Anda di halaman 1dari 5

End Of Life A.

Perspektif Menjelang Kematian dan Kematian (Death & Dying) Pada Lansia Mati atau kematian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi (KBBI, 2013). Kematian atau masa akhir kehidupan merupakan fase terakhir pada perkembangan manusia. Pada fase ini manusia atau individu yang umumnya sudah lanjut usia mulai menyakini bahwa kehidupannya tidak lama lagi dan mulai memikirkan kapan kematian tersebut akan datang kepadanya. Padahal kematian itu bisa dialami oleh siapa saja, kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun caranya, bukan hanya dimiliki oleh orang yang sudah berusia lanjut saja. Perspektif pada lansia dapat dikategorikan menjadi perspektif kematian pada individu usia lanjut menurut health-care professionals, perspektif sosiokultural, dan perspektif kematian menurut lansia itu sendiri. Secara umum kematian dalam studi gerontologi sosial, Markson (dalam Miller, 2012) mengidentifikasi terdapat empat nilai-nilai sosial kontemporer atau keyakinan yang membentuk pandangan umum tentang penuaan dan kematian, yaitu: 1) Pekerjaan dan aktivitas yang terkait dengan diri, dan penyakit kronis atau keterbatasan fisik dikaitkan dengan akhir produktivitas dan kehilangan tujuan. Akibatnya, individu atau lansia mungkin tidak mengakui adanya penyakit dan penuaan pada diri mereka karena hal tersebut dipandang sebagai pikiran yang mendahului sebelum kematian itu terjadi. 2) Melalui penentuan takdir dan tanggung jawab individu, setiap orang dapat melakukan apa pun jika manusia itu terus mencoba. Pemikiran inilah yang menjadikan adanya penolakan proses penuaan dan kematian pada era sekarang ini. 3) Kemajuan medis dari beberapa dekade terakhir menumbuhkan keyakinan bahwa penuaan, penyakit, dan bahkan kematian dapat dimanipulasi, dikelola, dan dikendalikan. 4) Kewenangan dan tanggung jawab tentang kematian telah sepenuhnya dipegang kendali atau diserahkan pada tenaga medis. Akibatnya, kematian yang datang biasanya dihadapi dan ditangani dengan kualitas yang lebih humanistik dan kurang spiritual. Perspektif lansia terhadap death and dying Pandangan umum tentang usia tua membangun stigma bahwa orang dewasa yang lebih tua atau telah berusia lanjut lebih siap untuk mati atau meninggal karena kehidupan mereka telah kehilangan nilainya. Sebaliknya, menurut (Markson dalam Miller, 2012) meskipun penelitian menunjukkan bahwa kecemasan akan kematian menurun dengan bertambahnya umur, namun sebenarnya perasaan lansia tentang kematian tersebut bervariasi sesuai dengan keadaan sosial individu dan pengalaman hidup lansia itu sendiri. Banyak orang dewasa yang lebih tua memiliki tujuan hidup yang mereka harapkan untuk dipenuhi karena pada masa muda belum terpenuhi, sehingga lansia tersebut belum siap untuk menghadapi kematian Meskipun generasi muda mungkin merasa memiliki hidup yang lebih lama, banyak lansia yang memiliki pandangan berlawanan dengan hal tersebut. Karena lansia mungkin lebih dapat menerima kemungkinan kematian dalam waktu dekat dan kemudian melihat umur panjang sebagai hadiah istimewa sedangkan individu yang lebih muda cenderung menempatkan hidup dan mati mereka sebagai hal yang menakutkan dan merasa terancam oleh kematian karena kesempatan untuk hidup yang mereka miliki akan hilang. Dari sudut pandang lansia, lansia lebih sering melihat kematian sebagai bagian alamiah dari proses kehidupan, dan proses kematian sebagai periode aktualisasi diri.

