Anda di halaman 1dari 63

BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini angka kejadian nyeri kronis telah meningkat di seluruh belahan

dunia.. Nyeri kronis menjadi masalah kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup serta menjadi beban pada sistem perawatan kesehatan. The International Association for the Study of Pain (IASP) dan European Federation of the IASP Chapters (EFIC) melaporkan bahwa satu dari lima orang penderitan nyeri kronis menderita nyeri dengan intensitas sedang sampai berat. Selain itu, satu-setengah sampai dua pertiga dari orang yang menderita kronis nyeri tidak dapat berolahraga, tidur normal, menghadiri sosial kegiatan, dan melakukan normal sehari-hari kegiatan tersebut seperti berjalan, mengendarai mobil, dan melakukan hubungan seksual. Selain itu, satu dari empat penderita sakit kronis melaporkan adanya hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan orang-orang sekitar. Nyeri mungkin adalah gejala yang paling ditakuti pada pasien kanker. 1 Nyeri tidak henti-hentinya mempengaruhi semua dimensi kualitas hidup dan sangat mempengaruhi kemampuan pasien untuk bertahan pada proses pengobatan. Sebuah penelitian baru pada nyeri kanker menunjukkan angka prevalensi nyeri sebesar 33% setelah pengobatan kuratif dan 64% pada pasien yang memiliki penyakit lanjut, dimana sepertiga dari keseluruhan skala nyeri mengarah ke nyeri sedang atau berat.. Meskipun kemajuan medis, farmakologi dan teknologi yang signifikan, prevalensinya masih sangat tinggi. Banyak pedoman pengobatan telah diterbitkan selama 20 tahun terakhir, dan sedikit data menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap pedoman yang menghasilkan kepuasan pada penanganan nyeri kanker 2 Ditinjau dari neurofisiologi, nyeri kanker melibatkan reaksi inflamasi, neuropati, iskemi, dan mekanisme kompresi pada berbagai lokasi. Penanganan nyeri yang efektif tentunya harus berhasil mengetahui penyebab dari nyeri tersebut.3 Kombinasi terapi farmakologi dan non-farmakologi selalu diupayakan dalam menangani nyeri pada pasien kanker. Sasaran pendekatan multimodal adalah tiga tingkat kontrol nyeri : bebas nyeri pada malam hari, bebas nyeri pada istirahat dan bebas nyeri pada gerakan.

Pada nyeri kanker eradikasi nyeri ini tampaknya suatu hal yang tidak realistik. Sehingga yang patut diusahakan adalah mengurangi frekuensi dan intensitas nyeri yang diderita. Dengan demikian maka pengelolaan nyeri kanker terutama ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita, agar penderita dapat menjadi lebih nyaman.4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi 2.1.1 Definisi Nyeri Pada tahun 1968, McCaffery mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman subyektif tanpa melalui pengukuran yang objektif. Pada tahun 1979, Asosiasi Internasional untuk Studi Pain (IASP) memperkenalkan definisi yang paling banyak digunakan saat ini . Nyeri didefinisikan sebagai " Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual '' Definisi ini menekankan rasa sakit yang kompleks dan pengalaman yang mencakup berbagai dimensi.5 Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis)5 Nyeri Kronik Nyeri kronis pernah didefinisikan sebagai rasa nyeri yang berlangsung 3 sampai 6 bulan di luar onset atau di luar perkiraan masa healing. Namun, saat ini definisi membedakan nyeri kronis dari akut nyeri lebih dari sekedar batasan waktu. Nyeri kronis kini diakui sebagai rasa sakit yang melampaui masa penyembuhan, dengan tingkat patologi teridentifikasi yang relatif rendah dan tidak cukup untuk menjelaskan keberadaan dan atau tingkat nyeri kronis.5 Nyeri kronis juga didefinisikan sebagai rasa sakit terus-menerus yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari pasien , tidak lagi berfungsi sebagai alat proteksi diri. sebagai berikut: a. Berdasarkan jenis nyeri: 1.) Nyeri Nosiseptif Nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Ada dua macam nyeri nosisepsi, yaitu: Adapun beberapa klasifikasi nyeri yang dapat dijabarkan

a.

Nyeri somatik, adalah nyeri yang sifatnya terlokalisir, intermiten atau terus menerus terjadi akibat adanya eksitasi dan sensitisasi nosiseptor di Nyeri ini terjadi akibat kerusakan jaringan seperti tulang, jaringan lunak peri-artikuler, sendi dan otot. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan.

b. Nyeri viseral, adalah nyeri yang sifatnya tidak terlokalisasi secara topografik dan difus. Dapat bersifat intermiten atau konstan. Nyeri ini berawal dari nosiseptor-nosiseptor yang terdapat pada jaringan visceral, seperti jaringan kardiovaskuler, jaringan respirasi, jaringan gastrointestinal, dan jaringan genitourinaria. dengan rasa perih dan kram 2.) Nyeri Neuropati Nyeri ini terjadi akibat kerusakan serabut saraf perifer akibat dari, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan berupa rasa panas dan ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak mengenakan saat perabaan. Terdapat tiga macam nyeri neurogenik : a. Peripherally generated neuropathic pain. Mencakup nyeri yang terjadi akibat lesi saraf tepi (dari radiks spinalis, pleksus sampai saraf tepi yang lain). b. Centrally generated pain. Meliputi nyeri yang terjadi akibat trauma pada susunan saraf pusat, baik pada level spinal maupun level diatasnya. c. Sympathetically maintained pain. Gambarannya, selain nyeri, ada disregulasi otonom yang terlokalisasi di daerah yang terkena, disertai perubahan vasomotor, sudomotor, udema, keringat dan ada gangguan pertumbuhan otot (hipotropi atau atropi). Dulu sering disebut reflex sympathetic dystrophy atau causalgia. Sekarang gangguan ini disebut Complex Regional Pain Syndrome. Nyeri viseral ditandai

Tabel 1 . Perbedaan Nyeri Nociceptif dan Neuropati6 3.) Nyeri Psikogenik Nyeri psikogenik adalah nyeri yang berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan pasien. Nyeri akan berangsur-angsur hilang seiring perbaikan dari kondisi kejiwaan yang mengalami gangguan. b. Berdasakan derajat nyeri:7 1.) 2.) 3.) Nyeri Ringan adalah nyeri yang hilang-timbul, muncul terutama saat beraktifitas sehari-hari dan menghilang menjelang tidur. Nyeri Sedang merupakan nyeri yang terus-menerus hingga aktifitas terganggu dan hanya hilang bila penderita tidur. Nyeri Berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri. c. Berdasarkan penyebabnya:8 1) Nyeri Onkogenik. merupakan kombinasi beberapa komponen nyeri akut, intermitten, kronis. Nyeri kaknker terjadi akibat adanya pendesakkan saraf akibat infiltasi selsel kanker. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor. nyeri juga dapat terjadi pada tempat metastase dari kanker.

2) Nyeri Nononkogenik. Nyeri non-onkogenik adalah nyeri kronis yang disebabkan bukan oleh adanya proses keganasan, melainkan adanya kerusakan pada susunan saraf maupun kerusakan organ muskuloskletal yang bersifat kronis.

d. Berdasarkan manifestasi nyeri: 8,9 1.) 2.) 3.) Nyeri Menusuk (Stabbing), contohnya jarum yang masuk ke kulit atau kulit yang terpotong pisau. Nyeri Terbakar (Burning) yang terjadi seperti pada kulit yang terekspos temperatur yang tinggi. Nyeri Tumpul (Aching) adalah nyeri pada tidak pada permukaan tubuh, tetapi terasa dalam dan sulit dilokalisir. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 7 Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu) Aksis IV : awitan terjadinya nyeri Aksis V : etiologi nyeri 2.1.2 Definisi Kanker Tumor didefiniskan sebagai segala bentuk benjolan abnormal yang ada pada tubuh. Secara klinis, tumor dibedakan atas golongan neoplasma dan nonneoplasma.5,10 Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma jinak memiliki karakteristik batas tegas dan tidak terfiksir, tidak merusak jaringan sekitar, tetapi

dapat membesar dan menekan jaringan sekitarnya (ekspansif), dan tidak bermetastasis, misalnya lipoma. Neoplasma ganas atau kanker terjadi karena adanya proses proliferasi sel secara tidak terkendali sehingga sel sel ini tumbuh terus merusak bentuk dan fungsi organ tempat tumbuhnya. Karakteristik dari neoplasma ganas adalah infiltratif ke jaringan sekitarnya, destruktif, dapat bermetastasis. Klasifikasi patologik tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik pada jaringan dan sel tumor. 5,10 2.2 Anatomi dan Fisiologi Nyeri Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh melalui nyeri. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Neuron aferen primer terletak pada dorsal root ganglia, yang terdapat pada foramina vertebra di setiap level spinal cord. Pada dorsal horn, neuron aferen primer bersinaps dengan neuron ke dua (second-order neuron) dimana aksonnya melintasi garis tengah dan menuju nukleus thalamikus. Second-order neuron bersinaps didalam nukleus thalamikus dengan third-order neuron, dimana ini mengirimkan sinyal proyeksi melalui kapsula interna dan korona radiata ke postsentral gyrus dari korteks serebri. Disinilah persepsi terhadap nyeri terjadi3,8

