Anda di halaman 1dari 10

BAHAYA KEHAMILAN PADA PERKAWINAN USIA MUDA Oleh : Maryatun Dosen Keperawatan Stikes Aisyiyah Surakarta ABSTRAK Konsekuensi

dari pernikahan usia dini dan melahirkan di usia remaja adalah berisiko untuk melahirkan prematur dan berat badan lahir rendah. Wanita yang menikah pada usia dini mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi. Perkawinan usia remaja juga berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga, risiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab, kegagalan perkawinan, kehamilan usia dini berisiko terhadap kematian ibu karena ketidaksiapan calon ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan bayinya.

Key Word : pasangan usia muda, bahaya kehamilan

PENDAHULUAN Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 median usia kawin pertama adalah 19,2 tahun dan median usia kawin pertama di pedesaan lebih rendah yaitu 17,9 tahun. Terlalu muda usia untuk hamil atau kurang dari 20 tahun sekitar 10,3% menyebabkan kematian pada ibu secara tidak langsung. Persentase perempuan umur 15-19 yang sedang hamil anak pertama adalah 2%. Perempuan kelompok umur 15-19 tahun didapatkan 14% berstatus menikah dan 2,8% diantaranya telah menikah pada usia 15 tahun dan kelompok umur 20-24 tahun didapatkan 57% berstatus menikah dan 24,2% telah menikah pada usia 18 tahun. Jumlah pernikahan usia muda di pedesaan lebih besar dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Menurut Adhikari (1996), konsekuensi dari pernikahan usia dini dan melahirkan di usia remaja adalah berisiko untuk melahirkan 1

prematur dan berat badan lahir rendah. Wanita yang menikah pada usia dini mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi. Perkawinan usia remaja juga berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga, risiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab, kegagalan perkawinan, kehamilan usia dini berisiko terhadap kematian ibu karena ketidaksiapan calon ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan bayinya. Kehamilan usia dini ada risiko pengguguran kehamilan yang dilakukan secara ilegal dan tidak aman secara medis yang berakibat komplikasi aborsi. Angka kehamilan usia remaja yang mengalami komplikasi aborsi berkisar antara 38 sampai 68% (Wilopo, 2005). TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menikah usia dini. Perilaku menikah usia dini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan kebiasaan (UNICEF, 2005). Perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja tetapi banyak faktor yang berperan. Menurut Green (1991) perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu : 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) meliputi : pengetahuan, persepsi dan sikap individu dan masyarakat terhadap pernikahan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, 2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors) meliputi lingkungan fisik : lapangan pekerjaan, 3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) meliputi sikap tokoh masyarakat dan tokoh agama. Ketiga faktor yang mendasari dinamika kehidupan manusia dalam masyarakat inilah yang membentuk perbedaan sikap antar komunitas dalam menyikapi persoalan yang dihadapi. Pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa serta faktor emosi dalam diri individu yang bersangkutan. Pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang 2

berupa perilaku (Notoatmodjo, 2005). Sikap dipandang sebagai suatu predisposisi untuk berperilaku yang akan tampak aktual hanya bila ada kesempatan untuk menyatakannya terbuka luas. Sikap tidaklah merupakan determinan satu-satunya bagi perilaku. Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan pada usia dini diantaranya adalah : a. Pendidikan Pendidikan dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian bahan atau materi pendidikan oleh pendidik kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan tingkah laku. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia sehingga kualitas sumber daya manusia tergantung dari kualitas pendidikan. Pendidikan berhubungan dengan kemampuan baca tulis dan kesempatan seseorang menerima serta menyerap informasi sebanyak-banyaknya. Informasi yang diterima akan meningkatkan pengetahuan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, dengan pendidikan tinggi seseorang akan lebih mudah menerima atau memilih suatu perubahan yang lebih baik (Suprapto dkk., 2004) Tingkat pendidikan menggambarkan tingkat kematangan kepribadian seseorang dalam merespon lingkungan yang dapat mempengaruhi wawasan berpikir atau merespon pengetahuan yang ada di sekitarnya. Pendidikan yang rendah akan berakibat terputusnya informasi yang diperoleh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Menurut Grogger dan Bronars (1993), tingkat pendidikan berkaitan dengan usia kawin yang pertama. Semakin dini seseorang melakukan perkawinan semakin rendah tingkat pendidikannya. Hal senada juga dikemukakan Rahman and Kabir (2005) faktor yang menyebabkan perkawinan usia dini di Bangladesh adalah pendidikan. Menurut Hanum (1997), yang melakukan penelitian di Bengkulu Utara salah satu faktor yang berkaitan tinggi rendahnya usia kawin pertama adalah rendahnya akses kepada pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh ekonomi keluarga yang kurang. Kekurangan biaya menjadi kendala bagi kelanjutan pendidikan. Choe et al. (2004) mengemukakan tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan pernikahan usia dini. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan menurunnya kemungkinan menikah di usia dini. Laki-laki dan 3