Perspektif tim perawatan kesehatan professional terhadap death and dying Fasilitas perawatan kesehatan telah dianggap sebagai pusat untuk perawatan penyakit dan menyembuhkan lansia atau individu yang sakit. Karena anggapan tersebut, maka tim perawatan kesehatan profesional seringkali memandang kematian sebagai sesuatu yang harus dihindari karena melambangkan ketidakmampuan atau kegagalan dalam menangani pasien yang sakit atau sekarat. Memperpanjang hidup pasien atau membuat lansia terhindar dari kematian sering dianggap sebagai pencapaian utama dan merupakan simbol keberhasilan untuk kesembuhan pasien, keluarga, dan tim perawatan kesehatan yang terlibat. Sebagai tim perawatan kesehatan professional, perawat dan tim perawatan kesehatan lain dalam disiplin rumah sakit dan perawatan paliatif memainkan peran utama dalam mempromosikan kesadaran dan pemahaman lansia dalam proses pematangan sosial, budaya, dan perawatan profesional terkait dengan kematian itu sendiri (Miller, 2012). Maka perspektif tim perawatan kesehatan profesional lebih mengacu pada masalah kualitas hidup dibandingkan kuantitas hidup terhadap biaya perawatan lansia atau individu yang sakit tersebut. Untuk menyediakan perawatan akhir-hidup (end-of-life) yang efektif dan sesuai, perawat perlu mengkaji perasaan dan sikap yang dapat mempengaruhi perawatan yang mereka berikan kepada lansia yang sakit. Nilai dan keyakinan pribadi tentang kematian baik bagi perawat maupun lansia itu sendiri dibentuk oleh pengalaman dari saat kelahiran dengan tentunya keluarga dan lingkungan sekitar sebagai pengaruh utama. Kegiatan keagamaan, media sosial dan budaya, dan latar belakang etnis juga berpengaruh besar sebagai reaksi terhadap death and dying tersebut. Apakah kematian dibahas sebagai bagian dari kehidupan normal atau apakah itu dilihat sebagai kegagalan yang dianggap mempengaruhi kualitas perawatan, maka perawat perlu mempelajari aspek klinis perawatan akhir-hidup dan perawat juga harus memahami apa itu sebenarnya kematian untuk memproses perasaan dan kekhawatiran mereka sendiri. Perspektif sosiokultural terhadap death and dying Selain faktor usia, penting dalam menentukan perasaan lansia terhadap makna kematian itu sendiri. Latar belakang sosial budaya dan agama, status fisik dan fungsional (terutama tingkat rasa sakit dan ketergantungan pada orang lain), isolasi sosial dan kesepian, dan kebermaknaan hidup sehari-hari merupakan faktor-faktor penting dalam menentukan cara lansia menghadapi kematian yang akan datang. Dalam memberikan perawatan holistik untuk lansia di akhir hidupnys, perawat tentu juga perlu mengenali beragam budaya yang berkembang dalam masyarakat karena keyakinan dan praktik budaya sangat berpengaruh berkaitan dengan perawatan end-of-life (Lueckenotte, 2000). Apabila lansia telah menyadari diri mereka akan perasaan mendekati akhir hidupnya, lansia sering terlibat dalam proses yang disebut kehidupan review kehdupan (Butler dalam Touhy, 2010) di mana lansia mencoba untuk memahami kehidupan secara keseluruhan. Lansia yang akan mendekati akhir hidupnya diharapkan untuk dapat meninjau kehidupan mereka dan menarik beberapa kesimpulan tentang aspek positif dan negatif yang dimiliki. Apabila lansia umumnya dapat mengatakan bahwa hidupnya sangat berarti dan berharga, maka rasa integritas ego akan muncul. Namun apabila kehidupan lansia setelah dievaluasi bersifat negatif, rasa penyesalan atau kesia-siaan dan putus asa mungkin dialami oleh lansia. Karena konteks kematian adalah hal yang sangat pribadi, maka perawat harus memasukkan

