4. Tanda dan Gejala Gejala yang dirasakan oleh ibu adalah berkurangnya gerakan janin. Ibu dapat melakukan deteksi dini dari gawat janin ini, dengan cara menghitung jumlah tendangan janin/ kick count. Janin harus bergerak minimal 10 gerakan dari saat makan pagi sampai dengan makan siang. Bila jumlah minimal sebanyak 10 gerakan janin sudah tercapai, ibu tidak harus menghitung lagi sampai hari berikutnya. Hal ini dapat dilakukan oleh semua ibu hamil, tapi penghitungan gerakan ini terutama diminta untuk dilakukan oleh ibu yang beresiko terhadap gawat janin atau ibu yang mengeluh terdapat pengurangan gerakan janin. Bila ternyata tidak tercapai jumlah minimal sebanyak 10 gerakan maka ibu akan diminta untuk segera datang ke RS atau pusat kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Benzion, 2004). Tanda-tanda gawat janin meliputi : Mekonium kental berwarna hijau terdapat di cairan ketuban pada letak kepala Adanya mekonium saja tidak mampu untuk menegakkan suatu diagnosis gawat janin. Mekonium adalah cairan berwarna hijau tua yang secara normal dikeluarkan oleh bayi baru lahir mengandung mukus, empedu, dan selsel epitel. Bagaimanapun, dalam beberapa hal, mekonium dikeluarkan dalam uterus mewarnai cairan ketuban. Adanya mekonium pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin mencapai maturitas dan dengan sendirinya bukan merupakan tanda-tanda gawat janin (Benzion, 2004). Mekonium dapat mewarnai cairan ketuban dalam beberapa tingkat, mulai dari mewarnai ringan sampai dengan berat. Adanya mekonium dianggap signifikan bila berwarna hijau tua kehitaman dan kental. Mekonium kental merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan amnion yang berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang lebih cepat dan penanganan mekonium pada saluran napas atau neonatus untuk mencegah aspirasi mekonium. Pada presentasi sungsang, mekonium dikeluarkan pada saat persalinan akibat kompresi abdomen janin pada persalinan. Hal ini bukan 19

merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada awal persalinan/ saat bokong masih tinggi letaknya (Benzion, 2004). Pada tahun 1903, J. Whitridge Williams mengamati dan menganggap keluarnya cairan mekonium sebagai relaksasi otot sfingter anidiakibatkan aerasi yang kurang dari darah janin. Para ahli obstetri sudah lama menyadari bahwa deteksi mekonium dalam persalinan merupakan suatu hal yang problematis dalam memprediksi gawat janin atau asfiksia (Cunningham, 2009). Terdapat 3 teori yang telah diajukan untuk menjelaskan tentang keluarnya mekonium: - Janin mengeluarkan mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dan mekonium merupakan hasil dari suatu usaha janin untuk mengkompensasi. - Mekonium merupakan tanda maturasi yang normal dari traktus gastrointestinal di bawah pengaruh persarafan yang mempersarafinya. - Mekonium dapat keluar sebagai stimulasi vagal dari terjepitnya tali pusat dan gerakan peristalsis yang meningkat (Cunningham, 2009). Komponen mekonium seperti garam empedu dan enzim-enzim yang terkandung di dalamnya dapat menyebablan komplikasi serius bila terinhalasi atau teraspirasi oleh janin, dapat mengakibatkan sindrom aspirasi mekonium yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kehilangan surfaktan paru, pneumonitis kimia. Mekonium dalam cairan ketuban terdapat pada 13 % kelahiran hidup, kurang dari 5 % persalinan di bawah 37 minggu, 30 % pada bayi > 42 minggu (Cunningham, 2009). Faktor resikonya meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu dan preeklamsi, oligohidroamnion, ibu perokok, penggunaan obat-obatan terlarang. Ramin dkk. mempunyai hipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium termasuk hiperkapnia janin, yang menstimulasi respirasi janin mengakibatkan aspirasi mekonium ke dalam alveoli, dan trauma parenkim paru sekunder dari kerusakan sel alveolar karena asidemia (Benzion, 2004). Takikardi (160 x/)/ bradikardi (120 x/)/ iregularitas dari denyut jantung janin yang dapat dinilai melalui pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) secara manual, dengan Doppler, maupun kardiotokografi (KTG). 20

Kardiotokografi adalah alat elektronik yang digunakan untuk tujuan memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan hipoksia janin dalam rahim. Pemantauan dilakukan melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungan dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin dalam rahim (Benzion, 2004). Uji Tanpa Beban / Non Stress Test ( NST) NST adalah pemeriksaan kesehatan janin dengan menggunakan kardiotokografi pada umur kehamilan 32 minggu. Menurut American Pregnancy Association, NST dilakukan pada umur kehamilan 28 minggu. Sebelum usia 28 minggu, janin belum cukup berkembang untuk memberikan respons terhadap tes. Pemeriksaan ini dilakukan dengan maksud menilai kesehatan janin melalui hubungan perubahan denyut jantung janin dengan gerakan janin yang dirasakan oleh ibu Indikasi: Semua kondisi yang dapat menyebabkan janin lahir dalam keadaan buruk, antara lain: Kondisi ibu: Hipertensi kronis Diabetes mellitus Anemia berat ( Hb < 8 gr % atau Ht < 26 %) Penyakit vaskuler kolagen Gangguan fungsi ginjal Penyakit jantung Pneumonia dan penyakit paru-paru berat Penyakit dengan kejang

Kondisi janin: Pertumbuhan janin terhambat Kelainan kongenital minor Aritmia jantung 21

Isoimunisasi Infeksi janin Pernah mengalami kematian janin dalam rahim yang tidak diketahui penyebabnya

Kondisi yang berhubungan dengan kehamilan: Kehamilan multipel Ketuban pecah pada kehamilan kurang bulan Polihidramnion Oligohidramnion Plasentasi abnormal Solusio plasenta Kehamilan lewat waktu