perempuan di Nepal tidak menikah selama masa pendidikan. Demikian juga penelitian yang dilakukan Chariroh (2004) di Kabupaten Pasuruan didapatkankan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan di usia muda adalah pendidikan. b. Status ekonomi Masalah kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan usia dini. Pada beberapa wilayah, ketika kemiskinan benar-benar menjadi permasalahan yang sangat mendesak, perempuan muda sering dikatakan sebagai beban ekonomi keluarga. Oleh karenanya perkawinan usiadini dianggap sebagai suatu solusi untuk mendapatkan mas kawin dari pihak lakilaki untuk menganti seluruh biaya hidup yang telah dikeluarkan oleh orangtuanya (Anonim, 2002). Secara sosial ekonomi, pernikahan usia dini menjadi salah satu gejala yang menunjukkan rendahnya status wanita. Pada beberapa kasus, pernikahan usia dini berkaitan dengan terputusnya kelanjutan sekolah wanita yang berakibat pada tingkat pendidikan wanita menjadi rendah. Pendidikan yang rendah akan merugikan posisi ekonomi wanita dan rendahnya tingkat partisipasi kerja wanita. Menurut Hanum (1997), faktor ekonomi yang berkenaan dengan lapangan pekerjaan dan kemiskinan penduduk memberikan andil bagi berlangsungnya perkawinan usia dini. Taraf ekonomi penduduk yang rendah, tidak cukup untuk menjamin kelanjutan pendidikan anak. Jika seorang anak perempuan telah menamatkan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia hanya tinggal di rumah. Karena keterbatasan lapangan pekerjaan, mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Penelitian yang dilakukan Chariroh (2004) di Kabupaten Pasuruan didapatkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan di usia muda adalah ekonomi. c. Persepsi tentang pernikahan Persepsi merupakan proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan impressi sensorisnya agar dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya, yang didahului dengan proses penginderaan (Walgito, 2004). Persepsi merupakan proses yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain. Persepsi bersifat individual. Perbedaan persepsi seseorang 4

terhadap suatu rangsangan disebabkan oleh perbedaan sosio kultural dan pengalaman belajar individu yang bersangkutan. Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi lingkungannya. Proses pemahaman ini melalui penglihatan, pendengaran, perasaan dan penciuman. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri. Jadi persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap individu di dalammemahami informasi yang dialaminya melalui indera dan tiap-tiap individu dapat memberikan arti yang berbeda. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukan pencatatan yang benar terhadap sesuatu. Persepsi merupakan mata rantai perubahan sikap. Persepsi diartikan sebagai pandangan individu terhadap lingkungannya. Hanum (1997), nilai budaya lama yang menganggap bahwa menstruasi merupakan tanda telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya oleh warga masyarakat, tidak hanya di kalangan orang tua saja melainkan juga di kalangan kaum muda. Hal ini akan membentuk sikap positif masyarakat dan kaum muda terhadap perkawinan usia dini. Faktor keterbatasan ekonomi dan terputusnya pendidikan merupakan faktor yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi masyarakat untuk tidak mempunyai visi ke masa depan sehingga sikap positif terhadap pernikahan usia dini terus terpupuk. d. Karakteristik Orangtua Karakteristik orangtua responden yang berhubungan dengan pernikahan usia dini antara lain adalah : tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan bapak, dan persepsi orangtua tentang pernikahan. Tingkat pendidikan orangtua erat kaitannya dengan status ekonomi keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Choe et al. (2004) di Nepal didapatkan status ekonomi orangtua yang tinggi akan lebih sedikit menerima pernikahan di usia dini. Tingkat pendidikanorangtua yang lebih tinggi lebih berhasil menunda pernikahan di usia dini. Peran orangtua dalam mencarikan dan menentukan pasangan hidup anak perempuannya (terutama pada perkawinan pertama) umum ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, terlebih lagi di daerah pedesaan. Menurut Kusujiarti (1995), di kalangan 5