Gambar 1. Anatomi sistem saraf dalam mekanisme hantaran nyeri6 Patofisiologi Nyeri Kerusakan jaringan atau potensi kerusakan jaringan akan merangsang tubuh mengeluarkan mediator-mediator yang berperan dalam transduksi nyeri yang berkumpul disekitas jaringan. Zat Kalium Serotonin Bradikinin Histamin Prostaglandin Lekotrien Substansi P Sumber Sel-sel rusak Trombosis Kininogen plasma Sel-sel mast Asam arakidonat dan sel rusak Asam arakidonat dan Menimbulkan nyeri ++ ++ +++ + Efek pada aferen primer Mengaktifkan Mengaktifkan Mengaktifkan Mengaktifkan Sensitisasi Sensitisasi Sensitisasi

sel rusak Tabel 2. Mediator yang berperan dalam proses transduksi nyeri5

Mekanisme nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis adalah tiga factor yang memilki peranan besar dalam pathogenesis nyeri. nosiseptif dihasilkan ketika sensor nyeri (nosiseptor) distimulasi Nyeri dan

menghasilkan suatu aktivitas listrik pada saraf. Terdapat perbedaan klinis antara nosiseptor kutaneus dan viseral. Viseral memiliki nosiseptor yang lebih sedikit dari pada kulit dengan profil aktivasi yang berbeda pula. Serabut aferen viseral yang membawa informasi nosiseptif harus melalui spinal cord dengan serabut simpatis. Informasi nosiseptif ditransmisikan ke sentral melalui serabut C yang tak terbungkus mielin dan serabut A delta.5 Nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses elektrofisiologis nosisepsi yaitu : a. Transduksi 5,8,9 Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf.1 Pada reseptor mekanis (mechano-receptor) peregangan akan membuka saluran ion (ion-channel), demikian pula temperatur maupun zat-zat kimia. Membukanya saluran ion memungkinkan influks berbagai macam ion terutama Na+ keruangan intraselluler sehingga terjadi depolarisasi. Depolarisasi akan membuka saluran ion lainnya yang dinamakan voltage sensitive ion-channel (VSIC) yang dalam keadaan istirahat tertutup rapat. VSIC terbuka menyebabkan membanjirnya influks Na+ ke ruangan intraselluler dan kenaikan kadar Na+ intraselluler membuka lebih banyak lagi VSIC. Peristiwa ini dapat terus berlanjut sehingga memungkinkan untuk bangkitnya potensial aksi yang dijalarkan akson ke kornu dorsalis. Begitu potensial aksi muncul maka semua saluran ion menutup dan potensial membran kembali ke keadaan istirahat. Akan tetapi bila stimuli masih ada seperti misalnya pada jaringan yang mengalami inflamasi dapat menyebabkan timbulnya gelombang potensial aksi yang membanjiri kornu dorsalis dan nyeri

terus berlanjut. Proses transduksi terjadi oleh adanya stimuli yang menyebabkan membran reseptor mengalami depolarisasi. b. Transmisi5,8,9 Setelah terjadi proses tranduksi dilanjutkan dengan proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang disebut dengan transmisi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Oleh karena perbedaan ukuran ini Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). 7 c. Modulasi Modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Pada daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Sistem inhibisi endogen meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Oleh karena itu kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impus nyeri. Proses tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem inhibisi endogen tersebut diatas.7 d. Persepsi5,8,9 Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.8

10

Gambar 2. Proses perjalanan nyeri1 Perubahan-perubahan pada sistem saraf yang menyebabkan nyeri kronik. Nyeri neuropatik terjadi akibat lesi neuronal sentral maupun perifer. Seringkali nyeri ini sangat berat, menyebabkan gangguan fungsi, memiliki onset yang lambat, dan menimbulkan nyeri dengan kualitas seperti rasa terbakar atau tersengat listrik. Nyeri juga sering terjadi meskipun lesi awal sudah tidak ada. Beberapa penelitian menunjukkan adanya sejumlah perubahan fungsi neuronal abnormal pada keadaan nyeri kronis: Ephaptic cross-talk merupakan pembentukan kontak yang abnormal (ephapsis) antara akson setelah cedera. Aktivasi pada satu saraf akan menyebabkan aktivasi saraf yang lain. Perubahan jumlah reseptor adrenergik. Setelah cedera, reseptor nosiseptif yang mengalami regenerasi menjadi sensitif terhadap norepinefrin dan jumlah reseptor adrenergik a-1 pada akson bertambah. Mekanisme ini dapat dilihat pada keadaan nyeri simpatetik. Perubahan hubungan neuronal. Serabut A-delta dan C secara predominan berhubungan pada lamina I dan II. Sensasi sentuhan ringan dibawa oleh serabut A-beta yang secara normal bersinaps pada lamina III dan IV. Setelah

11

cedera, serabut A-beta akan memiliki cabang yang lebih banyak, membuat hubungan yang baru pada lamina superfisial dan bersinaps dengan neuron yang menghantarkan rasa nyeri. Sehingga rasa nyeri dapat ditimbulkan melalui sentuhan ringan pada keadaan neuropatik. Timbulnya impuls ektopik. Dalam keadaan normal, proses neuromodulator dapat menginhibisi efek serabut nyeri. Setelah terjadi cedera, terjadi aktivitas spontan yang abnormal pada serabut saraf ini. Aktivitas spontan ini kemungkinan terjadi akibat pelepasan neuromodulator eksitasi seperti glutamat dan substansi-P. Sympathetic-afferent coupling. Dalam keadaan normal, sistem simpatis tidak memiliki pengaruh terhadap neuron-neuron aferen primer. Setelah terjadi cedera pada saraf, akan muncul akson-akson noradrenergik pada kornu dorsalis dan membentuk struktur yang melingkari neuron yang cedera. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, neuron yang cedera akan membentuk reseptor-reseptor adrenergik, yang menyebabkan terbentuknya suatu sistem yang baru. Sekarang, melalui aktivasi simpatis proses nyeri dapat terjadi. Sebaliknya, dengan blokade simpatis, nyeri dapat diinhibisi. Keadaan ini disebut dengan nyeri yang terjadi akibat aktivitas simpatis. Sensitisasi Perifer Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.5 Interaksi ini akan menyebabkan terlepsnya suatu soup yang mengandung mediator inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas.

12

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.5 Sensitisasi Sentral Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan secondorder neuron sebagai neuron penerima dari nuron pertama. Second-order neuronlah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.5,6 Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti

13

plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.5,6 Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahanperubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.5,6 Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.

14

Gambar 3. Sensitisasi sentral Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.5,6 Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin

15

menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor. 8,9 Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri. Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.9,10 Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri pascabedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral. Akibat dari teraktivasinya reseptor NMDA dalam waktu yang lama menyebabkan nosiseptor melepaskan substansi P yang merupakan peptida

16

neurotransmiter (neurokinin) dan mediator inflamsi yang poten. Substansi P berikatan dengan reseptor neurokinin- 1 di medula spinalis. Aktivasi reseptor NK1 meningkatkan sinyal nyeri dan merangsang pertumbuhan serta regenerasi saraf melalui ekspresi gen c-fos. Produksi protein c-fos onkogen merupakan penanda hipersensitisasi sentral yang didapatkan bila sel-sel aferen di medula spinalis menerima sinyal nyeri. Jika nyeri berkepanjangan maka protein c-fos akan menyebar keluar dari daerah asal yang memicu nyeri. Jadi pasien dengan nyeri yang menetap selama beberapa bulan atau tahun mungkin akan merasakan nyerinya menyebar tidak membentuk suatu pola dermatom tertentu11 2.3. Respon Tubuh Terhadap Nyeri Rangsang nyeri pada penderita kanker dapat mempengaruhi sistem organ dalam tubuh, diantaranya: a. Sistem respirasi Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.3,8 b. Sistem kardiovaskuler Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami

17

penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.3,8 c. Sistem gastrointestinal Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction. 8,10 d. Sistem urogenital Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin. e. Sistem metabolisme dan endokrin Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormonhormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. negative Glukagon nitrogen, memicu intoleransi peningkatan karbohidrat, proses dan glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler.8,10

18

f. Sistem hematologi Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan hiperkoagulopati. 8 g. Sistem imunitas Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi. 8 h. Efek psikologis Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan ( anxiety), ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. 8 i. Homeostasis cairan dan elektrolit Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.8

19

Gambar 4 .Respon tubuh terhadap nyeri6 2.4 Diagnosis Nyeri Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.8,9 Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral. a. Anamnesis yang teliti Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.4 b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.4

20

Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.3,9 c. Pemeriksaan psikologis Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penaggulangan nyeri. 2,4 d. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.

2.5 Pengukuran Intensitas Nyeri Pengobatan menyebabkan nyeri dimulai dengan penilaian tentang apa yang rasa sakit, bagaimana menghentikannya, dan apa modalitas

manajemen yang paling efektif untuk pasien tersebut. Manifestasi klinis nyeri persisten seringkali kompleks dan multifaktorial pada populasi khusunyapada pasien usia lebih tua. Penilaian nyeri dilakukan secara subjektif. Oleh karena itu penilaian ini sangat bergantung pada kondisi pasien. Pada pasien lanjut usia itu sering dipersulit oleh depresi, kekhawatiran psikososial, penolakan, kesehatan yang buruk, dan memori yang buruk.2 Dalam kasus lain, seperti dengan nyeri kanker, hal ini tidak dilaporkan karena takut perkembangan penyakit. Selanjutnya, para pengasuh dan keluarga sering menjadi sumber yang paling dapat diandalkan dalam penggalian informasi

21

terkait nyeri informasi. Untuk mengatasi kebutuhan untuk secara memadai mengidentifikasi dan mendiagnosa nyeri dibuatlah skal-skal yang dapat secara subjektif menggambarkan kondisi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain :8,9 1. Verbal Rating Scale (VRSs) Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu: - tidak nyeri (none) - nyeri ringan (mild) - nyeri sedang (moderate) - nyeri berat (severe) - nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs) Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. 0menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang hebat.

22

Gambar 5. Numeric pain intensity scale10 3. Visual Analogue Scale (VASs) Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

No Pain imaginable

The

most

intense

pain

Gambar 6. Visual Analog scale10

4. McGill Pain Questionnaire (MPQ) Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari 0 sampai 3. 5. The Faces Pain Scale Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

23

Faces Pain Rating Scale (untuk anak)

Gambar 7. Faces Pain Scale10

2.6 Penatalaksanaan Nyeri Kanker Pengobatan nyeri kanker harus bersifat multidisiplin, melibatkan banyak keahlian seperti onkologi medik, anestesi, psikiatri, saraf, bedah, rehabilitasi medik, radioterapi, perawat onkologi, pengasuh perawat (caregivers), dan lain-lain. Selain itu juga melibatkan anggota keluarga selain pasien itu sendiri.8 Pengobatan nyeri kanker terdiri dari 2 bagian, non farmakologik yaitu pengobatan bukan dengan obat seperti tindakan operasi, radiasi, tindakan oleh rehabilitasi medik, dan sebagainya, namun pengobatan cara ini tidak banyak dilakukan. Sedangkan, farmakologik adalah pengobatan dengan memakai obat, dan dilaporkan sekitar 90% kasus nyeri kanker dapat diatasi dengan obat-obatan.8 Terdapat berbagai macam kesulitan yang dijumpai dalam mengatasi nyeri pada pasien adalah sebagai berikut: 9 1) Dari pihak dokter: a) Kurang pengetahuan tentang nyeri sehingga kurang tepat menilai sifat dan beratnya nyeri b) Phobia terhadap penggunaan morfin, karena adanya peraturanperaturan mengenai narkotika yang dirasakan terlalu kaku. c) Kekhawatiran terhadap ketergantungan dan ketakutan terhadap efek-efek samping. 2) Dari pihak pasien: a) Kurang terbukanya pasien untuk melaporkan mengenai sifat dan beratnya nyeri.

