Anda di halaman 1dari 9

KORUPSI dan KORUPTOR.

Sudah bosan rasanya mendengar dua kata tak bermoral, yang dewasa ini telah menjadi santapan berita setiap harinya bagi rakyat Indonesia lewat media massa. Perampok uang rakyat yang tak lupa setiap saat menampangkan muka tak berdosanya dan membanggakan titel namanya dengan segala omong kosong yang dilontarkan di televisi maupun koran-koran, yang siap dengan segepok uang haram untuk menyuap pengadilan agar cepat keluar dari hotel prodeo dan kelak kembali menjalankan aksinya sebagai perampok uang rakyat dan menikmati kekayaan hasil korupsinya seumur hidup. Sementara kerugian Negara trilyunan rupiah. Bukti terbaru adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas 12.612 kasus penyimpangan anggaran senilai Rp. 20,25 trilyun di berbagai kementerian dan lembaga. Kenyataannya sulit diterima akal sehat. Sementara itu, dengan terseok-seok rakyat harus mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Pantas saja kemiskinan semakin menggila setiap tahunnya. Keadaan ini sungguh membuat miris masyarakat Indonesia. Hukuman terhadap para koruptor tidak memberikan rasa takut dan jera. Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkahlangkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah. Hal ini menimbulkan spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk menghukum pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan hukuman mati bagi koruptor agar benar-benar jera dan tidak korup lagi. Kekayaan menjadi barometer kejayaan dan kehormatan bagi para pejabat. Sementara kemiskinan hanya menjadi komoditas angka yang selalu diperdebatkan. Makin lama makin kentara jurang miskin-kaya. Lebih parah lagi jurang itu disebabkan oleh korupsi yang merajalela. Di tengah keprihatinan itu, NU di Cirebon dalam musyawarah nasionalnya (16/9), mengeluarkan fatwa yang berisi rekomendasi hukuman mati bagi koruptor yang mengulangi perbuatannya. Hukuman mati merupakan sanksi terberat apabila seorang pelaku setelah dijatuhi hukuman berdasar keputusan pengadilan tidak jera dan mengulang perbuatannya. Artinya masih ada alternatif hukuman lain bagi koruptor yang baru melakukan kejahatan ini satu kali,tutur Ketua Komisi A, KH Syaifuddin Amsir seperti dikutip Seputar Indonesia, Senin (17/9). Sesuai dengan undang-undang yang Murti Kurniawati_18

berlaku, hukuman mati di Indonesia secara resmi diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Korupsi itu menyebutkan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun, dalam realitasnya pemerintah belum berani secara tegas menerapkan hukuman mati tersebut. Tinggal profesionalitas para penyidik (polisi, kejaksaan, KPK), para jaksa, dan hakim saja yang kita harapkan. Kalau alat bukti kuat, kasus korupsinya menghancurkan sendi-sendi berbangsa, hukum mati saja. Karena banyak dari para koruptor yang akhirnya dapat melenggang bebas dengan menikmati hasil korupsinya setelah dihukum hanya 510 tahun penjara saja, sedangkan harta hasil korupsi tidak disita oleh negara atau sebagaimana usulan Machfud M.D. kalau koruptor itu dimiskinkan saja.