Prosedur: Pasien ditidurkan secara santai semi Fowler, 45o miring ke ke kiri Tekanan darah diukur tiap 10 menit Dipasang kardiotokografi Pada ibu diberikan tombol penanda yang harus ditekan apabila ibu merasakan gerak janin Frekuensi denyut jantung janin dicatat selama 10 menit pertama untuk mendapat data dasar denyut jantung janin Pemantauan tidak boleh kurang dari 20 menit. Apabila pada 20 menit pertama didapatkan hasil non reaktif, lanjutkan pemantauan 20 menit lagi. Pastikan bahwa tidak ada hal-hal yang mempengaruhi hasil pemantauan apabila hasilnya tetap nonreaktif Pemeriksaan NST ulangan dilakukan berdasarkan pertimbangan hasil NST secara individual Hasil reaktif, bila: Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali permenit Variabilitas denyut jantung janin 6 -25 permenit 22

Ada gerakan janin, terutama gerakan multipel dan berjumlah 5 gerakan atau lebih dalam pemantauan 20 menit, dengan kenaikan minimal 15 dpm selama minimal 15 detik

Hasil tidak reaktif, bila: Denyut jantung janin basal antara 120-160 kali permenit Variabilitas kurang dari 6 denyut/ menit Gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit Tidak ada akselerasi denyut jantung janin meskipun diberikan rangsang dari luar (Cunningham, 2009) Ada juga hasil yang meragukan (non reassuring), keadaan ini interpretasinya sukar, dapat disebabkan oleh pemakaian obat yang mendepresi susunan saraf pusat. Pada keadaan hasil yang meragukan dimana pasien sudah dipastikan tidak sedang dalam pengaruh obat, dianjurkan agar NST diulang keesokan harinya. Bila reaktivitas tidak membaik, dilakukan pemeriksaan uji beban kontraksi (OCT) Uji Beban Kontraksi (Contraction Stress Test/CST) atau Uji Dengan Oksitosin (Oxytocin Challenge Test/ OCT) Tujuan dilakukannya tes ini adalah untuk memantau kondisi janin pada kehamilan usia lanjut sebelum janin dilahirkan, menilai apakah janin sanggup mentolerir beban persalinan normal serta menilai fungsi plasenta. Indikasi: Bila terdapat dugaan insufisiensi plasenta: Uji beban yang tidak reaktif Diabetes mellitus Preeklamsia Hipertensi kronis Pertumbuhan Janin Terhambat Kehamilan lewat waktu 23

Pernah mengalami lahir mati Ketagihan narkotika Hemoglobinopati akibat sel sickle Penyakit paru kronis Gangguan fungsi ginjal

Kontraindikasi: Luka parut pada rahim Kehamilan ganda sebelum 37 minggu Ketuban pecah sebelum 37 minggu Risiko tinggi untuk persalinan kurang bulan Perdarahan antepartum Serviks inkompeten atau paska operasi serviks Kelainan bawaan atau cacat janin berat Indikasi untuk seksio sesarea

Komplikasi: persalinan kurang bulan Prosedur: a. Pasien ditidurkan secara semi Fowler dan miring kiri b. Tekanan darah diukur setiap 10 -15 menit, dicatat di kertas monitor c. Kardiotokografi dipasang d. Selama 10 menit pertama dicatat data dasar e. Pemberian tetes oksitosin untuk mengusahakan terbentuknya 3 kontraksi rahim dalam 10 menit. Bila telah ada kontraksi uterus spontan tapi kontraksi < 3 kali/ 10 menit, tetesan dimulai dengan 0.5 mU/ menit. Bila belum ada kontraksi rahim, tetesan dimulai dengan 1 mU/ menit ( 20 tetes/ menit). Bila kontraksi yang diinginkan belum tercapai, setiap 15 menit tetesan dinaikkan 5 tetes/ menit, sampai maksimal 60 tetes/ menit Tetesan oksitosin dihentikan bila: Lima kontraksi atau lebih dalam 10 menit 24

Negatif

Dalam 10 menit terjadi 3 kontraksi yang lamanya lebih dari 50-60 detik Kontraksi uterus hipertonus Deselerasi yang memanjang Terjadi deselerasi lambat yang terus-menerus Selama 1 jam pemantauan, hasilnya tetap mencurigakan

Interpretasi hasil: Tidak terjadi deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang nyata Denyut jantung janin normal, variabilitas 6-25 dpm Bila hasil OCT negatif, maka kehamilan dapat diteruskan sampai 7 hari lagi, selanjutnya dilakukan OCT ulangan, atau diartikan bahwa janin dapat mentolerir beban persalinan normal. Positif Terjadi deselerasi lambat yang menetap pada sebagian besar kontraksi rahim, meskipun tidak selalu disertai dengan variabilitas yang menurun dan tidak ada akselerasi pada gerakan janin OCT Mencurigakan Terjadi deselerasi lambat yang tidak menetap, atau deselerasi variabel yang terus-menerus Deselerasi lambat terjadi hanya bila ada kontraksi rahim hipertonus Bila dalam 10 menit meragukan ke arah positif atau negatif Adanya takikardi positif menunjukkan adanya insufisiensi uteroplasenta. Kehamilan harus segera diakhiri, kecuali bila paru-paru belum matang

Bila hasilnya mencurigakan, maka harus dilakukan pemeriksaan ulang 1-2 hari kemudian (Benzion, 2004). Asidosis janin