24

b) Phobia terhadap penggunaan morfin, disertai ketakutan bahwa ia dianggap sebagai seorang morfinis juga takut efek samping lain. 3) Dari pihak pelayanan medis: a) Sistem ganti pembiayaan (restitusi) yang kurang memadai, sehingga memberatkan sekali keluarga pasien. b) Peraturan yang terlampau ketat, sehingga penyediaan, pengadaan, dan medikasi khususnya narkotika jenis opioid sangat kurang dan susah di dapat. Sebelum dilakukannya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami tatalaksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip prinsip umum, yaitu: 9 1) Mengawali pemeriksaan dengan seksama 2) Menentukan penyebab dan derajat / stadium penyakit dengan tepat 3) Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga 4) Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan 5) Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi 6) Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan 7) Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin Hal-hal lain yang juga harus diperhatikan dalam pengobatan nyeri adalah:6,7 1) Jangan memberi obat apapun sebelum benar-benar memerlukan. 2) Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat. 3) Memakai modalitas pengobatan dengan benar. 4) Memakai modalitas pengobatan ganda atau multi-modal. 5) Harus konsisten tak boleh berubah-ubah dan terputus-putus. 6) Usahakan per oral. 7) Pada nyeri kronis, ikuti 3-Step Ladder Analgesic WHO. 8) Tentukan jenis obat dan dosis secara individual.

25

Setiap terapis nyeri perlu untuk mempelajari dasar dari konseling dan kemampuan dalam komunikasi serta harus mempercayai apa yang pasien katakan mengenai nyerinya. Nyeri adalah segala sesuatu apa yang pasien katakan, sakit. Hal ini juga berkaitan mengingat nyeri kaker kerap kali disertai dengan gangguan psikis9 2.6. 1 Terapi Farmakologi pada Nyeri Kanker Berikut ini merupakan farmakologi farmakokinetik, dan penggunaan klinis dari obat-obat analgetik yang digunakan dalam pasien kanker : 2.6.1.a Golongan Non Opioid Asetaminofen (Parasetamol) Asetaminofen biasanya digunakan dalam terapi nyeri ringan sampai sedang, dikombinasikan dengan analgetik lain.6 Asetaminofen merupakan metabolit aktif fenasetin dan bertanggungjawab atas efek analgesinya. Parasetamol mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Sifat inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat lemah. 6 Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonyugasi. Dosis toksis dapat menyebabkan nekrosis hari, karena ia dirusak oleh enzim mikrosomal hari. Paracetamol lebih disukai dibanding aspirin karena efek samping terhadap lambung dan gangguan pembekuan darah minimal. 6 Obat ini adalah penghambat enzin siklooksigenase-1 dan 2 yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek antiinflamasi yang bermakna. Asetaminofen diberikan per oral dan kadar puncaknya dalam darah biasanya tercapai dalam 30-60 menit, kemudian dimetabolisasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi bentuk yang tidak aktif. Waktu paruhnya adalah 2-3 jam. Dosis oral adalah 500-1000 mg per 4-6 jam, dosis maksimal adalah 4000 mg per

26

hari, dosis yang lebih dari 4000 mg tidak dianjurkan. 6,13, Dosis asetaminofen dalam bentuk suppositoria adalah 650 mg setiap 4 sampai 6 jam.13 Pada dosis terapi kadang terjadi peningkatan ringan enzim hati yang reversibel tanpa disertai dengan ikterus. Pada dosis yang lebih besar, dapat timbul pusing, mudah terangsang, dan disorientasi.13 Dosis toksis dapat meyebabkan nekrosis hati, karena asetaminofen dirusak oleh enzim mikrosomal hati. Kontraindikasi pada penggunaan paracetamol yaitu pasien mengalami gangguan hepar, intoleran atau alergi terhadap paracetamol, dan pasien yang alkoholik. 6 NSAID ( Non Steroid Anti Inflamasi Drug) NSAID biasanya diindikasikan untuk pengobatan kondisi akut atau kronis di mana rasa sakit dan peradangan hadir, seperti metastasis tulang. Namun, dalam penanganan nyeri kanker kronis, masalah keamanan selalu membayangi penggunaan NSAIDs.1 Semua NSAID menghambat cyclooxygenase, dengan cara mengurangi kadar prostaglandin jaringan. Efek anti inflamasi ini kemungkinan berperan dalam fungsi analgesik dari NSAIDs dan merupakan dasar dari pendapat umum bahwa obat ini bekerja secara perifer. Analgesia yang diberikan NSAIDs dicirikan dengan ceiling dose, dimana dosis tambahan tidak memberikan efek analgesik tambahan dan toksisitas terkait dosis bervariasi sangat luas, sehingga dosis rekomendasi standar kemungkinan tidak cocok untuk setiap pasien yang diberikan. Pertimbangan ini terutama menonjol pada pasien kanker, yang mungkin mengalami perubahan farmakokinetik NSAID atau predisposisi terhadap efek samping berdasarkan penyakit multisistemik atau pemberian bersama obat-obatan lain. Hasil observasi ini menganjurkan nilai titrasi dosis dari populasi ini. 13

Farmakokinetik dari NSAID :11 NSAID adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda. Perbedaan kimiawi ini menimbulkan karakterisktik farmakokinetik obat yang

27

berbeda

pula.

Sebagian

besar

obat

diabsorbsi

baik

dan

tidak

dipengaruhimoleh makanan. Obat-obatan NSAID diabsorbsi secara cepat jika diberikan peroral. NSAID juga sangat bergantung dengan keberadaan protein dalam hal ini adalah albumin. Sebagaian besar obat NSAID juga dimetabolisme secara cepat. Proses metabolisme ini melalui jalur CYP3A dan CYP2C dari enzim P450 dihati. Ekskresi melalui ginjal merupakan rute paling penting dalam eliminasi obat ( sirkulasi entero hepatik) dan memiliki clearance yang lambat. Farmakodinamik dari NSAID : NSAID dapat menghambat pembentukan siklooksigenase-dependen prostanoid sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer, menghambat fosfodiesterase intraseluler, menghambat level bradikinin, dan menghambat interaksi protein-G-protein membran, serta mekanisme antiinflamasi mayor yang terjadi pada tempat aksi perifer.5,6 Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini. Selain itu NSAID menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan memulihkan vasodilatasi akibat peradangan. 11 Beberapa sifat dari NSAID :11 - Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Obat-obat NSAID memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat NSAID yang berbeda pada waktu bersamaan. - Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah. - Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan. Kontraindikasi NSAID yaitu riwayat tukak peptik, insufisiensi ginjal atau oliguria, hiperkalemia, transplantasi ginjal, antikoagulasi atau koagulopati lain, disfungsi hati berat, dehidrasi atau hipovolemia, terapi dengan furosemide, dan riwayat eksaserbasi asma dengan NSAID.11

28

Gunakan NSAID dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada : - Pasien > 65 tahun - Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah ginjal - Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata - Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor - Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat. - Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS. COX inhibitor non-selektif Asam Karboksilat Asam Enolat Asam Fenilasetat Pirazolon - Diclofenac - Fenclofenac - Aclofenac Asam Karbosiklik dan Heterosiklik - Indometasin - Sulindac - Tolmetin - Etodolac - Ketorolac Asam Salisilat - Aspirin - Diflunisal Asam Propionat - Ibuprofen - Ketoprofen - Fenoprofen - Naproxen Asam tiaprofenat - Propazone - Eutazone Oxicam - Piroxicam - Tenoxicam

Substansi non-Asam Nebumetone

29

- Asam fenat - Asam mefenamat - Asam meklofenamat - Asam flufenamat

Selektif COX 2 inhibitor - Celecoxib - Valdecoxib - Rofecoxib - Meloxicam Tabel 3. Penggolongan NSAID 2.6.1.b Golongan Opioid Analgetik golongan opioid merupakan terapi pilihan (therapy of choice) pada pasien kanker, seringkali pemberiannya dilakukan secara parenteral.9,10 Pemberian opioid dengan patient controlled analgesia (PCA) melalui kateter epidural dapat sangat efektif untuk mengatasi nyeri pada pasien kanker.9 Farmakokinetik dari opioid yaitu : - Absorpsi Kebanyakan opioid analgesik diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan, intramuskular, dan oral. Namun opioid dosis oral (misalnya morfin) perlu diberikan melebihi dosis parenteral untuk menghasilkan efek terapeutik karena melalui metabolisme lintas pertama. Akibat keragaman tingkat metabolisme lintas-pertama opioid pada tiap orang, dosis oral efektif untuk masing-masing orang sukar diperkirakan. Jalur pemberian lainnya meliputi mukosa oral; via lozenge, dan trandermal via patch transdermal, dapat memberikan efek analgesik untuk beberapa hari.11 - Distribusi Ambilan opioid oleh berbagai organ dan jaringan bergantung pada faktor fisiologik dan kimia. Meskipun semua opioid terikat pada protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa ini cepat meninggalkan darah dan

30

banyak menumpuk di berbagai jaringan yang perfusinya tinggi seperti otak, paru, hati, ginjal, dan limfa.11 - Metabolisme Opioid sebagaian besar diubah menjadi metabolit polar (kebanyakan glukuronida) yang cepat diekskresi oleh ginjal. Misalnya morfin, yang mengandung gugus hidroksil bebas, terutama dikonjugasi menjadi morfin-3glukuronida (M3G), suatu senyawa dengan efek neuroeksitasi. Efek neuroeksitasi M3G tampaknya tidak diperantarai oleh reseptor tapi oleh sistem GABA/glisinergik. Sebaliknya sekitar 10% morfin dimetabolisasi menjadi morfin-6-glukuronida (M6P), suatu metabolit aktif dengan potensi analgesik 4 hingga 6 kali lebih kuat daripada senyawa induknya. Namun, metabolit yang relatif polar ini memiliki kemampuan terbatas untuk melintasi sawar darah-otak dan mungkin tidak terlalu berperan dalam menimbulkan efek pada sistem saraf pusat pada pemberian morfin akut. Namun, akumulasi metabolit-metabolit ini dapat menghasilkan efek simpang yang tidak diinginkan pada pasien gagal ginjal atau ketika morfin diberikan dalam dosis yang sangat besar atau diberikan dalam dosis besar dalam waktu yang lama. 11 Metabolisme oksidatif hepatik merupakan jalur utama degradasi opioid fenilpiperidin (meperidin, fentanil, alfentanil, sufentanil) yang pada akhirnya hanya akan menyisakan sedikit seyawa induk yang tidak mengalami perubahan untuk diekskresi. Namun, akumulasi metabolit terdemetilasi dari meperidin, yakni normeperidin, dapat terjadi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, dan pada orang yang berulang kali mendapat obat dosis tinggi. Pada konsentrasi tinggi, normeperidin dapat menyebabkan kejang. Sebaliknya, belum pernah dilaporkan adanya metabolit aktif fentanil. Salah satu isozim P450, CYP3A4, memetabolisasi fentanil melalui proses N-dealkilasi di hati. CYP3A4 juga terdapat di mukosa usus halus dan berperan dalam metabolisme lintas-pertama fentanil oral.11 - Ekskresi Metabolit polar, termasuk konjugat glukuronida dari opioid analgesik, terutama diekskresi melalui ginjal. Dapat juga ditemukan sedikit obat yang tidak mengalami perubahan dalam urine. Selain itu, konjugat glukuronida

31

ditemukan dalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi.11 Farmakodinamik dari opioid yaitu : Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor tertentu terkopel-protein G dalam daerah-daerah di otak dan medula spinalis yang terlibat dalam transmisi dan modulasi nyeri. Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor.