pertimbangan budaya dalam penilaian individual dan menyadari beragam keyakinan dan sikap yang terkait dengan perawatna end-of-life. Pertimbangan budaya memberikan informasi tentang ritual kematian yang umumnya terkait dengan kelompok-kelompok budaya dan lingkup sosial tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa perawat harus melakukan intervensi sesuai dengan situasi yang sesuai. B. Proses Meninggal dalam Damai (End of Life) Pada Lansia Tahap menjelang kematian (dying) merupakan tahapan perburukan dari kondisi sakit dimana tidak ada lagi terapi yang akan mampu memperbaiki keadaan. Pada tahap tersebut, lansia memiliki beberapa fase yang sangat berat untuk dilalui. Fase yang akan dialami lansia ketika menghadapi kematian, yaitu mengingkari (denial), marah (anger), tawar menawar (bargaining), depresi (depression) dan menerima (acceptance) (Kubler-Ross, 1996, dalam Potter&Perry, 2005). Fase menjelang kematian akan diakhiri dengan penurunan kesehatan dari sisi fisiologis dan interaksi sosial. Pada fase menjelang kematian, lansia cenderung mengalami rasa depresi yang berat dan perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh karena itu, ketika menjelang kematian perawatan medis dari yang sifatnya ringan hingga menyakitkan bukan lagi tindakan utama yang perlu berikan. Tindakan utama yang perlu dilakukan yaitu tindakan yang akan memberikan perasaan nyaman dan damai dalam proses menjelang kematian (Miller, 2012). Kematian dalam damai digambarkan sebagai kematian yang bermartabat. Kematian yang bermartabat ditandai dengan keinginan klien dan keluarga dihormati, klien dan keluarga memiliki kontrol atas situasi, klien secara fisik maupun psikologis merasa nyaman, dan klien memiliki dukungan rohani sesuai dengan keyakinannya (Miller, 2012). Dalam mencapai kematian yang bermartabat, perawat memiliki peranan penting dalam mendukung keluarga untuk mengidentifikasi sumber dukungan, mendukung proses kehidupan hingga kematian, mengajar keluarga tentang tanda-tanda kematian, mengelola proses sekarat, dan perencanaan untuk upacara dan ritual baik saat maupun setelah kematian. Selain konsep mengenai kematian yang bermartabat, terdapat teori mengenai proses menghadapi kematian dengan damai. Teori menghadapi kematian dengan damai merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk hidup lebih lama. Teori ini dirancang untuk memberikan hasil yang positif dengan beberapa kriteria yaitu bebas dari rasa sakit, merasakan kenyamanan, merasakan dihargai/dihormati, merasakan kedamaian, kedekatan dengan orang yang berarti dalam hidup dan yang telah merawat pasien (Ruland & Moore, 1998 dalam Iranmanesh, dkk, 2011). Penanggulangan rasa sakit pada klien paliatif dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Penanggulangan rasa sakit secara farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian analgesic (Tyson, 1999). Sedangkan penanggulangan rasa sakit non farmakologi dapat dilakukan dengan relaksasi, konseling, akupuntur, hypnosis, massase, guided imagery, dan pengobatan herbal (Tyson, 1999). Selain bebas dari rasa sakit, kenyamanan perlu diperhatikan pada proses kematian dalam damai. Kenyamanan sebelum menjelang kematian dapat diberikan salah satunya dengan memberikan lingkungan yang nyaman bagi lansia. Misalnya, ada beberapa lansia yang lebih memilih di rawat di rumah dengan alasan ingin lebih dekat dengan keluarga. Lansia akan menemukan rasa nyaman dengan mengungkapkan perasaan mereka dan berbicara dengan keluarga atau kerabat (Tyson, 1999). Selain kenyamanan dan keberadaan kerabat,

penghormatan atas permintaan lansia juga diperlukan untuk agar proses menjelang kematian berlangsugn dengan damai. Bentuk penghormatan dapat dilakukan dengan memenuhi permintaan lansia. Misalnya, seorang lansia yang mengidap kanker kolon berhak memilih untuk melakukan tindakan operasi pembuatan kolostomi, dengan kemungkinan sembuh yang sangat kecil, atau melakukan terapi alternatif. Sebagian besar lansia menolak untuk melakukan tindakan operasi yang dinilai menyakitkan dan tidak nyaman. Oleh karena itu, seorang perawat perlu memahami penolakan lansia untuk tidak melaksanakan tindakan medis tersebut. Dengan adanya penghormatan dan perlakuan yang tepat, diharapkan lansia akan melewati fase terakhir dalam hidupnya dengan damai. Kedamaian yaitu merasakan ketenangan, kesesuaian/keselarasan dan kepuasaan serta bebas dari ansietas, kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan. Kedamaian akan tercipta bila aspek- atau kebutuhan lansia menjelang kematian terpenuhi. Aspek menjelang kematian yang perlu dipenuhi kebutuhannya yaitu fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Stanley, 2002). Kebutuhan spiritual pada lansia menjelang kematian sangat penting untuk diprioritaskan. Sebab menjelang kematian, lansia lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian. Keeebutuhan spiritual dapat dipenuhi dengan adanya agama yang diyakini oleh lansia. Agama dapat membantu lansia untuk mengatasi atau beradaptasi dengan kerugian pribadi atau kesulitan selama fase sakit (Ebersole, 2005). Bimbingan agama dan pelaksanaan ibadah mampu mengurangi risiko perkembangan penyakit serius (Ebersole, 2005). Dengan adanya pelaksanaan ibadah dan bimbingan spriritual, diharapkan akan membantu lansia dalam melalui fase paliatif. Oleh karena itu, pembinaan kerohanian saat klien menjelang kematian perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian khusus dapat diberikan melalui kolaborasi dengan keluarga dan ahli agama untuk membimbing lansia pada fase menjelang kematian (Tyson, 1999). C. Kesiapan Lansia Menghadapi Kematian Sebagai Akhir Perjalanan Hidup Lansia yang siap menghadapi kematian ada lansia yang memiliki kesiapan fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Kesiapan fisik lansia adalah menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik atau tubuh dan pemeliharaan kesehatan. Secara psikis, lansia siap menerima dan menyesuaikan diri dengan proses kehilangan atau kematian orang terdekat serta menerima kematian sebagai akhir kehidupan. Kesiapan lansia dalam aspek sosial adalah menerima serta menyesuaikan diri dengan kondisi tanpa pekerjaan. Sedangkan persiapan lansia secara spiritual adalah berserah penuh kepada Tuhan sang pencipta dengan banyak beribadah, berdoa, dan memuji Tuhan. Berbagai macam rasa takut yang dialami lansia sejak awal mula diagnosa yang terjadi sampai dengan kematiannya. Rasa takut terhadap nyeri adalah hal yang paling ditakuti oleh kebanyakan lansia. Adapun ketakutan lainnya seperti ketakutan diabaikan, kehilangan kemandirian, dan ketakutan yang lainnya, sehingga banyak sekali intervensi yang bisa dilakukan oleh perawat agar dapat membuat lansia menghadapi kematian dengan damai. Perawat memiliki peran penting dalam membantu lansia untuk mengatur kesiapan lansia menghadapi kematian. Kebutuhan klien pada akhir kehidupan berbeda-beda dan sangat besar. Perawat membantu lansia mengatasi kecemasan mereka, serta perawat juga harus peduli pada kebutuhan lansia dan keluarga yang akan ditinggalkan. Komunikasi yang baik dengan tim kesehatan lain serta keluarga lansia sangatlah penting. Peran perawat tidak hanya berfokus pada kebutuhan fisik, tetapi juga pada kebutuhan psikologis, sosial, dan