25

Sesuai dengan American College Of Obstetricians and Gynecologists, pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat membantu untuk mengidentifikasi keadaan gawat janin. Prosedur ini memang jarang dilakukan, tetapi merupakan pemeriksaan penyerta untuk menegakkan diagnosis gawat janin pada hasil NST yang meragukan. Pengambilan darah janin harus dilakukan di luar his dan sebaiknya ibu dalam posisi tidur miring. Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut: o Deselerasi lambat berulang o Deselerasi variabel memanjang o Mekonium pada presentasi kepala o Hipertensi ibu o Osilasi/ variabilitas yang menyempit Kontraindikasi: o Gangguan pembekuan darah janin o Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai o Infeksi pada ibu Syarat: o Pembukaan lebih dari 2 cm o Ketuban sudah pecah o Kepala sudah turun hingga dasar pelvis Cara pengambilan sampel darah: 1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah ruptur membran 2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada tempat insisi 3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis 4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin 5. Periksa pH darah 6. Setelah insisi, hentikan perdarahan (Benzion, 2004)

26

Gambar 5. Teknik pengambilan sampel darah dari kulit kepala janin menggunakan amnioskopi. 5. Terapi Tabel 1. Tata laksana gawat janin. Tindakan berikut harus dicatat dalam rekam medis: 1. Reposisi pasien 2. Hentikan stimulansia uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus 3. Pemeriksaan vaginal 4. Koreksi hipotensi ibu yang berhubungan dengan anestesi regional 5. Pemberitahuan tenaga anestesi dan perawat untuk kebutuhan persalinan darurat 6. Monitor denyut jantung janin dengan monitor janin elektronik atau auskultasi di ruang operasi sebelum menyiapkan kelahiran per abdominal 7. Adanya tenaga kompeten yang hadir untuk resusitasi dan penanganan neonatus 8. Pemberian oksigen ke ibu

27

BAB III LAPORAN KASUS I. IDENTITAS Nama Umur Agama Pekerjaan Alamat No CM Tanggal Masuk IGD II. ANAMNESA A. Keluhan utama B. Keluhan Tambahan : Kejang : Kenceng-kenceng, pusing, mual, muntah, bengkak pada tungkai bawah C. Riwayat Penyakit Sekarang (allo & autoanamnesis) : Pasien datang membawa surat pengantar bidan Eny Sulistyowati dengan G3P2A0 hamil 38 minggu 4 hari dan PER. Pasien berniat untuk kontrol kehamilan di Poliklinik Kandungan dan Kebidanan RSMS keesokan harinya, namun ternyata pasien mengalami kejang di rumah. Pasien mengalami kejang 28 : Ny T. : 37 tahun : Islam : Ibu Rumah Tangga : Baseh RT/RW 03/06 Kedung Banteng : 280394 : 31 Juli 2013 : 19.05 WIB

di rumah 1 kali jam 18.00 tanggal 31/7/2013, kejang selama 5 menit, saat kejang pasien tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang pasien sadar. Pasien juga mengeluhkan kenceng-kenceng di hari yang sama mulai siang hari, namun belum teratur, pusing, mual dan muntah 2 kali saat di rumah. Tungkai bawah pasien dirasakan bengkak sejak 1 bulan yang lalu dan terasa semakin membesar. Pasien menyangkal adanya sesak maupun pandangan kabur. HPHT 03-11-2012. HPL 10-08-2013. Usia kehamilan 38 minggu 4 hari.

D. Riwayat Antenatal Care (ANC) : Trimester I periksa 1 kali/bulan di bidan, trimester II periksa 2 kali/bulan di bidan, trimester III pasien mengaku jarang kontrol karena tidak ada yang mengantar ke bidan, dalam trimester III pasien hanya kontrol 2 kali. Selama ANC tekanan darah berada pada range 120-150 mmHg/70-90 mmHg. E. Riwayat Obstetrik Penderita adalah seorang ibu dengan G3P2A0, menikah 1 kali pada usia 19 tahun (lamanya menikah 18 tahun). Anak I: Perempuan/ 17 tahun/ lahir spontan ditolong oleh bidan/BBL 3 kg Anak II: IUFD/UK 7 bulan/dipacu untuk dilahirkan/RS Kartini/6 tahun yang lalu F. Riwayat Penyakit Dahulu : - Riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya diakui, yakni hanya saat hamil anak ke dua dan ketiga (tensi tertinggi 150/90 mmHg) - Riwayat kencing manis disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal - Riwayat penyakit ginjal disangkal - Riwayat penyakit ayan (epilepsi)/kejang sebelumnya disangkal - Riwayat penyakit asma/alergi disangkal G. Riwayat Penyakit Keluarga - Riwayat tekanan darah tinggi disangkal 29

- Riwayat tekanan darah tinggi saat kehamilan pada ibu kandung disangkal - Riwayat kencing manis disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal - Riwayat penyakit ayan (epilepsi) disangkal - Riwayat penyakit asma/alergi disangkal

III. PEMERIKSAN FISIK SAAT DI VK IGD A. Pemeriksaan Fisik Umum Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign Mata Thorax : Lemah : Compos mentis :T N : 180/100 mmHg : 124 x/menit R : 24 x/menit S : 37.5 C

: Edema palpera (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : Paru-paru : Suara dasar : Vesikuler kanan dan kiri Suara tambahan : Ronkhi (-), wheezing (-) Jantung : S1 > S2, reguler, bising (-)

Abdomen Extremitas Superior Inferior

: Status obstetri : Edem (-) : Edema tungkai kanan dan kiri, reflek patella (+/+) normal

B. Pemeriksaan Obstetri 1. Pemeriksan Luar Inspeksi : Cembung Gravid 30

Palpasi

: TFU

: 33 cm : Teraba tahanan memanjang

Leopold 1 : Teraba bagian lunak, bulat dan besar Leopold 2 : Kiri Kanan : Teraba bagian-bagian kecil Leopold 3 : Teraba bagian keras, bulat dan besar Leopold 4 : Tidak dapat gerakkan (divergen) His Auskultasi Djj 2. : Jarang : 10/11/11 (128x/menit) : Pungtum maximum : 1 jari bawah pusat, sebelah kiri

Pemeriksan Dalam (vaginal taucher) - Vagina dan vulva tenang - Portio kaku, mencucu - Pembukaan (1 jari sempit) - Kulit ketuban (+) - Lendir dan darah (-)