Subtipe (mu)

Analgesia

supraspinal transit

Fungsi dan spinal; di saluran

sedasi; cerna;

inhibisi; modulasi

memperlambat

pembebasan hormon dan neurotransmiter; rasa segar; (delta) (kappa) (sigma) Tabel 4. Subtipe reseptor opioid dan fungsinya.1,11 euforia; dan depresi respirasi Analgesia supraspinal dan spinal; modulasi pembebasan hormon dan neurotransmiter; diduga memperkuat reseptor mu Analgesia supraspinal dan spinal; efek psikotomimetik; memperlambat transit di saluran cerna; sedasi; anestesia Disforia; halusinasi; pupil midriasis; dan stimulasi respirasi

32

Gambar 8. Reseptor opioid dan mekanisme kerja opiod13 Suatu opioid berpotensi memiliki berbagai fungsi sebagai agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu golongan reseptor atau subtipe, sehingga agenagen ini memiliki berbagai efek farmakologik.11 Pada tingkat molekular, reseptor-reseptor opioid (, , dan ) merupakan sekeluarga protein yang secara fisik berkopel dengan protein G, dan melalui mekanisme ini, mempengaruhi gerbang kanal ion, memodulasi disposisi Ca 2+ intrasel, dan mengubah fosforilasi protein. Opioid menutup kanal Ca2+ bergerbang-tegangan di ujung saraf prasinaptik sehingga menurunkan pembebasan transmiter. Opioid juga menghiperpolarisasi sehingga menghambat neuron pascasinaptik melalui pembukaan kanal K+. Efek prasinaptik opioid (menekan pembebasan tranmiter) telah ditunjukkan pada pembebasan neurotransmiter yang biasanya berjumlah banyak, seperti glutamat, suatu asam amino eksitatorik utama yang dibebaskan dari ujung saraf nosiseptik, begitu juga dengan asetilkolin, norepinefrin, serotonin, dan substansi P. Berbagai efek morfin dan prototip agonis opioid pada sistem saraf pusat (dengan afinitas terhadap reseptor ) yaitu : analgesia, euforia, sedasi, depresi pernapasan, konstriksi bronkus, penekanan batuk, miosis, rigiditas batang tubuh,

33

mual dan muntah, dan hipertermia (sementara pemberian agonis memicu terjadinya hipotermia).1,11 Pada sistem kardiovaskuler, opioid umumnya tidak mempunyai efek mayor pada denyut jantung, selain bradikardia, tidak mempunyai efek mayor pada denyut jantung, kecuali meperidin, yang efek anti muskariniknya dapat menimbulkan takikardi. Tekanan darah biasanya dipertahankan pada pengguna opioid kecuali jika terdapat gangguan sistem kardiovaskular ; pada keadaan ini, dapat terjadi hipotensi. Jika PCO2 meningkat akibat depresi pernapasan terjadi dilatasi pembuluh darah otak, peningkatan aliran darah otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Pada saluran cerna, salah satu efek opioid adalah konstipasi. Fungsi ginjal dapat ditekan oleh opioid sebagai akibat penurunan aliran darah ke ginjal. Opioid memiliki efek anti diuretik. Analgesik opioid dapat memperpanjang partus, namun mekanismenya masih belum jelas, diduga opioid dapat mengurangi tonus uterus. Pada sistem neuroendokrin, opioid analgesik melalui kerjanya pada hipotalamus, merangsang pembebasan ADH, prolaktin, dan somatotropin, tetapi menghambat pembebasan hormon Leutinisasi. Dalam dosis terapeutik analgesik opioid menimbulkan flushing dan rasa panas pada kulit yang kadang disertai dengan rasa gatal dan banyak berkeringat; kemungkinan efek opioid pada sistem saraf pusat dan pembebasan histamin di perifer berperan dalam reaksi ini. Aktivitas sel natural killer dan respon proliferatif limfosit terhadap nitrogen biasanya dihambat oleh opioid. 11 Fentanil adalah agen opioid sintetik yang paling banyak digunakan. Subgrup fentanil meliputi sufentanil, alfentanil, dan remifentanil.11 Fentanil mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat daripada petidin, dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin.1 Fetidin lebih larut dalam lemak dibanding petidin den menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan inravena, ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi nafasnya lebih lama dibanding efek analgesinya.6 Analgetik golongan fenilpiperidin yang lain adalah meperidin yang memiliki efek antimuskarinik yang nyata sehingga dikontraindikasikan pada keadaan takikardi. Meperidin juga memiliki efek inotropik negatif di jantung dan

34

berpotensi menimbulkan kejang akibat akumulasi metabolit aktifnya yaitu normeperidin, pada pasien yang menggunakan dosis tinggi atau penderita gagal ginjal sehingga pemberiannya harus mendapatkan pengawasan yang ketat. 3,11 Efek lain yang ditimbulkan oleh Petidin adalah dilatasi bronkus.1 Tramadol adalah analgesik yang bekerja di pusat yang mekanisme kerjanya terutama didasarkan pada blokadenya pada reuptake serotonin. Tramadol juga terbukti menghambat fungsi transporter norepinefrin. Tramadol termasuk agonis reseptor yang lemah. Toksisitasnya meliputi kejang; sehingga relatif dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat kejang atau untuk digunakan dengan obat lain yang menurunkan ambang kejang. Efek samping lainnya adalah mual dan pusing. 11

Tabel 5. Equianalgesic dose Opioid 2.6.1.c Patient Controlled Analgesia (PCA) Patient-controlled analgesia (PCA) melibatkan pasien dalam memberikan medikasi pada nyeri yang dideritanya. PCA digunakan bila opioid parenteral harus diberikan lebih dari 24 jam. Jika kadar analgesia berada di bawah ambang plasma, pasien dapat mentitrasi sendiri opioid pada kadar analgesia yang mereka perlukan (selama masih dalam batasan terapi). Pemberian dengan cara ini sangat efektif, mencegah kekambuhan nyeri dan menurunkan kecemasan pasien terhadap nyerinya karena mereka dapat memanajemen pemberian obat untuk diri mereka sendiri.. PCA memiliki beberapa mode administrasi. Dua yang paling umum

35

digunakan adalah demand dosing (dosis tetap yang diberikan sesuai permintaan secara intermitten) dan infus kontinyu yang ditambahkan demand dosing (didukung dengan infus kontinyu ditambahkan dengan dosis sesuai permintaan pasien). Hampir semua perangkat PCA modern menawarkan kedua mode ini. 1,11 Dosis bolus adalah jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila pasien bisa menentukan kebutuhan. Waktu stop (lockout time) yaitu jumlah waktu di mana pasien akan mendapat hanya satu dosis dari pompa. Keberhasilan PCA tergantung pada : a. Kecocokan pasien dan penyuluhan tentang cara penilaian nyeri dan bagaimana cara untuk mengatasi nyeri dengan PCA. b. Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat c. Pemantauan yang baik terhadap tanda-tanda vital, nyeri, sedasi, kecepatan dan kualitas respirasi pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping. d. Dana : pompa infus PCA mahal. Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan individu.1,11 2.6.1.d Multimodal Analgesia/Analgesia Balans Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.4 Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya efek samping. Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih

36

adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari. Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan NSAID, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi

Inhibisi desenden NE/5HT

Otak Otak

Lesi

Reseptor opioid
Medulla Medulla Spinalis Spinalis

T h /

TCA Tramadol Opioid dll


Sensitisasi sentral (NMDA, Calcium)

Th/
GABAPENTIN Okskarbasepin Lamotrigin Ketamin Dextromethorphan

Sensitisasi perifer/ ion Na

Th /

GABAPENTIN Karbamasepin Okskarbasepin PHENYTOIN Mexiletine Lidocain, dll

Gambar 9. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans11 2.6.1.e Analgesia Ajuvan Analgesik ajuvan adalah obat dengan indikasi spesifik lainnya yang efektif pada penanganan beberapa tipe nyeri. Meliputi tricyclic antidepressants, antikejang, neuroleptik, kortikosteroid, dan beberapa jenis obat lainnya.1,5 a. Tricyclic Antidepressants

37

Terdapat banyak literatur yang menyokong pemberian tricyclic antidepressants sebagai analgesik pada beberapa jenis sindrom nyeri kronis. Pada pasien kanker, obat-obatan ini umumnya diberikan untuk nyeri neuropati (biasanya berkaitan dengan infiltrasi nyeri atau kompresi) atau nyeri yang berkaitan dengan gangguan tidur atau depresi. Untuk mengurangi risiko efek samping, sebaiknya opioid dititrasi terlebih dahulu kemudian ditambahkan ajuvan.1,5 Dosis awal tricyclic antidepressants sebaiknya rendah (10-25 mg amitriptiline). Apabila baik, dosis dititrasi perlahan-lahan. Dosis analgesik biasanya 50-150 mg/hari, biasanya diberikan sebagai dosis single malam. Dosis dinaikkan apabila obat nampak tidak efektif dan tidak menghasilkan efek samping yang signifikan. Depresi meruapakan komponen menonjol dari sindrom nyeri.3 b. Anticonvulsant Antikonvulsan digunakan sebagai pelengkap analgesik. Golongan ini menekan rasa terbakar dari saraf dan telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik, termasuk nyeri trigeminal, neuropati perifer. Yang termasuk golongan ini adalah karbamazepin, sodium valproat, klonazeam, gabapentin, fenitonin. Obat-obatan ini dimulai dari dosis rendah dan secara bertahap ditingkatkan untuk menghindari efek samping seperti dizziness, ataksia, drowsiness, pandangan kabur, dan iritasi saluran cerna dan pasien kanker sebaiknya diawasi ketat saat terapi.1,5 c. Anestesi Lokal Oral Mexiletine memiliki kegunaan pada polineuropati diabetik dan digunakan untuk menangani nyeri neuropati yang bermacam-macam. Obat ini hanya tersedia pada formulasi parenteral dan memiliki profil efek samping, termasuk keterbatasan kegunaan pada pasien dengan penyakit lanjut. Dalam kondisi ini, kegunaan sedasi dan ansiolitik dari obat bisa bermanfaat. Karena kurangnya bukti efek analgesik serta potensi efek samping, neuroleptik lain sebaiknya dipertimbangkan sebagai obat lini kedua untuk nyeri neuropati berkelanjutan yang yang tidak membaik dengan pemeriksaan lainnya. Obat-obatan ini tetap menjadi terapi utama untuk pasien nyeri dengan delirium atau nausea.1,5 d. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan obat ajuvan yang penting pada penderita kanker terutama stadium lanjut. Kortikosteroid memberikan efek anti inflamasi,