Murti Kurniawati_18

Hukuman mati hanya mungkin diterapkan di Indonesia oleh adanya kepastian hukum yang lebih dulu diwujudkan melalui kepemimpinan yang kuat. Di tingkatan legislatif, kepemimpinan politisi DPR dan DPD dalam mendorong kepastian hukum amat menentukan pilihan politik bangsa ini terhadap penerapan hukuman mati. Di bagian lain pada tataran eksekutif, kepemimpinan pemerintah dalam hal ini Presiden juga memegang peranan penting dalam menjamin kepastian hukum agar dapat menjawab "kegundahan" masyarakat yang sudah apatis terhadap upaya dan proses penegakan hukum selama ini. Meski dari ranah legal formal hukuman mati bagi koruptor dimungkinkan, alangkah baiknya perdebatan itu kita arahkan pada ranah yang lebih konstruktif, yakni akar permasalahan perilaku korupsi itu sendiri. Apa sebab masyarakat begitu kuat menginginkan korupsi diberantas, bahkan sekalipun dengan cara menghukum mati ? Mengapa masyarakat sangat membenci perilaku koruptif seakan-akan terpuaskan bila pelakunya sudah dihukum mati ? Tentu saja jawaban tidak an sich untuk memberikan efek jera. Tetapi lebih dari itu, yang dalam pemahaman saya mungkin saja menghukum mati para koruptor adalah salah satu bentuk "pelarian" masyarakat (way out for the hope) yang telah jengah, jenuh dan letih atas potret penegakan hukum kita di Indonesia. Publik berpikir bahkan menjustifikasi bahwa dengan menghukum mati koruptor akan lahir setidaknya secercah harapan baru keluar dari kemelut penegakan hukum yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakadilan. Belajar dari pemberantasan korupsi di China yakni pelaku korupsi yang terbukti dijatuhi hukuman mati, maka negara itu saat ini terbebas dari praktik korupsi. Praktik korupsi terjadi di sejumlah tingkatan dalam birokrasi di Indonesia. Pungutan liar yang dilakukan birokrat pada pelayanan publik mengganggu dunia usaha yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaiknya, pemerintah menerapkan aturan mengenai biaya administrasi secara transparan sehingga tidak ada pungutan ilegal. uang komisi pada proyek yang dikerjakan oleh rekanan di lembaga pemerintah diatur secara legal sehingga transparan dan pertanggungjawabannya juga menjadi jelas.

Sementara itu, Eva Kusuma Sundari mengatakan praktik korupsi sulit diberantas karena terkait dengan mental dan kultur penyelenggara negara dan birokrasi, termasuk aparat penegak hukum.

Menurut dia, penegakan supremasi hukum di Indonesia masih lemah karena integritas aparat penegak hukum juga lemah.

Murti Kurniawati_18

Terkait usul legalisasi uang komisi, politikus PDI Perjuangan itu menyebutkan di beberapa negara lain uang komisi bisa diterapkan secara legal tapi penegakan hukum juga sudah berjalan baik.

Zainal Arifin Muchtar menilai terus munculnya kasus korupsi, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah, karena pengawasan dari pemerintah lemah.

Indikasi lainnya, kata dia, ada kecemburuan dari birokrasi terhadap pejabat publik dari partai politik yang memiliki kewenangan besar.

"Praktik korupsi sudah masuk dalam ranah kultur sehingga sulit dibersihkan tapi bisa diminimalalisir," katanya.

Akan tetapi, hukuman yang diberikan oleh pengadilan dirasa kurang sepadan dengan perbuatan para koruptor. Mereka telah merugikan negara hingga bertrilyun-trilyun rupiah. Pantas saja kemiskinan semakin menggila setiap tahunnya. Apalagi sekarang banyak pejabat di kabupaten yang tergiur oleh uang hingga membuat mereka tega melakukan korupsi. Lalu bagaimana nasib rakyat kecil saat ini?? Apakah pemerintah peduli dengan mereka?? Apakah pemerintah tahu dan melihat sendiri bagaimana perjuangan rakyat jelata itu mencari sesuap nasi dan tinggal di gubuk reot?? Harusnya dana untuk kesejahteraan rakyat itu tidak boleh diambil untuk kepentingan pribadi. Apakah para koruptor biadab itu tak tahu betapa nistanya diri mereka. Seharusnya para koruptor diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu death penalty (hukuman mati). Negara-negara tetangga sudah ada yang menerapkan hukuman ini. Hukuman mati lebih terhormat dibanding hukuman penjara. Para koruptor tak perlu menahan malu jika telah bebas dari bui. Selain itu, hukuman mati akan membuat calon-calon koruptor lainnya takut untuk mencuri uang rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya lebih mempertegas hukuman yang akan diberikan kepada para koruptor agar mereka jera, misalnya dengan hukuman mati/seumur hidup. Apa gunanya dipenjara jika nanti ketika bebas malah kembali melakukan korupsi!!!