C. Pemeriksaan Genitalia Eksterna - Inspeksi : dalam batas normal, perdarahan -, lendir -, air ketuban D. Pemeriksaan Status Vegetatif BAK : Urin tampung 25 cc selama 1 jam observasi awal BAB : - (1 hari) IV. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium (31 Juli 2013) 21.57 di VK IGD Darah lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit : 16.7 g/dl : 11030 /uL : 50 % : 5.1 : 291.000 /uL (12-16 g/dl) (4800-10800 / uL) (37-47 %) (4.2-5.4 juta/mL) (150.000-450.000 /uL) 31

MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit LED PT APTT Kimia klinik SGOT SGPT LDH Ureum Darah Kreatinin Darah Glukosa Sewaktu Natrium Kalium Klorida Asam urat Urine lengkap Fisis Warna Kejernihan Bau

: 97.3 fL : 32.7 pg : 33.7 gr/dl : 12.6 : 10.7 : 0.3 : 0.1 : 1.4 : 70.3 : 23.0 : 4.9 :: 13.7 : 32.3 : 46 U/L : 15 U/L : pending : 31.2 mg/dL : 1.05 mg/dL) : 116 mg/dL : 137 mmol/L : 4.8 mmol/L : 103 mmol/L : 10.7 mg/dL

(79-99 fL) (27-31 pg) (33-37 gr/dl) (11.5-14.5 %) (7.2-11.1) (0-1 %) (2-4 %) (2-5 %) (40-70 %) (25-40 %) (2-8 %) (0 15 mm/jam) (11.5-15.5 detik) (28.2-34.3 detik) (15-37 U/L) (30-65 U/L) (100-190) (14,98 38,52 mg/dL) (0,60-1,00 mg/dL) (<= 200 mg/dL) (136-145 mmol/L) (3,5-5,1 mmol/L) (98-107 mmol/L) (2,4 5,7 mg/dL)

: kuning : keruh : khas

(kuning muda-tua) (jernih) (khas) 32

Kimia Berat jenis PH Leukosit Nitrit Protein Glukosa Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit Sedimen Eritrosit Leukosit Epitel Silinder hialin Silinder lilin Granuler halus Granuler kasar Kristal Bakteri Trikomonas V. Diagnosa I Gravida 3 Para 2 Abortus 0, 37 tahun, hamil 38 minggu 4 hari, janin tunggal hidup intrauterin, letak memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan eklampsia. VI. Penatalaksanaan Tatalaksana I - Bed rest 33 : 7-9 : 0-1 : 1-2 : negatif : negatif : negatif : 0-1 : negatif : positif : negatif (0-2 / LBP) (0-5 / LBP) ( < 10 / LPK) (negatif / LPK) (negatif / LPK) (negatif) (negatif) (negatif) (negatif / LPB) (negatif / LBP) : 1.025 : 5.5 : negatif : negatif : 1000 mg/dl : normal :5 : normal : negatif : 50 (1.010-1.030) (4.6-7.8) (negatif) (negatif) (negatif) (normal) (negatif) (normal 1) (negatif) (negatif)

- O2 6-10 liter/menit NRM + spatel selama kejang - IVFD RL 20 tetes/menit + drip MgSO4 6 gr selama 6 jam - Injeksi MgSO4 4 gr iv bolus extra - Injeksi MgSO4 2 gr iv bolus bila kejang - Pasang DC - Miring kiri - Monitor keadaan umum, vital sign dan balance cairan - Monitor tanda-tanda fetal distress dan tanda-tanda inpartu - Edukasi kondisi pasien

Pukul 20.00 konsul dr. Sp.OG via telepon Instruksi: - Protap MgSO4 dan Oksigenasi - Injeksi MgSO4 2 gr bila kejang - Injeksi Ampisilin 2 gr bolus iv extra - Usaha PRC 2 kolf - Observasi, rencana SC cito pukul 22.00 - Konsul spesialis Anestesi VII. Prognosis Dubia

34

VIII. Follow Up selama di IGD (31 Juli 2013) Pukul 20.15: Usaha PRC 2 kolf Inform consent SC + Inform consent MOW + Konsul Anestesi +, ACC +

Pukul 20.30: Keadaan pasien: KU/Kes: lemah/CM Tekanan darah: 150/100 Nadi: 100x/menit Respirasi Rate: 24x/menit Suhu: 370 C His DJJ + 136x/menit

Pukul 21.00: Keadaan pasien: KU/Kes: sedang /CM Tekanan darah: 140/90 Nadi: 100x/menit Respirasi Rate: 24x/menit Suhu: 370 C His DJJ + 140x/menit

Pukul 21.30: Keadaan pasien: KU/Kes: sedang /CM Tekanan darah: 140/80 Nadi: 100x/menit 35

Respirasi Rate: 24x/menit Suhu: 36,70 C His DJJ + 136x/menit

Pukul 22.00: Keadaan pasien: KU/Kes: sedang /CM Tekanan darah: 140/80 Nadi: 116x/menit Respirasi Rate: 22x/menit Suhu: 36,60 C His DJJ + 13/13/14 (160x/menit)

Pukul 22.30: Keadaan pasien: IX. KU/Kes: sedang /CM Tekanan darah: 140/80 Nadi: 112x/menit Respirasi Rate: 22x/menit Suhu: 37 C His DJJ + 12/14/15 (164x/menit) Diagnosis II

Gravida 3 Para 2 Abortus 0, 37 tahun, hamil 38 minggu 4 hari, janin tunggal hidup intrauterin, letak memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan eklampsia dan fetal distress.

36

X.