38

perbaikan mood, anti emetik, memperbaiki nyeri, dan meningkatkan nafsu makan. Obat ini menurunkan nyeri dengan efek anti inflamasinya yang menurunkan pelepasan asam arakidonat untuk membentuk prostaglandin.3 Obat ini digunakan untuk menanggulangi nyeri neuropatik karena peningkatan tekanan intrakranial. Steroid sistemik diduga menurunkan edema perineural dan edema limfatik yang menimbulkan nyeri dengan menekan saraf. Pengobatan ini spesifik untuk kasuskasus kompresi medula spinalis. Sedangkan terapi untuk mengatasi kompresi saraf menggunakan deksametason dosis tinggi, hampir 30 mg/hari. Jika tidak didapatkan peningkatan rasa nyeri, dosis dapat diturunkan secara bertahap selama 3-5 hari. Pada pemberian kortikosteroid harus diawasi timbulnya kandidiasis oral atau vagina.1 Efek yang tidak diinginkan pada obat ini adalah hiperglikemia, peningkatan berat badan, miopati, disforia atau psikosis yang merupakan komplikasi terapi jangka panjang. Obat-obatan lain Walaupun hidroksisin dilaporkan sebagai analgesik, respon klinis sebagai dosis oral umumnya mengecewakan. Obat kemungkinan menjadi ajuvan pada pasien dengan nyeri dengan nausea dan kecemasan.5 World Health Organisation Analgesic Ladder Pada penatalaksanaan nyeri kanker, diterapkan penggunaan WHO analgesic ladder. Metode ini diterapkan untuk memudahkan penanggulangan nyeri, kususnya nyeri kronis yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama dengan intensitas nyeri yang berbeda-beda. Prinsip yang paling penting dalam penerapan tangga WHO ini adalah sebagai berikut9 (1) Berikan obat melalui oral sebisa mungkin. Injeksi tidak praktis bila digunakan dalam jangka panjang dan akan menambah ketidak nyamanan pasien (2) Manifestasi alergi, termasuk bronkospasme, yang mana hal ini jarang terjadi bila menggunakan terapi secara oral Oleh karena obat-obat ini biasanya efektif hanya bila digunakan pada rentetan jam tertentu, maka penuntun dalam frekuensi pemberian obat dapat membantu. Berikan obat by the clock berdasarkan lama kerja masing masing obat.9

39

Gambar 10. Tangga tatalaksana nyeri WHO 7 1. Step I Penderita dengan nyeri kanker ringan harus diobati dengan analgesia non opioid, yang harus dikombinasi dengan obat-obat tambahan jika ada indikasi. Asetaminofen dan non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) meliputi asam asetil salisilat merupakan step 1 untuk WHO analgesic ladder untuk penatalaksanaan nyeri ringan.3
Obat Paracetamol Aspirin Ibuprofen Diclofenac Ketorolac Meloxicam Rofecoxib Frekuensi Pemberian (jam) Setiap 4-6 jam Setiap 4-6 jam Setiap 6-8 jam Setiap 8-12 jam Setiap 6-8 jam Setiap 24 jam Setiap 24 jam

Tabel 6. Contoh-contoh obat pada langkah pertama WHO analgesic ladder 2. Step II Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang, atau yang gagal mendapat perbaikan setelah percobaan dengan analgesia non opioid harus diobati dengan opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang (opiod lemah). Termasuk dalam golongan ini adalah Codein, Hydrocodone dan Tramadol. Obat-obatan ini umumnya dikombinasi dengan non opioid dan dapat diberikan bersama-sama dengan analgesia adjuvant. 2,3

40

Setiap 6-8 jam sublingual) Tabel 7. Contoh-Contoh Obat pada Langkah Kedua WHO Analgesic Ladder 9 3. Step III Pada tingkat ini, penderita yang menderita nyeri yang berat atau gagal mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima opioid konvensional untuk nyeri berat (opioid kuat). Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin, fentanil, hidromorfon, levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon. Dengan petunjuk dosis yang sesuai, pengobatan ini dapat memberikan kesembuhan pada 70-90% penderita. 2,3 4. Step IV Beberapa literatur mengenai WHO three step ladder, menyatakan bahwa penggunaan cara tersebut menghasilkan kontrol yang adekuat, mencapai 90%, dalam menangani nyeri kanker. Beberap penulis juga menginformasikan tentang step ke-4, yang digunakan dalam pendekatan menangani pasien dengan nyeri kanker yang tidak terkontrol oleh komponen analgesia yang digunakan sebelumnya. Secara umum, step ke-4, merupakan pendekatan invasif dalam meringankan nyeri. Teknik intervensi pada nyeri kanker hanya akan dilakukan jika manajemen dengan pengobatan, gagal dalam mengatasi nyeri. Kegagalan terapi terjadi ketika penyembuhan nyeri tidak adekuat (kembali kambuh) ataupun sama sekali nyeri tersebut tidak teratasi. Pada beberapa situasi, penggunaan teknik intervensi ini dapat menurunkan masalah pada pasien yang mendapat pengobatan agresif yang kontinyu..2 Konsep dari WHO analgesik ladder perlu untuk dimodifikasi ketika menghadapi kegawatdaruratan nyeri. Suatu kemungkinan penggunaan bolus intravena dengan dosis 1,5mg morphine setiap sepuluh menit sampai nyeri pasien teratasi atau menjadi kantuk. Bila pasien telah menjadi kantuk namun pasien tetap merasakan sakit, ini mengindikasikan bahwa pasien tersebut

Obat Codeine 30 - 60mg Dextropropoxyphene 65mg Tramadol 50-100mg Buprenorphine (0.2-0.4mg

Frekuensi dalam jam Setiap 4 jam Setiap 6-8 jam Setiap 6-8 jam

41

menderita opioid-insensitive pain atau nyeri yang tidak sensitive terhadap opioid. Sebuah alternatif dalam kegawatdaruratan nyeri kanker adalah memulai dengan 10mg oral morphine setiap jam sampai nyeri teratasi. Intinya yang harus ditekankan disini adalah bila pasien menderita nyeri kanker yang berat, langkah pertama dan kedua dapat dilewati.9,13 2.6.2 Terapi Non Farmakologi a. Manajemen Intervensi Nyeri. Pada umumnya, 80%-90% nyeri kanker dapat tertangani dengan analgesik konvensional dan ajuvan berdasarkan prinsip penanganan nyeri WHO analgesik 3-step ladder. Terapi non-farmakologik nyeri kanker antara lain TENS, fisioterapi, akupuntur, teknik psikologik seperti relaksasi juga turut berperan. Namun, 10%-20% pasien kanker tetap merasakan nyeri dengan terapi diatas, sehingga dibutuhkan terapi intervensional untuk nyerinya. 12 Terapi intervensional dipertimbangkan sebagai langkah ke-4 pada anak tangga analgesik WHO. Respon pasien terhadap opioid sangat bervariasi sehingga dokter harus selalu melihat keseimbangan antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri kanker yang terkontrol dengan opioid namun dengan efek samping yang berat, sebaiknya mendapatkan terapi intervensional lebih dini. Terapi intervensi bervariasi mulai dari blok saraf yang sederhana hingga teknik invasif seperti blok regional atau neurolitik, atau bahkan prosedur bedah saraf. Pilihan dalam melakukan prosedur intervensional bersifat individual, berbeda-beda untuk tiap kasus, berdasarkan resiko dan manfaat untuk tiap-tiap pasien. Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa hari hingga beberapa minggu. Blok neurolitik bisa sampai berberapa bulan dan alat implantasi bisa sampai beberapa tahun. Teknik regional seperti opioid neuroaksial dan anestetik lokal biasanya dipraktikkan lebih dulu sebelum metode intervensi yang lain.Prosedur ablatif atau destruksi neuron, dengan rasio resiko-manfaat yang sempit, sebaiknya ditunda selama penyembuhan nyeri masih bisa dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian, beberapa prosedur, seperti blok pleksus celiac pada pasien kanker pankreas memberikan manfaat lebih besar jika dilakukan lebih dini dengan neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal

42

harus digunakan untuk menilai efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok ini juga berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur ablatif. Komplikasi neurologis akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu hilangnya fungsi motorik permanen, paresthesia, dan dysthesia. Pemilihan prosedur yang sesuai dapat menurunkan penggunaan opioid sistemik dan meningkatkan kualitas hidup. Blok Neuroaksial 12 Dengan diketahuinya keberadaan reseptor opioid pada medulla spinalis di tahun 1973, pemberian obat-obat melalui epidural dan intratekal untuk analgesia mulai digunakan. Opioid intratekal memperlihatkan efek analgesianya dengan menurunkan pelepasan neurotransmitter presinaptik dan menghambat transmisi nyeri dengan hiperpolarisasi membran neuron postsinaptik pada kornu dorsalis. Pemberian obat neuroaksial kontinyu bisa melalui kateter epidural atau intratekal. Obat dapat diberikan menggunakan external syringe pump atau sistemly implanted intrathecal drug delivery (ITDD). The European Association of Palliative Care merekomendasikan indikasi penggunaan ITDD pada pasien kanker jika analgesik konvensional gagal memberikan efek analgesi yang memuaskan meski dosis opioid kuat telah ditingkatkan, dan/atau pasien mengalami efek samping yang berat. Obat-obat diinfuskan dalam beberapa menit dengan jumlah tertentu ke intratekal sehingga mencegah toksisitas sistemik dan efek samping. Pada sebuah RCT, ITDD dapat meningkatkan kualitas hidup, menurunkan skala nyeri dan meningkatkan angka kelangsungan hidup 6 bulan. (53 % pasien ITDD masih hidup dibanding 32% pasien pada terapi konvensional). Epidural Analgesia 12 Pasien kanker kadang dengan profil koagulasi abnormal dan fungsi sistem imun yang tersupresi, sehingga resiko hematoma dan infeksi merupakan kontraindikasi pemasangan kateter epidural. Obat utama yang digunakan adalah opioid, namun kombinasi dengan anestetik lokal meningkatkan efektivitasnya. Ajuvan lain seperti klonidin meningkatkan efektivitas lebih baik lagi.
12