Murti Kurniawati_18

PPI Dukung Hukuman Mati Bagi Koruptor

Kamis, 18 Oktober 2012 | 21:40

Ketua Perhimpunan Profesional Indonesia (PPI), Bimo Nygroho (kiri) dan anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari. [SP/Gusti Lesek] [JAKARTA] Ketua Perhimpunan Profesional Indonesia (PPI) Bimo Nugroho menyatakan, untuk menimbulkan efek jera pelaku korupsi harus dihukum seberat mungkin, bahkan kalau perlu hukuman mati.

"Praktik korupsi yang berdampak menyengsarakan masyarakat, sehingga pelaku korupsi yang terbukti jika perlu dijatuhi hukuman mati," kata Bimo Nugroho pada diskusi "Dialektika: Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Indonesia" di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (18/10).

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari dan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta Zainal Arifin Muchtar.

Menurut Bimo,

Murti Kurniawati_18

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan dukungannya terhadap fatwa Nahdlatul Ulama (NU) mengenai hukuman mati bagi koruptor. Hal itu disampaikan oleh Fraksi PKS dalam kunjungannya ke kantor PBNU di jalan Kramat Raya No 104 Jakarta Pusat, Kamis (27/9) sore.

"Secara prinsip iya, kami mendukung hukum mati bila memang yang dikorupsi jumlahnya besar dan mengakibatkan kerusakan yang masif terhadap perekonomian dan kehidupan bernegara. Jumlahnya mungkin di atas 100 miliar," ujar Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid seperti dikutip pkspiyungan.org, Kamis (27/9).

Hidayat Nur Wahid memimpin delegasi PKS bersilaturahim ke PBNU. Rombongan pimpinan Fraksi PKS yang terdiri dari Habib Nabiel AlMusawa, Habib Aboebakar, KH Abdul Hakim, dan Hidayat Nur Wahid itu diterima langsung oleh Ketua PBNU KH Said Aqil Siraj.

Selain menyoal fatwa hukuman mati bagi koruptor dan memperkenalkan pimpinan Fraksi PKS yang baru, dalam pertemuan itu Hidayat juga membicarakan sejumlah masalah keummatan. Diantaranya, mengenai perlu tidaknya protokol internasional anti penistaan agama dan sertifikasi ulama.

"Banyak hal yang bisa diperjuangkan bersama dengan PBNU. Itu tentunya juga bisa lakukan dengan partai lain," tambah Hidayat.

Sebelumnya, PBNU menggelar Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Pondok Pesantren Kempek, Gempol, Cirebon pada 14-17 September 2012. Salah satu hasil Munas tersebut adalah fatwa perlunya hukuman mati bagi koruptor yang membawa kehancuran (fasad), khususnya bagi yang mengulangi perbuatan korupsinya. [JJ/Pksp/bsb]

NU Fatwakan Hukuman Mati bagi Koruptor | Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU) mengeluarkan fatwa yang berisi rekomendasi hukuman mati bagi koruptor yang mengulangi perbuatannya, Ahad (16/9) kemarin.

Murti Kurniawati_18

Fatwa tersebut dikeluarkan setelah melalui pembahasan di Komisi A atau Bahtsul Masail Ad-Diniyah AlWaqiiyah pada hari kedua pelaksanaan Munas NU di Pondok Pesantren Kempek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Rois Syuriah PBNU yang juga Ketua Komisi A, KH Syaifuddin Amsir, mengatakan hukuman mati bagi koruptor dijatuhkan sebagai efek jera untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Hukuman mati merupakan sanksi terberat apabila seorang pelaku setelah dijatuhi hukuman berdasar keputusan pengadilan tidak jera dan mengulang perbuatannya. Artinya masih ada alternatif hukuman lain bagi koruptor yang baru melakukan kejahatan ini satu kali,tutur Syaifuddin seperti dikutip Seputar Indonesia, Senin (17/9).