Tatalaksana II Lanjutkan tatalaksana I dengan menitikberatkan pada tindakan : - Pemberian O2 6-10 liter/menit - Posisi ibu miring kiri - Edukasi keluarga - Segera dilakukan SC

Pukul 23.15: Operasi SC dimulai Pukul 23.25: bayi lahir Bayi lahir perempuan BBL: 2200 gram PB: 43 cm LK: 30 cm LD: 28 cm Anus + Kelainan Apgar score: 5-6-7 (asfiksia sedang) Injeksi vit K 0.1 mg Rawat NICU (melati)

Pukul 00.00: Operasi selesai, pasien dirawat HCU XI. Follow Up di HCU & ICU TGL
1-08-13 HCU

Subyektif
- Nyeri bekas operasi

Obyektif
KU : Sedang, CM Vital sign : T : 160/100 mmHg N : 98 x/mnt S : 36.8 C R : 20 x/menit Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen : Status obstetrik Status obstetrik : Ins : Tampak perut agak

Assesment
P3A0, 37 tahun post SCTP + MOW a/i eklamsia H1

Planning
- O2 3 lpm - IVFD RL 20 tetes/menit (+ drip MgSO4 6 gr) - Inj. Ampisilin 3 x1 gr - Nifedipin 3x10 mg - Dopamet 2x500mg

37

2-08-13 ICU

- Kembung - BAK tidak lancar

cembung, perban +, rembes Aus : BU (+) N Per : Timpani Pal: Nyeri tekan (+) Status genitalis externa: - PPV(+), FA (-) Status vegetatif: BAB -, BAK+DC 150 cc/7 jam, flatus + KU : Sedang, CM Vital sign : T : 140/80 mmHg N : 80 x/mnt S : 36.5 C R : 20 x/menit Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen : Status obstetrik Status obstetrik : Ins : Tampak perut agak cembung, perban +, rembes Aus : BU (+) N Per : Timpani Pal: Nyeri tekan (-) Status genitalis externa: - PPV(+), FA (-) Status vegetatif: BAB +, BAK+, flatus +

- DC - Pengawasan

P3A0, 37 tahun post SCTP + MOW a/i eklamsia H2

- O2 3 lpm - IVFD RL 20 tetes/menit Inj. Ampisilin 3 x1 gr - Nifedipin 3x10 mg - Dopamet 2x500mg - DC - Pengawasan

Pemeriksaan Laboratorium (01 Agustus 2013) 01.55 pasca operasi, di HCU Darah lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV : 15.2 g/dl : 13340 /uL : 44 % : 4.6 : 262.000 /uL : 97.3 fL : 33.1 pg : 33.7 gr/dl : 12.8 : 10.8 (12-16 g/dl) (4800-10800 / uL) (37-47 %) (4.2-5.4 juta/mL) (150.000-450.000 /uL) (79-99 fL) (27-31 pg) (33-37 gr/dl) (11.5-14.5 %) (7.2-11.1) 38

Hitung jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia klinik Total Protein Albumin Globulin Ureum Darah Kreatinin Darah Glukosa Sewaktu Natrium Kalium Klorida : 5.30 g/dL : 2.74 g/dL : 2.56g/dL : 34.2 mg/dL : 0.85 mg/dL) : 118 mg/dL : 136 mmol/L : 4.8 mmol/L : 109 mmol/L (6,40-8,20 g/dL) (3,40-6,00 g/dL) (2,70-3,20 g/dL) (14,98 38,52 mg/dL) (0,60-1,00 mg/dL) (<= 200 mg/dL) (136-145 mmol/L) (3,5-5,1 mmol/L) (98-107 mmol/L) : 0.1 : 0.0 : 0.8 : 91.1 : 6.3 : 2.9 (0-1 %) (2-4 %) (2-5 %) (40-70 %) (25-40 %) (2-8 %)

XII.Follow Up di Bangsal Flamboyan TGL


3-08-13

Subyektif
- Kembung - BAK tidak lancar

Obyektif
KU : Sedang, CM Vital sign : T : 150/90 mmHg N : 89 x/mnt S : 36.5 C R : 20 x/menit Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen : Status obstetrik Status obstetrik : Ins : Tampak perut agak cembung, perban +, rembes Aus : BU (+) N Per : Timpani Pal: Nyeri tekan (-)

Assesment
P3A0, 37 tahun post SCTP + MOW a/i eklamsia H3

Planning
Terapi teruskan

39

4-08-13

- Kembung - BAK tidak lancar

5-08-13

- Sulit tidur

Status genitalis externa: - PPV(+), FA (-) Status vegetatif: BAB +, BAK+, flatus + KU : Sedang, CM Vital sign : T : 140/80 mmHg N : 80 x/mnt S : 36.5 C R : 20 x/menit Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen : Status obstetrik Status obstetrik : Ins : Tampak perut agak cembung, perban +, rembes Aus : BU (+) N Per : Timpani Pal: Nyeri tekan (-) Status genitalis externa: - PPV(+), FA (-) Status vegetatif: BAB +, BAK+, flatus + KU : Sedang, CM Vital sign : T : 130/80 mmHg N : 80 x/mnt S : 36.5 C R : 20 x/menit Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen : Status obstetrik Status obstetrik : Ins : Tampak perut agak cembung, perban +, rembes Aus : BU (+) N Per : Timpani Pal: Nyeri tekan (-) Status genitalis externa: - PPV(+), FA (-) Status vegetatif: BAB +, BAK+, flatus +

P3A0, 37 tahun post SCTP + MOW a/i eklamsia H4

- Terapi teruskan

P3A0, 37 tahun post SCTP + MOW a/i eklamsia H5

- Amoxixilin 3x500 mg - Sulfat ferosus 1x1 tablet - Paracetamol 2x500 mg - Pasien boleh pulang

XIII. Follow Up Bayi di Melati (NICU) TGL


01/08/13

Subyektif
-Neonatus

Obyektif
KU : menangis lemah/

Assesment
Neonatus

Planning
- O2 HB 5 lpm

40

01.30

perempuan aterm - usia 0 hari - BBL: 2200 gr -BAK: + -BAB : + -KC: 154 cc

01/08/13 06.00

-Neonatus perempuan aterm - usia 1 hari - BBL: 2200 gr -BAK: + -BAB : + -KC: 154 cc