masyarakat Jawa, dikenal tiga macam tipe perkawinan yang dilihat dari sudut perjodohan pihak wanita sebagai berikut : 1. Arranged marriage, yaitu perjodohan oleh orang tua. Ada dua tipe yaitu : a) Perjodohan yang dilakukan oleh orang tua, tanpa disertai persetujuan sebelumnya oleh pengantin perempuan maupun laki-laki, b) orangtua pengantin wanita dengan calon pengantin laki-laki merencanakan perkawinan, tanpa persetujuan si gadis terlebih dahulu. 2. Mixed marriage, yaitu anak gadis yang hendak kawin mencari sendiri jodohnya,tetapi keputusan untuk terlaksananya perkawinan diserahkan kepada orangtua. 3. Voluntary marriage, yaitu anak yang hendak kawin mencari sendiri jodohnya, orangtua tinggal merestui saja. Sikap hidup orangtua suku Jawa untuk mencarikan jodoh bagi anak perempuannya ini berlangsung karena didorong oleh falsafah hidup kejawen tentang kewajiban orangtua untuk mendewasakan anak. Dalam budaya Jawa, perkawinan merupakan simbol berakhirnya kewajiban orangtua dalam melindungi anak di bawah tanggung jawab rumah tangganya serta simbol peralihan seseorang dari periode anak-anak menjadi dewasa dengan status perkawinannya. Akibat perjodohan yang dilakukan orangtua, pengantin wanita tidak mengetahui betul tentang karakteristik calon suami mereka. Ketidakpahaman wanita akan karakteristik suami ini banyak menimbulkan rasa cemas, stress, takut, malu, segan dan marah pada diri pengantin wanita. Tanda Bahaya Kehamilan 1. Definisi tanda bahaya kehamilan Tanda bahaya kehamilan adalah tanda-tanda yang perlu diwaspadai selama kehamilan karena kalau tidak dilaporkan atau terdeteksi dapat mengakibatkan kematian (Pusdiknakes, 2003: 90). 2. Macam-macam tanda bahaya kehamilan 1) Perdarahan vagina Perdarahan vagina dalam kehamilan adalah jarang yang normal, pada masa awal sekali kehamilan ibu mungkin akan mengalami perdarahan yang sedikit atau spotting di sekitar waktu pertama terlambat haidnya, perdarahan ini 6

adalah perdarahan implantasi dan ini normal. Perdarahan semacam ini mungkin normal atau mungkin suatu tanda infeksi. Pada awal kehamilan, perdarahan yang tidak normal adalah yang merah, perdarahan yang banyak, atau perdarahan dengan nyeri, perdarahan ini dapat berarti abortus, kehamilan mola atau kehamilan ektopik, pada kehamilan lanjut perdarahan yang tidak normal adalah merah, banyak, dan kadang-kadang tetapi tidak disertai rasa nyeri, perdarahan semacam ini bisa berarti plasenta previa atau abrupsio plasenta. 2) Sakit kepala yang hebat Sakit kepala bisa terjadi selama kehamilan, dan seringkali merupakan ketidak nyaman yang normal dalam kehamilan. Sakit kepala yang menunjukkan suatu masalah yang serius adalah sakit kepala yang hebat menetap dan tidak hilang dengan beristirahat, kadang-kadang dengan sakit kepala yang hebat tersebut ibu mungkin menemukan bahwa penglihatannya menjadi kabur atau berbayang, sakit kepala yang hebat adalah gejala dari pre-eklamsia. 3) Pandangan kabur Karena pengaruh hormonal, ketajaman penglihatan ibu dapat berubah dalam kehamilan, perubahan minor adalah normal. Masalah visual yang mengindikasikan keadaan yang mengancam jiwa adalah perubahan visual yang mendadak, misalnya pandangan kabur atau berbayang, perubahan penglihatan ini mungkin disertai dengan sakit kepala yang hebat dan mungkin merupakan suatu tanda pre-eklamsia. 4) Bengkak pada muka atau tangan Hampir separuh dari ibu-ibu akan mengalami bengkak yang normal pada kaki yang biasanya muncul pada sore hari dan biasanya hilang setelah beristirahat dan meninggikan kaki. Bengkak bisa menunjukkan adanya masalah yang serius jika muncul pada muka dan tangan, tidak hilang setelah beristirahat, dan disertai dengan keluhan fisik yang lain, hal ini dapat merupakan pertanda anemia, gagal jantung, atau pre-eklamsia. 7