Pada kesempatan itu Syaifuddin mengingatkan, dalam hukum Islam, space keringanan bagi koruptor sesungguhnya kecil. Hanya saja, jika dalam suatu perkara masih ada kesamaran atau keraguan, hukuman dengan cara menghilangkan nyawa seseorang tetap tidak dapat dilakukan. Karena itu, dibutuhkan penyelidikan dan penelitian mendalam dari setiap perkara sebagai bentuk kehati-hatian.

Hal itu berbeda dengan pelaku korupsi yang mengulangi perbuatannya. "Tapi, pelaku yang melakukan korupsi secara berulang-ulang, telah menimbulkan kerusakan bagi umat sehingga perlu diambil tindakan tegas untuk menghentikannya, dalam hal ini hukuman mati," tegasnya.

Selain mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi koruptor, PBNU juga meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih untuk memberantas korupsi. Terutama yang terkait dengan kinerja lembaga-lembaga di bawah kendali Presiden secara langsung, yakni kepolisian dan kejaksaan. Di sisi lain, masyarakat juga diminta berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor. Sanksi sosial yang berat dianggap dapat menimbulkan efek jera serta efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.

Pakar hukum pidana DR Yenti Garnasih mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor, narkoba dan kejahatan lainnya yang mengancam dan merugikan masyarakat dan perekonomian negara. Hukuman mati itu positif dan tidak perlu takut dengan tudingan Murti Kurniawati_18

pelanggaran HAM. Sebab, di 50 negara Amerika Serikat saja, hanya 17 negara yang tak menerapkan hukuman mati. Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Jepang dan banyak negara lain tetap menerapkan hukuman mati sesuai dengan aturan negaranya sendiri. Hukuman pidana mati itu yang tahu kita sendiri, bukan negara lain. Karena itu harus membuat aturan sendiri dengan melakukan konvensi-konvensi dengan aturan internasional. Khusus untuk koruptor, perlu peraturan perampasan aset hasil korupsi, agar berdampak jera. Kalau tidak, orang yang korupsi ratusan miliaran rupiah meski dihukum beberapa tahun, mereka tetap kaya setelah keluar dari penjara, tandas Yenti Garnasih dalam diskusi Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia bersama Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y Thohari dan anggota FPKB DPR A. Malik Haramain di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (15/10/12). Sejauh itu Yenti mempertanyakan kenapa koruptor dari partai dan orang yang mendanai parpol sulit ditindak? Meski ada UU Parpol, ternyata banyak koruptor dari parpol. Kalau saja untuk meraih jabatan itu dananya dari korupsi, maka ketika berkuasa pasti akan sulit memberantas korupsi. Untuk itu banyak proses demokrasi dilakukan dengan kejahatan pencucian uang. Makanya, ke depan dana parpol itu harus melalui transfer bank, tidak boleh cash agar lalu lintas uang politik diketahui publik , ujarnya. Lebih memprihatinkan lagi lanjut Yenti, istilah praduga tak bersalah justru banyak disalahgunakan oleh pejabat politik untuk menyelamatkan diri dalam berpolitik. Karena itu wajar, meski mereka itu sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maupun pengadilan, tapi tetap saja mencalonkan diri sebagai pejabat publik, dan bahkan tetap dilantik. Lalu, mana kepekaan pemerintah dan DPR terhadap pemberantasan korupsi? Padahal rakyat menolak, tambah Yenti.

Murti Kurniawati_18

Murti Kurniawati_18

Anda mungkin juga menyukai