01/08/13 17.45

kurang aktif Vital sign : HR : 126 x/menit RR: 56 x/menit S : 35.3 C Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : sianosis-, hangat+, ikterikKU : menangis lemah/ kurang aktif Vital sign : HR : 112x/menit RR: 52 x/menit S : 36 C Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : sianosis-, hangat+, ikterikHb: 19.7 Leukosit:17.370 Ht: 53 Trombosit: 126000 Na: 124 Cl: 89 Ca: 7.7

perempuan aterm, BBLR, Asfiksia sedang, Distress pernafasan, Hipotermia

- IVFD D5% 5 tts/mn - NS: 10x3.4 cc

Neonatus perempuan aterm, BBLR, Asfiksia sedang, Distress pernafasan, Hipotermia

- O2 HB 5 lpm - IVFD D5% 5 tts/mn - NS: 10x3.4 cc - Inj Ampisilin 2x100mg - Inj gentamsin 1x10 mg

02/08/13 06.00

-Neonatus perempuan aterm - usia 2 hari - BBL: 2200 gr -BBS: 2210 gr -BAK: + -BAB : + -KC: 198 cc -Neonatus perempuan aterm - usia 3 hari - BBL: 2200 gr -BBS: 2210 gr

KU : menangis lemah/ kurang aktif Vital sign : HR : 142x/menit RR: 38 x/menit S : 36.2 C Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn Abdomen: dbn Ekstremitas : sianosis-, hangat+, ikterikKU : jelek/ kurang aktif Vital sign : HR : 96x/menit RR: 36 x/menit S : 36.4 C Status generalis : Mata : CA (-/-), SI (-/-) Thorax : Cor, Pulmo dbn

Neonatus perempuan aterm, BBLR, Asfiksia sedang, Distress pernafasan, infeksi neonatus

KONSUL DR. NUR FAIZAH: instruksi: -ganti infus dengan KAEN 1B 5 tpm -Ca glukonas 2x200mg (besok cek elektroit ulang) -NS 10x 8 cc - O2 CPAP 5 lpm - IVFD KAEN 1B 5 tpm - NS: 10x3.4 cc - Ca glukonas 2x200mg - Inj Ampisilin 2x100mg - Inj gentamsin 1x10 mg

03/08/13 06.00

Neonatus perempuan aterm, BBLR, Asfiksia sedang, Distress pernafasan, infeksi neonatus

- O2 CPAP 5 lpm - IVFD KAEN 1B 5 tpm - NS: 10x3.4 cc - Ca glukonas 2x200mg - Inj Ampisilin 2x100mg

41

-BAK: + -BAB : + -KC: 221 cc

Abdomen: dbn Ekstremitas : sianosis-, hangat+, ikterik-

- Inj gentamsin 1x10 mg - Luminal 2x 5 mg

03/08/13 14.30

RR irreguler 28-60 Apneu 5-10 detik HR < 100 S02 96-100

Konsul Dr Nur faizah, Sp. A. Instruksi: - Inj. Dexa 2x1/4ampl - Inj Aminofilin 3x2.4 mg - Jika masih apneu pasang ventilator - Nafas spontan lanjut CPAP Pasien dinyatakan meninggal

22.35

- RR - HR - pupil midriasis

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG (By. NY. T) Pemeriksaan Laboratorium (01 Agustus 2013) Darah lengkap Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung jenis Basofil Eosinofil : 0.4 : 0.2 (0-1 %) (2-4 %) 42 : 19.7 g/dl : 17370 /uL : 53 % : 5.2 : 126.000 /uL : 101.9 fL : 37.9 pg : 37.2 gr/dl : 17.9 : 11.4 (11.3-14.1 g/dl) (6000-17500 / uL) (33-41 %) (4.1-5.3 juta/mL) (150.000-450.000 /uL) (79-99 fL) (27-31 pg) (33-37 gr/dl) (11.5-14.5 %) (7.2-11.1)

Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia klinik Glukosa Sewaktu Natrium Kalium Klorida

: 0.0 : 61.6 : 28.2 : 9.6 : 115 mg/dL : 124 mmol/L : 6.5 mmol/L : 89 mmol/L

(2-5 %) (40-70 %) (25-40 %) (2-8 %) (<= 200 mg/dL) (136-145 mmol/L) (3,5-5,1 mmol/L) (98-107 mmol/L)

BAB IV PEMBAHASAN Diagnosis awal kasus saat di VK IGD RSMS adalah G3P2A0, usia 37 tahun, usia kehamilan 38 minggu 4 hari, janin tunggal hidup intra uterin, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan eklampsia. Beberapa hal yang perlu dibahas berkaitan dengan diagnosis ini antara lain : 1. Usia 37 tahun merupakan masa subur atau masa usia produktif. Usia reproduksi sehat yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Winkjosastro, 2007). Usia pasien ini sudah melebihi ambang batas usia aman untuk hamil. 2. Usia kehamilan Usia kehamilan pasien menurut diagnosis adalah 38 minggu 4 hari. Hal ini sesuai dengan perhitungan usia kehamilan dengan rumus Neagle. Menurut perhitungan dengan rumus Mc Donald, dengan TFU sebesar 33 cm dan kepala janin sudah masuk panggul namun masih bisa digerakkan, didapatkan perkiraan umur kehamilan pasien adalah 37,7 minggu. Walaupun hasil perhitungan kedua rumus tidak sama persis, namun dapat disimpulkan bahwa usia kehamilan pada pasien ini adalah aterm. 43