5) Nyeri perut yang hebat Nyeri perut yang tidak berhubungan dengan persalinan yang normal adalah tidak normal, nyeri perut yang mungkin menunjukkan masalah yang mengancam keselamatan jiwa adalah yang hebat, menetap, dan tidak hilang setelah beristirahat, hal ini bisa berarti appendisitis, kehamilan ektopik, aborsi penyakit radang panggul, persalinan preterm, gastritis, penyakit kantong empedu, uterus yang irritable, arubsi plasenta, penyakit hubungan seksual, infeksi saluran kemih atau infeksi lain. 6) Bayi kurang bergerak seperti biasanya Ibu merasakan gerakan bayinya selama bulan ke5 atau ke-6, beberapa ibu dapat merasakan gerakan bayinya lebih awal, bayi harus bergerak paling sedikit 3 kali dalam periode 3 jam, gerakan bayi akan mudah terasa jika ibu berbaring atau beristirahat dan jika ibu makan dan minum dengan baik ( Pusdiknakes, 2003:91-92) KESIMPULAN Wanita yang menikah pada usia muda mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi. Perkawinan usia remaja berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga, risiko tidak siap mental untuk membina perkawinan dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab, kegagalan perkawinan, kehamilan usia muda berisiko terhadap kematian ibu karena ketidaksiapan calon ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan bayinya. Kehamilan usia muda ada risiko pengguguran kehamilan yang dilakukan secara ilegal dan tidak aman secara medis yang berakibat komplikasi aborsi. Banyak factor yang menyebabkan usia muda melakukan pernikahan antara lain : pendidikan, status ekonomi, persepsi orang tua dan karakteristik orang tua. Mengingat resiko yang besar pada pernikahan diusia muda, sebaiknya pasangan muda ataupun orang tua perlu adanya pengetahuan akan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2000). Perkawinan Usia Dini Berisiko Tinggi Bagi Perempuan. Tersedia dalam: http://www.Kompas.com [ Diakses 20 April 2007 ]. Adhikari, R.K. (1996). Early Marriage and Childbearing: Risk and Consequences. http://www.who.int/reproductive-health/. Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro (2003). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003, Calverton. Maryland USA: ORC Macro Chariroh (2004). Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkawinan dan Perceraian Suami Isteri Usia Muda di Pasuruan. Universitas Muhammadiyah Malang. Choe, M.K., Shyam,T. and Vinod, M.. (2004) Early Marriage and Early Motherhood in Nepal, J Bios Science. : pp:1-20. Gordis, L. (2000) Epidemiology. Second Edition W.B. Sauder Company. Philadelphia London New York Green, L.W. & Kreuter. M.W. (1991) Health Promotion Planning. 2nd ed. Mountain View: Mayfield Publishing Company Grogger, Jeff and Stephen Bronars (1993) The Socioeconomics Consequences of Teenage Childbearing: Findings from a Natural Experiment. Family Planning Perspective, 25(4): 156161 & 174. Hanum S.H. (1997) Perkawinan Usia Belia, kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation Yogyakarta Universitas Gadjah Mada. Kusujiarti S. (1995). Hidden power in gender relations among Indonesians: case study in Javanese village, Indonesia. Lexington, Kentucky: University of Kentucky. Notoatmodjo, S. (1997) Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-Prinsip Dasar. Rineka Cipta, Jakarta. Suprapto,A., Pradono, J. dan Hapsari, D. (2004) Determinan sosial ekonomi pada pertolongan persalinan di Indonesia. Majalah Kedokteran Perkotaan.Vol 2, no. 2, pp.18-29. Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Sosial, edisi revisi, Penerbit Andi Yogyakarta Wilopo, S.A (2005). Kita Selamatkan Remaja dari Aborsi dalam Rangka Pemantapan Keluarga Berkualitas 2015. BKKBN. Medan, 11 Februari 2005. 9

10

Anda mungkin juga menyukai