43

Analgesia Intratekal dengan sistem ITDD 12 Terdapat beberapa penelitian yang memperlihatkan perbaikan kontrol nyeri dengan sedikit komplikasi pada pemberian obat intratekal. Obat intratekal bisa diberikan melalui kateter yang diimplantasi secara eksternal atau internal dari alat pompa obat. Infus intratekal menggunakan dosis dan volume yang rendah disbanding infuse epidural. Kebanyakan dokter menggunakan perbandingan dosis morfin 10:1 antara epidural dan intratekal. Memasukkan benda asing ke dalam tubuh meningkatkan resiko infeksi, khususnya dengan sistem pompa eksternal, dimana terdapat hubungan antara kulit dan sistem saraf pusat. Secara keseluruhan sistem ITDD memberikan resiko infeksi yang lebih rendah dan terdapat bukti bahwa kateter intratekal lebih aman jika digunakan lbih dari 3 minggu dibandingkan dengan epidural. Obat-obat yang diberikan melalui intratekal : 1. Opioid. Morfin masih merupakan gold standard untuk pemberian intratekal yang disetujui oleh FDA US dalam menangani nyeri kronik. 2. Anestetik Lokal . Lokal anestetik intratekal bekerja melalui efek blokade saluran natrium dan menghambat potensi aksi jaringan saraf pada kornu dorsalis, sehingga menghasilkan efek analgesik. Anestetik lokal juga bekerja pada bagian intratekal dari akar saraf. Bupivakain intratekal juga dikombinasi dengan morfin untuk menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik akibat nyeri neuropatik. Terdapat bukti bahwa bupivakain bekerja sinergis dengan morfin, menurunkan kebutuhan morfin intratekal. 3. Agonist adrenoreseptor alpha-2. Klonidin adalah agonist adrenoreseptor alpha-2 yang telah lama digunakan untuk pemberian spinal, namun baru disetujui oleh FDA US pada tahun 1996 untuk pemberian intratekal. Klonidin intratekal diketahui bersifat anti nosiseptif non opioid yang bekerja sentral. Klonidin terikat pada reseptor alpha-2 di membran presinaptik neuron aferen primer medulla spinalis, menghasilkan hiperpolarisasi dan berkurangnya pelepasan neurotransmitter yang terlibat dalam penyampaian sinyal nyeri. Klonidin juga mengaktivasi neuronneuron kolinergik spinalis, yang memperkuat efek analgesiknya. Klonidin

44

juga efektif pada terapi kanker, kombinasinya dengan morfin dan/atau bupivakain memperlihatkan efek sinergis dan memberikan terapi yang lebih adekuat pada nyeri kanker. Neurolisis Intratekal 12 Neurolisis intratekal dilakukan dengan pemberian agen neurolitik pada ruang subarachnoid. Tujuannya yaitu blokade segmental yang murni sensorik, tanpa menyebabkan kelemahan motorik. Agen kimiawi yang umum digunakan umtuk neurolisis antara lain alcohol konsentrasi 50% hingga 100% dan fenol 7% hingga 12%. Alkohol bersifat hipobarik sehingga pasien perlu diposisikan semi-prone. Ini akan memungkinkan alkohol tetap tinggal didekat dorsal root ganglia dan menghasilkan blokade sensorik ketika diinjeksikan pada ruang intratekal. Karena fenol bersifat hiperbarik, sehingga pasien diposisikan sebaliknya (wajah ke atas dan daerah yang akan diinjeksi lebih rendah dengan sudut 45 derajat). Catatan Gerbershagen yang meninjau 1908 pasien kanker yang menjalani neurolisis intratekal menunjukkan bahwa 78% hingga 84% pasien dengan nyeri somatik berespon baik terhadap terapi. Sebaliknya, kontrol nyeri yang baik pada nyeri viseral hanya berkisar 19% hingga 24%. Blok Simpatis 12 Terdapat beberapa tempat untuk blok simpatis yang bisa dilakukan untuk terapi nyeri kanker dari organ viseral. Rantai simpatis pada level yang sesuai bisa diblok untuk nyeri spesifik. Neurolisis digunakan pada hampir semua blok simpatis karena pemasangan kateter sangat sulit dan tidak praktis. Pleksus coeliac menjadi target untuk nyeri yang berasal dari kanker abdomen atas. Blok pleksus hipogastrik posterior dilakukan untuk nyeri kanker dari organ pelvik seperti ovarium, kandung kemih, dan prostat. Blok ganglion impar efektik untuk nyeri kanker organ vagina dan anal. Blok Pleksus Coeliac 12 Blok pleksus coeliac diletakkan pada retroperitoneal abdomen atas. Levelnya pada T12 dan L1 badan vertebra, anterior dari krura diafragma. Pleksus coeliac mengelilingi aorta abdominal dan celiac dan arteri mesenterika superior. Saraf

45

otonom mensuplai hepar, pancreas, kandung empedu, lambung, lien, ginjal, usus halus, dan kelenjar adrenal berasal dari pleksus celiac. Efektivitas blok pleksus celiac pada terapi nyeri kanker abdomen telah banyak dievaluasi. Sebuah metaanalisis oelh Eisenberg dkk menyimpulkan bahwa blok pleksus coeliac memberikan kesembuhan jangka panjang 70% hingga 90% pasien kanker pancreas dan abdomen atas. Komplikasi antara lain hipotensi postural, pneumothoraks, diare, hematoma retroperitoneal, dan paraplegi akibat mielopati iskemik akut (mungkin akibat terkenanya arteri Adamkievicz). Penyebaran cairan neurolitik ke posterior kadang mempengaruhi saraf somatik bagian bawah thoraks dan lumbal, sehingga bisa menyebabkan sindrom nyeri neuropatik.

Blok Pleksus Hipogastrik Superior 12 Pleksus hipogastrik superior adalah struktur retroperitoneal yang meluas secara bilateral dari 1/3 bawah corpus vertebra L5 hingga 1/3 atas S1. Blok efektif untuk nyeri yang berasal dari kolon distal dan rektum yang tercermin pada nyeri struktur pelvik. Beberapa penelitian memperlihatkan efektivitas blok neurolitik pada pleksus hipogastrik superior untuk terapi nyeri pelvik akibat kanker dengan melihat penggunaan opioid yang berkurang.

Blok Ganglion Impar 12 Ganglion impar, juga dikenal sebagai ganglion Walther, adalah struktur retroperitoneal terpisah yang terletak pada level sacrococcygeal junction dengan posisi bervariasi pada ruang precoccygeal. Ganglion tak berpasangan ini menandai ujung kedua rantai simpatis. Nyeri viseral pada daerah perineal oleh proses malignansi efektif Blok Saraf Perifer 12 Peran blok saraf perifer sebagai modalitas utama penyembuhan nyeri mungkin terbatas pada pasien kanker, mengingat nyeri kanker biasanya melibatkan banyak tempat, khususnya pada kanker stadium lanjut. Meski demikian, jika dikombinasi ditangani dengan neurolisis ganglion impar.

46

dengan terapi lain kemoterapi atau radiasi, sangat membantu menurunkan nyeri. Agen neurolitik seperti alkohol atau fenol digunakan untuk blok saraf perifer. Alkohol bisa menyebabkan disaestesia yang sangat nyeri jika diinjeksi disekitar saraf bermielin. Fenol kurang nyeri dibanding alkohol dan lebih terpilih untuk neurolisis saraf perifer. Bentuk lain destruksi daraf yaitu ablasi radiofrekuensi dan cryoablation. Tahun-tahun terakhir ini, ada teknik baru yaitu penggunaan infus anestetik lokal untuk blok saraf perifer, dengan teknologi pompa infus dan kateter. Penggunaan nerve stimulation atau ultrasonografi untuk mengidentifikasi penempatan kateter memudahkan blok saraf untuk memberikan analgesia yang lebih baik. Ahli nyeri mendapat banyak tantangan dalam melakukan blok saraf perifer pada pasien kanker. Adanya edema jaringan mempersulit identifikasi tonjolan tulang atau denyut perifer. Neuroanatomi bisa menyimpang akibat invasi tumor atau kompresi dan kontraktur atau tertariknya jaringan akibat terapi radiasi. USG bisa digunakan untuk membantu blok dan penempatan kateter. Blok saraf perifer yang telah dilaporkan antara lain blok saraf femoral, blok supraskapula, blok kompartemen psoas, blok pleksus lumbal distal, blok paravertebral dan blok interpleural. Implan terapi. Implan pompa diprogram intratekal dan sementara kateter epidural eksternal terowongan memberikan opioid intraspinal dan obat ajuvan lainnya. Ketika obat nyeri dikirim langsung ke ruang epidural atau intratekal, dosis yang lebih kecil diperlukan daripada jika diberikan secara sistemik. Terapi ini terutama diindikasikan untuk nyeri terletak di bawah thorax pertengahan ketika efek samping beban analgesia konvensional yang efektif menjadi tak tertahankan bagi pasien

47

Strategi intervensi kontraindikasi terhadap

infeksi, koagulopati, atau sangat

pendek harapan hidup. Selain itu, para ahli yang melakukan intervensi mengetahui adanya penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan risiko perdarahan (misalnya, antikoagulan [Warfarin, heparin], agen antiplatelet [clopidogrel, dipyridamole], agen Antiangiogenesis [bevacizumab]). Dalam kasus ini, pasien mungkin harus berhenti mengkonsumsi obat sebelum intervensi nyeri dimulai dan mungkin perlu untuk melanjutkan untuk menjauhi obat untuk jumlah waktu tertentu setelah prosedur. Keberhasilan dari intervensi ini juga bergantung dari keahlian operator.12 c. Fisioterapi, Chiropractic, dan Teknik Manipulatif 1,13 Fisioterapi dalam bentuk program excercise bermanfaat dalam penanganan nyeri kronik. Program rehabilitasi fungsional bertujuan untuk mengembalikan kelenturan dan fungsi otot memberikan manfaat untuk jangka waktu lama.