3. Taksiran berat janin Taksiran berat janin menurut perhitungan rumus Johnson-Tausak yakni berkisar 3255 gr. Taksiran berat janin dengan rumus ini berbeda cukup jauh dengan berat janin sesungguhnya pada saat bayi sudah lahir, yaitu 2200 gr. Hal ini mungkin disebabkan oleh salah satunya keadaan pre-eklampsia ringan yang dialami ibu selama kehamilan yang dapat menyebabkan komplikasi hambatan pertumbuhan bayi (bayi kecil masa kehamilan) atau intra uterin growth restriction (IUGR), dan usia ibu yang sudah mencapai 37 tahun. 4. Janin tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala, punggung kiri, konvergen diketahui dari pemeriksaan abdomen yang didapatkan : Inspeksi : Cembung gravid Auskultasi: Denyut jantung janin tunggal, frekuensi 152 kali permenit. Perkusi Palpasi : Pekak janin : Leopold I: massa bulat lunak, tinggi fundus uteri (TFU) 33 cm Leopold II: tahanan memanjang di kiri ibu Leopold III: massa bulat keras, dapat digerakan Leopold IV: konvergen 5. Diagnosis eklampsia pada pasien ini merupakan diagnosis klinis yang ditegakkan melalui anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapati bahwa pasien mengalami kejang saat hamil, pusing, mual muntah dan terdapat riwayat kenaikan tekanan darah selama kehamilan kedua maupun kehamilan ini (walaupun hanya di kisaran 120-150 mmHg/70-90 mmHg). Dari pemeriksaan fisik, tanda yang sangat mendukung ke arah diagnosis eklampsia dan menyingkirkan diagnosis banding kejang lainnya yakni tingginya tekanan darah (180/100 mmHg) (RCOG, 2006). Diagnosis kedua pada pasien ini adalah G3P2A0, usia 37 tahun, usia kehamilan 38 minggu 4 hari, janin tunggal hidup intra uterin, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan eklampsia dan fetal distress. Gawat janin/fetal distress adalah suatu keadaan dimana terdapat hipoksia pada janin (kadar oksigen yang rendah dalam darah). Pada janin pasien ini terjadi fetal distress antepartum akibat eklampsia yang dialami ibu. Hal tersebut dapat terjadi karena pada preeklampsia-eklampsia 44

terdapat konstriksi dan aterosis pada arteria spiralis disertai necrotizing arteriopathy sehingga menyebabkan spasme arteriola spiralis desidua yang pada akhirnya menurunkan aliran darah ke plasenta. Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta sehingga menyebaban hipoksia pada janin yang kemudian menyebabkan gawat janin, gangguan pertumbuhan sampai dengan kematian janin karena kekurangan oksigenisasi (Cunningham, 2009) Terapi yang diberikan di IGD sudah tepat dan sesuai protap penanganan eklampsia di RSMS. Pada prinsipnya, tujuan utama pengobatan eklampsi ialah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan. Usaha untuk mencegah beruangnya kejang ialah dengan pemberian MgSO4 40% 4 gr bolus dan 6 gr drip dalam 6 jam. MgSO4 diberikan karena bekerja sebagai vasodilator (sehingga menurunkan tekanand arah dan mengatasi vasokonstriksi pembuluh darah uterus), stabilisator membrane, mengurangi iskemi dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bekerja sebagai antikonvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartate (RCOG, 2006). Sedangkan usaha untuk mengakhiri kehamilan ialah dengan SC cito. SC menjadi cara persalinan yang dipilih karena pada pasien ini belum inpartu dan mulai terdeteksinya gawat janin yang ditandai dengan DJJ > 160 dan irregular, sehingga kehamilan harus segera diakhiri. Pada tatalaksana di IGD juga sudah dilakukan upaya tambahan untuk mencegah terjadinya gawat janin selain dengan pencegahan kejang berulang pada ibu, yakni dengan pemberian oksigenasi 6 lpm dan memposisikian ibu miring ke kiri. Posisi ini menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal menjadi lebih banyak, tekanan vena pada ekstrimitas bawah turun dan resorbsi cairan dari daerah tersebut bertambah. Sedangkan pemberian oksigenasi pada ibu dilakukan dengan harapan memperbaiki alirah oksigen sampai ke janin (RCOG, 2006). Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium ibu menunjukkan nilai abnormal, yakni terjadi hemokonsentarasi (peningkatan Hb dan hematokrit), peningkatan asam urat, dan proteinuria 1000 mg/dl. Hemokonsentrasi yang menyertai preeklampsia dan eklampsia disebabkan oleh pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang 45

intersisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, bertambahnya oedema sehingga volume darah berkurang. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan viskositas darah, sehingga aliran darah ke jaringan di berbagai bagian tubuh berkurang dan terjadi hipoksia (Wiknjosastro, 2007). Kadar asam urat dalam darah digunakan sebagai parameter untuk menentukan proses preeklampsia menjadi baik atau tidak. Pada keadaan normal asam urat melewati glomerulus dengan sempurna untuk diserap kembali dengan sempurna oleh tubulus kontortus proksimal dan akhirnya dikeluarkan oleh tubulus kontortus distal. Tampaknya perubahan pada glomerulus menyebabkan filtrasi asam urat berkurang sehingga kadarnya dalam darah meningkat walaupun tidak selalu ditemukan. Keberadaan protein dalam urin juga menunjukkan adanya kerusakan/kebocoran glomerulus yang disebabkan peningkatan tekanan darah pada pasien-pasien preeklampsia-eklampsia (Wiknjosastro, 2007). Eklampsia meningkatkan mortalitas dan morbiditas ibu, sehingga pada pasien ini dilakukan perawatan di high care unit/intensive care unit setelah SC selesai. Hal ini disebabkan oleh berbagai kondisi yang menyertai dan menjadi komplikasi eklampsia pada tubuh ibu. Beberapa morbiditas pada ibu seperti abrupsio plasenta, DIC, oedema pulmo, gagal ginjal akut, pneumoni aspirasi dan cardiopulmonary arrest juga meningkat akibat timbulnya eklampsia (RCOG, 2005). Perawatan high care unit/intensive care unit minimal 24 jam post partum disertai dengan monitoring komplikasi dengan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hepar, fungsi ginjal, saturasi oksigen dan pemeriksaan neuroimaging jika perlu (Ogah, 2005; RCOG, 2006; Wiknjosastro, 2007).
Kasus preeclampsia-eklampsia pada ibu hamil mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian asfiksia bayi baru lahir. Asphixia neonatorum atau asfiksia bayi baru lahir di definisikan sebagai kegagalan untuk memulai bernafas atau nafas megap-megap segera setelah lahir. Asfiksia bayi baru lahir ialah emergensi neonatal yang akan mengarah pada hipoksia (kekurangan suplai oksigen ke otak dan jaringan) dan dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian jika tidak ditangani dengan tepat. Asfiksia bayi baru lahir merupakan salah satu penyebab utama kematian perinatal. Keadaan tersebut dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang,