spiritual lansia dalam persiapan menghadapi kematian. Inti dari perawatan menghadapi kematian adalah menghadirkan rasa nyaman pada lansia sehingga mereka merasakan dapat meninggal dengan tenang. Dukungan dan peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual lansia sangatlah berarti. Miller (2004) menyatakan bahwa mendukung kepercayaan dan nilai-nilai yang dimiliki lansia dapat membantu lansia dalam melewati tantangan di hidupnya. Fungsi lainnya, partisipasi spiritual dalam keluarga juga dapat menurunkan laju depresi dan memberikan rasa penguatan pada lansia. Terdapat banyak lansia yang percaya pada akhirat dan agama yang dapat membantu mereka untuk menghadapi kematian dengan tenang. Selain itu, kehadiran agama pada kepuasan hidup lansia sering berlangsung lama saat kesehatan lansia menurun. Berangkat dari pentingnya fungsi pemenuhan tersebut, maka perawat gerontik sangat penting untuk tidak melewatkan aspek pribadi spiritual pasien karena hal tersebut merupakan kekuatan dalam mengatasi kesulitan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia (Tyson, 1999).

Daftar Pustaka Ebersole, P. Hess., et.al. (2005). Gerontological Nursing & Health Aging. 2nd Ed. St. Louis Missouri: Mosby Inc. Iranmanesh, S., dkk. (2011). Evaluating good death concept from Iranian bereaved family members perspective. http://www.oncologypractice.com/jso/journal/articles/0902059.pdf. diakses pada 4 September 2013 Kozier, B., Erb, G,. Berman, A. J. & Snyder. (2004). Fundamental nursing: concept, process, and practice. Seventh edition. New Jersey: Pearson Education, Inc Lueckenotte, Aneitte G. (2000). Gerontologic Nursing. 2nd Edition. St. Louis: Mosby Mauk, Kristen L. (2006). Gerontological Nursing: Competencies for Care. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers. Miller, C. A. (2004). Nursing for Wellness in Older Adults: Theory and Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Miller, Carol A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice. 6th Ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby Stanley, M & Bare, P.G. (2002). Gerontological nursing: a health promotion/protection approach. 2nd ed. Philadelphia: F.A. Davis Company. Tyson. (1999). Gerontorogical nursing care. Philadelphia: W. B. Saunders Company Touhy, Theris A. (2010). Ebersole & Hesss Gerontological nursing and healthy aging. 3rd Edition. St. Louis: Mosby Wallace, Meredith. (2008). Essentials of Gerontological Nursing. New York: Springer Publishers Company.

Anda mungkin juga menyukai