48

Manipulasi chiropractic bermanfaat pada sebagian kasus. Pemilihan jenis teknik terapi yang diberikan sangat bervariasi dan tidak dapat disamaratakan pada semua pasien. d. Terapi Psikologis Beberapa pasien dengan nyeri kanker memiliki gangguan psikiatri, seperti depresi atau gangguan kecemasan dan membutuhkan penilaian dan penanganan psikologis. Semua pasien, termasuk mereka tanpa gangguan psikiatri, mendapat mendapat manfaat dari menceritakan masalah penyakit yang dideritanya kepada petugas-petugas kesehatan disekitarnya. Beberapa pasien juga dapat diberikan terapi kognitif spesifik untuk mengontrol nyeri meliputi hipnosis, latihan relaksasi, dan teknik selingan. Walaupun terapi terakhir tidak dipelajari dengan baik pada pasien kanker, pengalaman membuktikan bahwa cara ini berguna pada pasien dengan nyeri terduga dan mereka dengan nyeri terkait kadar kecemasan yang tinggi.13,14 e. Pengobatan Kanker Nyeri pada pasien kanker dapat timbul akibat kanker itu sendiri, penatalaksanaan kanker, debilitas umum, atau kelainan yang timbul bersamaan dengan kanker. Ditinjau dari neurofisiologi, nyeri kanker melibatkan reaksi inflamasi, neuropati, iskemi, dan mekanisme kompresi pada berbagai lokasi. Penanganan nyeri yang efektif tentunya harus berhasil mengetahui penyebab dari nyeri tersebut, nyeri nosiseptif, neuropati, viseral, atau kombinasi dari ketiganya. Nyeri yang diakibatkan oleh proses kompresi massa kanker dan inflamasi dapat dilakukan intervensi untuk mengobati massa primer kanker tersebut yang merupakan etiologi nyeri. Intervensi dapat berupa radiasi dan kemoterapi untuk mereduksi massa kanker. 15 BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama : BNG

49

Tempat Tanggal Lahir: Jembrana, 30 Desember 1979 Umur Jenis Kelamin Agama Bangsa Alamat Status Pekerjaan No. CM Tanggal MRS Konsul APS Alergi 3.2 Anamnesis 1. Keluhan Utama : Nyeri pada perut 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien dikonsulkan dengan nyeri perut sejak tanggal 17 November 2012. Nyeri dirasakan pada perut bagian atas. Nyeri perut dikeluhkan dirasakan awalnya hilang timbul sejak beberapa bulan yang lalu. Nyeri menjadi sangat mengganggu sejak 3 hari SMRS terasa seperti menusuk, menekan hingga pasien kesulitan beraktivitas. Nyeri yang dirasakan pasien sangat berat hingga pasien berpikir untuk mengakhiri hidupnya.. Buang air kecil dikatakan masih normal, namun sedikit. Buang air besar masih normal. Makan dan minum pasien dikatakan menurun. . 3. Riwayat Penyakit Terdahulu Pasien berulang kali dirawat di Rumah Sakit Sanglah dengan diagnosis Limfoma Non Hodgkin. Pasien saat ini menjalani kemoterapi seri VI. Pasien mengeluh nyeri perut yang terus bertambah : 32 tahun : Perempuan : Hindu : Indonesia : Jalan Gn. Agug IIB/3 Denpasar : Sudah menikah : Ibu Rumah Tangga : 01.51.46.39 : 13 November 2012 : 17 November 2012 : tidak ada

50

berat sehingga bagian bedah onkologi mengkonsulkan ke tim APS tanggal 17 November 2012 4. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien tidak memiliki penyakit sistemik lain seperti hipertensi, diabetes, jantung. Riwayat penyakit alergi dan asma disangkal. 3.3 Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan Fisik Umum (Tanggal 2 November 2012) Status Present : KU : nyeri ringan Gizi : cukup Kesadaran : Composmentis (GCS : E4V5M6) Tekanan Darah : 120/80 mmHg Respirasi : 18x/menit Nadi : 104x/menit Temperatur axila : 36,50 C VAS : 2-3 cm BB: 50 kg TB: 150 cm BMI: 22 kg/m2 2. Pemeriksaan Fisik Khusus SSP : GCS E4V5M6 Reflex Pupil +/+ Bulat Reguler Respirasi : Nafas spontan 18x/menit, Vesikuler +/+ Ronchi -/Wheezing -/Kardiovaskuler : TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, S1S2 tunggal, regular, murmur (-) Gastrointestinal : Distensi (-) bising usus Urogenital : buang air kecil (+) spontan Musculoskeletal : Keempat Akral Hangat, edema - / 3.4 Pemeriksaan Penunjang 1. Darah Lengkap (Tanggal 03 Desember 2012) :

51

WBC : 13,94x103 /, RBC : 1,97x106 / L, HGB : 4,90 g/dL, HCT : 15,40%, PLT : 187x103 / L Kimia Darah (Tanggal 03 Desember 2012) : Bilirubin total : 5,11 mg/dL, Bilirubin indirek : 3,08 mg/dL, Bilirubin Direk : 2,03 mg/dL, SGOT : 78,00 (tinggi), SGPT 25,00 U/L, Albumin : 1,90 g/dL, BUN : 10,00 mg/dL, Creatinin : 0,34 mg/dL Elektrolit (Tanggal 03 Desember 2012) : Natrium : 128,2 mmol/L , Kalium : 2,645 mmol/L (tinggi) 2. USG Abdomen Atas Bawah (tanggal 17 November 2012): Hasil : limfadenopathy paraaorta abdominalis dan cavum pelvis, nodul pada caput pancreas, cystitis, ascites, saat ini hepar, GB, lien, ginjal kanan kiri tak tampak kelainan 3.5 Diagnosis Limfoma Non Hodgkin post chemoterapi CHOP seri VI Anemia 3.6 Penatalaksanaan Anjuran dari tim APS: Drip morfin 10mg diencerkan dalam 50cc NaCl 0,9%, kecepatan 1,1cc/jam 3.7 Follow Up

Tabel 1. Follow Up Pasien Selama dirawat di Angsoka Tgl 17/11 /2012 S Nyeri perut (+),tidak bisa tidur 18/11 1/201 2 Nyeri perut (+),tidak bisa tidur O A Kondisi umum LNH post sakit berat, VAS 10 chemoterapi CHOP seri VI Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 5 post P Syringe pump drip morfin 10mg diencerkan dalam 50cc NaCl 1,1cc/jam Syringe pump drip morfin 10 mg diencerkan dalam 50cc NaCl 1,1cc/jam 0,9%, kecepatan 0,9%, kecepatan

chemoterapi CHOP seri VI

52

19/11 /2012

Nyeri perut (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 5

post

Syringe pump drip morfin 10 mg diencerkan dalam 50cc NaCl 1,1cc/jam 0,9%, kecepatan

chemoterapi CHOP seri VI

20/11 /2012 12.00

Nyeri perut (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 7

post

Syringe pump drip morfin 1mcg/kg/jam NS) ~ 1,7 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO (10mg/50cc

chemoterapi CHOP seri VI

23.10

Nyeri perut (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 7

post

Syringe pump Drip morfin 2,0 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO

chemoterapi CHOP seri VI

21/11 /2012

Nyeri perut (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 7

post

Syringe pump Drip morfin 2,0 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO

chemoterapi CHOP seri VI

22/11 /12

Nyeri perut (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 1-4

post

Syringe pump Drip morfin 10 mg/50cc 2,0cc/jam NS~kecepatan

chemoterapi CHOP seri VI

23/11 /2012

Nyeri perut (+) berkuran g

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS diam 0 VAS

post

Syringe pump Drip morfin 10 mg/50cc 2,0cc/jam NS~kecepatan

chemoterapi CHOP seri

bergerak VI

53

24/11 /2012

Nyeri perut (+) berkuran g, mual(-), makan minum (+) Nyeri perut (+)

20-30mm Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS diam 0 VAS 2-3 cm

post Syringe pump Drip morfin 10 NS~kecepatan

chemoterapi mg/50cc CHOP seri 2,0cc/jam

bergerak VI

Paracetamol 4X500mg

25/11 /2012 11.30

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 3-4cm

post

Syringe pump Drip morfin 10mcg/kg/jam NS) ~ 1,3 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO (20mg/50cc

chemoterapi CHOP seri VI

18.00

Nyeri perut (+), mual (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 7-8cm

post

Syringe pump Drip morfin 10mcg/kg/jam NS) ~ 1,3 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO (20mg/50cc

chemoterapi CHOP seri VI

22.30

Nyeri perut (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 3-4cm

post

Syringe pump Drip morfin 20mcg/kg/jam NS) ~ 2,5 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO Ondancetron 3x8 mg Amitriptilin 0-0-25mg (20mg/50cc

chemoterapi CHOP seri VI

26/11 /2012 09.30

Nyeri perut (+)berku rang, pasien tidur (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 1-3cm

post

Syringe pump Drip morfin 20mcg/kg/jam NS) ~ 2,5 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO Ondancetron 3x8 mg Amitriptilin 0-0-25mg (20mg/50cc

chemoterapi CHOP seri VI

54

20.30

Nyeri perut (+)berku rang, pasien tidur (+)

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS 1-3cm

post

Syringe pump Drip morfin 20mcg/kg/jam NS) ~ 2,5 cc/jam Paracetamol 4x500mg PO Ondancetron 3x8 mg Amitriptilin 0-0-25mg (20mg/50cc

chemoterapi CHOP seri VI

1/12/ 2012

Nyeri perut (+)berku rang

Kondisi umum LNH sakit sedang, VAS diam 0 VAS

post

MST 2x10mg PO Paracetamol 4x500mg PO Amitriptilin 0-0-25mg

chemoterapi CHOP seri

bergerak VI post MST 2x10mg PO Paracetamol 4x500mg PO Amitriptilin 0-0-25mg

2/12/ 2012

Nyeri perut (+)berku rang

2-3cm Kondisi umum LNH sakit ringan, VAS diam 0 2-3cm

chemoterapi CHOP seri VI

Tabel 1. Pemeriksaan Kimia Darah dan Elektrolit Pemeriksaan Na K SGOT SGPT Albumin Bun 19-11-2012 134,00 4,32 25,30 12,30 2,847 16,00 03-12-2012 128,00 2,645 78,00 25,00 1,90 10,00 Nilai Rujukan 136,00-145,00 3,5-5,10 11,00-33,00 11,00-50,00 3,4-4,8 8,00-23,00

55

Creatinin

0,92

0,34

0,70-1,20

56

BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan sakit pada perut yang dirasakan terus menerus dan memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien telah dirawat berulang-kali di rumah sakit dengan diagnosis Limfoma Non Hodgkin. Pasien saat ini menjalani kemoterapi, dan sudah berlansung sebanyak VI seri. Sebelum dikonsulkan ke tim APS (Acute Pain Service), pasien sudah mengeluh nyeri perut sejak beberapa bulan sebelum masuk rumah sakit. Sumber nyeri pasien kemungkinan merupakan bentuk pendesakan dari tumor, tapi tidak menutup kemungkinan nyeri yang dirasakn oleh pasien merupakan efek samping dari terapi kemoterapi yang sedang dijalani oleh pasien sat ini. Di rumah pasien diterapi dengan paracetamol bila nyeri. Sesuai pedoman pemilihan analgesia sesuai anak tangga WHO, pemilihan paracetamol yang termasuk analgetika non-opioid merupakan salah satu pilihan awal untuk nyeri kronik. Paracetamol termasuk golongan acetaminophen di mana pemberiannya sebagai analgesia ditujukan pada nyeri kuantitas ringan sampai sedang tanpa inflamasi. Paracetamol bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase di susunan saraf pusat, sehingga mengurangi pembentukan prostanoid yang berpengaruh terhadap proses wind up dari nyeri. Kerja acetaminophen pada siklooksigenase 1 dan 2 tergolong lemah pada jaringan perifer. 9 Paracetamol memiliki efek samping yang paling rendah dibandingkan dengan obat analgetika NSAID. Hanya saja, untuk nyeri kanker atau nyeri kronis lainnya, penggunaan non-opiois seperti NSAID dan acetaminophen sering kali tidak mempan karena telah terjadi plastisitas neuron pada mekanisme transmisi nyeri pada susunan saraf pusat. Tanggal 13 November 2012, pasien datang kembali ke RSUP Sanglah dengan keluhan nyeri perut yang memburuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan seperti menusuk-nusuk. Pada saat masuk rumah sakit, pasien dirawat oleh sejawat bedah dan diberikan injeksi ketorolac 30mg per 24 jam dan pemberian pethidin injeksi 50 mg dalam DS. Ketorolac merupakan