46

sehingga aliran oksigen ke janin berkurang yang berakibat terjadi gawat janin. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir. Beberapa faktor penyebab asfiksia bayi baru lahir pada bayi ini ialah preeklampsia dan eklampsi dan BBLR (Norwitz, 2007; Prawirohardjo, 2008). Keadaaan asfiksia mempengaruhi fungsi sel tubuh dan jika tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Selain itu, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan asam basa pada tubuh bayi yakni berupa asidosis respiratorik, metabolism anaerobic yang kemudian asam organik yang terjadi akibat metabolisme tersebut akan menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler (Norwitz, 2007; Prawirohardjo, 2008). Keseluruhan proses tersebut yang dapat menyebabkan kematian neonatus pada bayi ini.

Peran ANC pada pasien ini dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan belum baik. Riwayat antenatal care pada pasien ini tidak teratur, terutama pada trimester III yang seharusnya dilakukan lebih sering. Hasil ANC cenderung baik walaupun terkadang tekanan darah pasien naik dari nilai normal, yakni pada kisaran 120-150 mmHg/70-90 mmHg. Tekanan darah 150/90 mmHg hanya terjadi sekali yakni pada hari pasien diberikan surat rujukan oleh bidan untuk melakukan pemeriksaan (termasuk pemeriksaan USG) di Poliklinik Kandungan dan Kebidanan RSMS. Sebelum operasi, diberikan edukasi kepada pasien dan suaminya mengenai pilihan alat kontrasepsi yang bisa digunakan. Dilihat dari paritasnya, pasien ini memang baru memiliki 1 anak hidup, namun faktor usia pasien sudah melebihi batas aman untuk hamil. Hal ini terbukti pada kehamilan ketiga pasien mengalami eklampsia dan gawat janin. Selain itu, pasien juga memiliki riwayat obstetrik jelek, dimana anak kedua mengalami IUFD. Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and Gynecologists yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi (Sarwono, 2008), Oleh sebab itu, pasien ini disarankan melakukan sterilisasi, dan pasien setuju.

47

BAB V KESIMPULAN 1. Diagnosis awal kasus saat tiba di VK IGD RSMS adalah Gravida 3 Para 2 Abortus 0, usia 37 tahun, usia kehamilan 38 minggu 4 hari, janin tunggal hidup intra uterin, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan eklampsia. 2. Diagnosis sekitar 3 jam setelah masuk RS menjadi Gravida 3 Para 2 Abortus 0, usia 37 tahun, usia kehamilan 38 minggu 4 hari, janin tunggal hidup intra uterin, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan eklampsia dan fetal distress. 3. Tidak ada perbedaan terapi antara diagnosis I dan II, hanya saja setelah diagnosis II muncul, terapi lebih dititikberatkan pada pemberian oksigenasi pada ibu, posisi miring kiri pada ibu dan program SC cito yang sesegera mungkin dilakukan. 4. Bayi lahir hidup jenis kelamin perempuan dengan BBLR (2200 gr) dan asfiksia sedang. 5. Baik ibu maupun bayi dirawat di ruang ICU pada saat post SC. 6. Diagnosis bayi di ruang perawatan NICU : neonatus perempuan aterm, bblr, asfiksia sedang, distress pernafasan, infeksi neonatus. Bayi dinyatakan meninggal dunia di NICU saat usia 3 hari. 7. Diagnosis saat pasien pulang ialah Para 3 Abortus 0 post SCTP + MOW atas indikasi eklampsia dan fetal distress.

48

DAFTAR PUSTAKA Abdul, B. S., 2001, B u k u A c u a n N a s i o n a l P e l a y a n a n K e s e h a t a n M a t e r n a l D a n Neonatal , JNNPKKR-POGI bekerjasama dengan Yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, Jakarta. Benzion, Taber. 2004. Kapita selekta. Kedaruratan Obstetri & Ginecologi; Alih bahasa; Teddy Supriyadi; Johanes Gunawan; Editor Melfiawati S, Ed 2, Jakarta: EGC. Cunningham, F. Garry, et al. 2010. Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetryics, edisi ke-23. New York: McGraw-Hill. Haram, K.,Svendsen, E., Abildgaard, U.2009. The HELLP Syndrome : Clinical Issue and Management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth. No.9; 115. Lindsay, J. L. 2010. Evaluation of Fetal Death. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/259165-overview [Accessed 15 Agustus 2013] Norwitz,E. Schorge,J. 2007. At a Glance Obstetri & Ginekologi edisi kedua Kematian Janin Intra Uterin. Jakarta: EMS. Ogah, Oshiomeghe K., M. A. Ijaiya, P. A. Aboyeji, S. A. Esuga. 2005. Eclampsia: A global problem. University of Ilorin Teaching Hospital. Serial Health Matters Vol. 6(2): 1-5 Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan edisi 4 Kematian Janin. Bina Pustaka: Jakarta. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2006. The Management of Severe Pre-eclampsia/Eclampsia. Guideline No. 10(A). 1-11 Sibai, Baha M. 2005. Diagnosis, Prevention and Management of Eclampsia. American College of Obstetricians and Gynecologists. Vol. 105(2): 402410 Wiknjosastro, H., A. B. Saifudin, T. Rochimhadhi. 2007. Ilmu Kebidanan. Ed.3, Jakarta: Yayaysan Bina Pustaka. 49

Anda mungkin juga menyukai