57

analgetika golongan NSAID, yang berguna untuk menghambat proses transduksi nyeri melalui hambatan enzim COX 1 dan 2. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan analgetika lain, untuk menghambat proses terjadinya nyeri pada tahap tertentu. Pethidin merupakan analgetika golongan opioid kuat yang berada pada tangga ketiga pada tangga WHO, pemberiannya dapat diulangi 3-4 jam. Penggunaan analgesia golongan opioid pada nyeri kanker diharapkan dapat meredakan nyeri karena juga bekerja pada reseptor tingkat sistem saraf pusat. Kombinasi dengan NSAID diharapkan terjadinya hambatan proses nyeri pada lebih dari satu titik proses nosisepsi. Sesuai teori, apabila analgetika tahap pertama tangga WHO tidak mempan mengurangi nyeri, diberikan obat analgetika pada tangga kedua yaitu opioid lemah dengan atau tanpa kombinasi obat nonopioid. Namun pada literatur juga disebutkan bila pasien menderita nyeri kanker yang berat, langkah pertama dan kedua dapat dilewati.9 Lima hari setelah dirawat sejawat bedah, ternyata nyeri yang dirasakan pasien semakin meburuk, sehingga dikonsulkan ke tim APS. Akhirnya pada tanggal 17 November 2012, pasien dikonsulkan ke tim APS untuk pertama kalinya. Saat itu disarankan pasien diberikan morfin via syringe pump dosis 5mcg/kgBB/jam (morfin 10 mg diencerkan dalam 50 cc NS~kecepatan 1,1 cc/jam), dan ditambah pemberian Paracetamol 3x500mg. Pemberian morfin ini sudah sesuai mengingat kondisi nyeri yang diraskan pasien sangat berat. Ini dapat dilihat dari penilain VAS dari pasien yang mencapai 10cm. Seuai NCCN evaluasi pemberian morphine dilakukan 15 menit setelah pemberian. Hal ini dikarenakan perubahan skor nyeri akan terjadi dalam waktu 15 menit. Apabila Skor nyeri tetap atau bahakan meningkat dilakukan peningkatan dosis 50%-100%. Apabila skor nyeri 4-6 pemberian dosis morpfin dipertahankan. Dan apabila penurunan skor nyeri sampai 0-3 dilanajutkan pada dosis efektif yang dibutuhkan setelah 24 jam.13 Penderita juga diberikan terapi ajuvan antidepressant amitriptilin. Antidepresan trisiklik (TCA) (misalnya amitriptyline, nortriptyline, desipramine) dan antikonvulsan (misalnya carbamazepine, valproate, fenitoin, gabapentin) secara tradisional telah digunakan sebagai pengobatan awal untuk nyeri neuropatik. Dosis obat-obat ini untuk pengobatan nyeri neuropatik biasanya di bawah dosis yang digunakan untuk mengobati kejang atau depresi. Jika pasien

58

dengan gangguan tidur, seperti pada nyeri neuropatik pemberian obat ini cukup masuk akal dan dimulai dengan TCA pada dosis rendah (misalnya, amitriptyline 10 atau 25 mg) dan titrasi secara bertahap untuk memperoleh efek yang maksimal. Efek samping dari opioid dapat diatasi dengan berbagai cara. Efek samping dari opioid yang dapat antara lain adalah depresi nafas, konstipasi, mual muntah dan pruritus. Salah satu strategi untuk mengatasi mual dan muntah adalah dengan menambahkan antiemetik langsung pada opioid yang digunakan. Pada pasien diberikan antimuntah yang berkerja sentral dan juga langsung di organ target sebagai prokinetik, yaitu metoklopramid dan ondancentron. Setelah pemberian morfin melalui syringe pump, kondisi nyeri pasien berangsur-angsur menurun. Pada tanggal 1 Desember 2012 morfin yang diberikan melalui syringe pump diganti dengan pemberian MST 2x10 mg per oral. Hal ini dilakukan mengingatt kondisi nyeri dari pasien sudah berangsur-angsur membaik. MST merupakan morfin yang diberikan dengan cara per oral. Prinsip kerjanya hampir sama dengan dengan morfin yang diberikan melalui syringe pump. Hanya saja pemberian penyerapan MST lebih lambat dibandingkan dengan morfin yang diberikan jalur intavena. Dokter sering menemukan bahwa proses konversi dari satu agen opioid ke opioid lain, atau mengubah rute administrasi opioid merupakan sebuah tantangan menantang. Pada proses ini paling mudah belajar dengan menggunakan morfin sebagai acuan standarProses ini paling mudah untuk belajar dengan menggunakan morfin sebagai acuan standar. Dengan mengikuti langkah-langkah yang tercantum di bawah ini, dokter dapat dengan aman mengkonversi dari opioid satu ke opioid lain atau mengganti cara pemberian sementara nyeri dapat terkontrol dengan baik. Perlu ditekankan bahwa pasien harus diawasi secara ketat dan skor nyeri harus terus dievaluasi selama 24 sampai 72 jam pertama setelah perubahan dosis atau rute administrasi. Berikut langkah-langkah dalam penggantian agen opioid atau rute pemberian opioid.13 1. Tentukan jumlah opioid saat ini diambil dalam periode 24-jam yang efektif mengontrol rasa sakit. 2. Hitunglah dosis equianalgesic dari opioid baru. Ketika mengubah rute administrasi, disarankan bahwamorfin dosis equianalgesic pertama ditentukan

59

sebelum menghitung baru dosis (PO: konversi morfin IV adalah 3:1, PO: SQ adalah 2:1). 3. Jika rasa sakit secara efektif dikendalikan, kurangi dosis sebesar 25% -50% untuk memungkinkan cross-toleransi lengkap antara opioid yang berbeda. Selama 24 jam pertama, titrasi bebas dan cepat untuk efek analgesik. Jika dosis sebelumnya tidak efektif, mungkin dimulai dengan 100% dari Dosis equianalgesic atau kenaikan sebesar 25%. 4. Opioid oral dibagi menjadi dosis harian total opioid baru yang dibutuhkan dengan jumlah dosis per hari untuk menentukan Dosis individu (misalnya, 6 dosis morfin untuk PO reguler setiap 4 jam; 2 dosis untuk extended-release morfin setiap 12 jam).

BAB V PENUTUP

60

Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Melihat kasus yang disajikan, dirasa perlu untuk menambah kemampuan klinisi di bidang penanganan nyeri kanker secara komprehensif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang akan hidup dengan sakitnya. Keterlibatan pasien dan keluarganya didukung dengan ekonomi yang memadai dapat membantu penanganan nyeri kanker. Nyeri pada kanker banyak ditemukan di kalangan masyarakat Nyeri pada kanker dimasukkan dalam nyeri kronis yang mengikuti penanganan secara step up pada anak tangga WHO. Pemilihan modalitas terapi pada penatalaksanaan nyeri kanker bervariasi sesuai dengan keluhan pasien dan keterampilan klinisi. Terdapat terapi farmakologi golongan non-opioid dan opioid serta terapi non-farmakologi. Selain pemilihan modalitas terapi, penelusuran keluhan dan keadaan psikis serta fisik pasien sangat diperlukan untuk menunjang penatalaksanaan nyeri kanker. Oleh karena itu pengembangan kemampuan dan wawasan dalam penanggulan nyeri kanker sangat dibutuhkan oleg para tenaga medis. Hal ini juga mengingat bahwa penanganan nyeri kronis khusunya nyeri kanker bukan sesuatu hal yang sederhana. Dibutuhkan pemahaman dan kerjasama dari banyak pihak untuk menunjang kebrhasilan terapi.

61

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Situ D, Wang J, Shao W, Zhu ZH. Assessment and treatment of cancer pain: From Western to Eastern. Ann Palliat Med 2012;1(1):32 Abu-Saad Huijer H. Chronic Pain : A review. J Med Liban 2010 ; 58 (1) : 21-27. Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. 2001. hal. 74-83 4. 5. 6. Pappagallo M, Werner M, Fraser M. Cancer Pain. In: Chronic Pain A Primer for Physicians. London: Remedica; 2008.p. 129 144 Patricia H. Berry, Pain: Current Understanding of Assessment, Management, and Treatments. National Pharmaceutical Council:2001 Pedro Schestatsky, Osvaldo Jos M. Nascimento, What do general neurologists need to knowabout neuropathic pain. Arq Neuropsiquiatr 2009;67(3-A):741-749 7. Joranson DE, Cleveland CS, Weissman DE, Gilson AM. Opioids for Chronic Cancer and Non-Cancer Pain. In: A Survey of State Medical Board Members. December 27, 2006. Available from: http://www.painpolicy.wisc.edu/publicat/92jmldo.htm. 8. 9. Mangku, G dan Senapathi, TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: PT. Macanan Jaya Cemerlang. 2010. hal. 217-232 Mangku, Gde. Diktat Kuliah Bagian Anestesiologi dan Reanimasi RSUP Sanglah Denpasar FK Udayana. Denpasar : RSUP Sanglah Denpasar. 2002. hal. 33-39 8. Anonim. Cancer Pain Management. London: British Pain Society. 2010. Hal. 31 4 9. Douglas Natusch. Equianalgesic doses of opioids - their use in clinical practice. British Journal of Pain 2012 6: 43 10. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Neoplasia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. 2 nd ed. Jakarta: EGC; 1996.p. 131 164 11. R.Munglani. Biomolekuler of pain.British Journal of Anaesthesia. 1995 : 75 : 186-192

62

12.

Paul J. Christo, Danesh Mazloomdoost. Interventional Pain Treatmentsfor Cancer Pain.Maryland: Annals of the New York Academy of Sciences. 1138: 299328 (2008)

13. Robert Swarm,et all. Adult Cancer Pain. J Natl Compr Canc Netw. 2010;8:1046-1086 14. Rajagopal MR. Relief from Chronic Pain When Resources Are Limited. In: wilson I, Walters F.World Federation Of Societies Of Anesthesiologists: Update In Anesthesia; 2002.No15 http://www.cancernetwork.com/display/article/10165/61263 15. Harsal, Asrul. Penanggulangan Nyeri Pada Kanker. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006. hal.885-887

63

Anda mungkin juga menyukai